9 Sep 2012

Arsitek Kampung Bungkutoko


M. Nawir
Istilah arsitek kampung atau pun arsitek komunitas akhir-akhir ini sering digunakan oleh sejumlah aktivis-intelektual perkotaan untuk menyebut sekelompok praktisi yang bekerja sama dengan masyarakat akar rumput dalam menata maupun membangun suatu pemukiman. Sebelumnya, kalangan perencana kota/pemukiman pernah mempopulerkan istilah barefoot architect (arsitek telanjang kaki), yakni arsitek yang melakukan pendampingan teknis kepada masyarakat yang membutuhkannya, terutama masyarakat miskin. Misalnya, pasca rekonstruksi Aceh 2004, beberapa perguruan tinggi bekerjasama dengan UN Habitat merekrut mahasiswa jurusan teknik arsitek menjadi relawan sekaligus teknisi perencana pemukiman di lokasi bencana. Selanjutnya, istilah barefoot architect - yang sebenarnya diinsiprasi dari konsep barefoot doctors atau "dokter telanjang kaki" pada masa kepemimpinan Mao Tse Tung di China - kemudian dipertegas lagi dengan istilah arsitek komunitas (community/social architect) untuk menjelaskan fungsi-fungsi sosial seorang arsitek/perencana dalam memecahkan masalah pemukiman masyarakat miskin perkotaan. Sejumlah arsitek dan pekerja sosial di Yogyakarta menamakan dirinya Jaringan Arkom (Arsitek Komunitas) pasca letusan Merapi dua tahun lalu.


Visi arsitek untuk komunitas banyak diinspirasi oleh arsitek senior di Asia, di antaranya George Ansorena, seorang pastor yang mengabdikan dirinya lebih dari 30 tahun di pemukiman-pemukiman miskin di Jepang. Demikian halnya Khirtee di New Delhi, Sandeep dan Kiran di Gujarat India, Arif Hassan di Karachi, dan Romo Mangun di Yogyakarta pada tahun 70/80-an. Meskipun profesi mereka mulanya adalah praktisi perencana/arsitek, dalam pengabdian pada kaum miskin kota, mereka bekerja dengan pengorganisasian masyarakat laiknya pekerja sosial.
Istilah Arsitek Kampung (Arkam) juga diinspirasi dari konsep arsitek komunitas, yang maksudnya ingin lebih menegaskan peranan "orang kampung" sendiri dalam suatu program. Para pegiat Arkom menyadari betul ada banyak ahli berpengalaman yang berkontribusi besar dalam membangun rumah dan lingkungan pemukiman, dengan atau tanpa bantuan aristek/perencana sekolahan. Terjadi pertukaran pengalaman/[pengetahuan lokal dan keahlian moderen di tingkatan kerja (praksis). Aktivis arkom mulai dipengaruhi oleh detil-detil struktur sebuha rumah dengan segala variasi dan ornamennya di bubungan rumah, teras, pintu, jendela, tangga, sampai dapur. Semua itu dibuat secara sadar dan terencana.
Bagaimana praktik kerja arsitek kampung? Saya terkesan pada karya orang-orang kampung di Bungkutoko kecamatan Abeli kota Kendari.
Bedah Kampung vs Bedah Rumah
 Gagasan tentang Bedah Kampung Terpadu (integrated upgrading kampung) mulai dilaunching Bappeda kota Makassar dan Komite Perjuangan Rakyat Miskin (KPRM) dalam suatu workshop di hotel Losari Beach, 13-14 April 2011. KPRM mengajukan konsep bedah kampung untuk mengganti program Bedah Rumah Dinas Sosial. Bedah kampung dipandang lebih komprehensif, efisien dan tepat sasaran. Pada banyak kasus, bantuan perbaikan rumah tidak layak huni (RTLH) yang nilainya 5 – 10 juta rupiah tidak utuh diterima warga. Padahal dalam setahun, pemkot menggulirkan proyek ini kepada 200-an rumah tangga miskin.
Program bedah kampung merupakan tindak lanjut kesepakatan KPRM dengan Walikota Makassar, Ilham Arief Sirajuddin dalam menemukan alternatif penyelesaian sengketa pertanahan/pemukiman dan pengentasan kemiskinan, yakni berbagi lahan (land sharing). Meskipun masih terkendala oleh legalitas tanah, KPRM mengajukan Kampung Pisang kelurahan Maccini Sombala sebagai lokasi percontohan. Pasca lokakarya dengan Bappeda, KPRM bekerjsama dengan ARKOM Yogya dan Rujak Centre melakukan pemetaan dan perencanaan kampong seluas 7.000 meter dari 3,7 hektar lahan sengketa. Hasilnya, sebuah desain pemukiman yang berwawasan lingkungan, yang disertai dengan komitmen warga untuk membongkar rumah sendiri, menimbun lahan, dan menggunakan material bekas untuk membangun rumah di lokasi yang mereka inginkan.
Warga kampung pisang menerima konsep bedah kampung terpadu sebagai metode resolusi konflik baik secara ke dalam (sesama warga) maupun konflik dengan pihak pemilik tanah, dimana pemerintah kota bertidak sebagai mediator. Keputusan diambil secara terbuka dengan menghadirkan seluruh pemilik rumah, terutama kesediaan mereka untuk memindahkan rumah masing-masing ke dalam areal yang disepakati. Warga juga belajar bekerja bersama mengukur luas lahan, batas-batas perumahan, jalan, desain rumah yang diinginkan, letak balai warga, dan tempat pembuangan sampah. Para tukang kampung dan perencana/arsitek sekolahan saling bertukar pengetahuan teknis. Kerjasama ini melahirkan sebuah desain tata kampung yang detail disertai maket pemukiman. Meski, pihak pemkot Makassar dinilai gagal berperan sebagai mediator land sharing, konsep dan desain tata kampung ini direalisasikan secara sederhana oleh warga sendiri tanpa bantuan pembiayaan dari pemkot.
Dari kampung pisang pula istilah arsitek kampung (ARKAM) dipakai untuk mengorganisasikan tukang-tukang ahli dari dalam komunitas, yang diasumsikan dapat memimpin pembangunan pemukiman tanpa harus bergantung penuh ahli-ahli sekolahan.
Arsitek Bedah Kampung Bungkutoko
 Bungkutoko, sebuah pemukiman nelayan pesisir teluk kota Kendari, yang dihuni 55 KK. Mereka terancam digusur oleh proyek pengembangan pelabuhan. UPC dan GERMIS (Gerakan Rakyat Miskin) Kendari memediasi persoalan ini. Sebagai alternatif dari penggusuran, pemerintah kota menyiapkan lahan untuk relokasi seluas 18,265 m2 atau 1,8 hektar, sekitar 500 meter dari kampung semula.
Lahan relokasi adalah tanah rawa dan berlumpur, 50 meter dari pantai. Secara teknis, lokasi baru itu tidak mungkin bisa dibanguni perumahan oleh warga sendiri. Namun, pesimisme warga berbalik menjadi anstusiasme membangun setelah UPC dan GERMIS melakukan perencanaan partisipatif bekerjasama dengan ARKOM Yogya. Kolaborasi antara organisasi komunitas dan organisasi profesi, yang didukung dengan kebijakan pemkot dan pendanaan dari Kemensos RI menghasilkan program bersama yang disebut City Wide Upgrading atau Bedah Kampung Terpadu Bungkutoko. Program ini diasumsikan menjadi model bagi penataan kampung-kampung kumuh di kota Kendari dan kota-kota lainnya.
Pada awal perencanaan kampung Bungkutoko, peranan aktivis ARKOM Yogya dan Makassar sangat besar dalam menyusun sebuah dokumen master plan. Tata ruang, desain rumah dan mekanisme kerja disepakati bersama. Kesiagaan bencana menjadi perspektif dengan menyadari kenyataan bahwa dampak perubahan iklim global terkait erat dengan kemiskinan dan kerentanan sosial. Perspektif pengurangan resiko bencana dapat dilihat pada teknik pemasangan tiang rumah, dan pengaturan atap rumah. Dokumen master plan kampung Bungkutoko ini kemudian menjadi dasar pembiayaan program RTLH, KUBE dan SARLING dari Kemensos RI dan Pemkot Kendari. 
Sebagian besar warga Bungkutoko adalah nelayan pesisir yang minim keterampilan kerja pertukangan, sehingga proses memulai pembangunan tidaklah mudah. Selain kondisi lahan, masalah teknis pengadaan material, tenaga kerja, juga dibutuhkan intensitas pengorganisasian rumah tangga pemilik rumah. Hal yang terakhir sangat menentukan tingkat pencapaian aspek pembangunan pemukiman. Untuk memudahkan kordinasi, pembagian kerja, dan distribusi informasi, warga terorganisasi dalam kelompok per-10 KK dan tim kerja. Kordinasi dilakukan oleh tim kerja yang terdiri dari kepala pembangunan (pimpro), tim tukang, tim pengadaan material, pengawas, dan bendahara. Pemilik rumah diposisikan dan diperankan sebagai subyek utama dengan segala kemampuan dan kearifan yang mereka miliki. Pada akhirnya, mereka terbiasa merancang, mengelola, melaksanakan dan mengontrol sendri pembangunan rumah, sehingga mereka memilki kebanggaan tehadap hasil kerjanya.
Keberhasilan pembangunan kampung Bungkutoko tidak terlepas dari dua tukang berpengalaman dari KPRM Makassar. Mereka adalah Dg. Sampara dari Kampung Pisang dan Dg. Tuppu dari Bontoduri kecamatan Tamalate. Kedua orang kampung ini adalah pengurus organisasi rakyat KPRM Makassar, yang direkrut dan difasilitasi oleh UPC. Dg. Keduanya berperan sebagai kepala pembangunan. Dg. Tuppu berpengalaman sebagai pemimpin proyek, dan memiliki keahlian sebagai manajer dan estimator. Dg. Sampara adalah tukang ahli, yang berpengalaman mengorganisasikan kerja teknis. Mereka tidak hanya bekerja tetapi juga mengkader dan melatih warga menjadi tukang. Mereka inilah yang disebut dengan Arsitek Kampung, yang menjadi motor penggerak warga membangun pemukiman baru di atas lahan rawa-rawa dan terpisah dari pemukiman lainnya.
(diolah dari berbagai sumber dan catatan dari acara peresmian Bedah Kampung Terpadu Bungkutoko oleh Mensos RI, 15 Mei 2012)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar