30 Mei 2011

Perlindungan Hak Atas Perumahan yang Layak


Hak atas perumahan yang layak berlaku bagi setiap orang. Hak ini secara integral terkait dengan hak asasi manusia lain yang termuat dalam dua kovenan internasional; Konvensi Hak Sipil dan Politik, serta Konvensi Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Berdasarkan instrumen hukum yang telah diakui dan diratifikasi pemerintah Indonesia, serta hukum nasional yang berlaku, negara memiliki kewajiban untuk mempromosikan, menghormati, melindungi, dan memenuhi hak atas perumahan yang layak bagi semua orang. Instrumen hukum yang menjamin hak atas perumahan sebagai berikut:

28 Mei 2011

Rencana Jadi Bencana

pamflet protes korban lumpur lapindo
Catatan dari Kasus Lumpur PT Lapindo Brantas Sidoarjo
(17-29 Desember 2006)
M, Nawir
Akhir tahun 2006, setahun setelah semburan pertama pada 26 Mei 2006, saya melakukan observasi beberapa desa di kecamatan Porong dan Tanggulangin yang terendam dan hampir terendam lumpur lapindo. Sebagian besar wilayah desa Renokenongo, Jati Rejo, Siring kecamatan Porong, serta Perumtas I kecamatan Tanggulangin sudah terendam lumpur. Warga keempat desa tersebut sudah mengungsi dan tersebar di Sidoarjo dan sekitarnya.  Mereka  menyepakati mekanisme penyelesaian "cash and carry", dimana setiap warga mendapat biaya kontrak rumah dan uang makan. Sedangkan Desa Kedung Bendo kecamatan Tanggulangin pada waktu itu baru saja terendam luapan lumpur. Pada awal Januari 2007, warga desa tersebut mengungsi di pasar baru Porong.

27 Mei 2011

Sisakan 25% Energi untuk Mengurusi Politik


Olle Tornquist
Olle Torquist
Model-Model Demokratisasi
Transisi demokrasi didominasi yang banyak terjadi saat ini didominasi oleh model yang dipicu oleh ketegangan di tingkat elit: demokratisasi terjadi kalau ada gesekan kepentingan dan kekuatan di tingkat elit yang menyebabkan dijatuhkannya sang penguasa puncak, diganti oleh penguasa baru, dengan kompromi yang bentuk umumnya adalah pemberian konsesi ekonomi kepada penguasa lama yang dimundurkan, dan dimasukkannya sebagian orang lama dari masa penguasa lama ke dalam posisi-posisi di pemerintahan penguasa baru. Tekanan internasional mengambil peranan penting untuk memaksa terjadinya pergeseran-pergeseran di tingkat elit tersebut.
Pendekatan yang elitis ini berawal dari Spanyol yang pada tahun 1970-an diperintah oleh diktator yang bernama Jenderal Franco. Kejatuhan Jenderal Franco dan masuknya negara ini ke dalam alam demokrasi dinilai sebagai contoh dari pentingnya peran elit dalam transisi demokrasi. Kecenderungan ini kemudian menyebar ke Amerika Latin yang masyarakatnya memiliki sejarah panjang perbenturan antara gerakan radikal dengan kekuasaan otoriter, kemudian menular ke Eropa Timur setelah runtuhnya Yugoslavia, lalu ke Afrika, Asia, termasuk Indonesia.

17 Mei 2011

Buruh dan Petani

Dari Kelas Pekerja Menjadi Konsumen
Don K. Marut2 
“Teknisi Kekuasaan (Policy Wonk) adalah musuh utama Buruh dan Petani”
Konsep tentang buruh (dan petani) dewasa ini mengalami degradasi makna dan bahkan pemaknaan yang negatif, tidak hanya dalam debat filosofis, tetapi juga dalam teori perundang-undangan, politik dan terutama ekonomi. Semula buruh (dan petani) mengacu terutama pada persoalan nilai. Konsep tentang buruh-tani dan nilai mengandung makna saling memaknai: buruh-tani mengandung makna sebagai upaya dan faktor penciptaan nilai. Dalam pemahaman ini buruh-petani berfungsi sebagai kekuatan analitik sosial yang memaknai produksi nilai melintasi seluruh spektrum sosial, termasuk ekonomi dan budaya. Melihat buruh dan petani di dalam konteks proses penciptaan nilai bisa menjadi lensa yang tepat dan paling jernih untuk melihat keseluruhan produksi, tidak hanya sekedar produksi pengetahuan dan identitas (sebagai suatu kelas), tetapi produksi keseluruhan masyarakat.

15 Mei 2011

Mengkritisi Kebijakan LLAJR

Punk Dhie
Aktivis Jurnalis di Kendari
Sebab, lampu motor pada siang hari dinyalakan, maka persoalan baru pun dimunculkan. Berpayung pada UU No. 22 Tahun 2009. petugas jalan raya (Polantas dan LLAJ) mewajibkan pengendara motor menyalakan lampu pada siang hari. Petikan pasal 107 ayat 1 dan 2 sebagai berikut:
  • Pengemudi Kendaraan Bermotor wajib menyalakan lampu utama Kendaraan Bermotor yang digunakan di Jalan pada malam hari dan pada kondisi tertentu.
  • Pengemudi Sepeda Motor selain mematuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menyalakan lampu utama pada siang hari.

10 Mei 2011

Sekolah Informal Bagi Anak Miskin Kota


Catatan yang Tercecer dari KPRM
Punk Dhie
Aktivis Jurnalis di Kendari
Formalitas sistem pendidikan yang dianut negeri ini memberi beban terhadap proses pertumbuhan dan perkembangan anak miskin perkotaan. Selama ini, mereka yang akrab dengan kehidupan informal selalu terbentur dengan biaya sekolah yang mahal, ditambah dengan kewajiban mengenakan seragamserta aturan lain yang tidak berdampak pada perubahan kualitas anak didik. Banyak contoh kasus diskriminasi para pendidik terhadap siswa miskin di sekolah dasar. Dengan pendekatan formalisme ini mengakibatkan rendahnya kreatifitas siswa.
Sejauh ini yang saya ketahui, anak-anak perkampungan miskin di kota-kota besar di Indonesia adalah anak-anak yang sejak dini hidup dalam budaya informal. Dalam bermain misalnya, mereka menggunakan “benda apa saja” yang bisa mereka gunakan untuk bermain dan bereksplorasi. Penggunaan benda-benda yang akrab di lingkungan mereka berkaitan langsung dengan kondisi ekonomi mereka yang memang tidak sanggup membeli benda mainan toko. Namun, kondisi ini justru memicu kreatifitas serta membentuk kultur anak kampung, yang kelak menjadi kekuatan bagi dirinya di masa akan datang.

5 Mei 2011

Gerakan Rakyat dalam Transisi Reformasi

Materi Diskusi Mahasiswa Sejarah Unhas
M. Nawir
Reformasi telah melahirkan konsensus politik baru yang menjadi sumber legitimasi bagi kebebasan berserikat dan mengeluarkan pendapat. Aktor-aktor prodemokrasi sebagai agen perubahan sosial menjadikan konsensus politik itu sebagai peluang untuk mempengaruhi, mengatur posisi, bahkan memposisikan diri di dalam struktur politik. Sumber daya sosial dan politik dikerahkan untuk memastikan bahwa aktor-aktor prodemokrasi, termasuk LSM menegaskan dirinya sebagai kekuatan sosial ketiga setelah negara dan pengusaha, yang menopang dinamika politik.

Materi Diskusi Mahasiswa Jurusan Sejarah Unhas

M. Nawir

Institut Rumah Kampung Kota

Reformasi telah melahirkan konsensus politik baru yang menjadi sumber legitimasi bagi kebebasan berserikat dan mengeluarkan pendapat. Aktor-aktor prodemokrasi sebagai agen perubahan sosial menjadikan konsensus politik itu sebagai peluang untuk mempengaruhi, mengatur posisi,bahkan memposisikan diri di dalam struktur politik. Sumber daya sosial dan politik dikerahkan untuk memastikan bahwa aktor-aktor prodemokrasi, termasuk LSM menegaskan dirinya sebagai kekuatan sosial ketiga setelah negara dan pengusaha, yang menopang dinamika politik.

Selain kebebasan berserikat dan mengeluarkan pendapat, konsensus politik reformasi telah membuka berbagai bentuk institusi publik yang diandaikan mampu mereprentasikan dan mengartikulasikan kepentingannya. Struktur politik multi partai, pemilihan langsung, dan pengembangan lembaga-lembaga adhoc sebagai perpanjangan tangan birokrasi pemerintah.

Euforia reformasi politik memicu terjadinya konflik horisontal antar warga di tingkat kampung. Ada dua hal yang penting dicatat berkaitan dengan hal tersebut; pertama, praktek-praktek kekuatan politik lama yang dimotori oleh partai politik, aparat birokrasi, tokoh-tokoh lokal dan pemilik modal masih bekerja efektif menggunakan kemampuan simboliknya untuk menjinakkan sekaligus meliarkan cara berpikir dan bertindak masyarakat akar rumput, terutama rakyat miskin. Kedua, bahasa atau pun jargon-jargon perubahan yang disosialisasikan agen-agen reformis tidak sampai bisa menjawab tuntutan prakmatik rakyat miskin di kampung-kampung, apalagi memenuhi kebutuhan strategisnya.

Berbagai forum yang merefleksi peranan agen-agen reformasi politik di Indonesia menyimpulkan bahwa telah terjadi krisis representasi ekonomi dan sosial-politik rakyat. Olle Tornquist dalam Demokrasi di Atas Pasir (September, 2009) mengulas terjadinya eksklusivitas para agen reformasi dari pengorganisaian rakyat dan tuntutan hak-hak dasar mereka (basic need).

Karakteristik Gerakan Rakyat

Social movements are “conscious, concerted and relatively sustained efforts by organized groups of ordinary people to change some aspect of their society by using extra-institutional means” (p. 5). Two chief elements of social movements, as articulated by Jasper, may be helpful to consider—first, a change in consciousness, and second, a change in behavior (Jasper dalam Progressive Community Organizing, Loretta Pyles, 2009)

Basis massa akar rumput, yang relatif berjarak dengan konsensus politik reformasi itu, justru mengembangkan praktik-praktik disposisinya sendiri sesuai tuntutan sehari-hari yang nyata dialaminya. Terjadi kesenjangan informasi, cara berpikir, mempersepsi, dan bertindak, yang dilakukan orang-orang kampung dengan apa yang dilakukan aktor-aktor prodemokrasi. Kesenjangan ini menciptakan konflik, dimana mayoritas orang-orang di tingkat akar rumput itu terlepas dari gerak politik reformasi. Tidak terbentuk kesadaran kritis (ideololgis-politis) yang menggerakkan rakyat secara kolektif mengubah struktur dominan lama di tingkat institusi lokal atau pun kampung. Sebaliknya, massa rakyat mempersepsi reformasi sebagai ancaman terhadap keberlangsungan pekerjaan, relasi patron-klien, dan stabilitas keamanan kampung.

Organisasi rakyat berbasis kampung dan kaum marjinal (miskin), justru bergerak lebih efektif menggugat mandat negara di dalam konstitusi. Jika para agen reformis mengadvokasi tata kelembagaan politik, birokrasi dan penegakan hukum (law enforcement), maka organisasi rakyat menggalang dukungan, menuntut kesejahteraan ekonomi, sosial dan budaya. Mereka membuat arena sendiri sambil menguatkan identitas, kapasitas dan solidaritas perjuangan.

Organisasi Rakyat dibedakan secara tegas dengan organisasi masyarakat sipil lainnya (civil society organization) seperti LSM maupun Orsospol:

Organisasi rakyat dapat didefinisikan sebagai organisasi yang demokratis, yang mewakili kepentingan dan bertanggung jawab kepada anggotanya. Dibentuk oleh orang-orang yang mengenal satu sama lain, atau yang berbagi pengalaman bersama, dan mereka melanjutkan keberadaannya tanpa tergantung pada insiatif atau pun pendanaan dari luar. Di negara-negara berkembang, rakyat terorganisasi dalam kelompok-kelompok kecil, berbasis lokal dan longgar. Representasi mereka tidak terbatas di tingkatan akar rumput; mereka juga menyebar ke atas dan ke luar dari basis lokal ke tingkat regional dan nasional, dan mewakili jaringan masyarakat, kelompok profesional atau pun serikat pekerja (dikutip dari People in the CO dalam Human Development Index, 1993).

Ciri utama Organisasi Rakyat  (OR) yang pernah dirumuskan aktivis gerakan rakyat adalah (1) didirikan oleh warga setempat, bukan oleh orang luar; (2) adalah organisasi berbasis keanggotaan perseorangan (membership based), bukan keanggotaan organisasi; (3) tidak terikat oleh aturan formal yang dikenakan pada LSM maupun Ormas pada umumnya; (4) struktur tertinggi dan mekanisme pertanggung-gugatan dalam OR ditentukan oleh anggota; (5) sumber pokok pembiayaan OR adalah sumbangan atau iuran anggota; (6) program utama OR bertolak dari kebutuhan nyata, praktis, dan karena itu berorientasi pada pelayanan.

Secara ideal, jarang sekali OR yang memenuhi semua ciri-ciri di atas dan bertahan dalam waktu lama. Di Makassar, KPRM maupun organisasi kampung dan sektor informal bisa bertahan karena beberapa prasyarat dasar:

Pertama, adanya masalah aktual yang terus-menerus direspon di tingkat kelompok sampai di tingkat kota. Kedua, adanya kader-kader penggerak atau organizer kampung, dan aktifis pendamping yang berintegrasi ke dalam OR. Kader dan organizer ini yang bekerja efektif memediasi kepentingan anggota yang berbeda-beda. Ketiga, adanya kasus yang sama dialami oleh orang-orang kampung, misalnya sengketa tanah dan ruang ekonomi. Beberapa forum warga di Makassar tetap eksis sebagai OR di tingkat kampung karena warga yang tergabung dalam posisi tergugat oleh musuh bersama. Tingkat swadaya relatif tinggi, mampu membiayai pengacara dan aksi-aksi massa; Keempat, adanya kegiatan ekonomi bersama di suatu locus. Beberapa asosiasi-asosiasi PKL masih eksis karena anggotanya relatif tidak bermasalah dari sisi pendapatan. Hal yang berbeda dialami pedagang yang berjualan di trotoar dan pinggiran jalan, yang bubar ketika organisasi tidak sanggup mengadvokasi sampai ke tingkat kebijakan politik. Kelima, jaringan organisasi pendukung yang meluas dan bertingkat-tingkat terbukti efektif bagi OR dalam memperkuat pengaruh ke struktur kekuatan politik.

Potensi Hegemoni Gerakan

What this definition misses is the fact that Gramsci not only used the term``hegemony’’ to describe the activities of the ruling class, he also used it to describe the influence exerted by progressive forces.... it is in fact the process by which social groups – be they progressive, regressive, reformist, etc. – come to gain the power to lead, how they expand their power and maintain it (International Journal of Socialist Renewal, http://links.org.au/node/1260).

Konsep hegemoni merujuk pada proses sosial di mana kelompok-kelompok progresif, regresif maupun reformis, meraih kekuasaan, memimpin, memperluas kekuasaan dan mempertahankannya. Dalam hal ini, organisasi gerakan rakyat, kekuatan sosial pro demokrasi, termasuk LSM berpotensi menjadi aktor hegemoni progresif, yakni kelompok-kelompok subalternus yang mengandalkan konsensus demokrasi sebagai arena perjuangan politiknya. Gramsci menekankan arti penting aliansi strategis organisasi gerakan sosial – buruh, kaum miskin kota, petani, intelektual – dengan organisasi gerakan politik atau partai politik untuk mencapai tujuan hegemonik.

Namun, Gramsci menekankan tiga prasyarat penting dalam membangun gerakan sistimatis yang hegemonis, yakni: Pertama, pembentukan "korporat-ekonomis" (economic-corporate), dimana setiap anggota suatu perkumpulan bergerak bersama (afiliation) atas dasar kesesamaan kepentingan ekonomi praktis saja. Kedua, pengembangan rasa solidaritas berbasis korporasi-ekonomi ke dalam arena sosial untuk meningkatkan "posisi bargain"; Ketiga, adanya suatu pandangan dunia (worldview) yang melampaui kesadaran kelas, dan pada tahapan ini organisasi rakyat memasuki arena konflik poliitk bahkan ideologis berhadapan kelas sosial yang lain.

Organisasi gerakan rakyat, sebagaimana umumnya terjadi di Indonesia, ketika memasuki arena gerakan politik, mengalami goncangan yang luar biasa. Organisasi gerakan bisa gagal sebagai sebuah kekuatan hegemonik dan menjadi "kelompok subordinat" dari kekuatan hegemoni regresif. Banyak contoh dimana kepentingan aktor-aktor kunci dari organisasi gerakan melepaskan diri dari akar kelas sosialnya, memaksakan kehendak (coersive) dan manipulatif, kemudian menjadi bagian dari kelompok hegemoni regresif. Itulah sebabnya, Gramsci menegaskan pentingnya menjaga tiga prinsip membangun gerakan progresif, yakni keterbukaan (openess), demokrasi (democracy), dan konsensus (consencuss). Ketiga hal ini adalah pondasi bagi perjuangan membentuk sistim politik yang sosialistik-demokratis.

Penutup

Reformasi telah memulihkan kebebasan berserikat dan mengartikulasikan kepentingan orang-orang miskin dalam batas-batas arena yang diperjuangkan organisasi rakyat. Terasa ironis, ketika disadari bahwa arena politik dewasa ini melampaui apa yang diapresiasi orang-orang miskin dan organisasi rakyat itu sendiri. Kekuatan simbolik yang bekerja di balik kebijakan negara adalah arena yang tidak tersentuh.

Motif gerakan dan cara-cara orang miskin merespon persoalan nyata sekaligus substansial dalam transisi reformasi politik, membuktikan bahwa organisasi rakyat berpotensi melahirkan perubahan radikal. Persoalan dasar yang hampir tidak ada habisnya itu menjadi faktor pendorong (permanen?) pertumbuhan organisasi gerakan rakyat. Sebaliknya, rakyat yang teroganisasi akan mengartikulasikan kepentingan dan cita-cita perubahan yang diyakininya. (@wi, 05/05/2011)