7 Mei 2016

TENTANG MORALITAS GURU

M. Nawir
Perserikatan Alumni Sastra Indonesia (PASTRINDO) FIB Unhas
Beda dahulu dengan sekarang. Tidak berarti mengidolakan yang dahulu, yang sekarang bukan idola. Sudah terlanjur melekat nilai-nilai kemuliaan pada sesuatu atau seseorang yang dahulu. Misalnya, guru ‘umar bakri’ versi lagu Iwan Fals, yang ‘jujur berbakti’, yang menghasilkan profesor, insinyur  dan menteri. Tetapi, sang guru masa lalu itu masih ‘bersepeda kumbang’ dengan tas dari ‘kulit buaya’.
Guru hari ini pun menghasilkan profesor, insinyur, menteri, dan banyak lagi. Sama dengan jamannya guru umar bakri, murid-murid suka tawuran dan berurusan dengan polisi. Yang jelas berbeda, guru dahulu bersepeda di jalan yang becek dan berlubang. Guru sekarang bersertifikat, bersepeda motor dan bermobil. Banyak guru terjebak dalam kemacetan. Tetapi tantangan yang dihadapi relatif sama, yaitu menjamin moralitas dirinya dan murid-muridnya dikenang sepanjang masa.
Paulo Freire, seorang intelektual Amerika Latin, patut menjadi teladan para guru di dunia. Ia mengembangkan metode pendidikan dan untuk pengembangan masyarakat. Dasar-dasar teorinya dibangun dari realitas lingkungan sosial siswa, ia Freire berasumsi bahwa seorang siswa tidak cukup dengan membaca kalimat, misalnya “anak pergi ke sekolah, ibu ke pasar, bapak ke kantor”. Siswa diperkenalkan pada pemahaman tentang Anak, Ibu dan Bapak dalam konteks sosialnya. Pada tahun 1964, Freire dipenjara tujuh puluh lima hari atas tuduhan mengembangkan teori radikalisme. Karya-karya Freire kemudian diterjemahkan ke dalam 18 bahasa, dan memperoleh gelar Doktor HC dari dari 20 universitas di dunia.
Tetapi, seorang guru juga manusia, bukan malaikat. Begitu, kata kaum muda sekarang. Dan, karena itu para guru menuntut kesejahteraan dan fasilitas pendidikan yang layak. Pemerintah pun menaikkan standar gaji PNS guru, disertakan program sertifikasi, dana BOS, bantuan siswa miskin, dan semacamnya. Karena, guru juga manusia biasa, tidak otomatis semua program itu mencerdaskan kehidupan siswa dan masyarakat. Sejak dahulu, siswa dan mahasiswa, yang suka tawuran maupun yang kutu buku, masih mengidolakan guru yang gaul, bersahabat, tekun mengajar, sederhana, dan terlibat dalam pemecahan masalah sehari-hari.
Begitulah seharusnya. Mendidik dan mengembangkan masyarakat adalah dua kegiatan yang tidak terpisah. Ibarat kata dan perbuatan, tercermin dalam ungkapan Lao Tse, filsuf Tiongkok kuno, “ajarkan apa yang kau lakukan, lakukan apa yang kau ajarkan”. Keduanya menegaskan moralitas guru adalah pendidik sekaligus pemimpin. Perkataan dan perbuatannya menjadi panutan murid dan masyarakat (dimuat harian Tribun Timur Makassar, 8 Mei 2016). 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar