30 Sep 2010

Perjuangan Organisasi Rakyat dalam Habitus Kampung dan Kota[1]

Pengantar
Tulisan ini bersifat narasi deskriptif mengenai dinamika organisasi rakyat miskin yang memperjuangkan kepentingannya dalam konteks transisi demokrasi pasca reformasi 1998. Penulis berasumsi bahwa reformasi di ranah politik telah merevitalisasi kebebasan berorganisasi dan berpendapat di ranah sosial. Hanya saja, tidak selalu persis sama apa yang dipertaruhkan kaum reformis di ranah politik dengan apa yang diperjuangkan rakyat miskin di ranah sosial. Tulisan ini ingin menjelaskan karakteristik perjuangan organisasi rakyat miskin dalam habitus kampung dan kota, yang membedakannya dengan organisasi formal masyarakat sipil pada umumnya.
Pertama sekali penting dikemukakan beberapa kata kunci di dalam tulisan ini, yaitu Organisasi Rakyat, Habitus, Kampung dan Kota.
Pertama, Organisasi Rakyat (People/Popular Organization), disingkat OR, merupakan kelembagaan yang merepresentasi identitas dan kepentingan orang-orang kampung dan kelompok marjinal. Istilah OR dipakai untuk menjelaskan aktivitas pengorganisasian rakyat (community organizing) di tingkat kampung dan kota. OR dibedakan dengan organisasi masyarakat sipil lainnya seperti LSM atau pun Ormas. OR menjabarkan perjuangan atau gerakannya ke dalam berbagai aktivitas pengorganisasian di level kelompok, kampung dan kota. Contoh yang relevan dengan hal tersebut adalah struktur pengorganisasian anggota Komite Perjuangan Rakyat Miskin, disingkat KPRM Makassar. Organisasi ini membagi strukturnya mulai dari tingkatan anggota (inidividu) dan rumah tangga ke dalam kelompok; kelompok-kelompok dalam satu kampung, dan; organisasi jaringan di tingkat kota (KPRM),yakni antarkelompok/kampung (Forum Warga, sektor informal). Lebih besar lagi, ada jaringan antar-kota, yakni Jaringan Rakyat Miskin Kota (JRMK) Indonesia.
Kedua, konsep habitus dipakai untuk menjelaskan entitas orang-orang miskin dalam habitat “kampung” dan “kota”. Terma habitus merujuk pada konsep Pierre Bourdieu, yaitu “…. suatu sistem disposisi yang berlangsung lama dan berubah-ubah (durable, transposable disposition) yang berfungsi sebagai basis generatif bagi praktik-praktik yang terstruktur dan terpadu secara objektif” (Richard Harker dkk, ed, 2009:13)[3].
Habitus dikemukakan Bourdieu sebagai prinsip dan skema yang menghasilkan serta mengatur praktik dan representasi untuk mengatasi dikotomi antara subjektivisme dan objektivisme (Indi Ainullah, 2006:43)[4].
Bentuk manifes dari habitus adalah arena, yaitu ranah sosial bagi orang-orang kampung dalam mengelola sumberdaya, mempertahankan informalitas sebagai cara hidup[5], sambil membagun struktur sekaligus memperjuangkan kepentingan kolektif.
Ketiga, pengertian kampung (dalam kota) merujuk pada suatu habitat hidup yang khas, semacam “ruang sosial terbatas” yang membentuk pengalaman subjektif orang-orang dan kelembagaan di dalamnya. Pada umumnya mereka adalah “kaum urban” alias orang-orang pendatang. Mereka mempersepsi dirinya sebagai orang-orang miskin atau orang-orang yang hidup dalam kondisi kemiskinan. Mereka mempersepsi kota sebagai “ruang sosial tak terbatas”, yang memuat semua bentuk dan praktek kekuatan struktural – aparatur birokrasi, elit politik, pengusaha, termasuk kebijakan pemerintah, paradigma pembangunan, ideologi dan gaya hidup dominan.
Pembahasan
Penulis membagi pembahasan tentang perjuangan OR dalam tiga topik: (1) konteks reformasi dan kebebasan berorganisasi; (2) strategi pengorganisasian dan advokasi, serta; (3) kontribusi OR dalam reformasi kebijakan politik.
1. Reformasi dan Kebebasan Berorganisasi
Reformasi bukanlah hasil akhir dari perubahan sosial yang dicita-citakan rakyat. Reformasi barulah semacam arena bagi para aktor prodemokrasi, termasuk organisasi komunitas, untuk ikut menata kembali dinamika sosial dan institusi demokrasi yang sekian lama mengalami stagnasi di bawah rezim despotik Orde Baru. Dengan kata lain, reformasi barulah menghasilkan konsensus politik baru, yang merevitalisasi setiap warga negara untuk bebas berserikat dan mengeluarkan pendapat. Aktor-aktor prodemokrasi sebagai agen perubahan sosial menjadikan konsensus politik itu sebagai peluang untuk mempengaruhi, mengatur posisi, bahkan memposisikan diri di dalam struktur politik. Sumber daya sosial dan politik dikerahkan untuk memastikan bahwa aktor-aktor prodemokrasi, termasuk LSM adalah kekuatan sosial ketiga setelah negara dan pengusaha, yang menopang dinamika politik.
Selain kebebasan berserikat dan mengeluarkan pendapat, konsensus politik reformasi telah membuka ruang bebas bagi pembentukan berbagai institusi demokrasi yang diandaikan mampu mereprentasi kepentingan publik. Sistim pemilihan langsung, struktur politik multi partai, pengembangan lembaga-lembaga komisioner, dan kebijakan otonomi daerah dianggap fungsional dalam transisi reformasi. Di sisi lain, berbagai organisasi masyarakat sipil maupun organisasi sosial kemasyarakatan tumbuh secara mencolok. Data BPS yang dikutip Bonnie Setiawan menyebut sekitar 70.000 LSM pada tahun 2000, yang empat tahun sebelumnya (1996) hanya sekitar 10.000 LSM[6]. Dalam kurun waktu lima tahun berikutnya (2000 – 2005), bertambah lebih dari seribu organisasi sosial kemasyarakatan yang terdaftar di Departemen Dalam Negeri, yakni 118 organisasi profesi, 69 organisasi keagamaan, dan 873 LSM[7] (Kompas, 10 Mei 2006).
Meminjam cara pandang Bambang Setiawan[8], terhadap revitalisasi kebebasan berorganisasi di kalangan masyarakat sipil, yakni pertama; sebagai pertanda tuntutan demokratisasi politik yang membaik pasca kejatuhan rezim otoriter. Kedua, bisa juga menjadi pertanda lemahnya lembaga otoritas negara yang memicu munculnya masyarakat pretorian¹. Lebih jauh, Bambang merujuk pandangan Amos Perlmutter, yang mendefinisikan pretorian dalam pengertian kondisi kepemimpinan suatu negara yang lemah yang memungkinkan masuknya kembali militer memegang tampuk kekuasaan.
Bagi penulis, cara pandang yang kedua adalah konsekuensi dari semakin rendahnya kepercayaan publik kepada agen-agen reformasi dan perangkat organisasi penyelenggara negara. Penekanan pada ancaman akan kembalinya supremasi militer atas pemerintahan sipil – dewasa ini – semakin mendekati kenyataan. Sebab-sebab utamanya seperti yang dikemukakan oleh umumnya pengamat politik bahwa demokrasi di Indonesia mengalami kemunduran terutama dari aspek substansi. Semua kelembagaan politik itu dipandang tidak cukup merepresentasi, apalagi menjawab tuntutan ideal publik: demokrasi langsung lima tahunan digerakkan oleh para kapitalis; partai-partai politik menjadi kendaraan kelompok status quo untuk melanggengkan kekuasaannya; reformasi birokrasi tidak mengubah mentalitas korup para pejabat, dan; otonomi daerah menjadi arena bagi politisasi lokal dan kaum feodal mempertahankan otoritasnya. Sejarah sepuluh tahun transisi reformasi politik mencatat ribuan korban kerusuhan SARA, dan perampasan hak-hak atas sumberdaya alam. Kaum reformis dinilai gagal menjalankan amanah Konstitusi, yakni melindungi dan mensejahterahkan rakyat.
Berbagai forum yang merefleksi peranan agen-agen reformasi politik di Indonesia menyimpulkan bahwa telah terjadi krisis representasi ekonomi dan sosial-politik rakyat. Olle Tornquist (September, 2009:4)[9] menegaskan terjadinya eksklusivitas para agen reformasi dari pengorganisaian rakyat dan tuntutan hak-hak dasar mereka (basic need). Monopolisisasi representasi oleh elit politik dan agen-agen reformasi. Pelibatan rakyat secara langsung hanya dilakukan melalui kontak-kontak istimewa dan pemilihan figur atau kelompok yang bercorak top-down. Di mana pun di Indonesia akan sulit menemukan representasi yang substantif menyangkut ide-ide dan kepentingan yang mendesak dari kelas menengah liberal, petani, buruh, kaum miskin kota, perempuan dan aktivis hak asasi manusia (hal 13)[10].
Selama dua kali pemilu, hasil refleksi menunjukkan bahwa para agen perubahan (agents of change), yang pada momentum1998 adalah kekuatan dominan, bahkan menjadi kekuatan simbolik yang mampu menggerakkan hampir semua lapisan sosial untuk mengubah struktur dominan, justru menjadi kelompok yang didominasi oleh kekuatan simbolik lama. Posisi agen-agen reformis telah terdominasi di dalam struktur kekuasaan yang “berwajah baru, bergaya lama”.
Bagi rakyat miskin, transisi politik reformasi dipahami sebagai keadaan yang tidak menentu. Kenaikan harga BBM, pupuk, sembako, serta kenaikan tarif dasar air bersih, listrik, dan berbagai kasus PHK adalah kenyataan pahit yang bertentangan dengan janji-janji reformasi. Praktik korupsi di sektor pelayanan publik, serta tingginya angka kerusuhan massa dan kriminalitas semakin membuat masyarakat akar rumput kehilangan kepercayaan kepada aktor-aktor politik. Masyarakat akar rumput mengalami frustasi sosial, semacam krisis utopia, dan sebaliknya menganggap masa pemerintahan Orba – Soeharto jauh lebih baik.
Krisis utopia (crisis of utopia), istilah yang digunakan Max Neef (2006:2-3)[11] untuk menggambarkan keputusasaan masyarakat akar rumput di Amerika Latin yang meluas karena berbagai langkah dan cara yang diterapkan pemerintah selalu gagal menghasilkan perubahan mendasar. Pada kondisi yang paling buruk, seseorang bahkan telah kehilangan kemampuan dan keberanian untuk bermimpi, mencitakan satu bentuk dan model masyarakat alternatif.
Krisis-krisis politik – tidak saja dirasakan sebagai ancaman terhadap kesejahteraan rakyat –juga direspon oleh rakyat dengan berbagai aksi dan organisasi. Sejauh pengalaman penulis, orang-orang miskin merasa lebih terepresentasi kepentingannya di dalam organisasi rakyat daripada kebanyakan organisasi politik, Ormas, dan LSM. Kondisi objektif yang menciptakan hubungan itu karena organisasi rakyat diurus oleh sesama orang-orang miskin, atau setidaknya orang-orang sekampung. Selain itu, sifat keswadayaan lebih tinggi karena mereka tidak bergantung pada proyek maupun fasilitas organisasi seperti yang umumnya terjadi pada organisasi formal. Meskipun “timbul-tenggelam”, entitas permasalahan yang tidak ada habisnya akan terus memicu tumbuhnya aksi-aksi rakyat miskin, yang juga tidak akan ada habisnya (point no return): suatu keadaan yang sangat sulit ditumbuhkan pada masa pemerintahan otoritarian Orba-Soeharto.
1. Karakteristik Organisasi Rakyat
Organisasi rakyat berbasis kampung dan orang miskin bergerak lebih cepat, serta efektif menggugat mandat negara dalam konstitusi. Jika para agen reformis mengadvokasi tata kelembagaan politik, birokrasi dan penegakan hukum, organisasi rakyat justru menuntut kesejahteraan ekonomi, sosial dan budaya. Mereka membuat ranah sosial sendiri sambil menguatkan identitas, kapasitas dan solidaritas perjuangan.
Organisasi Rakyat dapat dibedakan secara tegas dengan organisasi masyarakat sipil lainnya seperti LSM, organisasi profesi maupun ormas “onderbouw” partai politik. Konsep organisasi rakyat dalam tulisan ini mendekati definisi berikut ini:
Organisasi rakyat dapat didefinisikan sebagai organisasi yang demokratis, yang mewakili kepentingan dan bertanggung jawab kepada anggotanya. Mereka dibentuk oleh orang-orang yang mengenal satu sama lain, atau yang berbagi pengalaman bersama, dan mereka melanjutkan keberadaannya tanpa tergantung pada insiatif atau pun pendanaan dari luar. Di negara-negara berkembang, rakyat terorganisasi dalam kelompok-kelompok kecil, berbasis lokal dan longgar. Representasi mereka tidak terbatas di tingkatan akar rumput; mereka juga menyebar ke atas dan ke luar dari basis lokal ke tingkat regional dan nasional, dan mewakili jaringan masyarakat, kelompok profesional atau pun serikat pekerja (People in the CO, Chapter 5:84)[12]
Pengertian di atas berbeda dengan konsepsi organisasi rakyat atau kerakyatan maupun organisasi massa yang dikenal dalam sejarah gerakan sosial-politik. Pada masa revolusi kemerdekaan organisasi rakyat identik dengan “kaki-tangan” dari partai politik, kurang lebih sama dengan organisasi massa (ormas) pada masa Orde Baru, yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Demikian halnya dengan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), yang dibedakan dengan organisasi rakyat, terutama pada bentuk formal, serta fungsinya dalam konteks gerakan sosial, yakni LSM sebagai supporting system.
Pengertian pokok organisasi rakyat dalam tulisan ini adalah organisasi komunitas yang berbasis kelompok-kelompok informal, dengan struktur yang fleksibel. Ciri-ciri utama Organisasi Rakyat – disingkat OR dirumuskan oleh para aktifis opengorganisaian komunitas di antaranya oleh Roem Topatimasang[13]: (1) OR didirikan oleh warga setempat, bukan oleh orang luar; (2) OR berbasis keanggotaan perseorangan (membership based), bukan keanggotaan organisasi; (3) OR tidak terikat oleh aturan formal yang dikenakan pada LSM maupun Ormas pada umumnya; (4) struktur tertinggi dan mekanisme pertanggung-gugatan dalam OR ditentukan oleh anggota; (5) sumber pokok pembiayaan OR adalah sumbangan atau iuran anggota; (6) program utama OR bertolak dari kebutuhan nyata, praktis, dan karena itu berorientasi pada pelayanan.
Secara ideal, jarang sekali OR yang memenuhi semua ciri-ciri di atas dan bertahan atau pun independen dalam waktu lama. Di Makassar, KPRM maupun organisasi kampung dan sektor informal bisa bertahan karena beberapa prasyarat dasar:
Pertama, adanya kader-kader penggerak atau organizer kampung, dan aktifis pendamping yang berintegrasi ke dalam OR. Kader dan organizer ini yang bekerja efektif memediasi kepentingan anggota yang berbeda-beda.
Kedua, adanya masalah aktual yang terus-menerus direspon di tingkat kelompok sampai di tingkat kota. Misalnya, dalam lima tahun terakhir, kader-kader KPRM telah mengadvokasi sedikitnya 5000 lembar akte kelahiran, KTP/KK, serta kartu jaminan kesehatan yang dibutuhkan keluarga miskin. Demikian halnya pemecahan masalah insidentil warga miskin di pusat-pusat layanan dasar seperti sekolah, puskesmas/rumah sakit, kepolisian.
Ketiga, adanya tekanan yang sama dialami oleh orang-orang kampung, misalnya sengketa tanah. Forum-forum warga di Bontoduri, Kampung Pisang, Bulogading, Kassi-kassi, dan lain-lain tetap eksis sebagai OR di tingkat kampung karena warga yang bergabung di dalamnya dalam posisi tergugat oleh musuh bersama. Tingkat swadaya relatif tinggi, mampu membiayai pengacara dan aksi-aksi massa;
Keempat, adanya kegiatan ekonomi yang sama di suatu tempat seperti pasar. Asosiasi PKL Makassar Mall masih eksis karena anggotanya relatif tidak bermasalah dari sisi pendapatan. Hal yang berbeda dialami pedagang yang berjualan di trotoar dan pinggiran jalan, yang bubar ketika organisasi tidak sanggup mengadvokasi sampai ke tingkat kota. Suatu pengecualian dialami PKL pelabuhan, yang digusur pada tahun 2004, tetapi kemudian kembali berjualan, karena adanya konsensus di antara organisasi pendamping dengan Pelindo dan Pemerintah Kota yang berkepentingan mendapat PAD dari kegiatan ekonomi di dalam pelabuhan;
Keenam, jaringan organisasi pendukung yang meluas dan bertingkat-tingkat terbukti efektif bagi OR dalam mempengaruhi struktur kekuatan politik. KPRM dan beberapa organisasi rakyat yang memiliki jaringan nasional seperti Front Nasional Perjuangan Buruh Indonesia, termasuk dalam pengertian ini.
Tidak diketahui secara pasti jumlah organisasi rakyat yang pernah maupun yang masih ada sebelum maupun sesudah reformasi. Pada umumnya organisasi “lokalan” itu muncul sebagai respon spontan terhadap krisis. Organisasi-organisasi itu umumnya berbasis kampung seperti forum-forum warga, yang merepresentasi kepentingan semua warga yang terlibat dalam konflik tanah dan tempat tinggal seperti GERAK – Gerakan Rakyat Karuwisi (1998), Forwa Bontoduri (2006), Persatuan Nelayan Pencari Kerang Katallassang (2004), Forwa Warga Kampung Pisang (2006), Forwa Bulogading (2007), Perkasi (Persatuan Warga Kassi-kassi, 2006)), FMPTN (Forum Masyarakat Penggarap Tanah Negara) Panambungan-Lette (2004). Organisasi yang berbasis pekerja atau buruh seperti FOKJASS (Forum Komunikasi Pekerja Sulawesi Selatan, 2000)); dan organisasi sektoral seperti Asosiasi PKL Pelabuhan (2002), ASPEK – 5 Makassar Mall (2003), dan Persatuan Pedagang Kecil Daya (2005). Organisasi berbasis pertanian kota, Jaringan Kerja Petani Organik (1999). Selain itu, ada banyak organisasi berlabel “KSM” (Kelompok Swadaya Masyarakat), yang lebih berorientasi pada pengembangan ekonomi, mengikuti “boom” proyek micro-finance.
Sebagian dari organisasi tersebut sudah bubar atau pun vakum. Selain disebabkan lemahnya kapasitas berorganisasi, ada faktor penyebab lain; (1) konflik redistribusi sumberdaya di tubuh organisasi. Ketika organisasi itu mulai memperluas pengaruhnya, dan mengelola program (dana), pada saat itu pengurus dan anggota semakin peka dan kritis terhadap praktik manajemen kepemimpinan dan aksesibilitas; (2) konflik representasi atau keterwakilan anggota dalam organisasi, terjadi ketika organisasi yang mulai berpengaruh ke struktur politik didominasi oleh individu pengurus. Hal ini berkaitan dengan watak kepemimpinan organisasi yang masih patron-klien. Tipologi konflik seperti ini berkembang menjadi; (3) konflik pertanggungjawaban (accountability). Kebanyakan KSM bubar setelah “dana pinjaman” gagal dipertanggungjawabkan anggota kepada pengurus, dan pengurus kepada LSM atau Koperasi.
Ada juga organisasi yang bubar atau vakum karena gagal mempertahankan eksistensinya di dalam kampung. Misalnya, penggusuran atau ganti rugi mengakibatkan perpisahan dan perpecahan, seperti yang dialami GERAK Karuwisi yang berjuang sejak tahun 1996, dan kalah di pengadilan tahun 1998, tetapi sempat bertahan sampai akhirnya digusur paksa dengan ganti rugi pada tahun 2004. Kasus yang sama penggusuran PKL dan asongan di terminal penumpang Pelabuhan Laut Soekarno Hatta, Juli 2004. Dukungan aksi dan negosiasi dari berbagai organisasi mahasiswa, LSM dan Ormas, tidak mampu mencegah terjadinya penggusuran. Meskipun akhirnya, para pedagang tetap berjualan di dalam areal pelabuhan, organisasinya vakum lantaran tidak ada lagi yang mampu mengurus asosiasi, sejak kematian ketuanya. Lain halnya dengan FOKJASS, kegagalan mengelola dana bantuan menyebabkan perpecahan pengurus dan akhirnya bubar. Sedangkan JKPO, tidak jelas keberadaannya hingga kini karena organisasi pendukungnya juga mengalami masa kemunduran.
Intervensi gagasan maupun program “pihak luar”, baik aktifis LSM, Ormas maupun pemerintah, seringkali menjadi sumber perpecahan. Sebaliknya, perpecahan di dalam OR, biasanya melibatkan pihak luar untuk memberikan kompetensi OR dalam pengelolaan konflik. Sejauh ini, keterlibatan LSM maupun Ormas dalam perjuangan OR bertujuan untuk pengembangan kapasitas, informasi, dan advokasi merespon isu-isu nasional.
2. Strategi Pengorganisasian
Organisasi rakyat miskin kota di Makassar mengembangkan strategi politik untuk mempertahankan habitat kampung dari proyek penggusuran. Mereka memetakan hak-hak dasar, dan mengorganisir sumberdaya sosial untuk mempengaruhi prores-proses politik tingkat kota. Mereka memiliki kontrak politik, dengan fokus pada perlindungan hak atas tanah/tempat tinggal.
Strategi perjuangan KPRM berangkat dari pengorganisasian kegiatan orang-orang kampung ke advokasi kebijakan politik penataan ruang kota. Proses ini berlangsung sekitar lima tahun, sejak aksi pertama awal Januari 2003 sampai Pilkada kota, Oktober 2008. Alur pengorganisasian ke advokasi dan jaringan bergerak secara simultan. Hal ini sangat bergantung pada kondisi dan permasalahan aktual orang-orang miskin. Sebagai ilustrasi adalah kegiatan menabung sebagai salah satu media pengorganisasian yang sangat diandalkan KPRM sejakk awal pendiriannya. Media berkegiatan ini dipakai pada hampir semua kelompok dan kampung yang bergabung dalam KPRM. Dari masalah anggota dalam kelompok, ditindaklanjuti menjadi kegiatan advokasi.
2.1 Gerakan Menabung
Menabung Harian, yakni kegiatan yang menjadi basis pengorganisasian kelompok di dalam satu kampung. Anggota kelompok terdiri dari ibu-ibu rumah tangga, dan anak-anak. Sangat terbatas penabung dari bapak-bapak atau remaja putra. Kecuali, kelompok tabungan yang dibentuk di pangkalan becak.
Kegiatan menabung adalah salah satu cara menanamkan nilai-nilai; (a) keseimbangan antara pendapatan dan pengeluaran rumah tangga, dengan cara – sedapat mungkin – menyimpan sejumlah kecil uang setiap hari; (b) tanggung jawab dari pengurus kelompok tabungan untuk mengunjungi anggotanya sambil mengumpulkan uang dan informasi atau persoalan; (c) kepemimpinan, yang dipraktekkan kelompok tabungan dengan membuat pertemuan anggota untuk mempertanggung-jawabkan uang tabungan dan membahas persoalan-persoalan anggota; (d) solidaritas, yang dipraktekkan oleh anggota dan kelompok tabungan dalam pemecahan masalah. Kebanyakan keluhan mereka adalah masaah sehari-hari. Masalah yang berkaitan dengan pelayanan dasar, diadvokasi sesuai tingkatan birokrasi pemerintah.
Kelompok-kelompok tabungan mengalami pasang surut, mengikuti fluktuasi perekonomian orang-orang miskin. Selain soal kejenuhan melakoni rutinitas sebagai anggota kelompok, serta kemampuan pengurus mengelola tabungan, faktor eksternal juga sangat mempengaruhi keberlanjutan kelompok. Kenaikan harga BBM yang diikuti kenaikan harga-harga kebutuhan pokok, turut melemahkan semangat menabung orang-orang miskin.
Menjadi penabung merupakan salah satu syarat menjadi anggota KPRM. Syarat yang lain adalah aktif dalam Kelompok Belajar/Bermain Anak (KBA), kegiatan dalam pelayanan kesehatan alternatif, aktif dalam forum-forum warga, dan orang-orang miskin yang mengadukan permasalahannya kepada KPRM. Syarat-syarat keanggotaan ini sangat fleksibel karena tidak diformalkan ke dalam lembar pernyataan tertulis.
2.2 Pelayanan Hak Dasar
Salah satu peran penting KPRM adalah menerima dan menindaklanjuti permasalahan anggotanya, baik masalah rumah tangga maupun persoalan yang melibatkan pihak di luar rumah tangga seperti konflik antarwarga, aparat birokraksi pelayanan pubik, kepolisian, Ormas, Parpol, dan pengusaha. Pengurus dan organizer KPRM bekerja membantu penyelesaian masalah anggota. Permasalahan yang dimediasi oleh KPRM mencakup hampir semua praktik-praktik pelayanan dasar program pemerintah kota maupun pemerintah pusat, seperti identitas kependudukan, pangan, jaminan kesehatan, biaya pendidikan, air bersih, listrik. Termasuk kasus kriminal dan sengketa pertanahan.
Sasaran advokasi pada umumnya adalah birokrasi pemerintah di level menengah ke atas, dari kantor kelurahan, kantor camat, sekolah, rumah sakit, sampai ke kantor-kantor dinas terkait. Jarang sekali persoalan yang tidak melibatkan birokrasi publik yang lebih tinggi, yakni dinas-dinas pemerntah dan walikota. Sekali pun dengan tekanan aksi massa. Seringkali pengaduan baru dilayani dan diselesaikan setelah orang-orang miskin bersama KPRM mengadukan persoalannya ke tingkat yang lebih tinggi.
Pengalaman mengelola pengaduan anggota dan advokasi yang bertingkat-tingkat itu telah menyadarkan orang miskin tentang bagaimana birokrasi pemerintah bekerja. Berbagai macam materi pengaduan membentuk pemahaman tentang spektrum permasalahan hak-hak asasi. Berbagai bentuk tantangan juga membentuk sikap militan orang-orang miskin, serta kapasitas organisasi rakyat dalam advokasi. Sesuatu yang sebenarnya terbentuk secara sosiologis, yang menjadi strategi rekrutmen dan penguatan kader-kader penggerak di tingkat kelompok, kampung, dan organisasi di tingkat kota. Seluruh proses itu kemudian menjadi landasan berpijak bagi OR untuk menfokuskan advokasi pada kebijakan politik penataan ruang kota.
2.3 Pembelaan Hak atas Tanah
Pengorganisasian dengan media tabungan atau yang semacamnya dianggap tidak cocok pada orang-orang kampung yang bermukim di atas tanah yang bersengketa. Media tabungan dan pelayanan hak dasar biasanya digunakan sesuai keadaan. Kerja pengorganisasian yang dianggap paling cocok adalah pembentukan wadah persatuan warga, yang kemudian disebut forum-forum warga (Forwa). Tujuannya, agar potensi warga yang memiliki berbagai kepentingan itu – misalnya ahli waris, penggarap, dan penjual – terkonsolidasi, untuk mencegah terjadinya “transaksi di bawah tangan”. Konsolidasi warga semakin penting untuk mengefektifkan keswadayaan, mobilisasi dan tekanan massa sepanjang advokasi.
Berbeda dengan praktik pembelaan terhadap kebutuhan dasar, pembelaan hak dalam arena sengketa tanah melampaui kompetensi organisasi rakyat. Pengalaman Forwa Bontoduri dan Bulogading – yang berhadapan dengan pengusaha, oknum birokrasi, mafia tanah dan mafia peradilan – selain melibatkan organisasi bantuan hukum, juga melibatkan kelompok kepentingan di birokrasi maupun politisi parpol/parlemen. Bahkan, pada kasus Forwa Kampung Pisang, advokasi dilakukan dengan mengajukan tawaran konsep alternatif dari penggusuran atau relokasi kepada pemerintah kota.
Sengketa pertanahan di Bontoduri, Bulogading, Kampung Pisang hanyalah kasus-kasus yang manifes. Dalam artian, sengketa itu menjadi persoalan terbuka bagi publik dan lembaga peradilan. Sebagian besar sengketa tanah di kota masih laten. Berdasarkan survey dan FGD Tim RAP Pilkada Kota periode Agustus – Oktober 2008 di 54 kelurahan 13 kecamatan, potensi sengketa tanah pemukiman orang-orang miskin di Makassar tersebar di 24 kampung (kelurahan) pada 8 kecamatan[14]. Potensi kasus kebanyakan berada di wilayah pinggiran dan pesisir kota, yang menjadi konsentrasi pemukiman padat penduduk kelas menengah ke bawah – termasuk dua lokasi perkampungan penderita kusta di Jongayya dan Daya. Bila persoalan itu dihadapkan dengan kecenderungan investasi dan kapitalisasi pembangunan kota yang semakin meningkat, maka sebenarnya, kelangsungan hidup rakyat miskin perkotaan tidak akan lebih baik dalam sepuluh tahun ke depan. Artinya, dua puluh tahun pasca reformasi pun, rakyat miskin perkotaan tetap pesimis menatap hari depannya.
Kisah nyata yang bisa menjelaskan pesimisme orang miskin dialami Dg Tene dan Emi, dua dari 22 warga eks penggusuran Karuwisi 2003 (salah seorang di antaranya adalah juga korban penggusuran PKL Pelabuhan Pelni tahun 2004). Kasus Karuwisi adalah sengketa tanah pertama yang manifes di Pengadilan Negeri Makassar tahun 1996. Meskipun sempat dinyatakan status-quo pada sekitar tahun 1998, atas intervensi ketua Komnas pada waktu itu, Baharuddin Lopa, keputusan Pengadilan Negeri Makassar dan Mahkamah Agung menjadi dasar tindakan pengosongan lokasi seluas 700 m², secara paksa oleh petugas PN dibantu kepolisian. Pembelaan mahasiswa, jaringan LSM lokal dan nasional, juga otoritas BPN, dan parlemen tidak bisa mengubah keputusan pengadilan. Dua tahun kemudian, Dg Tene dan Emi membeli tanah/rumah, masing-masing di kampung Bontoduri dan Kassi-kassi, pinggiran selatan kota Makassar. Setahun kemudian, warga kampung Bontoduri dan Kassi-kassi digugat oleh pengusaha real-estate, Idris Manggabarani dan Rizal Tandiawan dengan delik “penyerobotan tanah”.
Tahun 2006, kedua warga eks Karuwisi menjadi anggota Forwa Bontoduri dan Kassi-kassi. Mereka terlibat aktif dalam aksi-aksi menentang penggusuran. Mereka juga mendesak lembaga peradilan agar membuka sidang untuk umum. Perjuangan forum warga dibela oleh LSM, pengacara, mahasiswa, dan menjadi perhatian dari Komisi Yudisial. Pada tahun 2007dan 2008, PN Makassar menolak gugatan pengusaha. Dan saat ini, status hukum kedua kampung tersebut dalam proses banding penggugat di tingkat MA. Warga tergugat dari kedua kampung itu, dua kali menang di PN Makassar. Tetapi, mereka umumnya meragukan keberpihakan Mahkamah Agung. Keraguan ini mereka lebih disebabkan ketiadaan akses dan kontrol, serta image mafia perdilan.
Sengketa tanah dan penggusuran pada tahun 2004, dan 2006 – 2008 cukup tinggi dibanding sebelum reformasi. Sejauh yang dicatat KPRM dan Forum Kajian Kota[15] pada tahun 2004, dan antara tahun 2006 – 2008, sedikitnya 16 kasus sengketa tanah dan penggusuran tempat tinggal, serta; 19 kasus penggusuran PKL/kios di Makassar. Dari 35 kasus yang manifes, sedikitnya 1.613 KK kehilangan tempat tinggal, dan 583 PKL kehilangan tempat usahanya. Pelaku yang sering terlibat sengketa tanah adalah ahli waris tuan tanah, mafia/calo tanah, pengusaha/pengembang, pengacara dan kepentingan pejabat pemerintahan sendiri yang dibantu aparat penegak hukum (polisi dan hakim).
Sengketa tanah yang manifes berlanjut ke lembaga peradilan. Rakyat selalu dalam posisi tergugat, dan penggugatnya adalah pengusaha, atau pengusaha berlindung di balik mafia tanah. Rakyat yang digiring masuk ke pengadilan menunjukkan bahwa pengusaha atau pihak penggugat selalu merasa dalam posisi yang meyakinkan menang. Kemudian, pengusaha penggugat selalu membayar pengacara yang dikenal komersil, melawan pengacara bantuan hukum yang non-komersil. Pada saat terjadi penggusuran, pengacara bersama aparat pengadilan melibatkan aparat kepolisian dan sekelompok massa bayaran di lokasi. Semua ini membuktikan bahwa musuh orang-orang miskin telah melebihi kekuatan aparat negara.
Penyelesaian sengketa yang berbeda dialami Forwa Kampung Pisang. Sebanyak 20 rumah yang dibangun orang-orang miskin pada sekitar tahun 2002, di atas lahan yang luas seluruhnya 3,7 hektar. Warga membeli atau mengangsur pembayaran tanah dari penggarap. Pada tahun 2006, terjadi sengketa antara pengusaha yang mengaku ahli waris dan pengusaha yang mengaku berhak atas bukti pembelian tanah. Warga berada di antara dua pihak yang mengklaim sertifikat lahan tersebut. Salah satu pihak melibatkan aparat kelurahan, untuk merelokasi warga, tetapi tidak berhasil. Warga diuntungkan oleh keadaan status-quo tanah tersebut. Warga semakin kuat, ketika aparat kelurahan yang turut campur dalam sengketa dimutasi, dan Walikota terpilih menjanjikan adanya alternatif penyelesaian sengketa, yakni land-sharing.
2.4 Kontrak Politik
Upaya pembelaan hak atas tanah tempat tinggal orang-orang miskin menjadi agenda politik KPRM sejak dideklarasikan pada September 2002. Salah satu strateginya adalah melakukan pemetaan aspirasi dan menggalang dukungan seluas mungkin untuk mendesak calon Walikota menandatangani Kontrak Politik di hadapan massa dari berbagai kampung. Upaya ini terwujud pada tanggal 12 Oktober 2008.
Kontrak politik adalah praktik advokasi, suatu upaya terencana yang melibatkan berbagai sumberdaya dan kompetensi untuk mempengaruhi suatu kebijakan politik. Secara pragmatik, kontrak politik diartikan sebagai taktik untuk membuka jalur komunikasi politik, mempengaruhi perilaku (political will) dan visi politik kandidat. Kontrak politik tidak dibatasi sebagai strategi organisasi rakyat, lebih dari itu adalah pendidikan politik.
Proses pengorganisasian kontrak politik KPRM didukung oleh berbagai elemen Organisasi Rakyat (CO, paguyuban, tokoh-tokoh informal); elemen prodemokrasi (aktifis Ornop, Ormas, Mahasiswa); kelompok profesi (jurnalis, pengacara, arsitek), dan akademisi (intelektual organik). Pada level pengorganisasian dikerjakan dan dikoordinasi oleh elemen organisasi rakyat; level advokasi dimainkan kelompok prodemokrasi; dan level jaringan diperankan oleh kelompok profesi dan akademisi. Selama tiga bulan intensif kolaborasi itu didukung oleh jaringan lokal, regional, nasional dan internasional.
Pasca kontrak politik, pemerintah kota secara resmi mengefektifkan program IASMO Bebas, singkatan dari Ilham Arief Sirajuddin dan Supomo Guntur, yang mencakup pembebasan (subsidi) biaya layanan dasar akte kelahiran, KTP/KK, kesehatan dasar, pendidikan bagi warga yang tidak mampu, pemakaman dan pengantaran jenazah, serta subsidi bantuan hukum. Program populis ini dituangkan ke dalam Peraturan Daerah (Perda) dan Peraturan Walikota (Perwali).
3. Kontribusi Politik
Secara praktis, tuntutan dasar rakyat miskin mendapat respon dalam kebijakan pemerintah kota. Tetapi, hal itu saja belum cukup. Mereka masih berhadapan dengan kekuatan oligarki yang memonopoli pengelolaan sumberdaya ekonomi. Mereka mempertahankan sistim itu agar globalisasi kota dan neoliberalisme berkelanjutan. Saat ini kota bukan lagi habitus yang menjamin keselamatan warga dan kampung.
Seberapa besar kontribusi KPRM dalam proses politik tingkat kampung dan kota? Dan, seperti apa bukti komitmen politik pemerintah pada perlindungan hak atas pemukiman dan tempat usaha? Penjelasan atas kedua pertanyaan ini masih dalam proses pencatatan sepanjang jalan. Sejauh pengamatan setahun pasca kontrak politik, ada tiga “situasi objektif” yang sementara ini dicatat:
Pertama, komunikasi politik yang terbuka dengan walikota, memungkinkan dialog yang informal dan formal, mengevaluasi pencapaian aspirasi politik orang-orang miskin. Jalur komunikasi ini mempercepat respon dan penyelesaian tuntutan orang-orang miskin (problem solving), dan seringkali terjadi di luar mekanisme formal. Persoalannya kemudian, saluran aspirasi ini cenderung menyempit. Pemerintah kota masih meletakkan kontrak politik sebagai perjanjian politik terbatas pada KPRM.
Kedua, komitmen dan dukungan politik Walikota kepada KPRM untuk mencegah penggusuran dibuktikan secara terbatas pada gagasan program sertifikasi tanah di kampung Pa’baeng-baeng, land-sharing di Kampung Pisang, dan mediasi sengketa tanah di Bontoduri dan Bulogading. Di sisi lain, proyek penataan jalan raya menggusur pedagang trotoar, dan proyek modernisasi pasar meminggirkan habitat eknomi orang miskin. Kontradiksi kebijakan seperti ini mencerminkan sifat khas dari sebuah kekuatan ”blok politik”, dimana penguasa lebih mengutamakan perlindungan organisasi pendukung daripada orang-orang yang tidak termasuk di dalamnya. Di sisi lain, ada soal keterbatasan organisasi rakyat dalam merepresentasi kepentingan orang-orang yang bukan anggotanya atau orang-orang yang tidak mengaku sebagai anggota KPRM.
Ketiga, adanya kontradiksi di antara kebijakan dengan realisasi, antara komitmen dan tindakan, semakin menyadarkan orang-orang miskin bahwa kontrak politik bukanlah hasil akhir, yang manfaatnya tidak langsung bisa dinikmati oleh semua orang. Diperlukan kompetensi berpolitik dan kolaborasi dengan mengisi saluran politik yang tersedia untuk menjadikan substansi kontrak politik menjadi kebijakan yang melindungi warga kota dari penggusuran.
Penutup
Reformasi telah memulihkan kebebasan berserikat dan mengartikulasikan kepentingan orang-orang miskin dalam batas-batas arena yang diperjuangkan organisasi rakyat. Terasa ironis, ketika disadari bahwa arena politik dewasa ini melampaui apa yang diapresiasi orang orang-orang miskin dan organisasi rakyat itu sendiri. Kekuatan simbolik yang bekerja di balik kebijakan penataan kota adalah arena yang tidak tersentuh.
Motif gerakan dan cara-cara orang-orang miskin merespon persoalan nyata sekaligus substansial dalam transisi reformasi politik, membuktikan bahwa organisasi rakyat berpotensi melahirkan perubahan radikal. Perseoalan dasar yang hampir tidak ada habisnya itu menjadi faktor pendorong pertumbuhan organisasi rakyat. Sebaliknya, rakyat yang teroganisasi akan mengartikulasikan kepentingan dan cita-cita perubahan yang diyakininya.
Praktik-praktik pengorganisasian dan advokasi dalam arena politik, sejauh yang bisa dilakukan oleh organisasi rakyat adalah strategi memperluas pengaruh dan juga menegaskan posisi dan identitas politik orang-orang miskin. Keberhasilannya adalah kontribusi organisasi rakyat dalam perubahan kebijakan politik kota. Adapun kegagalannya mencerminkan keterbatasan organisasi rakyat – berkaitan dengan kompetensi yang dibutuhkan sebuah arena politik.

[1] Makalah pada International Conference on Urban Kampong, UNAIR-ANRC, Surabaya, 19-22 Januari 2010
[2] Pembicara adalah Kordinator JRMK Sulawesi Selatan
[3] Harker, Richard dkk.ed., Desember 2009:13
[4] Ainullah, Indi. Skripsi, UGM Yogyakarta, 2006:43
[5] Informalitas merupakan entitas hidup masyarakat kaum urban. Konsep ini dijabarkan Wardah Hafidz (2002), yang mencakup seluruh dimensi kehidupan orang-orang miskin umumnya di kota-kota besar. Informalitas ditandai dengan tata kampung sendiri, pola relasi antarindividu, kegiatan ekonomi, dan pranata kelembagaan sosial mereka yang longgar, fleksibel dan cair. Kajian yang komprehensif tentang entitas hidup kaum urban dewasa ini banyak ditulis oleh Michel de Certeau, the Practice of Everiday Life (1984), dan salah satu hasil studi yang dilakukan oleh Kin Wai Michael Siu: Guerrilla Wars in Everyday Public Spaces: Reflections and Inspirations for Designers (The Hong Kong Polytechnic University, Hong Kong, 2007)
[6] Kompas, Sabtu, 17 April 2004
[7] Kompas, 10 Mei 2006
[8] Kompas, 10 Mei 2006
[9] Demokrasi di Atas Pasir , PCD UGM – Demos, September, 2009
[10] Ibid, 13
[11] Human Scale Development, The Apex Press New York, 1991:2-3
[12] Human Development Report, 1993
[13] INSIST, 14 September 2007
[14] Laporan Tahunan Uplink Indonesia Simpul Makassar, Desember2008
[15] Jurnal Suara Kota, Agutsus 2008 rumahkampungkota.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar