24 Agu 2016

Seni dalam Kampung Kota

Setiap tahun di kampungku, pemuda atau pun remaja merayakan Hari Kemerdekaan 17 Agustus dengan berbagai lomba, dan diakhiri dengan apa yang mereka sebut Malam Pesta Rakyat. Tanpa diskusi, apalagi debat soal kedaerahan versus nasionalisme yang kadang melelahkan. Yang pokok bagi pemuda-remaja lorongku ini adalah kemeriahan berolahraga, bermain, dan pertunjukan seni yang tidak kalah serunya. 
Adalah tradisi, begitu lebih tepat aku menyebut semua itu. Kegiatan Agustusan selalu berulang bentuk dan ritmanya. Misalnya, satu bentuk skpresi mereka yang khas, ialah seni teater, yang kental dengan ekspresi simbolik kedaerahan dan kepahlawanan. Latar panggung, kostum pemain, alur cerita, dan dialog yang vulgar, juga kocak dilakonkan tanpa skenario dan sutradara. Memang ada kemiripan dengan teater tradisi Kondobuleng, yang cukup popular dari tetangga kampung. Hanya saja teater lorongku ini dimainkan oleh remaja usia 17 - 27 tahun. Dan, setiap pentas, selalu saja ada pemain baru yang lebih muda. Penontonnya lebih seru lagi. Selain tokoh dan tetua kampung sepeti RT, RW, lurah sampae camat, kebanyakan dari mereka adalah anak-anak, remaja dan ibu-ibu rumah tangga. Tentu lah suasana sangat meriah karena yang pentas adalah kerabat, teman sebaya, anak-kemenakan mereka. Panggung yang pas-pasan terasa meluas. Begitu lah cara orang kampung mewariskan tradisi.