20 Feb 2010

IDEOLOGI DAN GERAKAN SOSIAL

Materi Diskusi KALABAHU LBH Makassar 2010
(Diolah dari berbagai sumber oleh M. Nawir)

Demonstrasi dan agitasi saja adalah mudah, karena tidak berkehendak akan kerja dan usaha terus menerus. Dengan agitasi mudah membangkitkan kegembiraan hati orang banyak, tetapi tidak membentuk pikiran orang. Karena kerapkali kegembiraan sementara itu lenyap dengan lekas. Agitasi baik bagi pembuka jalan. Didikan membimbing rakyat ke organisasi. Sebab itu usaha kita sekarang: Pendidikan (Hatta dalam John Ingleson, 1988)

Gerakan sosial muncul ketika pihak yang kuat mendominasi pihak yang lemah. Pihak yang berkuasa sewenang-wenang terhadap masyarakat. Pihak yang menguasai modal melakukan penghisapan ekonomi di luar batas.
→ Setiap ada dominasi selalu ada perlawanan atau resistensi !
→ Arighi: anti-systemic movement:
o Pertama, gerakan pembebasan nasional untuk membebaskan diri dari imperialisme.
o Kedua, gerakan revolusi yang dilakukan oleh kaum pengikut marxis ortodoks untuk merebut basis produksi dan kekuasaan politik.
o Ketiga, gerakan reformasi yang dilakukan melalui jalan parlementarian

(1) Perlawanan terhadap Portugis yang dipimpin Adipati Unus, setahun setelah Malaka jatuh

(2) Perlawanan berbasis organisasi modern setelah abad ke 19

• Budi Utomo 1908 → akses beasiswa pendidikan bumiputra
• Sarekat Islam 1912 → menentang feodalisme dan imperialisme
• Politik Etis → ”orang belanda yang baik hati”
• Pergerakan nasional → Sjahrir, Hatta, Tan Malaka, Sukarno
o Syahrir → ”berpikir jujur dan revolusioner”, ”berpijak di bumi, terlibat tetapi tetap tenang”
o Hatta → ”melihat konteks sosial yang ada”
o Tan Malaka → ”merdeka 100℅”, ”menolak segala bentuk kompromi”
o Sukarno → ”merdeka dengan kompromi”
• Ideologi dan parpol → komunisme, nasionalisme radikal, sosialisme demokrat, tradisionalisme Jawa dan Islam (herbeth feith)
• Pergulatan konsep negara kebangsaan

(3) Gerakan parlementarian atau reformasi (arighi) → Maklumat Parpol 1945 dan Pemilu 1955

• Pergulatan sistim dan bentuk ketatanegaraan
• Politik sebagai Panglima → Runtuhnya Cita-cita Revolusi
• Ekonomi sebagai Panglima → Orba sebagai Boneka Kapitalisme

(4) Gerakan Sosial LSM → menggantikan class struggle dengan social force:

• kesejahteraan (charity)
• pembangunan (community development)
• pembedayaan (community organizing)
• pengorganisasian politik (advocacy)
o memilih pengadilan sebagai arena politik;
o menargetkan pada perubahan peraturan/UU; dan
o menggali dukungan advokasi internasional

(5) Reformasi sosial pasca Orba → kontradiksi internal kaum reformis

• Mendorong demokratisasi dengan perubahan sistim pemilu
• Membiarkan politisi Orba dan reformis gadungan mengisi kekuasaan politik
• Menyaksikan agen-agen neoliberalisme berkonsolidasi mengendalikan pemerintahan reformis → privatisasi, deregulasi, dan pencabutan subsidi.
• Basis rakyat mengalami disorientasi politik dan ”krisis utopia”

(6) Tiga ciri gerakan sosial pasca Orba:

• Pertama, gerakan sosial yang menjadikan negara (domain politik) sebagai arena perjuangan utama
• Kedua, gerakan sosial yang menjadikan masyarakat sipil sebagai arena perjuangan utama
→ sektoral, gerakan sosial yang memiliki basis produksi yang jelas terkait dengan sistim ekonomi nasional seperti buruh, petani, sektor informal kota, profesional, dan lainnya
→ non-sektoral, dimana basis sosial gerakan atau isu yang menjadi pusat gerakan tidak memiliki basis produksi yang jelas seperti pluralisme, toleransi, lingkungan, dan lainnya
• Ketiga, gerakan sosial yang menjadikan “habitus relasi internasional” sebagai arena perjuangannya

8 Feb 2010

The Impossible Dream - Mimpi yang Tak Mungkin


to dream the impossible dream
to fight the unbeatable foe
to bear with unbearable sorrow
to run where the brave dare not go
to right the unrightable wrong
to love, pure and chaste, from a far
to try when your arms are too weary
to reach the unreachable star.
This is my quest
to follow that star,
no matter how hopeless,
no matter how far
to fight for the right,
without question or pause
to be willing to march into hell
for a heavenly cause.
And I know, if I’ll only be true
to this glorious quest,
that my heart will lie peaceful and still,
when I’m called to my rest.
And the world will be better for this
that one man, scorned and covered with scars,
still strove, with his last ounce of courage,
to reach the unreachable stars.
-- Don Quixote in The Man of La Mancha

Memimpikan mimpi yang tak mungkin
melawan musuh yang tak terkalahkan
menanggung kesedihan yang tak tertanggungkan
merambah ranah yang sang pemberani pun tak berani
membetulkan kesalahan yang tak terkoreksi
menyinta, murni dan suci, dari kejauhan
mencoba ketika tangan kita sangat lemah
meraih bintang yang tak terjangkau.
inilah perjuangan saya
berjalan bersama bintang penuntun,
walau tanpa harap,
walau sangat jauh
memperjuangkan yang benar,
tanpa bertanya atau jeda
rela untuk berjalan masuk ke neraka
untuk mencapai tujuan surga.
Dan saya tahu, jika saya bersungguh-sungguh
menjalani perjuangan ini,
hati saya akan damai dan tenang,
ketika nanti saya dipanggil untuk selamanya.
Dan dunia akan menjadi lebih baik
karena satu orang ini, yang diejek dan penuh luka,
masih berjuang, dengan sisa terakhir keberaniannya,
untuk meraih bintang yang tak terjangkau.

Don Quixote dalam
The Man of La Mancha

7 Feb 2010

Tentang Almarhumah Dg. Basse

Daeng Basse adalah anak keempat dari lima bersaudara. Dia ditinggal mati oleh kedua orang tuanya ketika masih kecil. Sebelum menikah, dia tinggal bersama Radiah kakaknya di kampung Ni’boboka, kelurahan Bonto Rita Kecamatan Bissapu kabupaten Bantaeng. Saat usianya beranjak remaja, Dg. Basse dibawa lari oleh Basri ke kabupaten Jeneponto. Setelah tiga bulan, mereka pun kembali, dan Basri langsung mempersunting Basse dengan uang belanja atau panai Rp 250.000. Setelah menikah, Dg. Basse sekeluarga bermukim di rumah orang tua Basri di kampung Lembang Loe, Dusun Borong Ganjeng, Desa Bonto Tiro kecamatan Sinoa kabupaten Bantaeng. Perkawinannya dengan Basri melahirkan anak 4 orang, yakni Salma, Baha (7), Bahir (5), Aco (4).
Harta yang dimiliki oleh keluarga Dg. Basse hanya sepetak tanah yang ditanami jagung, itu pun semakin hari semakin sempit karena digunakan untuk pemakaman umum. Basri, suaminya kemudian memutuskan ke kota Makassar untuk memperbaiki ekonomi keluarga yang carut marut. Tahun 2004, Dg. Basse sekeluarga tinggal di rumah rekannya Noro, di Jln. Mappaoddang II No 4 Makassar, yang juga tukang becak. Setelah tinggal selama tiga bulan, mereka pindah ke Jln. Bontoduri 7 kecamatan Tamalate. Tidak berselang lama, keluarga Dg. Besse pindah ke rumah kost Dg. Dudding di Jln. Dg. Tata I Blok 5 lorong 2 Makassar. Di tempat ini, keluarga Dg. Basse tinggal di atas rumah kayu (panggung) yang memprihatinkan. Ruangan di atas rumah terbagi empat, yakni dapur, ruang tengah, ruang tidur serta gudang. Di rumah ini tidak terdapat lemari atau perabot mahal lainnya. Hanya ada karung berisi pakaian, rak piring, satu kompor, satu tungku dan sejumlah peralatan masak seperti panci, piring tua serta dua kasur usang.
Pekerjaan Basri, suaminya adalah tukang becak. Untuk memenuhi kebutuhan makan sehari-hari, Dg. Basse menjadi tukang cuci dengan penghasilan Rp 5.000 – Rp 10.000 perhari. Dari penghasilan itu, Dg. Basse biasanya membeli beras setengah liter dan minyak tanah. Kalau pun tidak mencukupi, biasanya dia membeli ubi kayu. Untuk mengirit beras, ketika masak diencerkan atau dibuat jadi bubur. Untuk kebutuhan lauk pauk, biasanya diganti dengan sisa minyak goreng dan garam. Keluarga Dg. Basse tidak mendapat bantuan program kemiskinan yang dikucurkan pemerintah seperti Raskin dan Askeskin, karena identitas kependudukan mereka berasal dari kabupaten Bantaeng.
Malam Juma’at, Dg. Basse, dalam keadaan hamil tujuh bulan, mengalami mual dan muntah yang mengeluarkan bau tidak enak. Bahkan, saat muntah mengeluarkan cacing. Dia tidak makan selama 3 hari. Dalam kondisi lapar dan sakit, Dg. Basse sempat menangis dan berteriak kesakitan. Pada hari Jum’at siang pukul 13.00 tanggal 29 Februari 2008, Dg. Basse menghembuskan nafas terakhirnya di rumah kost Dg. Dudding. Berselang lima menit, anak ketiganya Bahir, menyusul meninggal. Mayat Dg. Basse dan anaknya Bahri, langsung dibawa pulang ke Desa Bonto Tiro untuk dimakamkan. Menjelang pemakaman, 1 Maret sore, pada saat dimandikan mulut keduanya mengeluarkan busa. 
(diolah dari berbagai sumber harian oleh Uplink Makassar)

Mengenang Alm. Dg. Basse

Lingkaran Setan Kemiskinan yang Mematikan
(Materi Sinrilik Syarifuddin Dg. Tutu di Bontoduri, Maret 2008)

Awal bulan Maret 2008, kota Makassar diguncang gempa pemberitaan berskala internasional tentang keluarga miskin (urban poor) yang sakit kemudian mati karena kemiskinannya. Media cetak dan elektronik lokal, nasional, bahkan media internasional mengabarkan kepada warga dunia bahwa di negeri yang kaya sumberdaya agraria ini masih banyak rakyatnya yang miskin, gizi buruk, busung lapar, penyakitan, dan akhirnya tewas.
Adalah almarhumah Dg. Basse, perempuan hamil dengan janin 7 bulan dalam kandungannya, dan seorang anak laki-laki keduanya, tewas di sebuah rumah kontrakan di Jln. Dg. Tata dikelilingi orang-orang yang senasib dengannya, kaum miskin kota: “mereka tewas karena tidak makan 3 hari”; “mereka tewas karena diare akut”; “mereka mati karena telat ke Rumah Sakit”; “keluarga Dg. Basse menderita gizi buruk”; “Basri, suami Dg. Basse tidak bertanggung jawab”. Begitulah orang-orang sekitar Dg. Basse bereaksi terhadap peristiwa tersebut. Pejabat pemerintah kota dan propinsi, anggota dewan dan politisi menganggap peristiwa itu sebagai aib politis, yang memalukan. Terjadilah "kemarahan struktural", aparat birokrasi tertinggi menegur dan memarahi aparat di bawahnya sampai di tingkat kader posyandu dan RT/RW.
Ironis. Mereka meninggalkan dunia ini di tengah-tengah lonjakan kenaikan harga beras dan gabah, minyak tanah, minyak goreng, terigu, kedele, dan kebutuhan pokok lainnya. Mereka tewas di saat para kandidat dan pemerintah berkuasa sedang gencar-gencarnya memprogramkan pengentasan kemiskinan.

Perlawanan terhadap Pemerintahan Hindia Belanda (Ringkasan 3)

Sumber Buku:  
Perubahan Politik dan Pemerintahan: Hubungan Kekuasaan Makassar 1906 – 1942
Pengarang : Edward L. Poelinggomang
Editor : M. Nursam dkk
Penerbit : Ombak, Yogyakarta
Thn Terbit : 2004
Antara tahun 1906 – 1942 banyak sekali aksi-aksi rakyat yang bercorak perampokan maupun kepercayaaan. Penyebabnya menurut gubernur Hindia Belanda:  (1) Tabiat masyarakat yang cenderung melakukan kejahatan, tidak senang keteraturan, mudah terpengaruh oleh harapan-harapan eskhatologis, masyarakat tidak memahami peraturan atau merasakan peraturan itu sebagai tekanan. (2) Kelompok bangsawan tidak ingin kebesaran dan kekuasaannya hilang, sehingga mereka mendalangi gerakan penolakan terhadap pemerintah Hindia Belanda. (3) Pemerintah Hindia Belanda hanya menggantungkan segala kegiatannya pada kekuatan militer dan mata-mata.

Tentang Tanah, Wajib Kerja, Dewan Rakyat (Ringkasan 2)

Oleh M. Nawir
Sumber Buku: 
Perubahan Politik dan Pemerintahan; Hubungan Kekuasaan Makassar 1906 – 1942 
Pengarang : Edward L. Poelinggomang
Editor : M. Nursam dkk
Penerbit : Ombak, Yogyakarta
Thn Terbit : 2004
Penguasaan Tanah
Rakyat menganggap bahwa pemilik utama tanah adalah Kalompoang. Penguasa sebagai pemegang kalompoang mewakili rakyat melakukan pengawasan atas tanah. Masyarakat hanya mengolah tanah atas dasar hak pakai dengan kewajiban bagi hasil 10% untuk penguasa. Hak pakai tanah dapat dipindahkan atas izin penguasa, baik pewarisan, hadiah maupun penggadaian. Hak pakai tanah akan hilang apabila pemegangnya meninggal tanpa pewaris, tidak memenuhi kewajibannya, melakukan kejahatan, meninggalkan tanah itu baik dengan sukarela atau pun melarikan diri dari pengabdiannya.
Tanah-tanah yang tidak ditanami bersifat kemasyarakatan (kolektif), sebagai padang pengembalaan, perburuan, sumber kayu bakar. Pengumpulan hasil hutan yang dapat diperdagangkan dikenakan pajak (susung romang). 

Struktur Politik Makassar Pra-1906 (Ringkasan 1)

Oleh M. Nawir
Sumber Buku: 
Perubahan Politik & Pemerintahan; Hubungan Kekuasaan Makassar 1906 – 1942
Pengarang: Edward L. Poelinggomang
Editor: M. Nursam dkk
Penerbit: Ombak, Yogyakarta
Thn Terbit: 2004

Hubungan antarkerajaan-kerajaan di Indonesia sebelum tahun 1910 bersifat internasional. Demikian kedudukan kerajaan-kerajaan itu merupakan Negara merdeka yang bertaraf internasional. Setelah 1910, pemerintah Hindia Belanda menjadikan kerajaan-kerajaan itu sebagai kesatuan politik.
Masa pemerintahan tahun 1906 – 1942 di Makassar merupakan masa pemerintahan dan kekuasaan Belanda yang seutuhnya dan menyeluruh. Berbeda dengan masa pemerintahan Perseroan Hindia Timur (VOC) maupun pada masa Pemerintahan Hindia Belanda abad ke19. VOC berkuasa hanya pada sebagian wilayah Makassar sesuai perjanjian yang dicapai. Sedangkan pada masa Pemerintahan Hindia Belanda abad 19, tidak pernah dilakukan kegiatan pemerintahan langsung dan seutuhnya. Hindia Belanda hanya melaksanakan pengawasan terhadap kegiatan politik penguasa-penguasa setempat.

Respon Masyarakat Soal Pemberantasan Korupsi

M. Nawir
(Catatan Fasilitator Pelatihan TI Indonesia, 9 September 2008)
1. Respon terhadap Organisasi Anti Korupsi
Masyarakat, dalam hal ini peserta pelatihan menganggap organisasi anti-korupsi seperti KPK dan ICW adalah aktor utama gerakan pemberantasan korupsi. Harapan masyarakat yang terlalu tinggi ini menimbulkan distorsi pemahaman tentang korupsi itu sendiri: korupsi dipahami kasus-perkasus. Akibatnya, organisasi anti-korupsi tampak lemah sekali kemampuannya menyelesaikan pengaduan kasus korupsi. Padahal, disadari bersama bahwa korupsi di Indonesia sudah sistemik di semua level institusi. Sehingga untuk memberantas korupsi, diperlukan faktor pendorong dari sisi kepemimpinan politik dan komitmen aparat, peraturan perundangan yang detail, dan adanya gerakan sosial. Singkat kalimat, pemberantasan korupsi harus dilakukan dari atas (= besar, pusat) dan dari bawah (= kecil, daerah).

Soal Pengelolaan Sampah di Makassar

M. Nawir
(Materi Diskusi “Link Rage” LSIC Makassar 19 Agustus 2008)

Kondisi Sampah di Kota Makassar
1. Pertambahan Penduduk + Sampah
Pada tahun 1980 persentase jumlah penduduk kota di Indonesia adalah 27,29% dari jumlah penduduk seluruh Indonesia. Pada tahun 1990 persentase tersebut bertambah menjadi 30,93%. Diperkirakan pada tahun 2020 persentase jurnlah penduduk kota di Indonesia mencapai 50% dari jumlah penduduk seluruh Indonesia. Khusus untuk sampah atau limbah padat rumah tangga, peningkatan jumlah sampah yang dihasilkan di Indonesia diperkirakan akan bertambah 5 kali lipat pada tahun 2020. Rata-rata produksi sampah tersebut diperkirakan meningkat dari 800 gram per hari per kapita pada tahun 1995 menjadi 910 gram per hari per kapita pada tahun 2000 (Sumber: Draft Naskah Akademik RUU Pengelolaan Sampah, JICA 2005).
Pada abad 19 diperkirakan jumlah penduduk di kota Makassar 15.000 jiwa. Pada 1930, mencapai 84.000 jiwa, di antaranya ada sekitar 3.500 orang Eropa, 15.000 orang China, dan 65.000 pribumi. Akibat migrasi gelombang kedua, pada tahun 1961 penduduk kota Makassar sebanyak 384.000 jiwa. Lonjakan penduduk terjadi pada tahun 1980, yakni 708.465 jiwa (Dias Pradadimara, 2005). Sepuluh tahun kemudian, 1990, penduduk kota Makassar 944.465 jiwa. Dan, pada tahun 2000, penduduk kota ini sudah mencapai 1.112.688 jiwa. Lima tahun kemudian (BPS 2005) penduduknya 1.173.107 jiwa. Rata-rata pertambahan penduduk persepuluh tahun di atas seratus ribu penduduk. Jika rata-rata setiap warga menghasilkan sampah sehari 3 liter, kira-kira tumpukan sampah di Makassar hari ini melebih tinggi gunung Bawakaraeng, yakni 3.519 meter kubik. Bila ditambah dengan buangan sampah dari pusat-pusat perbelanjaan, perkantoran, hotel, tempat hiburan dan rekreasi, serta industri, angka 3,5 ton sehari itu kecil sekali.
Urbanisasi telah membentuk sekian banyak pemukiman informal dengan kepadatannya yang tinggi di atas 20.000 – 30.000 penduduk perkm², contohnya di kecamatan Makassar, Mariso, Bontoala, Mamajang, dan Tallo. Persoalan pengelolaan sampah menjadi rumit, serumit dinamika sosial penduduknya. Akar persoalannya menjadi sistemik, di antara perilku warga, aparat birokrasi, manajemen dan kebijakan pengelolaan sampah. Penumpukan sampah mulai dari selokan, kanal, di TPS sampai ke TPA. Diperlukan cara pandang baru tentang warga sebagai potensi dan sumberdaya pengelolaan sampah yang terintegrasi dengan manajemen pemerintah. Bukan sebaliknya, dimana pemerintah memandang warga sebagai objek dari kebijakan pemerintah kota.

6 Feb 2010

Agenda Strategis Pemilu 2009

Kontribusi Pemikiran Jaringan Kerja Pemilih Kritis
Oleh M. Nawir
Agenda Strategis I: Legalitas Tanah dan Pemukim
Salah satu tonggak sejarah politik di Indonesia adalah disepakati dan diterbitkannya Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 Tahun 1960. Undang-undang ini merupakan penjabaran dari semangat Konstitusi RI 1945, pasal 33 tentang hak dan tata kelola kekayaan alam bangsa Indonesia, yang mencakup kekayaan atas tanah dan segala isinya, air dan udara. Lebih khusus, UUPA menegaskan perlunya pengakuan dan penataan atas hak dan penguasaan tanah, yang kemudian disebut landreform.
UUPA mencerminkan bagaimana para politisi dan politikos (negarawan) pada masa kemerdekaan menyiapkan pembangunan dimulai dari penataan dan pembatasan tata kelola sumber daya agraria. Dengan begitu, bangsa Indonesia dapat mencegah kesewenang-wenangan dan keserakahan perorangan maupun kelompok dalam penguasaan tanah. Otomatis, sengketa tanah antara orang kaya dengan orang miskin, investor dengan pemilik tanah bisa diantisipasi sejak dini.
Sayangnya, spirit pembaharuan agraria masa kemerdekaan itu berhenti ketika Orde Baru berkuasa pada awal tahun 70-an. Sejak itu, bangsa Indonesia menfokuskan pembangunan pada pemerataan pertumbuhan ekonomi dan infrastruktur dengan dukungan modal pinjaman dari Bank Dunia, serta kerjasama investasi dengan AS dan negara-negara Eropa.
Dalam dekade tahun 1980-an, sengketa pertanahan mulai bermunculan, terutama antara pribumi pemilik atau pun penggarap tanah dengan pemodal, buruh tani dengan tuan tanah, juga pemerintah. Proyek pembangunan kawasan industri, perumahan, infrastrukur, bendungan, penambangan, dan HPH membutuhkan lahan yang beratus, bahkan berjuta hektar. Inilah yang memicu konflik agraria yang tidak ada habisnya.

Melahirkan Konsep Alternatif Kebijakan

community metaplan (kprm, 2008)
Disajikan dalam Semiloka Environmental Parliement Watch (EPW) dan Sosialisasi Tools Pemantauan
oleh M. Nawir
Isu lingkungan hidup sudah harus dipahami dalam bingkai politik-ekonomi pembangunan. Misalnya, mengapa pencemaran lahan pertanian oleh pestisida yang berlangsung puluhan tahun tidak dianggap sebagai persoalan lingkungan hidup yang serius oleh pemerintah suatu negara. Atau, mengapa asap knalpot kendaraan bermotor yang setiap hari kita hirup di jalanan tidak menjadi prioritas dalam kebijakan pemerintah kota? Bandingkan misalnya dengan kasus Buyat (PT Newmont Minahasa), atau limbah tailing PT Freeport di Timika. Kedua kasus itu menjadi persoalan nasional sampai ke tingkat internasional.
Contoh-contoh kasus itu menunjukkan adanya “setting” politik lingkungan yang berbeda. Dalam kasus Buyat maupun Freeport, ada kepentingan negara-negara investor seperti AS yang langsung terganggu. Kedua kasus tersebut menyentuh standar perdagangan internasional, dimana investor dari suatu negara berkewajiban untuk membayar kerugian yang ditimbulkan oleh aktivitas perusahaannya. Hal ini yang membedakannya dengan pencemaran pestisida dan emisi gas buangan kendaraan bermotor, belum ada catatan yang menyebutkan bahwa akibat pencemaran itu ada perusahaan pestisida atau pemilik kendaraan bermotor yang kena denda, apalagi diadili atau distop aktivitasnya.

Sekolah Berbasis Komunitas

sumber: https://gramho.com/explore-hashtag/SokolaRimba
Materi Diskusi Bedah Buku SOKOLA RIMBA karya Butet Manurung di Gedung Mulo, 
29 Januari 2008
Oleh M. Nawir
Aku mau mereka “jatuh cinta” pada literacy, sadar betul apa itu baca tulis dan apa gunanya buat kehidupan mereka.
Kutipan kalimat di atas terselip di halaman 59 paragraf kedua Bagian Pertama buku SOKOLA RIMBA. Menurutku, kalimat itu mencerminkan misi dasar pendidikan pada umumnya, yakni membentuk pengetahuan melalui baca-tulis hingga menjadi kesadaran tentang realitas.
Pada prinsipnya, pendidikan adalah proses belajar yang dialektis di antara pengetahuan dan realitas. Apa yang membedakan sekolah yang diyakini Butet dengan sekolah yang lain, terletak pada usaha atau cara-cara yang digunakan Butet untuk menciptakan keberterimaan, dan tentunya kesadaran. Pikiran Butet dalam kalimat itu ingin menyatakan bahwa proses belajar tumbuh dari kebutuhan karena adanya kesadaran. Proses belajar tidak menjadi sarana untuk mencapai tujuan pengetahuan semata, apalagi menjadi media menjinakkan orang atau komunitas untuk kepentingan tertentu.
Membawa misi pendidikan kepada suatu komunitas, sudah tentu mengikut pula subjektivitas pembawanya; di samping belajar tradisi, ada tradisi belajar yang ingin ditanamkan kepada komunitas. Ini suatu kontradiksi. Itulah sebabnya, komunitas bereaksi terhadap bawaan orang luar dengan alasan bertentangan dengan tradisi dan pengetahuan komunitas. Menurutku, keberhasilan Butet “menjinakkan” komunitas dan menanamkan tradisi belajarnya kepada anak-anak rimba, bermula dari kesediaan dia untuk belajar pada tradisi. Dia menjinakkan dirinya lebih dahulu dengan cara menghormati kebiasaan dan pengetahuan orang rimba. Hanya saja tidak tampak tradisi belajar orang rimba yang berlangsung antar-generasi sebagai pondasi sekolah anak-anak rimba.

Tentang Tanah, Pangan, dan Kemiskinan

Pengantar Diskusi Pangan dan Lingkungan Hidup,
WALHI Sulsel, Benteng Somba Opu, 22 Januari 2008
Oleh M. Nawir
Tanah, barang yang setiap hari bahkan setiap detik kita pijak. Sama dekatnya kita dengan air yang setiap saat dibutuhkan tubuh kita; udara yang setiap waktu kita hirup, dan; cahaya yang setia menemani kehidupan umat manusia. Apabila satu di antara empat unsur pokok alam itu tidak berfungsi menurut hukumnya, bisa dipastikan akan terjadi bala. Ungkapan lama dan semakin nyata kebenarannya hingga kini yang menyatakan bahwa tanah di muka bumi ini lebih dari cukup apabila dibagi kepada setiap orang, tetapi tidak cukup untuk satu orang yang serakah. Ungkapan yang akhir-akhir sangat mudah menemukan faktanya.
Dalam riwayat penguasaan tanah di Indonesia dikemukakan bahwa terjadi perubahan secara brutal dari kepenguasaan tanah komunal menjadi individual; dari fungsi tanah sebagai basis pangan menjadi komoditi yang diperdagangkan dan kemudian menjadi sumber perang dan kemiskinan. Pada tahun 1965, kepemilikan tanah di Sulawesi Selatan dan Tenggara adalah 705.961 rumah tangga. Dari populasi itu, mereka yang memiliki tanah seluas antara 0–0,5 hektar adalah 411.127 rumah tangga (petani). Sedangkan mereka yang memiliki tanah seluas antara 10–20 hektar atau lebih hanya 11.145 rumah tangga.
Data BPS tahun 1987 yang dikutip Konsorsium Pembaruan Agraria (2000) menyebutkan jumlah petani yang memiliki lahan kurang dari 1 hektar sebanyak 15.25 juta rumah tangga petani. Sebanyak 1,24 juta di antaranya petani yang hanya memiliki lahan kurang dari 0,09 hektar. Lebih jauh diidentifikasi struktur penguasaan tanah berdasarkan ketimpangan kelas sosial petani dirinci seperti berikut ini:
Pertama, Tuan Tanah adalah mereka yang menguasai tanah lebih dari 10 ha (11,9 ha = 232.700 rumah tangga)
Kedua, Petani Menengah adalah mereka yang menguasai tanah antara 1–5 ha (3,23 ha = 10,6% = 1.897.400)
Ketiga, Petani Miskin atau Petani Gurem.  Mereka ini adalah petani yang menguasai tanah kurang dari 1 hektar dan petani yang menguasai tanah rata-rata 0,10 ha. Jumlah mereka sekitar 48,5% (rata-rata 0,17 ha) dan 39,6% (rata-rata 0,9 ha) yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia.
Keempat, Petani Tuna Kisma. Mereka ini adalah petani yang benar-benar tidak memiliki tanah dan tidak mempunyai lahan garapan. Jumlah mereka sekitar 9,1 juta. Jika petani tuna kisma ditambah petani yang menguasai lahan kurang dari 0,10 ha, maka jumlahnya 11.084.605 petani.
Yang ingin ditegaskan dalam paper ini berdasarkan referensi tersebut bahwa ketiadaan akses dan kekuasaan tanah menjadi salah satu faktor pemicu urbanisasi arau perantauan orang desa ke kota. Terutama pada dekade tahun 80-an, ketika pemerintahan Orde Baru dinilai sukses mengekstensifikasi dan mengintensifikasi, yang biasa disebut modernisasi sistim pertanian. Modernisasi ini ditunjang oleh proyek Land Adminitration Project (LAP) seperti program sertifikasi nasional (prona), yang mendorong terbukanya pasar tanah. Bank Dunia dan agen-agen korporasi produk dan teknologi pertanian berada di balik skenario pembangunan tersebut. Swasembada pangan dinilai sukses, tetapi semakin lebar pula ketimpangan struktur kepemilikan tanah karena pihak yang memiliki modal besar sanggup membeli tanah ratusan hektar.
Urbanisasi menjadi pilihan yang paling rasional bagi petani tanpa tanah itu sebagai strategi mengatasi kemiskinannya. Di Sulawesi Selatan, gelombang migrasi besar-besaran terjadi antara tahun 1970-an dan 1980-an. Selain faktor politik, kondisi ekonomi juga mendorong   urbanisasi. Faktor ekonomi di antaranya adalah petani harus membeli, bahkan berhutang untuk memperoleh paket bibit-pupuk-pestisida dan traktor. Tanpa disadari petani mulai berubah menjadi konsumen dan buruh tani.
Tanah dan Pangan
Tentang rusaknya relasi di antara tanah dan pangan dapat dipelajari dari riwayat Revolusi Hijau di Indonesia. Pada mulanya adalah kelangkaan pangan beras, terutama pada orde lama Soekarno. Untuk mengatasinya, salah satu cara adalah dengan mengimport beras dari 0,3 juta ton menjadi 1 juta pada awal tahun 1960-an. Di masa akhir pemerintahan Soekarno, impor beras ini menurun drastis menjadi 0,2 juta ton.
Revolusi Hijau yang diprakarsai saintis Yayasan Rockfeller di Amerika Serikat, Norman E. Bourlaug menawarkan teknologi baru pertanian dan menjanjikan strategi jitu mengatasi kemiskinan dan kelaparan. Di Indonesia, produk teknologi revolusi hijau ini dapat dikenali pada benih hibrida, bahan kimia pupuk dan pestisida/ herbisida, serta peralatan produksi seperti traktor, alat semprot, dll. Pengembangan lebih jauh dari konsep revolusi hijau adalah pembangunan pengairan sawah dan bendungan.
Pada Orde Baru Soeharto, proyek revolusi hijau dikemas menjadi program intensifikasi pertanian dan pangan, khususnya beras. Program itu dikenal dengan Inmas dan Binmas. Tahun 1972-1973 terJadi krisis pengadaan beras akibat kegagalan panen, bersamaan dengan melonjaknya harga beras di pasar dunia. Pemerintah Orba mengimpor beras dari 0,74 juta ton menjadi 1,66 juta ton pada tahun 1973. Pemerintah Orba juga menerapkan kebijakan subsidi untuk kebutuhan intensifikasi pertanian seperti berikut ini (lihat Fauzi, Petani dan Penguasa, 1999):
(a) Subsidi harga pupuk. Perbandingan harga pupuk urea adalah 1:0,6. Setelah disubsidi (1982) menjadi 1:1,9. Subsidi sekitar US $ 500 juta setahun.
(b) Kredit pertanian berbunga rendah melalui proyek Binmas dan Inmas.
(c) Pembelian padi oleh pemerintah melalui penetapan harga dasar gabah, dimaksudkan untuk membangun stok cadangan gabah nasional.
(d) Pengadaan dan perbaikan sarana irigasi yang dibiayai pinjaman luar negeri.
Di balik keberhasilan “revolusi hijau” untuk swasembada beras, hanya 20 – 30 % rumah tangga pedesaan yang diuntungkan. Mereka menjadi petani kaya, tetapi tidak independen, bergantung subsidi Negara, serta teknologi baru. Dan, anehnya, dari tahun ke tahun laju urbanisasi dan migrasi terus meningkat. Kota-kota besar di Indonesia bagaikan diserbu oleh para 'mantan' petani yang terjerat utang dan kemiskinan. Kebanyakan mereka bekerja di sektor informal dan bermukim di atas tanah-tanah rawan sengketa. Sebagian lagi di antara mereka menjadi gelandangan ibukota.
Pangan dan Kemiskinan
Kaum miskin di kota-kota besar adalah konsumen akhir dari komoditi pertanian pangan petani, khususnya sembilan kebutuhan pokok. Itulah sebabnya, pemerintah menentukan standar asupan kalori makanan dalam mengukur naik-turunnya garis kemiskinan. Berikut ini adalah perhitungannya:
Pertama, Sangat Miskin. Apabila seseorang tidak mampu memenuhi kebutuhan dasarnya, yaitu hanya mampu memenuhi konsumsi makanan 1.900 kalori per orang sehari, plus kebutuhan dasar nonmakanan yang setara Rp 480 ribu per RT per bulan.
Kedua, Miskin. Apabila seseorang hanya mampu memenuhi konsumsi makanan antara 1.900- 2.100 kalori per-orang sehari, plus kebutuhan dasar nonmakanan atau setara Rp600 ribu per RT per bulan, di atas Rp 480 ribu.
Ketiga, Mendekati/Hampir Miskin. Apabila seseorang hanya memenuhi konsumsi makanan antara 2.100 - 2.300 kalori per-orang sehari, plus kebutuhan dasar non makanan atau setara Rp 700 ribu per RT per bulan, di atas Rp 600 ribu.
Jika ditelusuri riwayat kemiskinan mereka, kaum miskin di kota maupun di pedesaan sama-sama menghadapi persoalan yang sama, yakni ketiadaan akses dan kontrol terhadap sumberdaya tanah dan pangan. Tanah tempat tinggal kaum miskin kota umumnya tanah yang rawan sengketa. Sementara kebutuhan pokok, terutama sangat bergantung pada subsidi pemerintah.
Kenaikan harga BBM menjadi salah satu penyebab utama ketergantungan rakyat miskin kota pada pangan yang disubsidi pemerintah. Operasi pasar murah, raskin adalah bentuk intervensi pemerintah untuk kaum miskin kota. Tahun 2007, subsidi beras untuk rakyat miskin dengan harga tebus Rp 1000 sebanyak Rp 1,896 juta ton, yang dianggarkan dalam APBN 2007 Rp 6,4 trilyun untuk menjangkau 15,8 juta.
Tahun 2008 ini, pemerintah SBY-Kalla akan mengalokasikan dana sekitar Rp 54 trilyun untuk proyek-proyek pengentasan kemiskinan (Awalil Rizjy dan Tim UPC, 2007). Namun, sebagain besar dananya dipinjam dari badan-badan dunia seperti Bank Dunia. Pemerintah SBY-Kalla menargetkan penurunan angka kemiskinan menjadi 8,2 % pada tahun 2009 dari level 16,6 %. Kenyataannya, pada tahun ini (2008) angkanya masih berkisar 15-16%. Terbukti strategi yang dipakai pemerintah tidak menyelesaikan masalah kemiskinan. Sebaliknya hanya menguntungkan kelompok kecil yang hampir miskin dan bukan orang miskin. ***** Awi/22/01/08

Untuk Apa Sektor Informal Dimusuhi

(Bahan Diskusi KPRM, dimuat harian Tribun Timur Makassar)
Oleh Judy Rahardjo
(Aktivis Organisasi Konsumen, Tinggal di Makassar)
Senin lalu, para pedagang kaki lima di pintu II Universitas Hasanuddin (Unhas) akhirnya digusur dengan cara represif, dan menelan lima orang korban luka (Pedoman Rakyat, 31 Mei 2005). Peristiwa ini tentu paradoksal jika direlasikan dengan aikon universitas, yang semestinya ditafsir sebagai pilar pembebasan bagi kemiskinan, tirani, dan represi politik. Atau dalam tafsir orang awam dengan penuh rasa geram, bagaimana mungkin orang sekolahan dapat melukai rasa keadilan. Pertanyaan yang mucul mengapa orang sekolahan itu tidak dapat memoderasi masalah ini. Mengapa para ilmuwan Unhas membiarkan masalah pedagang kaki lima pintu II sampai mengkristal dan bereskalasi pada ujung konflik, mengingat para pedagang tersebut mulai menempati jalur pintu II pada tahun 1997.
Modus penggusuran sendiri memang bukan yang pertama kali di kota ini, atau di negeri ini. Hampir dalam banyak kejadian, yang muncul di permukaan, terutama di wilayah perkotaan, bentrokan yang berlangsung di bawah pusaran antara sektor informal dengan aparatus Negara, dengan atas nama ”pembangunan” atau diturunkan pada kosa kata ”ketertiban”, ”keindahan”, dan ”demi kepentingan umum”. Kita tidak hendak membahas filsafat estetika itu sendiri, melainkan untuk apa sektor informal itu harus mengalami perlakuan sewenang-wenang diiringi dengan letupan kekerasan. Kalau dinyatakan dalam pertanyaan, apa yang dipikirkan di balik kepala para profesor itu untuk melakukan tindak penggusuran terhadap sektor informal. Jika ditarik ke dalam tataran sosiologis, demikian teori yang dibuat oleh orang sekolahan, para pedagang kaki lima, daeng becak, pencari kerang dan sebagainya, dimasukkan dalam kotak yang disebut sektor informal.
Kosa kata informal dan formal, jika kita geledah, memang seringkali mengandung bias, yaitu mengalami ”politic of meaning” atau politisasi pemaknaan. Kategorisasi kedua sektor ini dipahami secara simplifikasi dan dikotomis, atau dalam bahasa awan dinyatakan sebagai ”hitam-putih”. Misalnya, semata-mata melakukan simbolisasi dikotomis antara pasar tradisional dengan mal. Dengan pembagian dikotomis semacam itu, tentu akan menyulitkan kita untuk memahami akar masalah lahirnya sektor informal. Secara teknis, kita tidak dapat mengoperasikan kategori tersebut secara jernih ke dalam arus persoalan sosial. Lebih celaka lagi, kalau politisasi makna sektor informal justru merupakan tindak kaum elit untuk melakukan konsolidasi ke arah kekuatan dan kekuasaan, termasuk konsolidasi anak sekolahan, meminjam istilah Emmanuel Subangun, beremansipasi membangun ”republik kaum cendekia”. Jika demikian yang terjadi, tindak penggusuran sebenarnya lebih bersifat mistisfikasi daripada rasionalisasi terhadap persoalan sosiologis, dengan cara menculik kesadaran rakyat.

Catatan Perjalanan

buldozerrumahkampungkota.blogspot.com
Mesin penggusur kita sama,
Bentuk dan warnanya sama,
Alat berat yang dibeli dari uang rakyat,
Buldoser!
Mungkin juga dibeli dari utang luar negeri,
Pada gilirannya, rakyat miskin, yang digusur
Mereka juga
Yang harus membayarnya.

Militerisme, Kapitalisme,
Penguasa dua sisi mata uang.
Seperti Coca Cola, bisa kita jumpai
“di mana saja, kapan saja ……”

Awi-karachi, 30 April 2004

Pemilu Bukan untuk Si Miskin

Pengantar diskusi Peliputan Pemilu dan Masalah Kaum Marjinal
 ELSIM Makassar (9 Maret 2004): 
"Untuk Apa Rakyat Miskin Ikut Pemilu"
Oleh M. Nawir
“Untuk Apa Rakyat Miskin Ikut Pemilu?” – jika pada akhirnya pemilu hanya mengokohkan kekuasaan yang korup, dan menggusur rakyat miskin. Dari pemilu ke pemilu, partai politik dan para politisi/caleg menghamburkan uang untuk merebut dukungan dari rakyat miskin. Lalu, pemilu menghasilkan politisi dan pemerintahan yang hanya melindungi kepentingan dirinya, partai dan golongannya. Mayoritas rakyat miskin yang telah memilihnya, dilupakan. “Caleg tidak tahu diri, sudah dibantu dorong mobilnya dari selokan, kita ditinggalkan begitu saja”, demikian ilustrasi Dg Bau di Bonto Duri”.
Begitulah tradisi politik yang diwariskan Orde Baru. Menjelang pemilu 2004, partai dan calon-calon anggota dewan tidak berubah perilaku politiknya. Membujuk, menjanji dan membagi-bagikan uang dan materi. “Saya dapat sembako 10 kg”; Saya dapat selendang dan sarung bergambar partai”; “Saya dikasih uang kalau ke rumah caleg”; “ Saya dijanji suntik KB gratis, senam gratis’ “Saya dijanji gitar dan bola volley”; “Saya dapat makan siang dan baju kaos waktu ikut pawai”; “Setelah rumahku digusur, sudah berapa partai yang kasih saya bantuan”. Demikian petikan kalimat beberapa warga miskin di Makassar. Semuanya terjadi menjelang pemilu.

Matinya Konsep Penataan

Oleh M. Nawir

Bahasa Indonesia merinci kata penataan dari kata dasar tata, yang berimbuhan pe- dan -an. Kata ini menjadi konsep yang luas sekali pemakaiannya dalam berbagai produk kebijakan pemerintah seperti peraturan Tata Ruang Kota yang mencakup konsep tentang Penataan Pemukiman, Penataan Peredaran Barang dan Jasa, dan lain-lain. Untuk memperjelas maksud dari penataan itu, digunakanlah kata penertiban, misalnya dalam kalimat penertiban pedagang kaki lima. Secara eksplisit di dalam berbagai naskah peraturan, konsep penataan dan penertiban ini merujuk pada kewenangan pejabat (pemegang jabatan) atau pemerintah untuk mengatur, membangun, memperbaiki, dan mengendalikan objek dan subjek pembangunan. Jadi, tidak ada hubungan konseptualnya dengan kata atau istilah “penggusuran” (eviction). Bahkan di dalam peraturan itu sendiri tidak ada kata penggusuran. Itulah sebabnya, aparat pemerintah atau pun pejabat seringkali berdalih “kami hanya menertibkan, supaya pedagang ditata lebih baik”. Padahal yang mereka lakukan adalah penggusuran dan pembongkaran.

4 Feb 2010

Informalitas vs Formalitas

Oleh M. Nawir
pannambungan (awi 2008)
Ada tegangan sosial yang tinggi, secara nyata terjadi pada umumnya di kota-kota besar: informalitas versus formalitas.
Mengutip beberapa penggal kalimat dalam tulisan Wardah Hafidz (10 November 2002) bahwa informalitas merupakan ciri dasar dan bagian integral dari kehidupan rakyat miskin. Singkat kata, tidak ada perkampungan kumuh, penduduk liar, perilaku vulgar, kriminal, tindakan a-susila, pedagang liar, atau pun bisnis illegal. Semua itu adalah cara orang miskin, kelas sosial terbawah dalam mempertahankan dirinya dan membangun subkulturnya sendiri. Dengan latar belakang formal – aturan, kelas sosial, pendidikan, tradisi – Kitalah yang sebenarnya memberi cap mereka liar, kriminal, illegal, bodoh dan miskin.

Merayakan Habitat Day 2004

M. Nawir
Makassar "City Without Eviction"
Salah satu agenda pokok pembangunan global di perkotaan dewasa ini adalah privatisasi sektor publik. Privatisasi atau swastanisasi, dalam pengertian pelepasan sebagian atau seluruh tanggung jawab negara – atas rakyatnya – kepada pemodal perorangan (swasta). Tanah, air dan sumber daya alam yang selama ini dikuasai negara sesuai mandat konstitusi – mulai diserahkan hak pengelolaannya atau pun dijual ke sektor swasta. Akibatnya, negara, dalam hal ini pemerintah kota dan rakyatnya semakin kehilangan hak atas tanah, air dan sumber daya alam lainnya.
Privatisasi di kota Makassar tengah berlangsung cepat di depan mata kita. Pembangunan sentra perdagangan (trade-center) mall, hipermarket, dan kawasan pemukiman elit, menjadi “icon” metropolitan Makassar. Pemerintah kota juga merencanakan pembangunan jalan lingkar yang melintasi 16 kelurahan, dan pengembangan kawasan pelabuhan 2025 hingga ke galangan kapal. Semua itu membutuhkan tanah dan modal. Hampir tidak bisa dipercaya, semua itu dibangun di tengah krisis moneter. Darimana sumber pendanaan pembangunan itu, jika bukan dari kaum pemilik modal swasta.