18 Agu 2012

Lembar Kasus Tanah Kampung Buloa (2008-2012)

https://www.youtube.com/watch?v=_BA5qIL_rUo
 Kampung Buloa terletak di kelurahan Buloa RT 08 RW 02 Kecamatan Tallo, sebuah pemukiman warga dan nelayan pesisir utara kota Makassar. Semula lahan pemukiman warga Buloa merupakan wilayah lautan yang surut akibat pengerukan di sekitar muara sungai Tallo. Endapan pasir dan lumpur membentuk daratan, yang dijadikan pemukiman oleh warga dari RT 01 dan para pendatang. Warga bermukim di lokasi ini sejak 20 lalu.

Warga merintis pemukiman ini pada tahun 1970-an dengan cara memanfaatkan sedimentasi dan menimbun lokasi pada saat air laut surut. Sebagian lagi menimbum lahan bekas empang. Pemukiman ini dihuni sekitar 1.000 jiwa (300 KK) atau 12% dari 7.158 total penduduk kelurahan Bulua. Sebanyak 50 KK di RT 08 yang berumah di atas air laut.

Pada tahun 1980-an pemukiman ini mulai padat karena jual beli lahan sudah terjadi. Umumnya bukti kepemilikan lahan berupa kwitansi jual-beli dari penggarap/pemilik. Surat Pajak Bumi Bangunan (PBB) pernah diterbitkan pemerintah setempat, tetapi dihentikan dengan alasan yang tidak jelas. Klaim hak atas tanah warga mendasarkan pada laut yang surut, dan tanah pemerintah yang melewati daluarsa.

 

Posisi Kasus

Ada 8 pihak yang mengakui kepemilikan tanah di Buloa. Pihak yang paling gigih adalah Gazali berdasarkan bukti kepemilikan sertifikat (belum diklarifikasi). Setelah Gazali meninggal dunia, klaim dilanjutkan oleh Hj. Rosmiah, istrinya. Sekitar tahun 2009 terjadi bentrok antara preman dan polisi dengan warga, dan kemudian diredakan oleh pihak Kesultanan Kerajaan Tallo yang mengklaim lokasi itu merupakan tanah adat.

Pada bulan Mei 2012, Hj. Ros kembali dengan preman dan polisi bermaksud akan menggusur warga secara paksa. Warga menolak tawaran ganti rugi Rp 2 juta per-rumah. Warga yang memprotes pematokan batas pagar mendapat surat panggilan dari Polsek Tallo. Beberapa warga dipanggil satu per-satu untuk menerima tawaran ganti rugi Rp 10 juta.

Kasus Buloa mencuat pertama kali tahun 2008, ketika pengusaha melakukan penimbunan di pesisir. Kelompok nelayan menyampaikan masalah ini kepada pemerintah setempat (lurah, camat) karena merasa terancam oleh aktivitas penimbunan. Lokasi penimbunan merupakan tempat para nelayan menambatkan perahu, mencari kerang, ikan kecil, serta jalur lalu lintas perahu. Warga pun mengadukan hal ini kepada Lurah, Camat hingga kepada anggota DPRD kota dengan harapan tuntutan mereka segera ditindaklanjuti. Mereka juga mendesak Pemprov dan DPRD Sulsel menghentikan penimbunan laut pesisir Buloa, menghentikan intimidasi dari preman, serta mengusut pelaku mafia tanah.

Pemerintah Indonesia, dalam hal ini PT Pelindo sedang membangun pelabuhan baru (New Port Makassar). Menurut ketua Bappeda (Makassar Kota Dunia 2022, 6/08/2010), pembangunan pelabuhan peti kemas atau Makassar New Port (MNP) di Pantai Buloa seluas 150 hektare dengan investasi sebesar Rp 1,5 triliun. Pemerintah daerah juga mengembangkan proyek Normalisasi dan Revitalisasi Sungai Tallo yang akan didanai oleh Bank Dunia (Koran Tempo, 01/12/2021.

Tahap pertama, pemerintah kota memberikan izin kepada pengusaha, yakni PT Mujur Jaya. Pengusaha di belakang penimbunan (reklamasi) tersebut adalah Jen Tang alias Soedirdjo Aliman. PT Mujur Jaya memiliki surat rekomendasi atau izin beroperasi dari Walikota Makassar.  Namun, pada saat penimbunan dilakukan, belum ada dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) sesuai dengan isi surat rekomendasi tersebut. Hal ini yang membuat kegiatan penimbunan laut dihentikan untuk sementara, sambil menunggu kejelasan status izin kegiatan

Di sisi lain, pemukiman warga digugat oleh Hj. Rosmiah, yang mengaku berhak atas tanah Buloa seluas 27.592 m² berdasarkan sertifikat hak milik bernomor 347 yang dikeluarkan oleh BPN tahun 1995 dari sertifikat induk nomor 441 bertahun 1994. Atas dasar tersebut, pihak Hj. Rosmiah memaksa 50 KK warga Buloa menerima ganti rugi Rp 10-20 juta per-rumah. Dengan melibatkan preman bayaran, Hj. Rosmiah membangun tembok pembatas, sehingga akses jalan warga terbatas.

Intimidasi dan teror terhadap warga yang menolak ganti rugi berlanjut hingga di gedung DPRD Kota Makassar. Pada saat Rapat Dengar Pendapat Komisi A Bidang Pemerintahan (Tribun Timur, 21 Juni 2012), 30 warga Buloa bertahan di ruang aspirasi karena diancam oleh preman bayaran. Aksi ini berhenti setelah warga melapor dan meminta pengawalan Provost Polrestabes Kota Makassar.

Saat ini tersisa 25 KK warga Buloa yang menolak ganti rugi dan tetap bertahan di lokasi. Mereka masih merasa was-was akan terdampak rencana pembangunan megaproyek di sepanjang pesisir utara kota Makassar, dari pelabuhan Paotere hingga ke Lakkang kecamatan Tallo. Sehubungan situasi ini, Forum Warga Buloa yang didampingi oleh KPRM dan YLBHM menyampaikan tuntutan kepada pemerintah kota agar memediasi hak warga dalam hal:

(1)    Keamanan bermukim;

(2)    Kemudahan akses pembuatan sertifikat tanah;

(3)    Ketersediaan air bersih dan Jamkesmas.

(Dirangkum dari catatan Tim Advokasi Buloa, KPRM-YLBHM)