7 Feb 2010

Soal Pengelolaan Sampah di Makassar

M. Nawir
(Materi Diskusi “Link Rage” LSIC Makassar 19 Agustus 2008)

Kondisi Sampah di Kota Makassar
1. Pertambahan Penduduk + Sampah
Pada tahun 1980 persentase jumlah penduduk kota di Indonesia adalah 27,29% dari jumlah penduduk seluruh Indonesia. Pada tahun 1990 persentase tersebut bertambah menjadi 30,93%. Diperkirakan pada tahun 2020 persentase jurnlah penduduk kota di Indonesia mencapai 50% dari jumlah penduduk seluruh Indonesia. Khusus untuk sampah atau limbah padat rumah tangga, peningkatan jumlah sampah yang dihasilkan di Indonesia diperkirakan akan bertambah 5 kali lipat pada tahun 2020. Rata-rata produksi sampah tersebut diperkirakan meningkat dari 800 gram per hari per kapita pada tahun 1995 menjadi 910 gram per hari per kapita pada tahun 2000 (Sumber: Draft Naskah Akademik RUU Pengelolaan Sampah, JICA 2005).
Pada abad 19 diperkirakan jumlah penduduk di kota Makassar 15.000 jiwa. Pada 1930, mencapai 84.000 jiwa, di antaranya ada sekitar 3.500 orang Eropa, 15.000 orang China, dan 65.000 pribumi. Akibat migrasi gelombang kedua, pada tahun 1961 penduduk kota Makassar sebanyak 384.000 jiwa. Lonjakan penduduk terjadi pada tahun 1980, yakni 708.465 jiwa (Dias Pradadimara, 2005). Sepuluh tahun kemudian, 1990, penduduk kota Makassar 944.465 jiwa. Dan, pada tahun 2000, penduduk kota ini sudah mencapai 1.112.688 jiwa. Lima tahun kemudian (BPS 2005) penduduknya 1.173.107 jiwa. Rata-rata pertambahan penduduk persepuluh tahun di atas seratus ribu penduduk. Jika rata-rata setiap warga menghasilkan sampah sehari 3 liter, kira-kira tumpukan sampah di Makassar hari ini melebih tinggi gunung Bawakaraeng, yakni 3.519 meter kubik. Bila ditambah dengan buangan sampah dari pusat-pusat perbelanjaan, perkantoran, hotel, tempat hiburan dan rekreasi, serta industri, angka 3,5 ton sehari itu kecil sekali.
Urbanisasi telah membentuk sekian banyak pemukiman informal dengan kepadatannya yang tinggi di atas 20.000 – 30.000 penduduk perkm², contohnya di kecamatan Makassar, Mariso, Bontoala, Mamajang, dan Tallo. Persoalan pengelolaan sampah menjadi rumit, serumit dinamika sosial penduduknya. Akar persoalannya menjadi sistemik, di antara perilku warga, aparat birokrasi, manajemen dan kebijakan pengelolaan sampah. Penumpukan sampah mulai dari selokan, kanal, di TPS sampai ke TPA. Diperlukan cara pandang baru tentang warga sebagai potensi dan sumberdaya pengelolaan sampah yang terintegrasi dengan manajemen pemerintah. Bukan sebaliknya, dimana pemerintah memandang warga sebagai objek dari kebijakan pemerintah kota.
2. Pertumbuhan Kota + Sampah
Kota Makassar sedang merangkak menjadi kota modern-metropolis di antara jargon-jargon “Water front City”, “Great Expectation”, “Save Our City”, “Makassar untuk Semua”, “Kota Dunia 2025”, dan semacamnya. Jargon-jargon itu sesungguhnya mempertegas bahwa kota Makassar adalah wilayah yang menarik siapa saja untuk datang mengadu keberuntungan. Investor dan kaum urban bertarung di dalam ruang kota yang luasnya hanya 175,77 km. Mereka yang sukses menjadi kaya dan berkuasa, sedangkan yang tidak beruntung hidup dalam kemiskinan dan kekumuhan.
Kenyataan kota yang semakin modern membawa implikasi langsung pada produksi sampah (limbah), Kota yang dibangun dibawah kendali filsafat perdagangan bebas menuntut adanya keterbukaan investasi dan persaingan ekonomi. Tolak ukur pertumbuhan kota adalah volume infrastruktur, sarana transportasi, pusat-pusat jasa dan perkantoran, hotel, pusat-pusat perniagaan, termpat hiburan dan pelesir. Semua ini menuntut pembebasan lahan, perebutan ruang ekonomi, dan akhirnya persoalan produksi sampah an-organik.
Pada dekade tahun 2000-an, ada 7 pasar modern dan 20 pasar tradisional di kota Makassar; ada 1.795 unit usaha logam, mesin, kimia skala besar dan kecil; 508 unit industri aneka besar dan kecil (Poylema, 2005). Belum ditahu persis volume produksi sampah unit-unit usaha tersebut. Menurut pengamatan aktifis lingkungan hidup, rata-rata sampah sayuran dan buah-buahan yang dibuang sebuah mall sedikitnya 7 ton seminggu. Pengamatan ini memang perlu penelitian lanjutan, termasuk mengukur volume buangan limbah an-organik (B-3) dari industri dan rumah sakit di kota Makassar. Hal ini penting sekali untuk memproyeksi dampak serius terhadap lingkungan hidup kota. Termasuk, kewajiban unit-unit industri itu terhadap perbaikan mutu lingkungan hidup dalam jangka panjang. Selama ini, unit-unit industri itu lebih beorientasi pada keuntungan sebesar-sebesarnya. Begitu pun pemerintah, mendahulukan pendapatan daerah dari para pelaku usaha, ketimbang penyelamatan lingkungan hidup kota.

3. Perubahan Gaya Hidup + Sampah
Globalisasi dan kapitalisasi kota adalah idiologi besar yang dipraktekkan umumnya kelompok menengah dan elit sosial-ekonomi kota. Hedonisme, konsumtifisme, pragmatisme adalah turunan dan pandangan hidup elit kota yang justru berpengaruh kuat sekali membentuk ikon kota saat ini. Pasar-pasar modern, produk makanan kemasan dan siap saji, hotel, tempat hiburan, dan kebebasan beriklan di mana saja yang dikuasai elit pemodal besar, telah membentuk gaya hidup orang kota. Orientasi nilai yang membentuk gaya hidup orang kota adalah “cepat jadi, cepat saji, cepat habis”. Muncul persoalan baru ketika produk kemasan plastik, kaleng, botol mendominasi jenis sampah perkotaan.
Bahan kandungan plastik dipakai pada hampir semua produk konsumtif orang kota, dari produk elektronik, kendaraan bermotor, peralatan rumah tangga, mainan anak-anak, peralatan belajar, hingga kemasan makanan dan minuman. Produk makanan berkemasan plastik itu telah memarjinalkan entitas produsen dan konsumen makanan berbahan alami seperti kue apam, ”roko-roko unti”, ”putucangkiri”, ”baroncong”, ”songkolo”, ”pisang goreng”, dan semacamnya. Padahal, produk penganan tersebut sangat akrab lingkungan, baik bahan dasarnya, cara produksi maupun kemasannya. Para pengguna produk makanan tersebut meyakini adanya relasi kultural desa-kota, dan relasi ekonomis suply-demand tanpa perantara pabrik. Dengan mengkonsumsi penganan kampung setiap hari, selain harganya terjangkau oleh warga pinggiran kota, juga membantu petani. Bisa dibayangkan jika dalam sehari 100 orang di Makassar berhenti mengkonsumsi penganan kampung itu, dalam jangka panjang akan terjadi goncangan ekonomi petani karena beras, ketan, kelapa, pisang, gula merah tidak terserap. Budaya konsumsi yang serba instan dan boros energi saat ini adalah ciri utama kemajuan ”orang kota”. Siklus hidup konsumtifisme itu berujung pada buangan sampah. Celakanya, jenis sampah yang dibuang konsumen kota itu umumnya adalah sampah an-organik, contohnya plastik. Di Indonesia, khususnya di Makassar sampah paling bermasalah adalah plastik. Kebanyakan sampah berbahan plastik menumpuk, menyebar, memampetkan selokan, bahkan mengotori sungai dan pesisir kota. Selain ketidaktersediaan teknologi pengolahan sampah an-organik, belum ada kesungguhan politik dari pemerintah dan pelaku usaha untuk mengembangkan industri pengolahan sampah an-organik menjadi produk baru.
Sesungghnya produsen sekaligus konsumen”kampungan” itu jauh lebih besar kontribusinya pada keseimbangan lingkungan hidup kota karena membatasi jumlah sampah an-organik. Seharusnya, pemerintah mempromosikan pola produksi dan konsumsi ”kampungan” itu dengan kebijakan pangan dan ekonomi kerakyatan yang tepat.

Kebijakan Pengelolaan Sampah
1. Retribusi Pelayanan Persampahan/Kebersihan
Prinsip retribusi adalah kesetaraan antara hak dan kewajiban. Pemerintah menyediakan pelayanan dan karena itu, penerima layanan berkewajiban membayar jasa pemerintah. Hanya saja, retribusi bersifat “take and give” (imbal-jasa). Besar-kecilnya imbal jasa yang diterima pemerintah sangat ditentukan oleh tingkat kepuasan pengguna jasa. Sejauh ini pemerintah kota Makassar mengumpulkan retribusi dari pelayanan pengangkutan sampah, pelayanan rumah tangga, tempat hiburan, rumah praktek dokter, apotek, ruko, salon kecantikan, tukang cukur, penjahit, dan bengkel, warung/kedai. Pemasukan Pemkot dari retribusi tersebut tahun 2008 sebesar Rp 1.859.526.000 dari total PAD Rp 2.502.039.000. Sementara total anggaran belanja untuk dinas pengelolaan lingkungan hidup dan keindahan tahun ini sebesar Rp 32.211.681.000. Defisit anggaran Rp 29.709.642.000 ditutupi oleh DAU pemerintah pusat.
Anggaran program pengembangan kinerja pengelolaan persampahan sebesar Rp 15.135.817.000 dianggarkan dari DAU. Pos anggaran ini bisa dipakai untuk mengukur kinerja pelayanan dinas dalam urusan pengelolaan sampah dalam arti luas, misalnya keseimbangan antara belanja aparat, peralatan dan pemeliharaan dibandingkan dengan belanja program/pelayanan yang langsung dirasakan maupun dimanfaatkan (dikelola) warga kota.
Total anggaran program sebesar Rp 15,1 milyar itu dibelanjakan untuk 4 kegiatan: (1) penyediaan prasarana dan sarana pengelolaan persampahan sebesar Rp 4.3 milyar; (2) peningkatan operasi dan pemeliharaan Rp 10,3 milyar; (3) pengembangan teknologi pengolahan sampah Rp 0,0; (4) belanja modal pengadaan konstruksi gedung TPA Rp 460 juta. Jika ditelusuri lebih jauh, hanya 3 sub kegiatan yang langsung berdampak pada pelayanan kepada warga kota, yakni pembersihan saluran/parit; penyapuan dan pengumpulan sampah; pengangkutan sampah dengan total anggaran Rp 7,1 milyar. Di dalam anggaran ini sebenarnya ada komponen pembiayaan (upah/gaji) petugas pembersihan, penyapuan dan pengangkutan sampah. Sementara sub kegiatan pengelolaan sampah yang berbasis warga tidak/belum dianggarkan. Artinya, dari sisi pembelanjaannya, anggaran program Rp 15,1 milyar itu belum memenuhi tingkat kepuasan warga kota. Apalagi jika diuji di tingkat lapangan, dimana banyak sampah yang menumpuk di pemukiman, di pasar, terminal dan di jalanan karena lambannya petugas serta minimnya sarana. Dengan begitu, kinerja pelayanan dinas termasuk rendah atau aparaturnya boros anggaran.

2. Orientasi Adipura
Kinerja pelayanan dinas kebersihan dan keindahan kota adalah satu faktor penentu sukses tidaknya kota Makassar memperoleh piala Adipura. Setidaknya, kritik ini mengemuka beberapa bulan lalu.
Masyarakat lepas tangan dari persoalan ini karena usaha meraih adipura lebih kuat keinginan dinas/pemkot daripada warga kota. Di kampung dan perumahan penduduk, orientasi adipura ini tidak bergema. Warga kota asyik dengan persoalan sampahnya sendiri. Drainase mampat, kanal semakin dangkal dan airnya kotor, tanah kosong jadi tempat sampah, bak penampungan sampah luber dan busuk. Tahun ini pemerintah kota menganggarkan sedikitnya Rp 327 juta untuk membiayai kegiatan berorientasi adipura. Sekitar Rp 287 juta dihabiskan untuk koordinasi, pemantauan, pengendalian, sosialisasi, dan monitoring penilaian adipura/kota sehat. Sebesar Rp 39.325.000 digunakan untuk lomba-lomba kebersihan. Alokasi anggaran seperti ini menunjukkan bahwa program adipura adalah urusan dinas/pemkot kepada pemerintah pusat, yang terpisah dari warganya.
Sudah saatnya orientasi Adipura itu digeser menjadi strategi pemecahan masalah sampah dan pencemaran lingkungan hidup. Prioritas pencapaiannya bukan pada penghargaan adipura, tetapi tingkat partisipasi dan kesadaran warga (komunitas) dalam mengatasi dan mengelola sampah di wilayah masing-masing. Termasuk, bagaimana mendorong aparatur pemerintah kota sungguh-sungguh menata lingkungan dan mengelola sampah di kantor-kantornya.

Jaminan Peran-serta Warga
1. Kebijakan yang Menjamin Partisipasi Warga
Program pengelolaan sampah dan lingkungan hidup di kota Makassar masih top-down. Hal ini menunjukkan orientasi pemerintah kota, dalam hal kepentingan aparatur dinas kebersihan dan lingkungan hidup lebih pada proyeknya (= anggarannya). Misalnya, pada kegiatan peningkatan peran serta masyarakat dalam pengendalian lingkungan hidup dianggarkan sebesar Rp 190 juta. Sumbernya dari DAK dan DAU. Sub kegiatannya meliputi pencegahan pencemaran lingkungan. Kesannya adalah nilai partisipasi warga kota sebesar Rp 190 juta. Padahal total anggaran programnya sebesar Rp 709.470.000.
2. Peran-serta ala Pemulung Warga kota yang paling tinggi partisipasinya dalam mengatasi persoalan pengelolaan sampah di Makassar adalah para pemulung. Poylema (2005) membagi 4 kategori pemulung, yakni:
(a) pemulung jalanan yang sanggup mengumpulkan barang bekas rata 13,6 ton sebulan;
(b) pemulung tetap di TPA mengumpulkan barang bekas rata-rata 14,8 ton sebulan; (c) pemulung musiman mengumpulkan barang bekas rata-rata 8 ton sebulan;
(d) pemulung tidak kentara 1,7 ton sebulan.
Saat ini diperkirakan lebih dari 1.000 pemulung di kota Makassar. Mereka ini sejak pagi hingga malam hari memungut, mengumpul, menyortir, dan menjadikan sampah sebagai sumber penghasilan (pokok). Sepantasnya jika strategi pelibatan warga dalam pengelolaan sampah belajar dari pengalaman para pemulung.

Kendala Pengelolaan Sampah
1. Partisipasi Warga
a) Adanya persepsi/anggapan bahwa pengelolaan sampah merupakan tanggungjawab pemerintah kota, sehingga mengurangi tanggungjawab diri untuk memelihara kebersihan.
b) Peranserta masyarakat kurang terarah dan hanya bersifat insidentil, misalnya dalam rangka peringatan atau perayaan tertentu, kedatangan tamu agung, atau instruksi atasan.
c) Partisipasi warga dalam pengelolaan sampah tidak ditunjang oleh program dan anggaran yang memadai dari dinas kebersihan dan lingkungan hidup. Alokasi anggaran yang ada menceminkan rendahnya komitmen pemkot dalam mendorong keterlibatan warga dalam pemecahan masalah sampah.
d) Belum ada unit khusus dari pengelola kebersihan kota yang bertanggung-jawab dalam penyusunan dan pelaksanaan program penyuluhan, motivasi peranserta warga, dan mengembangkan model alternatif pengolahan sampah yang bermanfaat secara sosial, ekonomis dan ramah lingkungan.

2. Kinerja Pelayanan Pemerintah
a) Manajemen Pengangkutan
Keterbatasan sarana penampungan sampah dalam pemukiman membuat warga terbiasa membuang sampahnya di sembarang tempat atau di tanah kosong milik perorangan. Ironisnya lagi, tidak banyak warga yang menyediakan tanahnya untuk TPS.
Petugas armada pengangkut sampah lambat mengangkat sampah yang menumpuk di tempat pembuangan sampah sementara (bak, kontainer maupun tanah kosong). Akibatnya sampah meluber ke jalan dan menyumbat selokan.
b) Teknologi Pengolah Sampah Sangat terbatas penggunaan teknologi pengolah sampah untuk tujuan sosial maupun komersial. Padahal sekitar 70% sampah di Makassar adalah sampah organik, yang potensial diolah menjadi pupuk kompos. Sedangkan sampah an-organik membutuhkan teknologi pendaur-ulang untuk mengurangi volumenya. Para pemulung sebenarnya memerlukan mesin pencacah plastik untuk meningkatkan harga jualnya.
c) Kinerja Pelayanan
Masih rendahnya tingkat pelayanan terhadap masyarakat, baik luas wilayah pelayanan, jumlah pelanggan, maupun jumlah sampah yang dapat ditangani.
Anggaran pengelolaan sampah yang rendah serta tidak transparannya konsep dan peruntukan retribusi sampah
Masih rendahnya upaya pelibatan masyarakat dalam pengelolaan sampah, baik itu dalam bentuk kontrak kerja sama, dukungan pembiayaan, teknis dan manajemen, maupun bentuk kerja sama lainnya.

3. Investasi dan Teknologi
a) Langkanya jumlah industri yang menerapkan konsep teknologi bersih dan konsep nirlimbah b) Terbatasnya jumlah industri yang memanfaatkan sistem dan teknologi daur ulang c) Rendahnya kepedulian Pelaku Usaha dalam memproduksi produk dan kemasan ramah lingkungan

Perspektif Berbasis Komunitas
  1. Kembali ke pola konsumsi yang akrab lingkungan (organis) dengan mengurangi penggunaan produk maupun makanan/minuman kemasan. 
  2. Melakukan pemilahan sampah di tingkat rumah tangga sampai di tingkat komunal sambil membuat percontohan sistim pengolahan sampah alternatif seperti kompos takakura dan rumah kompos di suatu kawasan pemukiman 
  3. Mendorong tumbuhnya keswakelolaan warga kota dalam mengembangkan sistim pengangkutan sampah dari rumah tangga ke TPS hingga ke TPA dengan tunjangan program pemerintah dan pelaku usaha. 
  4. Menumbuhkan sikap penghargaan kepada para pemulung dan pedagang barang bekas atas peran-sertanya dalam mengurangi volume sampah dan membuka lapangan kerja.
  5. Menggalakkan promosi penggunaan produk-produk yang ramah lingkungan kerjasama organisasi sosial, pelaku usaha dan pemerintah.
  6. Mendesak pemerintah kota untuk memprioritaskan program kebersihan dan lingkungan hidup kota sambil melakukan efisiensi belanja aparatur dan belanja barang. 
  7. Mendesak pemerintah memberlakukan pajak lingkungan dan pajak barang mewah sebagai salah satu sumber pembiayaan program kebersihan dan lingkungan hidup berbasis komunitas.

4 komentar:

Anonim mengatakan...

menarik

Unknown mengatakan...

Kami RAJA PLASTIK INDONESIA menjual berbagai produk plastik termasuk tempat sampah plastik yang dijual ke seluruh kota di Indonesia. Kantor kami berada di Jakarta, Telp : 021-87787043 / 081953841039, atau klik website kami di : www.rajaplastikindonesia.com atau www.tempatsampahplastik.net

Unknown mengatakan...

Good

AWI MN mengatakan...

informasi anda sangat berharga bagi kami dan tentunya pegiat recycle di indonesia..trims sdg baca blog sy

Posting Komentar