21 Mar 2016

Menganut Aliran Abstrak, Peniup Peluit Ini Mengaku Hidup Karena Panggilan Jiwa

Dewicha Kinanti Tandiari
14/364952/SA/17389
Dalam sehari, saya menjumpai kurang lebih lima tukang parkir di beberapa tempat tertentu. Mulai dari supermarket, pasar, hingga warung-warung kecil di pinggir jalan. Dari beberapa jenis tukang parkir yang saya jumpai, ada satu yang menarik perhatian. Tubuhnya terbilang pendek, pakaiannya rapi, peluit dikalungkan di leherny, serta memakai sepatu gunung berwarna jingga. Jemarinya bergerak memutar membersihkan motor dan helm pengunjung warung makan menggunakan kain lap. Sungguh pemandangan yang tidak biasa dari seorang tukang parkir. Tidak lupa Ia memberi senyum dan mengucap terima kasih dan hati-hati dengan bahasa jawa kepada pengunjung yang telah Ia bersihkan motornya. Ya, begitulah kiranya seorang tukang parkir “teladan” dalam versi saya, Pak Budi Santoso namanya. Beliau sehari-hari menjadi tukang parkir di beberapa warung di daerah Kuningan, Karangmalang, Yogyakarta. Sudah tiga kali saya makan di salah satu warung tersebut, dan saya selalu senang melihat Bapak berumur 54 tahun itu bekerja dengan sangat tekun, meski hanya mengelap motor yang parkir disana. Pak Budi, begitu sapaan akrabnya, sudah bekerja menjadi tukang parkir selama empat tahun. Saya menyempatkan diri untuk ngobrol dengan Pak Budi. Kisah hidupnya ternyata amat menarik, penuh tanggung jawab dan kerja keras. Ia selalu mengaku bahwa dirinya hanya ‘orang kecil’, tapi saya tahu, semangat hidupnya jauh lebih besar dari itu.
Pak Budi memiliki seorang istri dan dua orang anak. Ia tinggal bersama keluarga kecilnya itu di depan warung makan tempatnya bekerja sebagai tukang parkir. Letak warungnya masuk ke dalam gang kecil dan tidak memiliki tempat parkir, maka dari itu pengunjung memarkirkan motornya di depan gang, dan Pak Budi lah yang bertugas mengatur posisi motor agar tetap rapi. Selain menjadi tukang parkir, Pak Budi dulu bekerja sebagai Satpam Spesial Malam di bengkel mobil daerah Ringroad. Namun, karena bengkel tersebut pindah, terpaksa Pak Budi harus berhenti dari pekerjaan yang sudah Ia jalani selama hampir 16 tahun itu. Pak Budi sangat senang bercerita tentang dirinya, terlebih ketika saya tanyakan tentang latar belakang keluarganya.
Pak Budi lahir pada tanggal 9 November 1962 di Yogyakarta, tepatnya di daerah Stadion Mandala Krida. Ayahnya bekerja sebagai penjaga di laboratorium MIPA UGM, dan Ibunya bekerja sebagai pesuruh di rumah Ki Hajar Dewantara. Sangat menarik saya kira, kedua orang tuanya bekerja dan mengabdi di tempat yang berbeda, bahkan Ibunya salah satu orang yang mengenal baik seorang pahlawan Indonesia. Pak Budi adalah sosok pekerja keras, dan Ia selalu percaya bahwa rezeki akan selalu datang padanya, jika Ia tidak pernah mengeluh dan tetap bersabar. Terlihat dari beberapa kali Ia bekerja di tempat berbeda. Dulu sebelum menjadi satpam, Pak Budi dulu bekerja di FIK UNY, membantu dekan-dekan dalam hal menandatangani keperluan mahasiswa. Tidak hanya itu, Pak Budi juga pernah ikut dalam proyek pembangunan rumah, Ia menjadi kuli bangunan di siang hari kemudian pada malam hari Ia kembali bekerja menjadi satpam. Ia selalu ikhlas dalam mengerjakan apa saja.
Ia adalah laki-laki yang penurut. Dalam beberapa hal, Pak Budi selalu mengikuti apa yang diinginkan orang tuanya. Salah satunya adalah saat Ia dijodohkan dengan seorang perempuan yang tak lain adalah sepupunya sendiri. Pernikahannya sudah berjalan selama 30 tahun. Ia dan istrinya hidup bahagia bersama kedua anaknya yang masing-masing sudah bekerja. Pak Budi dan keluarganya hidup dalam rumah sederhana selama delapan tahun. Rumah yang penuh dengan bunga plastik dan patung-patung yang tergantung di dinding bagian depan, menandakan bahwa Ia seorang penyuka seni. Terbukti, ketika saya tanyakan mengenai konsep rumah tersebut, Pak Budi bercerita bahwa Ia adalah lulusan Sekolah Seni Rupa Indonesia. Meski hanya tamatan SLTA, Pak Budi mengantongi ilmu seni rupa yang kuat. Ia pandai melukis, keahliannya tersebut Ia dapatkan saat belajar di Sekolahnya itu. Sayang sekalli karena keterbatasan biaya, Pak Rudi tidak bisa melanjutkan pendidikan lebih tinggi.
Sekolah Seni Rupa Indonesia atau sekarang berganti nama menjadi Sekolah Menengah Seni Rupa dulunya berada di timur FIK UNY. Namun sekarang pindah ke daerah Bugisan, Bantul. Pak Budi ternyata memiliki jiwa seni yang tinggi dalam bidang lukis. Hanya saja, saat ini Ia tidak pernah lagi melukis karena tidak memiliki cukup uang untuk membeli kanvas dan cat lukis. Ia lebih tertarik dengan mendekor taman. Ada sekitar lima taman yang sudah Ia dekor. Beberapa yang memercayakan pekerjaan itu padanya ialah teman dekat serta adik kelasnya dulu sewaktu sekolah. Pak Budi menunjukkan foto beberapa taman yang telah Ia dekor, dan hasilnya tidak main-main. Hanya saja Ia tidak menerima tawaran dekor dari luar kota. Ia memikirkan biaya transportasi yang cukup banyak jika harus ke luar kota.
Dalam sehari, pendapatan Pak Budi dari hasil parkir sekitar 80-90 ribu. Tetapi jika hari libur, Pak Budi mendapatkan uang sekitar 40-50 ribu saja. Ia selalu total dalam mengerjakan sesuatu. Salah satunya adalah kegiatan yang selalu Ia lakukan saat memarkirkan motor pengunjung. Tidak hanya mengatur dan menutup motor dengan kardus, tetapi Pak Budi juga mengelap motor dan helm pengunjung hingga bersih. Ia melakukan hal tersebut dengan inisiatifnya sendiri. Baginya, melakukan suatu kebaikan dengan memberi pelayanan terbaik kepada seseorang pasti akan membawa rezeki yang setimpal. Ia bercerita bahwa tidak jarang Ia diberi uang lebih saat membayar parkir, bahkan sering pula Ia diberi amplop yang berisi uang puluhan ribu dari pengunjung dan orang-orang yang sekedar lewat saat melihat Pak Budi menata motor agar terparkir rapi. Bagi Pak Budi, melakukan hal baik itu merupakan panggilan jiwa dari suatu kepribadian dirinya. Ia percaya bahwa setiap perbuatan baik yang Ia lakukan, akan dibalas setimpal oleh Tuhan melalui perantara orang-orang baik pula. Selain itu, Pak Budi bekerja sebagai tukang parkir tidak semata-mata untuk dirinya sendiri dan keluarganya, melainkan Ia juga membantu memberikan sumbangan kas RT di daerah tempat tinggalnya. Dalam sebulan, Pak Budi mengumpulkan uang sebanyak 150 ribu untuk disumbangkan ke kas RT untuk keperluan ramadan, hajatan, atau acara-acara lainnya.
Pak Budi sangat menyukai lukisan-lukisan Affandi. Ia mengaku bahwa aliran dalam lukisannya sama seperti Affandi, abstrak. Ia tahu banyak tentang Affandi dan karya-karyanya. Salah satunya, Ia bercerita bahwa setiap melukis, Affandi selalu ditemani oleh pembantunya. Cukup dengan menyebutkan warna apa yang ingin dipakai, pembantu Affandi langsung memberikan cat warna, lalu menuangkannya ke dalam kanvas. Pak Budi menjelaskan sambil tangannya bergerak menirukan gaya Affandi. Ia juga menyebutkan seniman yang Ia sukai selain Affandi, yaitu Bagong Kussudiardja. Bagong Kussudiardja adalah ayahanda dari Butet Kartaredjasa, kakak kelas Pak Budi dulu. Ia bangga sekali kepada Butet karena kini Ia menjadi seniman terkenal tanah air. Jauh di dalam lubuk hatinya, Ia ingin sekali meneruskan hobinya, Ia ingin sekali menjadi seniman.
Impiannya menjadi seorang seniman mungkin belum bisa terealisasikan sekarang. Tuntutan ekonomi membuatnya mengurungkan niat mulainya itu. Untuk saat ini, Pak Budi hanya ingin mencari pekerjaan lain selain menjadi tukang parkir, dan menerima pesanan dekor taman di daerah Jogja saja. Pak Budi percaya, jika terus berusaha, Tuhan akan memberi rezeki yang melimpah. Ia tidak pernah khawatir, karena Ia tahu Tuhan selalu baik padanya. Orang-orang tentu memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Apapun jabatan dan pekerjaannya, semua orang sama, Profesor, jenderal, atau pejabat negara tentu memiliki kekurangan dalam hidupnya. Kita hanya perlu menjadi orang yang ikhlas, sabar, dan bersyukur akan Rahmat yang diberikan oleh Tuhan, serta percaya bahwa Tuhan selalu memberi rezeki kepada orang yang tidak pernah mengeluh atas apa yang dikerjakan. Pak Budi memberi saya motivasi agar menjadi pribadi yang lebih baik. Banyak makna yang bisa diambil dari kisah seorang seniman yang menyamar sebagai tukang parkir. Terlebih saat Pak Budi memberi nasihat, Jangan pernah menjadi orang yang sombong. Sering sekali Iabertemu dengan teman sekolahnya dulu. Tidak jarang yang Ia temui menutup kaca helm atau kaca mobilnya saat bertemu dengan pak budi. Pak budi selalu sedih jika melihat orang-orang bertingkah seperti itu. Baginya, menjadi orang yang agak sombong atau agak pelit boleh, asal jangan terlalu. Jangan pernah menjadi orang yang banyak ter-, karena yang berawalan ter-, baginya adalah orang yang tahu tapi pura-pura tidak tahu. Ya, seperti ter-lalu sombong.
“Lebih baik menjadi orang kecil yg sederhana dengan membagi senyum  pada orang-orang besar, dari pada menjadi orang besar yang bisanya korupsi dan membuat orang-orang kecil sengsara” – Budi Santoso.#
(Penulis: Mahasiswa Jurusan Sastra Indonesia FIB UGM Yogyakarta - tugas mata kuliah) 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar