29 Sep 2011

Tukang Becak - Riwayat Petani Urban

Catatan M. Nawir
Jaringan Rakyat Miskin Kota

Sejarah tukang becak adalah riwayat kaum urban, “pendatang”, yang menyiasati dinamika perkotaan dengan alat kerja yang khas – kendaraan “tiga roda” tanpa mesin dan bahan bakar. Sebagai 'urbanis' (kaum urban), tukang-tukang becak pada mulanya adalah orang desa, petani. Sebagian dari mereka meninggalkan tradisi bertani, sebagian lagi menjadi migran sirkuler, bolak-balik desa-kota mengikuti siklus ekonomi agraris.
Menarik. Falsafah dan cara hidup, cara kerja, serta cara mereka berjuang menggambarkan suatu transisi peradaban yang khas pada masanya. Bolak-balik, naik-turun, modar-mandir, suka-duka, itulah ungkapan yang bisa mewakili dinamika kaum urban, terutama tukang becak. Mereka menggunakan kekurangan dan kelemahannya untuk survive. Tanpa ijasah, pendidikan rendah, tidak terlatih, a-politis, dan kampungan, mereka toh mempengaruhi mesin pertumbuhan kota, menopang roda ekonomi, bahkan menginspirasi politisi penentu kebijakan. Pendek kata, kaum urban, para tukang becak, pekerja informal, cerdik-pandai mengelola kelemahannya menjadi kekuatan. Pada banyak peristiwa, kaum urban ini berada di garda depan dalam mengekskalasi suhu politik, misalnya dalam kerusuhan Mei 1998 di Makassar, atau pun “black septe september” di Makassar.
arpillerra becak pic (kprm, 2007)
Perihal kelemahan sebagai senjata ditulis oleh James Scott dalam bukunya Weapons of the Weak: Everyday Forms of Peasant Resistance, 1985. Wardah Hafidz, mengutip pandangan Scott itu dalam buku Abang Beca: Sekejam-kejamnya Ibu Tiri Masih Lebih Kejam Ibukota (Yoshifumi Azuma, 2001), bahwa sejarah perlawanan petani di berbagai belahan dunia hampir tidak pernah menemukan bentuk formalnya. Sebaliknya, mereka menggunakan apa yang disebut Scott “senjata kaum lemah” (weapons of the weak), yakni bentuk perlawanan yang tidak terorganisasi, tapi mengandalkan jaringan informal, samar. Mereka menghindari konfrontasi, tapi persisten melakukan sabotase terhadap struktur dan sistem yang berlaku agar sesedikit mungkin mengganggu entitas hidupnya. Ibarat jutaan renik polypantozoa yang merekatkan diri membentuk batu karang di laut dan bisa menghancurkan kapal yang menabraknya, cara perlawanan diam ini pada akhirnya bisa mengaramkan kapal penguasa dengan cara melumpuhkan sistem yang dipaksakan kepada mereka.
Pada banyak pengalaman para tukang becak di Jakarta, Solo, Makassar, dari masa ke masa memperlihatkan suatu dinamika sosial yang relatif sama, tidak ada tempat atau posisi yang pasti, utuh, final dalam pencapaian kehidupannya. Entitas hidup tukang-tukang becak mengikuti determinasi perubahan sosial, politik, ekonomi dalam ruang kota. Marilah kita menelusuri bagaimana siasat perjuangan kaum urban, tukang becak itu dari masa ke masa.
Flashback: Riwayat Pembatasan
Di Makassar, pembatasan jumlah maupun aktivitas penarik becak sudah berlangsung sejak tahun 70-an. Catatan Dean Forbes dalam Petty Commodity Production and Under-development: The Case of Pedlars and Trishaw Riders in Ujung Pandang, Indonesia (1979: 156) menggambarkan bagaimana ekonomi sektor informal – becak, kaki lima, pedagang eceran – bersaing dengan ekonomi kapitalis, pemilik modal. Misalnya, pada tahun 1976 jumlah becak yang beroperasi di Makassar sekitar 17.500 unit, pemiliknya sekitar 6.817 orang, menghidupi sekitar 68.000 jiwa keluarganya, atau 12,11% dari 561.501 jiwa jumlah penduduk kota Makassar masa itu. Keadaan ini menjadi alasan pemerintah kota untuk melakukan pembatasan produksi becak. Becak hanya diproduksi untuk disuplai ke luar kota. Kemudian, pemerintah kota mengajukan kebijakan transportasi yang disebut layanan Khusus Angkutan Kota, yakni mini-bus. Sebanyak 176 unit mini-bus yang beroperasi di dua jalur utama dalam kota dengan tarif yang lebih murah daripada tarif becak, yakni Rp 50 jauh-dekat. Sedangkan tarif becak pada masa itu Rp 45 per-kilometer. Dampaknya, terjadi penurunan jumlah becak pada tahun 1985, yakni sekitar 16.000 unit yang terdaftar.
Pembatasan operasi becak secara terang-terangan (legal) dilanjutkan walikota Makassar Soewahyo sampai Amiruddin Maula (sumber: Paper/Alat Bengkel, Puskit Unhas, 2001). Pada masa pemerintahan walikota Soewahyo (1988-1993), selain pembatasan produksi becak baru, walikota juga mengeluarkan aturan tentang penggunaan helm, surat izin mengemudi becak, penggunaan lampu becak, serta pengaturan warna becak berdasarkan hari operasinya. Pengaturan itu menjadi alasan pemerintah kota melakukan penertiban dengan merazia becak-becak yang dianggap ilegal. Ribuan becak hasil razia dibuang ke laut di sekitar Markas Angkatan Laut Makassar, Ujung Tanah.
Selanjutnya, walikota Malik B. Masry (1994-1999) menerbitkan Perda No. 3 Tahun 1995 tentang Pengaturan Kendaraan Tidak Bermotor di Kota Makassar. Dalam pasal 6 (4) disebutkan dua warna becak yang dizinkan beroperasi; kuning dan biru. Pengoperasian becak warna kuning pada Senin, Rabu, Jumat, dan Minggu; sedangkan becak biru, Selasa, Kamis, Sabtu. Namun, pewarnaan dan penjadwalan operasi becak tidak efektif dan tidak konsisten. Pada masa pemerintahan Amiruddin Maula (1999-2003), Perda tersebut hendak diberlakukan kembali. Apa yang kemudian terjadi, pada tanggal 26 Mei 2000, ribuan tukang becak berunjuk rasa di Balai Kota. Mereka menuntut penghapusan pembatasan warna, jadwal dan jalur operasi becak. Sejak itu, kebijakan pemerintah kota Makassar terhadap sarana transportasi becak lebih longgar, tetapi Perda No. 3 tidak pernah dicabut.
Situasi Becak Makassar Tujuh Tahun Lalu
Pada hari Minggu, 11 Mei 2003 di gedung Kartini Jalan Mesjid Raya, Jaringan Rakyat Miskin Kota (Uplink) Indonesia, KPRM Makassar dan Perkumpulan Pengemudi Becak Makassar (KPBM) Lette menggelar Dialog Kebijakan Penataan Becak Makassar. Dialog ini merupakan bagian dari kegiatan advokasi JRMK, khususnya terhadap Perda No. 3/1995. Acara ini dihadiri (sebagai pembicara) wakil pemerintah kota, yakni Sekda Supomo Guntur, Kepala Dinas Perhubungan dan Kasatlantas. Pembicara lain dari Jakarta adalah Edi Saidi (UPC), Danu Supriono, kordinator Paguyuban Pengemudi Becak Solo (PPBS), dan Rasdullah, kordinator Serikat Becak Jakarta (Sebaja). Dialog ini dihadiri 60 orang yang umumnya adalah tukang becak dan aktivis organisasi rakyat.
Acara ini merupakan respon atas pemberitaan koran lokal seminggu sebelumnya, yang mengutip pernyataan anggota DPRD Kota dari fraksi Golkar terhadap keberadaan becak sebagai sarana transportasi kota. Berita ini menjadi isu yang meresahkan pengemudi becak bahwa pengoperasian becak menurut warnanya akan diberlakukan lagi - dan dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama, pemkot akan menghapus becak di Makassar. Sayangnya, tidak satu pun anggota DPRD Kota yang bersedia hadir dalam dialog tersebut.
Dari persoalan yang mengemuka dalam dialog tersebut, sikap pemerintah kota maupun aparat lalu lintas dari masa ke masa selalu ambivalen; satu sisi memungut retribusi dari tukang becak, bahkan Dinas Perhubungan bekerja sama dengan suatu organisasi pemilik becak, yakni Yayasan Pemerhati Pengemudi Becak (YPPB) sebagai pihak ketiga dalam penarikan retribusi plat nomor becak. Akibatnya, harga plat becak sudah tidak sesuai dengan tarif Perda. Di sisi lain, pemerintah menyadari Perda No. 3 tidak efektif lagi, tetapi tidak pernah melakukan revisi. Misalnya, hampir semua aturan yang membatasi aktivitas becak di dalam Perda – misalnya, 21 jalur bebas becak, aturan pengoperasian becak – tidak relevan lagi atau tidak dipatuhi oleh para tukang becak. Akan tetapi, tidak ada usaha pemerintah untuk mengevaluasi dan merevisinya. Dalam hal ini pemerintah kota seakan menyimpan bom waktu bagi tukang becak.
Berikut ini adalah ringkasan komentar dan pandangan para pembicara mewakili lembaga masing-masing, tujug tahun lalu:
(1) M. Nawir (36 thn), pemerhati becak yang bergabung dalam JRMK - KPRM, memberikan pengantar diskusi mengenai sejarah dan problematika becak di Makassar. Ia menegaskan bahwa becak adalah sarana transportasi alternatif bagi warga kota Makassar, sehingga keberadaannya perlu dipertahankan. Meskipun banyak versi mengenai asal-usul becak di Makassar, alat transportasi ini telah mengakar sejak tahun 1930-an. Ironisnya, sangat sedikit sumber-sumber tertulis mengenai becak di Makassar. Beberapa laporan penelitian justru ditulis oleh peneliti luar. Umumnya, menggambarkan liku-liku kehidupan tukang becak dan kontribusi becak bagi pertumbuhan ekonomi kota. Nawir menegaskan bahwa “sarana transportasi becak sangat diperlukan karena masih memiliki konsumen yang jelas”. Masalahnya, pemkot tidak serius melibatkan daeng-daeng becak sebagai subjek dalam menyusun kebijakan penataan becak. Misalnya, Perda No. 3/1995 mengenai plat becak, pembatasan jalur dan pewarnaan becak. Kenyataannya, perda ini tidak berjalan efektif. 
(2) Edi Saidi (35 thn), pendamping organisasi pengemudi becak UPC Jakarta menguraikan pengalamannya. Menurut dia, ada tiga pandangan yang berbeda mengenai keberadaan transportasi becak. Pandangan ini sesuai dengan kepentingan masing-masing. Pertama, pandangan pemerintah yang menganggap mengayuh becak adalah pekerjaan yang tidak manusiawi. Pandangan ini tidak benar, karena banyak pekerjaan lain seperti buruh pabrik yang juga diperlakukan tidak manusiawi. Menjadi tukang becak justru lebih bebas menentukan diri sendiri. Pemerintah juga memandang tukang becak sebagai sumber kesemrawutan. Menurut Edi, belum tentu. Soal kesemrawutan disebabkan oleh banyak faktor di antaranya sistem transportasi dan perilaku disiplin sopir angkot dan pengemudi kendaraan bermotor lainnya. Kedua, pandangan konsumen. Prinsipnya, becak ada karena ada konsumennya. Selain murah, tarifnya bisa ditawar, juga bebas polusi. Bahkan cocok untuk perempuan dibandingkan ojek. Ketiga, pandangan tukang becak dan pemilik becak. Selain menguntungkan, becak merupakan sumber lapangan kerja dengan modal kecil. Mengayuh becak itu juga sehat. Pada bagian akhir komentarnya, Edi Saidi pada prinsipnya setuju ada pengaturan. Hanya saja perlu transparansi dan pelibatan tukang becak. “Becak ibarat api, jadi jangan didekati dengan api”, demikian kuncinya. 
(3) Rasdullah (39 thn) menceritakan perlawanan tukang becak di Jakarta menentang SK Gubernur No. 11 Tahun 1988 yang hendak menghapus becak. Meskipun ada pelarangan, becak khususnya di Jakarta Utara terus beroperasi. Sering terjadi bentrok antara tukang becak dengan petugas penertiban (Trantib). Selain demo, tukang becak yang didampingi  Konsorsium Kemiskinan Kota juga memperkuat organisasi dengan kegiatan tabungan, radio kampung, kesehatan alternatif, dan diskusi. Hingga saat ini, Sebaja, Serikat Becak Jakarta memiliki anggota 3000-an pemilik dan tukang becak yang masih bertahan di Jakarta. Mereka mengayuh becak untuk mengatasi masalah kemiskinan dan susahnya mendapatkan pekerjaan. Penggusuran tukang becak akan mengakibatkan peningkatan angka pengangguran dan kriminalitas. “Lebih baik jadi tukang becak, nggak pernah korupsi”, demikian keyakinan Rasdullah.
(4) Danu Supriono (56 thn) juga menceritakan kondisi becak di Solo. Mereka tergabung dalam Paguyuban Pengemudi Becak Surakarta (PPBS). Anggotanya, 3.300 tukang becak. Selain aktif berorganisasi dan menabung, PPBS bekerja sama dengan DLLAJR juga menfasilitasi tukang becak dalam pengurusan surat-surat becak seperti SIM, KIR, dan PLAT becak. Biaya pengurusan surat-surat itu hanya Rp 8.500,- pertahun, dan prosedurnya tidak rumit. Pak Danu mengajak daeng-daeng becak di makassar untuk aktif berorganisasi agar bisa memperjuangkan sendiri haknya tanpa perantara pihak lain. Saat ini pak Danu bersama Rasdullan sedang mensosialisasikan rencana KONGRES BECAK se-Indonesia di Yogyakarta pada bulan Desember 2003. 
Tanggapan pemerintah kota atas persoalan tersebut dikemukakan secara gamblang oleh Sekda Supomo Guntur (saat ini menjabat wakil walikota Makassar periode 2008-2014). Dia menegaskan bahwa penataan dan pembatasan becak diperlukan untuk mengurangi beban kota. “Kebijakan pewarnaan becak itu adalah ide saya”, tegasnya. Kenyataannya, pekerjaan becak menjadi motivasi etnis tertentu untuk bermigrasi. “Saya ini orang Jeneponto, pernah jadi camat di Makassar, jadi saya banyak tahu perilaku daeng becak di Makassar dan di kampungnya”. Supomo menegaskan bahwa sampai saat ini pemkot belum berencana  menghapus becak. “Yang ada hanya pengaturan”. Ia juga membantah kalau Perda No. 3/1995 tidak berjalan efektif. Meskipun diakui, masih ada penyimpangan di lapangan, misalnya mengenai harga plat nomor becak dan jalur bebas becak. Menurutnya, itu karena daeng becak sendiri yang tidak mau patuh. Pada bagian akhir penuturannya, Supomo mendukung perlunya asosiasi atau pun perkumpulan becak di tingkat kota makassar.
Selanjutnya, Supomo meminta Kadis Perhubungan menjelaskan teknis pelaksanaan Perda. Menurut Ruslan, plat becak ditujukan kepada pengusaha becak, bukan untuk pengemudi becak. Harga plat becak menurut perda Rp 8.500 sebagai retribusi PAD. Pendistribusiannya melalui Yayasan Pemerhati Pengemudi Becak. Akan tetapi, Ruslan menegaskan bahwa untuk mendapatkan plat tidak harus melalui Yayasan. “Yang jelas, plat itu diperuntukkan bagi pengusaha becak”, jelasnya. Jadi bila ada harga plat sampai Rp 20.000,- bisa jadi diperjualbelikan oleh pengusaha atau sesama daeng becak. Mengenai 21 jalur bebas becak, Kadis perhubungan akan meninjau kembali pembatasan tersebut. Penjelasan Sekda Supomo Guntur dan Kadis Perhubungan mendapat reaksi spontan dari para tukang becak.
(1) Daeng Lau, dari Yayasan Pemerhati Pengemudi Becak membantah kalau pihaknya menjual plat seharga Rp 20.000 – Rp 25.000. Kalau terjadi demikian, pihaknya meminta laporan dari daeng becak. Begitu juga bila terjadi penggusuran, pihaknya siap membantu. Namun, penjelasan Daeng Lau mengenai harga plat Rp 8.500 menjadi Rp 15.000,- tidak memuaskan peserta dialog karena bertolak belakang dengan apa yang diakui daeng becak. 
(2) Masdar, mewakili Kumpulan Pengemudi Becak (KPB) Lette dan Rajawali, mengaku telah menyampaikan protes kepada dinas perhubungan mengenai keberadaan Yayasan. Menurutnya, pelibatan Yayasan sebagai mitra dinas perhubungan tidak tepat. Karena, yayasan adalah organisasi nirlaba, bukan perusahaan. Akibatnya, ada oknum perhubungan yang bermain dengan Yayasan mencari keuntungan. Ia meminta dinas perhubungan agar membuka akses bagi KPBM untuk mengurus plat sendiri. 
(3) Daeng Talle, tukang becak dari jalan Rajawali, baru menyadari kalau harga plat menurut Perda hanya Rp 8.500. Ia sendiri membeli plat seharga Rp 15.000. Ia meminta kepada Pemkot agar daeng becak tidak dijadikan objek pemerasan.
(4) Daeng Makka dari jalan Barukang, mengakui bahwa ia baru tahu kalau ada yayasan yang mengurus plat becak. “Saya baru tahu ada yayasan di ruangan ni. Selama ini tidak pernah ada pemberitahuan (sosialisasi) mengenai pengurus dan kegiatannya”. Bahkan banyak tukang becak yang tidak memiliki plat kena sweeping karena tidak tahu. Akibatnya, daeng becak harus membayar Rp 25.000. 
(5) Andika, pengemudi becak di jalan Sunu mengusulkan agar Pemkot memasang spanduk di jalan mengenai biaya dan prosedur memperoleh nomor plat becak. “Harga Rp 15.000 itu bisa diterima kalau ada pelayanan kepada daeng becak, misalnya asuransi dan pembinaan kepada daeng becak, sehingga ditahu kemana larinya selisih Rp 6.500”, kunci Andika.
Catatan penting dari resume dialog kebijakan penataan becak tujuh tahun lalu itu bahwa negara, dalam hal ini aparatur pemerintahan selalu bersikap ambivalen, standar ganda terhadap kebijakan yang dibuatnya sendiri. Hal ini berlangsung dari masa ke masa. Jelas, di balik ambivalensi itu pemerintah dan para politisi memiliki kepentingan besar terhadap tukang becak dan pekerja sektor informal lainnya, baik ekonomi maupun politik. Di luar kepentingan itu adalah kebutuhan sebagian warga kota yang membutuhkan transportasi becak sebagai sarana transportasi yang kultural, familiar, ramah lingkungan, dan tidak boros bahan bakar.
Penutup: Kembali Ke Akar Persoalan
Situasi yang mirip dua tahun terakhir ini adalah pesatnya pertumbuhan becak motor (bentor). Pada tahun 2003-2004, becak yang menggunakan mesin, masih bisa dihitung jari. Itu pun mesin kendaraan bermotor bekas yang dipermak menjadi becak. Saat ini, seiring dengan boom kredit motor roda dua, para pengusaha/dealer terlibat langsung membiayai bentor dengan skema uang muka rendah, bahkan tanpa uang muka. Jumlahnya, saat ini diperkirakan sudah mencapai 5000-an bentor di kota Makassar. Penambahan jumlah yang luar biasa cepat. Padahal, tidak ada peraturan atau belum pernah pemerintah membahas peraturan tentang status bentor. Oleh karena itu, dari sisi kebijkan pemkot, bentor sebenarnya ilegal seperti laiknya ojek, tetapi tidak sama dengan becak yang diatur dalam Perda sebagai kendaraan tidak bermesin dan tidak berbahan bakar.  
Ketika pemerintah hendak menertibkan bentor, lagi-lagi pemerintah 'kecut' hanya karena didemo berkali-kali secara massal. Kembali ke persoalan pokok, yakni ambivalensi sikap pemerintah. Menyalahkan para kaum urban si tukang becak pun tidaklah tepat, terlambat. Karena, seperti yang dimaksud James Scott dan Wardah Hafidz, bahwa karakteristik dasar kaum urban adalah siasat perlawanan samar, jaringan informal, dan bereaksi jika diganggu entitas kehidupannya. Pada titik ini, kelemahan individual para tukang becak bisa berubah menjadi kekuatan penekan ketika jumlah mereka semakin besar dan terorganisasi. Pada akhirnya, mereka sampai pada posisi 'political-bargainner'. Tentu saja, politisi yang cerdik dan pragmatik, tidak akan mengambil resiko menghadapi tekanan dari para tukang tukang becak dan kaum urban pada umumnya.

4 komentar:

dodo jogja mengatakan...

kereeeeeeeennnnn

tomi ilham mengatakan...

good .........

AWI MN mengatakan...

thank, komen anda

Unknown mengatakan...

apakah boleh tulisan ini direpost di website kami www.rumahbacakomunitas.com salam. email saya defendi83@gmail.com

Posting Komentar