30 Mei 2011

Perlindungan Hak Atas Perumahan yang Layak


Hak atas perumahan yang layak berlaku bagi setiap orang. Hak ini secara integral terkait dengan hak asasi manusia lain yang termuat dalam dua kovenan internasional; Konvensi Hak Sipil dan Politik, serta Konvensi Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Berdasarkan instrumen hukum yang telah diakui dan diratifikasi pemerintah Indonesia, serta hukum nasional yang berlaku, negara memiliki kewajiban untuk mempromosikan, menghormati, melindungi, dan memenuhi hak atas perumahan yang layak bagi semua orang. Instrumen hukum yang menjamin hak atas perumahan sebagai berikut:
Instrumen Internasional
Hak atas perumahan yang layak mendapat pengakuan dalam instrumen internasional yang berlaku sebagai hukum nasional di Indonesia karena telah diratifikasi.
  1. Deklarasi Universal HAM, pasal 25 ayat (1)
  2. Kovenan Internasional Hak Ekosob, pasal 11 ayat (1)
  3. Konvensi Penghapusan Semua Bentuk Diskriminasi Ras, pasal 5(e) (iii)
  4. Konvensi Hak Anak, pasal 27
  5. Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan, pasal 14 ayat (2)
  6. Komentar Umum (General Command) No. 4: Hak Atas Perumahan yang Layak (1991), pasal 11 (1):13/12/91
Selain itu, hak atas perumahan yang layak bagi pekerja diakui dalam rekomenasi ILO No. 115 tentang perumahan untuk pekerja, serta kovenan ILO No. 117 tentang kebijakan sosial (tujuan dan standar dasar). Beberapa standar internasional juga mengatur hak atas perumahan yang layak bagi kelompok sosial tertentu seperti pekerja migran, penyandang cacat, lanjut usia dan penduduk asli. Hak atas perumahan yang layak bagi pekerja migran, misalnya diatur dalam pasal 43 (1)(d), konvensi internasional tentang perlindungan semua buruh migran dan anggota keluarga mereka.

Hukum Nasional
  1. UUD 1945, pasal 28 H
  1. Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan
  2. Setiap orang berhak memperoleh kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan
  3. Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat
  4. Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapa pun
  1. UU No. 4 Tahun 192 tentang Perumahan dan Pemukiman, pasal 5
  1. Setiap warga negara mempunyai hak untuk menempati dan/atau menikmati dan/atau memiliki rumah yang layak dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi dan teratur
  2. Setiap warga negara mempunyai kewajiban dan tanggung jawab untuk berperan serta dalam pembangunan perumahan dan pemukiman
  1. UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, pasal 26: Setiap orang berhak untuk bertempat tinggal serta berkehidupan yang layak
Definisi Hak Atas Perumahan yang Layak
Hak atas perumahan yang layak berlaku bagi setiap orang, individu dan atau keluarga tanpa memandang usia, status ekonomi, pendapatan atau pun akses pada sumber daya ekonomi, kelompok maupun afiliasi dan status lainnya. Hak atas perumahan yang layak haruslah dipandang sebagai hak untuk tinggal di suatu tempat secara aman, damai dan bermartabat. Hal ini berdasarkan dua alasan, yaitu:
  1. Hak atas perumahan secara integral terkait dengan HAM lain yang termuat dalam kedua kovenan internasional
  2. Pasal 11 ayat (1) kovenan Ekosob harus diartikan tidak hanya kepada hak atas perumahan, namun hak atas perumahan yang layak
Aspek-aspek Hak Atas Perumahan yang Layak
Komentar Umum No. 4 Konvensi Ekosob menyebutkan beberapa aspek-aspek hak atas perumahan yang layak:
  1. Kepastian Hukum Kepemilikan. Kepemilikan terdiri dari berbagai bentuk, termasuk rantai akomodasi (publik dan swasta), koperasi perumahan, sewa, pemilik tempat, perumahan darurat dan pemukiman informal, termasuk pendudukan tanah atau properti. Meskipun ada jenis kepemilikan, semua orang harus memiliki tingkat kepastian kepemilikan yang menjamin perlindungan hukum terhadap penggusuran paksa, pelecehan dan ancaman lainnya. Negara Pihak secara konsekuen dan proaktif bertindak memberikan kepastian hukum kepemilikan pada orang-orang dan rumah tangga yang saat ini tidak memiliki perlindungan semacam itu, dan berkonsultasi sungguh-sungguh dengan orang-orang dan kelompok yang terkena dampak.
  2. Ketersediaan Layanan, Lahan, Sarana dan Prasarana. Rumah yang layak harus berisi fasilitas tertentu yang penting untuk kesehatan, keamanan, kenyamanan dan nutrisi. Semua penerima hak atas perumahan yang layak harus memiliki akses pada sumberdaya alam dan umum yang berkelanjutan, air minum yang aman, energi untuk memasak, pemanasan dan pencahayaan, fasilitas sanitasi dan mencuci, sarana penyimpanan makanan, pembuangan sampah, lokasi drainase dan layanan darurat.
  3. Biaya yang Terjangkau. Biaya keuangan rumah tangga atau pribadi yang berkaitan dengan perumahan harus berada pada tingkat tertentu, yakni tidak menganggu kebutuhan dasar lainnya. Prosentase biaya yang berkaitan dengan perumahan ini pada harus sepadan dengan tingkat pendapatan. Negara Pihak harus menetapkan subsidi perumahan agar dapat dijangkau oleh mereka yang tidak mampu. Bentuk dan tingkat pembiayaan perumahan harus sesuai prinsip keterjangkauan. Penyewa harus dilindungi dari ketentuan sewa yang tidak wajar atau kenaikan sewa. Dalam hal bahan bangunan, Negara Pihak harus menjamin ketersediaannya.
  4. Habitabilitas. Perumahan yang layak ditinggali, yakni memberikan penghuni dengan ruang yang cukup dan melindungi mereka dari dingin, lembab, panas, hujan, angin atau ancaman lainnya terhadap kesehatan, bahaya struktural, dan vektor penyakit. Keselamatan fisik penghuni harus dijamin juga. Komite mendorong negara pihak secara komprehensif menerapkan Prinsip-prinsip Kesehatan Perumahan (5) yang disiapkan oleh WHO yang melihat perumahan sebagai faktor lingkungan yang paling sering dikaitkan dengan kondisi penyakit dalam analisis epidemiologi, yaitu kondisi hidup dan perumahan yang tidak layak dan kekurangan yang selalu terkait dengan tingginya mortalitas dan mobiditas.
  5. Aksesibilitas. Perumahan yang layak harus dapat diakses oleh mereka yang berhak. Kelompok yang dirugikan harus diberikan akses penuh dan berkelanjutan terhadap sumberdaya perumahan. Kelompok yang kurang beruntung seperti orang tua, anak-anak, cacat fisik, sakit parah, orang yang mempunyai HIV positif, orang dengan masalah medis yang terus menerus, sakit mental, korban bencana alam, orang yang tinggal di daerah rawan bencana harus diprioritaskan. Hukum maupun kebijakan perumahan harus mengutamakan pemenuhan kebutuhan khusus kelompok tersebut. Di banyak Negara Pihak, peningkatan akses terhadap tanah bagi masyarakat miskin atau warga yang tidak mempunyai tanah merupakan tujuan utama kebijakannya. Kewajiban pemerintah dalam memperkuat hak atas semua tempat yang aman untuk hidup dalam damai dan bermartabat, termasuk akses terhadap tanah.
  6. Lokasi. Perumahan yang layak harus berada di lokasi yang memudahkan akses ke tempat kerja, layanan kesehatan, sekolah, pusat penitipan anak dan fasilitas sosial lainnya. Hal ini berlaku di kota besar dan pedesaaan, dimana waktu dan biaya untuk mencapai ke dan dari tempat kerja berdampak pada kenaikan anggaran rumah tangga miskin. Demikian pula perumahan tidak boleh dibangun di lokasi yang tercemar dan di dekat dari sumber-sumber pencemaran yang mengancam kesehatan penduduk.
  7. Ketahanan Budaya. Infrastruktur perumahan, bahan bangunan yang digunakan, dan kebijakan yang mendukungnya harus sesuai dan mencerminkan ekspresi identitas budaya dan keragaman budaya. Pembangunan atau pun modernisasi dalam bidang perumahan, termasuk fasilitas teknologi, tidak mengorbankan budaya masyarakat.
    Kewajiban Negara
    1. Negara harus memberikan prioritas kepada kelompok masyarakat yang hidup dalam kondisi kemiskinan. Olehnya itu, kebijakan dan perundang-undangan yang dirancang pemerintah tidak boleh lagi menguntungkan kelompok masyarakat yang mapan secara ekonomi maupun politik. Komite PBB menyadari hal tersebut, dimana faktor-faktor eksternal mengakibatkan kualitas dan kondisi kehidupan menurun. Namun, seperti dicatat oleh Komite dalam Komentar Umum 2 (1990) (E/1990/23, lampiran III) , kewajiban negara pihak di bawah konvensi tetap berlaku dan bahkan mungkin lebih relevan di masa kontraksi ekonomi sejak tahun 80-an. Dengan demikian perbaikan kualitas hidup dan kondisi perumahan serta kompensasi yang menyertainya harus dikaitkan langsung dengan kebijakan dan keputusan legislatif Negara Pihak, kemudian dilaksanakan secara konsiten sesuai konvensi (paragraf 11, Komentar Umum 4).
    2. Mendefinisikan tujuan pengembangan pemukiman, sumber daya yang tersedia, cara pembiayaan yang efektif, tanggung jawab dan kerangka waktu pelaksanaannya. Untuk alasan relevansi, efektivitas, serta untuk menjamin penghormatan terhadap HAM lainnya, strategi tersebut harus mencerminkan kesungguhan berkonsultasi luas dengan semua pihak yang terkena dampak, termasuk tunawisma. Selain itu, langkah-langkah yang ditempuh harus memastikan ada kordinasi dengan penentu kebijakan terkait (ekonomi, pertanian, lingkungan, energi, dll) dengan kewajiban di bawah pasal 11 dan konvensi (paragraf 12, Komentar Umum 4).
    3. Bagi Negara Pihak dalam memenuhi kewajiban pasal 11 (1) harus menunjukkan, antara lain, langkah-langkah yang ditempuh sendiri maupun kerjasama internasional, yang memastikan perlindungan terhadap tunawisma dan perumahan yang tidak layak dalam wilayah yurisdiksinya. Dalam hal ini, revisi pedoman umum mengenai bentuk dan isi laporan yang diterapkan oleh Komite (E/C.12/1991/1) menekankan perlunya menyediakan informasi rinci tentang kelompok masyarakat rentan dan dirugikan, keluarga tunawisma, orang-orang yang tanpa akses terhadap fasilitas pokok, yang tinggal di pemukiman 'ilegal', dan mereka yang mengalami penggusuran paksa, serta kelompok berpenghasilan rendah.
    4. Jaminan hak atas tempat tinggal dalam konstitusi, adanya produk legislasi yang menjamin hak atas perumahan yang layak dan langkah-langkah administratif.
    5. Komponen hak atas perumahan yang layak, yang konsisten dengan ketentuan ini termasuk, dan tidak terbatas pada: (a) banding hukum yang ditujukan mencegah rencana penggusuran atau pengrusakan akibat penertiban bersadarkan keputusan perintah pengadilan; (b) prosedur hukum mencari kompensasi menyusul penggusuran ilegal; (c) keluhan-keluhan terhadap tindakan ilegal yang dilakukan atau didukung oleh pemilik tanah publik dan swasta dalam kaitannya dengan tingkat sewa, pemeliharaan tempat tinggal, dan sikap diskriminasi rasial; (d) tuduhan dari setiap bentuk diskriminasi dalam alokasi dan ketersediaan akses ke perumahan, dan; (e) keluhan terhadap tuan tanah mengenai kondisi perumahan yang tidak sehat atau tidak layak. Dalam beberapa sistim hukum hal ini juga memungkinkan tuntutan class-action.
    6. Komite menganggap bahwa kasus penggusuran paksa adalah prima facie tidak sesuai dengan persyaratan konvensi dan hanya dapat dibenarkan dalam keadaan yang paling luar biasa, dan sesuai dengan prinsip-prinsip hukum internasional yang relevan (paragraf 18 Komentar Umum 4). Untuk itu negara harus berupaya sekeras mungkin untuk mencegah terjadinya penggusuran paksa.
    Kewajiban Negara Terkait dengan Kerjasama Internasional
    Pasal 11 (1) diakhiri dengan kewajiban Negara Pihak untuk mengenali “pentingnya kerjasama internasional berdasarkan persetujuan bebas”. Secara tradisional, kurang dari 5 persen dari semua bantuan internasional telah diarahkan untuk perumahan atau pemukiman penduduk, dan seringkali dana tersebut disediakan untuk mengatasi kebutuhan perumahan kelompok yang kurang beruntung. Negara Pihak, baik penerima dan pemberi, harus memastikan bahwa proposal pembiayaan yang ditujukan untuk menciptakan kondisi yang mengarah pencapaian jumlah penerima manfaat. Lembaga-lembaga keuangan internasional yang mempromosikan langkah-langkah penyesuaian struktural harus memastikan bahwa tindakan tersebut akan memperkuat hak atas perumahan yang layak. Negara pihak, yang akan bekerjasama dengan lembaga keuangan internasional, harus menunjukkan area yang relevan dengan pemenuhan hak atas perumahan yang layak. Negara Pihak berttanggung jawab penuh mempertimbangkan kebutuhan dan pandangan kelompok-kelompok yang terkena dampak.
    (Sumber: Materi Diskusi KPRM dengan Dian Kartika Sari, Sekjen Koalisi Perempuan Indonesia, Oktober 2009)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar