13 Feb 2016

INDONESIA BAGIAN DESA SAYA

Judul postingan di atas dipetik dari sebuah buku karya Emha Ainun Nadjib, yang berisi 29 tulisan esais tentang dinamika budaya pedesaan dalam perubahan sosial di era 1990-an. Buku ini merefleksikan situasi kritis masyarakat pedesaan pasca pemilu 1992. Cak Nun memandang politisasi dan modernisasi desa oleh orang-orang kota adalah sumber permasalahan, yang menimbulkan gejolak sosial yang mendalam. Menguatnya kepentingan kepentingan kelompok dominan (status quo), dalam hal ini partai Golkar, disertai dengan penetrasi gaya hidup kaum metropolis telah mengubah tidak hanya mengubah pola relasi antarwarga, lebih dari itu merusak sendi-sendi moral-spiritual masyarakat desa.
Tulisan di bawah ini dimuat kembali oleh admin sebagai referensi, setidaknya sebagai gambaran latar-belakang (background) bagi para pegiat pembangunan desa dalam konteks penerapan Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa. Semangat undang-undang ini adalah meletakkan desa sebagai subjek yang otonom dalam pengelolaan sumberdaya sosial, ekonomi dan pemerintahan. Substansinya adalah revitalisasi Otonomi Desa, yang menggeser UU Pemerintahan Desa (No.5/1979) dan Otonomi Daerah (UU 22/1999). Visinya adalah Membangun Indonesia dari Desa.
Para ahli dan praktisi penguatan desa telah merumuskan perbedaan mendasar antara desa pada masa Orde Baru dengan desa yang ditegaskan UU Desa tahun 2014, seperti berikut ini:

Paradigma Lama:
  • Fokus pada pertumbuhan ekonomi
  • Negara membangun desa
  • Otoritarianisme ditolerir sebagai harga yang harus dibayar karena pertumbuhan
  • Negara memberi subsidi pada pengusaha kecil
  • Negara menyedian layanan sosial
  • Transfer teknologi dari negara maju
  • Transfer aset-aset berharga pada negara maju
  • Pembangunan nyata: diukur dari nilai ekonomis oleh pemerintah
  • Sektoral dan parsial
  • Organisasi hirarkhis untuk melaksanakan proyek
  • Peran negara: produser, penyelenggara, pengatur dan konsumen terbesar
Paradigma Baru:
  • Prinsip Rekognisi dan Subdiaritas, yang mencakup pandangan berikut ini:
  • Desa adalah kesatuan masyarakat hukum adat, yang entitasnya berbeda dengan kesatuan masyarakat hukum yang disebut daerah.
  • Desa merupakan entitas yang sudah ada sebelum NKRI lahir pada tahun 1945, yang memiliki susunan asli maupun hak asal-usul.
  • Desa merupakan bagian dari keragaman atau multikulturalisme Indonesia yang tidak serta merta bisa diseragamkan.
  • Konstitusi mengamanatkan agar negara mengakui dan menghormati desa sebagai kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya.
  • Urusan lokal atau kepentingan masyarakat desa lebih baik ditangani oleh organisasi yang paling dekat dengan masyarakat, yakni desa.
  • Negara bukan menyerahkan kewenangan seperti asas desentralisasi maupun dekonsentrasi, melainkan menetapkan kewenangan lokal berskala desa melalui UU. Pemerintah tidak melakukan campur tangan (intervensi), melainkan melakukan dukungan dan fasilitasi pembangunan desa. 
  • Pemerintah memberikan kepercayaan dan mendukung prakarsa dan tindakan desa sebagai subyek pembangunan, yang mampu dan mandiri mengembangkan prakarsa dan aset desa untuk kesejahteraan bersama. 
Dengan membaca kembali latar-desa tahun 80-90-an, kita dapat memahami tantangan dan peluang dalam menerapkan UU Desa.
*****
Indonesia Bagian dari Desa Saya
Indonesia merupakan fakta amat penting yang menentukan hampir setiap pertumbuhan, perkembangan, penyurutan serta perubahan kehidupan di desa saya. Maka judul tulisan ini tidaklah bisa berbunyi sebaliknya, karena desa saya, saya yakin, sama sekali tidak merupakan bagian yang penting dari Indonesia - entah desa-desa lain. Tapi jelas seandainya tidak ada Mentoro, desa saya itu, Indonesia tetap lah Indonesia seperti sekarang ini. Satu-satunya perbedaan barangkali hanyalah sebuha titik amat kecil dalam peta Indonesia, di daerah Jombang sebelah timur, yang merupakan wilayah “luar negeri”. Alhasil, desa saya itu sampai hari ini tak pernah bicara apa-apa untuk suatu arti Indonesia. Dan sebaliknya, Indonesia telah berbicara sangat keras dalam kehidupan desa saya. Entah desa-desa lain. Itu suatu makna yang logis, tapi juga suatu ironi yang getir.
“Hari Coblosan”, Pemilu baru saja kita lalui, didahului oleh suatu plot prologue yang oenuh drama. Mungkin kita bisa diam-diam mencatat beberapa takaran demokrasi yang dipesta-porakan, berapa jumlah nyawa yang terbunuh, berapa keranjang janji kesejahteraan yang diberikan, berapa ribu lembar kalimat mulia yang dipidatokan, berapa juta poster persaudaraan dan persatuan keindonesiaan yang dipasang, maupun berapa karung penyelewengan atau berapa lautan ketidakjujuran yang ditumpahkan. Bahkan, berapa milyar rupiah yang dikeluarkan pun tidak jelas benar, apabila kita sungguh-sungguh menatap konteks kepemiliuan itu beserta seluruh usaha, jelas maupun samar, yang dilakukan. Akan tetapi, jelas tak seorang pun bisa menjamin mana yang lebih besar kuantita dan kualita kejadian tersebut yang bisa atau boleh ditampung oleh sejarah dengan yang luput atau diluputkan olehnya. Indonesia demikian luas dan kejadian yang berlangsung di setiap jengkalnya memiliki dimensi yang berbagai-bagai, mengandung gerak yang mustahil tertangkap oleh kamampuan manusia, serta mempunyai beribu mozaik warna yang hampir tak tertampung oleh daya menggambar kita. Meskipun bisa juga dipakai suatu garis global dan rangka dasar untuk menginventarisasi setiap gejalanya, namun setidaknya kehiduopan bernegara dan bermasyarakat kita dewasa ini tidak lah mengandung pertimbangan kekuatan-kekuatan, dalam arti apa pun, yang bisa memberi harapan akan dimungkinkannya suatu keadilan sejarah. Bahkan jendral Yusuf yang bijak, sepulangnya dari Timur Tengah, menyodorkan gembok sejarah yang memiliki validitas formal dengan berkata: ‘Semuanya berjalan aman dan tertib. Aku bisa tidur tenang. Masyarakat hendaknya melupakan semua kejadian selama kampanye”.
Itu kata-kata yang agaknya tak cukup ringaN untuk disangga. Sekitar kampanye saya berada di tengah gemerincing pedang di Yogya, tapi juga sering berada di desa. Saya berharap, saya tak ingin menyangga kata-kata itu, bahkan menyangga keterlibatan fisik dan moril di desa saya saja, desa yang tak punya arti apa-apa lagi bagi sebuah Indonesia itu, saya sudah cukup merasa keberatan. Demi desa kami menyangga Indonesia sebagai menyangga sekian ton besi, dimana kami bukan lah lifter-lifter yang profesional. Desa saya terdiri terutama dari kepolosan, kebodohan dan kelemahan-kelemahan.
Nenek saya bertanya, “Nun, kalau Golkar menang, apa nanti tidak perang?”. Saya tertawa. “Orang Indonesia itu baik-baik semua mBah – jawab saya – pokoknya mBah tekun sembahyang, maka semua beres”. Nenek saya ini mungkin melihat Golkar sebagai barang baru yang asing tetapi, entah bagaimana menakutkannya. Dengan begitu ia pun tak mungkin tahu bahwa sudah tiga kali ini Golkar ikut pemilu dan leading terus. Ia memilih Ka’bah, karena ia pernah naik haji dan itu merupakan kebanggaannya yang paling khusyu, sehingga komitmennya terhadap baitullahh itu sangat menenggelamkannya. Pengetahuannya tentang ka’bah tak ada hubungannya dengan Dardji atau Naro, bahkan juga tidak dengan calon wakilnya di Jombang.
Umumnya orang desa pun memiliki pengetahuan yang di bawah kelayakan tentang PPP, Golkar atau PDI, bahkan tentang partai itu sendiripun. Sedemikian rupa, sehingga kejadian mencoblos adalah perbuatan yang mereka sendiri tak ketahui apa-apanya. Tentu saja ada juga orang-orang tertentu yang bisa bicara banyak perihal negara dan pemilu, tetapi takaran pengetahuan mereka sangat memprihatinkan. Orang-orang desa adalah orang-orang yang juga cerdas, berakal sehat dan peka, tetapi mereka dikepung dan dikondisi oleh suatu keadaan yang diciptakan. Dalam hal referensi kenegaraan, mereka lebih merupakan objek dari sumber-sumber suatu jalur informasi yang dominan. Namun toh mereka adalah warga-warga negara paling setia yang partisipasinya total, semangatnya meluap dalam melaksanakan kewajiban-kewajiban kewargaannya. Kesadaran mereka akan tanggung jawab sedemikian besar, sehingga kebanyakan mereka tak banyak berpikir tentang haknya. Di bantin mereka, peranserta dalam pemilu ialah perwujudan dari kewajiban memilih. Demi kewajiban itu pula lah maka mereka bersedia “berperang” selama menjelang hari coblosan. Kesemuanya itu merupakan faktor Indonesia yang begitu berperan di desa saya. Ada perang-perang kesal yang mengasyikkan, tapi ada juga perang cukup besar yang menggetirkan.
Tarwi, anggota Hansip, hari itu dengan sepedanya mengangkut sekarung padi. Karena jalan buruk, padi itu di tengah jalan terjatuh. Tak mungkin ia mengangkatnya sendiri kembali ke sepeda, tapi tiga orang di tepi jalan itu tak mau menolong. Mereka malah berdiskusi. “bagaimana, ditolong apa tidak?”. “Jangan! Dia Gokkar!”. “Ah, tapi kasihan....". Akhirnya Tarwi berteriak. “Saya Ka’bah Rek! Saya bukan Golkar. Sumpah. Tolong bantu saya...”. Syukur akhirnya salah seorang menolongnya.
Pak Sujadi yang kaya beberapa lama ini meminjamkan accu tevenya ke tetangga. Tapi ketika jelas bahwa si tetangga ini tak mendukung Golkar, accu itu segera diminta. Hari berikutnya sang tetangga memberi isyarat tentang dukungannya terhadap Golkar, dan accu pun bisa dibawanya kembali.
Seorang guru diancam akan dipecat karena menerima undangan untuk membaca Qur’an pada pembukaan kampanye PPP. Seorang guru lainnya dianggap agak demonstratif dalam sikap anti Korpri. Hari itu malah ia dijumpai nongol di kampanye Ka’bah. Ia lantas tak ditegur oleh pamong-pamong. Lurah dipanggil ke kecamatan untuk penertiban ketidaksetiaan itu. Sang guru diadili, dan menjawab; “Saya ini bingung cari istri. Pikiran saya selama ini bingung sehingga tak sempat mikir yang lain-lain. PPP atau Golkar itu terlalu muluk untuk saya pikirkan. Lha waktu kampanye PPP itu Tutiek jadi bagian konsumsi, jadi saya datang. Atau kalau bapak bersedia menyediakan istri yang cocok buat saya, insyaallah saya bisa tenang”.
Tapi memang amat mengherankan kok di desa saya banyak terpasang poster PDI, bahkan tak kalah dengan tanda gambar lain. Ini gejala pergeseran aneh, sebab partai ke-3 ini sunggu8h benda asing di desa saya. Saya penasaran. Selidik punya selidik, akhirnya ketahuan ada orang iseng serius. Dua orang bertaruh, dan yang megang PDI berkeliling cari posternya dan doipasang di desa.
Seorang juru kampanye dari salah satu kontestan mendidik orang desa saya agar menjadi binatang dungu yang materialistis. Siapa berani terang-terangan nyoblos Y? O, saya Pak! Maju sini, saya kasih duit! Lho, 10.000 rupiah! Kok banyak Pak? Iya, siapa lainnya? Saya Pak! Saya Pak! Saya Pak! Terima ini! Ini!.......Saudara-saudara , ini saya belum jadi anggota DPR, saudara sudah saya beri uang secara cuma-cuma. Bayangkan nanti kalau saya sudah jadi anggota DPR, uang akan saya sebar seperti hujan! – Orang-orang pun, yang semula hanya tertarik pada tontonan Ludruk diselenggarakan oleh kontestan tersebut untuk menarik massa, menjadi cenderung mendatangi harapan hujan duit.
Dalam sejarah desa saya, ini sungguh merupakan faktor Indonesia yang paling sakit yang pernah saya alami. Lebih dari sekedar birokrasi desa yang selama ini banyak merupakan bisul di badan komunitas desa yang bergerak hendak lebih baik. Dan rasa sakit itu memuncak, ketika seorang Tetua yang membina sekolah TK, Madrasah, SD, SMP di desa saya, beberapa kali memperoleh intimidasi sopan untuk kommitted dan aktif di salah satu kontestan. Pisau intimidasi yang ditodongkan di punggung Tetua itu ialah alternatif hidup-matinya Sekolahan. Kalau tak masuk Anu, sekolah sukar hidup terus, bahkan di desa akan didirikan SD Inpres, sesuatu yang di desa saya tidak relevan untuk pertimbangan aktualitas pendidikan mapun psikologi masyarakatnya.
Sang Tetua ini seorang pendiam, tak jelas ya atau tidak. Seorang Pamomg Desa berucap dalam pertemuan di kelurahan: Percayalah, dia memang pendiam, sukar ngomong, apalagi untuk berterus terang bahwa dia masuk Anu. Tapi yakinlah, saya adalah dia, saya mewakilinya, kata-kata saya adalah kata-kata dia....”.
Mendengar ini, sang Tetua pun diam saja. Tapi ketika jelas ia tak aktif dalam kegiatan Anu, maka kepala Madrasah yang dipegang. Dan ia, yang sejak semula memang merasa kecut hidupnya, banyak problem keluarga harus diatasi, sementara khawatir dipindah daerah tugasnya serta memimpikan harapan-harapan baru meskipun abstrak – berkata di depan kampanye Anu: “Saya pindah masuk Anu, demi supaya Sekolahan bisa terus kita hidupkan, saya ingin mengajak saudara-saudara semua berbuat nyata, tidak terus-terusan bermimpi”.
Sang Tetua, yang sebenarnya secara formal organisatoris justru memiliki wewenang untuk berbicara keluar perihal Sekolahan, mendengar ini, diam saja. Tetapi sekalian penduduk bergolak emosinya, dan massa selalu cenderung punya hukum kejam. Kepala Sekolah ini terkucilkan dengan sendirinya. Efeknya amat besar dalam pergaulan sehari-hari. Ketika orang tahu Maghrib nanti ia yang akan jadi Imam, orang tak berangkat ke masjid. Ketika giliran ia berkhotbah Jum’at, orang pindah ke masjid lainnya....”Ia punya nilai yang sama dengan Pak Gampil yang menerima 10.000 itu. Saya tetap pilih pilihan saya, pecatlah saya sebagari rakyat!” kata seseorang.
Kejadian ini merupakan klimaks dari retak sosial yang menjadi salah satu hasil kongkret dari pemilu di desa saya. Di desa ada alam psikologi sosial tertentu yang barangkali tak pernah diambil pusing oleh pimpinan partai apa pun. Orang desa memiliki keguyuban kehidupan tertentu yang terlalu mulia untuk diberaikan oleh intervensi hal-hal yang mereka sendiri tak kuasai permasalahannya. Ada ketidakseimbangan yang amat tajam antara proses pendidikan masyarakat dengan urgensi-urgensi sosial politik yang mengepung mereka. Pemilu ini memberikan ilustrasi yang paling tajam dan surealisme drama sosial yang tak bisa tidak harus terjadi di desa saya. Secara kebudayaan, ini adalah lukisan tempel atau kolase yang tak ada kesatuan-kesatuan logis antara unsur-unsurnya, tetapi secara ‘wajar’ dipaksakan kesatuannya sehingga menjadi suatu perhubungan unsur yang paling merusak atau setidaknya merusak salah satunya. Indonesia sungguh menjadi faktor teramat berperan dalam proses semacam ini di desa saya. Padahal, siapakah Indonesia? Kami orang desa hampir mustahil untuk tahu secara cukup layak.
Tetapi hal Kepala Sekolah di atas, konteksnya menjadi bukan politik, meskipun berada dalam bingkai besar perpolitikan negara. Saya berusaha mengawani Kepala Saekolah itu sebagai teman bergaul yang mendengarkan semua kekhawatiran hidupnya, kemudian bersamanya berjalan berkeliling desa beberapa malam, untuk membayar hutang ‘moril’ kepada orang banyak. Orang desa itu gampang-gampang sukar. Ia bersikap manis sopan di depanmu, tapi itu tak berarti beres persoalanmu dengannya. Dan apa sesungguhnya yang bisa terjadi di desa? Bukan masalah sosial politik yang rasional, melainkan dimensi-dimensi sesrawungun atau paugeran yang paling bersahaja belaka, yang ukuran-ukuran nilainya juga sangat bersahaja. Ini bukan soal kebodohan atau keterbelakangan. Tetapi ada jarak yang sangat jauh antara alam hidup desa saya dengan kerangka pemikiran yang selama ini selalu kita pakai untuk memperbincangkan ‘yang penting-penting’ perihal Indonesia.
Indonesia menjadi unsur penentu yang cukup dominan dalam setiap gerak perubahan di desa saya. Tetapi untuk hal-hal mendasar lainnya yang semestinya dihadirkan mendahului atau mengawali setiap maksud perubahan, justru kurang mampu dihadirkan oleh Indonesia di desa saya. Kewajiban berpemilu adalah contoh kecil meskipun tajam dari jarak jauh antara urgensi partisipasi bernegara para penduduk desa dengan prasyarat kualitatif yang belum tersedia di dalam diri mereka. Ada berpuluh istilah yang bisa dipakai untuk merumuskan apa yang terjadi, tetapi dalam bahasa sederhana, lewat long-shoot kamera sejarah, desa saya adalah bagian kecil dari sebuah lapangan sepakbola, yang rumputnya diusahakan untuk tidak tumbuh lebih dari dua tiga centimeter, agar menjadi landasan yang baik bagi permainan sepakbola 22 orang, wasit, pembantu wasit, serta para pedagang dan penyuap yang mengelilingi lapangan. Desa saya begitu tak pentingnya buat sebuah Indonesia yang besar, bagai sebuah lobang cacing di lapangan; adakah lobang yang cukup dalam bagi pemain yang perkasa itu? Apakah bunyi harapan bagi sebuah lapangan sepakbola?
Entah desa-desa lain, atau daerah-daerah lain.
Satu hal saya lihat makin jelas di desa saya; para petani makin mingkup prospek hari depannya. Apalagi para buruh tani, atau ‘buruh sebenarnya’ yang lain yang merupakan mayoritas di desa. Untuk membayar sekolah anak-anak mereka, Rp 50,- - Rp 75,- untuk Taman Kanak-kanak, Rp 150,- - Rp 250,- untuk SD, dan Rp 750,- untuk SMP, umumnya mereka menunda sampai panen tiba. Bukannya untuk memetik satu ton padi waktu panen, melainkan untujk memperoleh buruhan dari buruh panen. Hampir setiap tanggungan dibebankan kepada panen, dan ketika panen tiba, kaget bagaimana membagi begitu banyak tanggungan. Banyak di antara mereka yang terpaksa lari ke lintah darat inlander di desa pinjam uang Rp 4.000,- dibayar nanti waktu panen sebanyak satu kuintal padi. Kalau panen ini tak bisa, boleh dibayar panen berikutnya dengan satu setengah, satu tiga perempuan atau dua kuintal padi.
Seorang siswa sekolah Agama bertabligh: Itu haram!
Tetapi yang dihadapinya bukan soal syariat atau hukum, melainkan soal kefakiran dan keterpaksaan di satu pihak, dan keberuntungan melimpah di lain pihak. Ya, yang paling ideal memang bertransmigrasi, atau menjadi pembantu rumah tangga Cina di kota. Amin. (hal 234-230).
Sumber:
Dalam Buku Indonesia Bagian dari Desa Saya, (Hal. 223-230)
Penulis: Emha Ainun Nadjib
Pengantar: YB. Mangunwijaya
Penerbit: SIPRESS Yogyakarta
Tahun: 1992
231 Halaman

Tidak ada komentar:

Posting Komentar