20 Jun 2011

Usaha Menerobos “Konstruksi Rahasia” dalam Pelayanan Kesehatan

  M. Nawir*
Kebijakan tentang sistim kesehatan di Indonesia terus diperbaharui. Undang-undang No. 23 Tahun 1992 diperbaharui oleh UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Pembaruan ini dimaksudkan agar sistim kesehatan dan pelayanan kesehatan dasar menopang perwujudan Indonesia Sehat 2020. Salah satu penegasan dalam undang-undang tersebut adalah memastikan hak setiap warga negara Indonesia mendapatkan pelayanan kesehatan yang prima, yakni dengan cara mendahulukan pelayanan daripada urusan adminitrasi. Hal ini didasari oleh banyaknya pengaduan pasien dan keluarga pasien yang dipersulit hanya karena ketidaklengkapan administrasi maupun ketidakmampuan ekonomi. Meskipun sudah ada program Askeskin, yang kemudian diperbaharui menjadi Jasmkesmas, persoalan tersebut masih terjadi hingga saat ini.
Baru-baru ini berita koran menulis tentang seorang pasien (anak) gizi buruk yang akhirnya meninggal karena lambat dilayani. Lagi-lagi persoalan administrasi, yakni si pasien belum terdaftar dalam program Jaskesmas maupun Jamkesda. Apa arti semua ini? Bagi pasien dari warga miskin atau tidak mampu secara sosial-ekonomi, sangat beresiko mengalami kematian lantaran ketidakjelasan identitas kependudukan maupun ketiadaan kartu Jamkesmas. Padahal, dimana pun kita belajar tentang sistim pelayanan kesehatan, pertama-tama adalah menegakkan prinsip dan standar pelayanan, yang artinya usaha menyelamatkan orang dari penderitaan, kesakitan, dan resiko kematian karena keadaaannya. Di Indonesia, prinsip ini masih “jauh panggang dari api”.
Tulisan berikut ini adalah refleksi tentang sistim pelayanan kesehatan modern di Indonesia sebagai sebuah “konstruksi rahasia”. Nampaknya masih relevan, dan, karena itu pula kita tidak bisa mendapatkan jawaban yang memuaskan atas pertanyaan: “mengapa pelayanan kesehatan di Indonesia selalu mengecewakan, pengguna merasa dipingpong, lambat dilayani, dan berbagai alasan yang tidak masuk akal bila diukur dengan peraturan yang ada?”. Tulisan ini pernah dimuat dalam buletin “Kalawarta Konsumen” YLK Sulsel edisi Mei 2000 dengan tajuk: Pengorganisasian Konsumen: Usaha Menerobos “Konstruksi Rahasia” dalam Pelayanan Kesehatan.
Gagasan tentang pengorganisasian konsumen, khususnya di bidang perlindungan hak-hak konsumen kesehatan, saat ini menjadi sangat penting. Di satu sisi kondisi konsumen yang nyaris kehilangan solidaritas, institusi sosial yang semakin rapuh (bahkan kehilangan kepercayaan pada fasilitas kesehatan). Pada saat bersamaan kebijakan pelayanan kesehatan yang tidak berorientasi pada pemenuhan hak konsumen. Di sini pendekatan pengorganisasian konsumen dibutuhkan untuk mendorong perubahan. 
Di banyak tempat di Indonesia, pusat layanan kesehatan seperti Posyandu sudah tersedia sampai ke pelosok pedesaan. Puskesmas dan Rumah Sakit Umum telah tersedia di setiap kecamatan dan kabupaten. Masalahnya, ketersediaan fasilitas pelayanan kesehatan belum bisa menjamin terciptanya hidup yang sehat karena lemahnya penegakan standard of quality of care. Hal ini sangat berbeda dengan sistim pelayanan kesehatan di negara-negara maju dan Amerika Latin. Mentalitas "melayani" atau "mengayomi" orang sakit dan kaum papa menjadi dasar dallam mentransformasikan prinsip-prinsip pelayanan kesehatan modern sejak abad pencerahan. 
Setidaknya, tiga kecenderungan perubahan yang terpetakan dalam sistem pelayanan kesehatan di Indonesia. Pertama, pentingnya mengubah dominasi provider (penyedia jasa) kesehatan dalam pola interaksi sehari-hari antara pasien dan tenaga kesehatan yang memungkinkan terjadinya pertukaran informasi yang memadai. Studi interaksi dan komunikasi provider dan klien KB pada satu Puskesmas di Makassar (Rachman, 1998:114) memperlihatkan dominasi dokter atau bidan dalam pada hampir semua proses percakapan. Beberapa anggapan yang mempertahankan dominasi ini, yaitu; (1) Klien menganggap dokter, bidan maupun perawat adalah orang yang serba tahu dan berketerampilan tinggi; (2) Klien biasanya menempatkan diri pada subordinasi dan dengan begitu mempercayai semua penjelasan provider, meskipun seringkali bertentangan dengan pengalaman-pengalaman sosial-budaya mereka; (3) Proses percakapan tidak melibatkan klien secara penuh yang dapat membuat klien merumuskan keputusannya sendiri secara senang hati, terutama suami-istri. Proses dominasi komunikasi seperti ini, yang oleh Sciortino disebut ‘konstruksi rahasia’ (1999:78). Klien dibiarkan dalam ketidaktahuan mengenai diagnosis dan pengobatan yang diberikan, hingga klien meninggalkan tempat pelayanan tanpa memperoleh informasi yang baru.
Kedua, perlunya mengubah dominasi pelayanan kesehatan oleh paramedis, dokter, dan provider KB. Paradigma sehat tidak perlu didefiniskan secara tunggal oleh paramedis atau pun dokter. Paradigma sehat selayaknya didefinisikan secara partisipatif dengan masyarakat konsumen. Hal ini menjadi kebutuhan yang mendasari untuk menyingkap sebab-sebab kegagalan pelayanan kesehatan selama ini.
Proyek-proyek kesehatan selama ini dikembangkan untuk mengatasi keterbatasan waktu pemberian informasi dalam praktek pelayanan. Namun, proyek-proyek seperti ini bergantung ada-tidaknya bantuan. Informasi yang diperoleh masyarakat juga tetap terbatas dibandingkan dengan semua informasi yang dirahasiakan dalam interaksi di Puskesmas (Sciortino, 1999:93-94). Proyek-proyek seperti ini semakin minim, mengingat anggaran pembangunan kesehatan semakin berkurang akibat kritss ekonomi yang berkepanjangan.
Kecenderungan seperti ini bisa diatasi, andaikan partisipasi masyarakat tidak dibatasi dalam menjaga kesehatan sesuai dengan batas-batas kemampuan kulturalnya, di samping itu, transparansi informasi dalam interaksi di tempat pelayanan. Bila orientasi pembangunan kesehatan mengutamakan partisipasi, pendidikan dan penyadaran, tentu akan membantu masyarakat untuk mengubah sikap dan menilai kembali prioritasnya. Informasi lebih mudah diserap bila dapat diterapkan langsung daripada bila diberikan dalam pertemuan umum.
Ketiga, perlunya mengubah orientasi pembangunan fasilitas kesehatan ke pengembangan sistem biomedis yang mudah terjangkau. Ketersediaan fasilitas (formal) kesehatan sebagai suatu upaya menjangkau pelayanan kesehatan relatif memadai. Misalnya, di Sulawesi Selatan, pusat layanan kesehatan seperti Posyandu sudah tersedia sampai ke pelosok pedesaan. Puskesmas dan Rumah Sakit Umum telah tersedia di setiap kecamatan dan kabupaten. Masalahnya, ketersediaan fasilitas pelayanan kesehatan belum bisa menjamin terciptanya hidup yang sehat. Selain belum mengakar atau belum dirasakan sebagai bagian dari kehidupan masyarakat, juga belum memiliki standar of quality of care. Sebaliknya, masyarakat memiliki sistem pengobatan atau pengetahuan mengenai perawatan kesehatan (biomedis), yang relatif berakar dari tradisi dan kebudayaan mereka. Kondisi budaya ini di satu sisi menjadi kendala dalam pelayanan medis, di sisi lain mampu memenuhi kebutuhan masyarakat secara murah dan mudah.
Memang harus diakui bahwa rendahnya kualitas pelayanan kesehatan di Indonesia tidak terlepas dari kondisi konsumen itu sendiri. Masyarakat pengguna jasa kesehatan pada umumnya tidak memahami betul hak-haknya sebagai pasien, sebagai klien KB, maupun sebagai konsumen. Kelemahan ini tidak terlepas dari sensitifnya kebijakan negara dari persoalan hak asasi manusia (HAM). Sehingga kebijakan pemerintah di bidang kesehatan pun lebih mengutamakan pada target penerima layanan atau pun akseptor KB. Pendekatannya persuasi dan mobilisasi, bukan penyadaran dan partisipasi.
Pengalaman negara-negara di Eropa seperti negeri Belanda, organisasi konsumen dan pasien diperhitungkan kekuatannya dan diakui tuntutannya, yang mampu mendesakkan cara pandang konsumen dalam sistem pelayanan kesehatan, karena dua hal:
  1. Kelompok pasien atau pun konsumen yang terorganisasi, solider, yang memahami hak dan tanggung jawab individu maupun kolektif;  
  2. Dkungan advokasi (riset, kampanye dan lobby) dari organisasi konsumen yang kredibel di mata publik konsumen dan stakeholder. Titik tolak advokasi konsumen - belajar dari NPCF (Dutch Federation of Patients’ and Consumers’ organization) WGNRR (Women’s Global Network of Reproducvtive Rights), HIV Association di negeri Belanda -- justru pada penguatan kelompok-kelompok konsumen.
Pelayanan yang baik dan memuaskan bisa diwujudkan secara bersama antara pengguna jasa pelayanan dan petugas kesehatan. Untuk mewujudkan hal itu diperlukan usaha-usaha: (1) Pengorganisasian konsumen, yang mencakup pendidikan kritis tentang hak-hak konsumen kesehatan, kemampuan mengemukakan pendapat dan problem yang dialami, dan kemampuan mengorganisasikan kelompok serta mengembangkan jaringan. Dalam pengorganisasian konsumen juga memungkinkan masyarakat mengembangkan cara mengakses pelayanan dan perawatan kesehatan alternatif, yang murah dan aman; (2) Dukungan publik, khususnya organisasi konsumen untuk mempengaruhi kebijakan dan sistem pelayanan kesehatan (SOP) dan quality of care yang langsung diakses konsumen.
Makassar, 15 Mei 2000
* Penulis pernah bekerja untuk Yayasan Lembaga Konsumen Sulawesi Selatan, 1992 - 2002

1 komentar:

AWI MN mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

Posting Komentar