12 Sep 2016

Revolusi (Mental) Berkebudayaan

Setelah 16 tahun melaksanakan reformasi, kenapa 
masyarakat kita bertambah resah dan bukannya tambah bahagia, 
atau dalam istilah anak muda sekarang, semakin galau?
(Revolusi Mental Joko Widodo, 2015)
Tulisan ini hendak mewacanakan kebudayaan dan visi revolusi mental. Penulis memahami atau mengembangkan gagasan yang dimaksud Jokowi tentang revolusi mental itu adalah pengembangan strategi atau politik kebudayaan, yaitu melakukan perubahan secara kultur berpolitik dan berpemerintahan. Sehingga penulis menegaskan bahwa tanpa perspektif kebudayaan dan gerakan sosial, gelora revolusi mental akan berhenti sebatas jargon politik, dan tidak akan terinternalisasi menjadi perilaku dan mentalitas yang diharapkan Jokowi (M. Nawir).
 Pada Pidato Kenegaraan 17 Agustus 2016, Presiden Joko Widodo merinci tiga persoalan pokok bangsa Indonesia yang belum tuntas selama 71 tahun kemerdekaannya, yaitu kemiskinan, penggangguran, dan ketimpangan sosial. Penegasan ini dapat ditafsirkan sebagai dampak dari kegagalan pemerintah dalam mengelola dan meredistribusi sumberdaya pembangunan. Itulah sebabnya, presiden Joko Widodo hendak melakukan perubahan mendasar terhadap warisan mental pejabat pemerintahan lama. Presiden memprioritaskan tahun 2016 sebagai momen percepatan pembangunan untuk memutus mata rantai penghambat ketiga persoalan pokok tersebut melalui koneksitas infrastruktur, penguatan kapasitas sumberdaya manusia, deregulasi dan debirokratisasi.
Setahun sebelumnya, pada HUT Kemerdekaan RI tahun 2015, presiden Joko Widodo menegaskan pentingnya Revolusi Mental sebagai jalan menuju Indonesia yang Berdaulat, Mandiri, dan Berkepribadian. Konsep revolusi versi Jokowi ini merujuk pada pidato Bung Karno, Presiden RI Pertama tentang Trisakti. Namun, secara khusus revolusi mental adalah komitmen pemerintahan Joko Widodo dalam membangun: (1) sistim politik yang beretika, pemilu yang demokratis, serta birokrasi yang tidak korup dan mengutamakan pelayanan; (2) sistim ekonomi yang produktif dan inovatif dalam pengelolaan sumberdaya alam, khususnya pangan dan energi; (3) sistim pendidikan yang menguatkan identitas budaya dan kebangsaan, serta peningkatan kualitas sumberdaya manusia melalui subsidi yang tepat sasaran.
Jokowi mengadaptasi prinsip dasar dalam Trisakti sesuai kondisi dan tantangan demokratisasi yang dihadapi republik dewasa ini, yaitu ‘mental korupsi politik’ yang menyebar ke dalam tata kelola kepemerintahan (governance). Perilaku korup menjadi sistemik, mengakibatkan Negara tersandera oleh mafia korupsi (state-captured). Para ahli di antaranya Susan Rose dan Ackerman (1999) menjelaskan praktik korupsi sebagai bagian yang melekat (inherent) pada proses demokratisasi ekonomi-politik, yaitu ketika para pemimpin yang lemah dalam relasi budaya patronase yang masih kuat, sehingga mereka mudah dipengaruhi dan dikendalikan oleh jejaring kekuatan kapital (private sectors), para bandit/mafia (criminal group), dan orang-orang kaya (whealty business interest).
Joko Purnomo (Unibra, 2011) memandang korupsi di Indonesia dari aspek mentalitas, yaitu ketika pejabat publik di Indonesia memposisikan diri berada ’di luar’ negara dan pada saat yang sama mereka bekerja ’di dalam’ negara. Merujuk pada pandangan Toini Losvseth (2001), Joko Purnomo menjelaskan akar korupsi di Indonesia adalah alienasi politik, yang bersumber dari dua sisi sekaligus, yakni ketidakmampuan individu dalam sebuah sistem untuk bertindak kolektif demi negara, dan; pada pada saat yang sama negara gagal menjamin terciptanya kepercayaan kepada publik secara konstitusional. Lebih jauh, ICW (Ibrahim Z dkk, 2010) menelusuri korupsi politik yang bersumber dari gaya ‘politik transaksional’, terutama dalam proses pemilu seperti ‘politik uang’, yang dilakukan politisi sebelum, pada saat dan sesudah menjabat sebagai pejabat publik. Kejadian itu biasanya dalam bentuk ‘perdagangan’atau ‘transaksi’ yang berada di dalam pengaruh kekuasaan atau meracuni kekuasaan politik dengan menawarkan berbagai kebaikan. Dalam kondisi demikian, sistim politik terperangkap atau disandera oleh sistim ekonomi yang eksklusif dan kapitalistik. Sehingga Indonesia dibayangkan akan gagal sebagai suatu Negara yang berdaulat.
Dalam satu dekade terakhir, tuntutan agar negara hadir secara moral dan konstitusional kian menguat. Meminjam istilah John Bell (2002) “rolling back to the state”, kehadiran negara diperlukan agar tatakelola pemerintahan dapat menjamin kesejahteraan dan keamanan warga. Sejumlah intelektual, budayawan dan praktisi hukum dalam Imajinasi Kebudayaan (2013) telah menyimpulkan bahwa Indonesia sebagai republik yang demokratis bersifat final, dan merupakan prasyarat bagi terwujudnya kebhinnekaan, keadilan sosial dan kesejahteraan. Tuntutan ini kemudian menjadi poin pertama dalam Nawacita.
Tulisan ini hendak mewacanakan gagasan revolusi mental dalam perspektif kebudayaan. Penulis memahami atau mengembangkan gagasan yang dimaksud Jokowi itu adalah suatu pengembangan strategi atau politik berkebudayaan, yaitu dengan melakukan perubahan kultur berpolitik dan berpemerintahan untuk memulihkan tanggung jawab konstitusional negara. Sehingga penulis menegaskan bahwa tanpa perspektif gerakan kebudayaan, gelora revolusi mental akan berhenti sebatas jargon politik, dan tidak akan terinternalisasi menjadi gerakan sosial sehari-hari. Karlina Supeli (2014) menyebutnya sebagai transformasi etos, yaitu perubahan mendasar dalam mentalitas, semangat dan moralitas yang menjelma ke dalam perilaku dan tindakan. Etos ini menyangkut semua bidang kehidupan ekonomi, politik, sains-teknologi, seni dan agama. Sehingga kebudayaan menjalankan fungsi pedagogis untuk membangun perilaku warga Negara searah dengan motif politik yang dominan.
Kebudayaan sebagai Kekuatan Penggerak
Tiga tahun lalu, November 2013, delegasi World Culture Forum (WFC I) di Denpasar Bali menegaskan kebudayaan sebagai dimensi kekuatan keempat dalam pembangunan yang berkelanjutan (the power of culture as fourth dimension of sustainable development). Penegasan "dimensi keempat" mengandung dua proposisi; yang pertama adalah kenyataan objektif bahwa aktivitas kebudayaan itu sendiri berada pada lapisan keempat dari hirarki kekuatan pembangunan, yaitu ekonomi, politik, dan hukum. Pada proposisi ini kebudayaan dinomor-empatkan. Segala bentuk dari aktivitas berkebudayaan seperti seni, sastra, dan pendidikan hanya melengkapi arus utama pembangunan ekopol. Itulah sebabnya, banyak seniman, sastrawan, guru (ustadz) dan semacamnya selalu merasa tidak nyaman atau berada di luar arus-utama (mainstream) pembangunan. Proposisi yang kedua adalah kebudayaan merupakan ‘kekuatan penggerak’ (driving force) dalam pembangunan berkelanjutan. Penegasan ini dapat dijadikan landasan moral dalam menggelorakan revolusi mental melalui gerakan kebudayaan. Nilai-nilai budaya yang hendak ditumbuhkan, yaitu integritas, etos kerja, dan gotong royong dalam pembangunan di segala bidang.
Perspektif gerakan kebudayaan atau kebudayaan sebagai kekuatan penggerak menjadi vital agar tujuan pokok revolusi mental terlembagakan dalam gerakan sosial sehari-hari, tidak menjadi ilusi dan jargon politik belaka. Hilmal Farid (2013) mengingatkan bahwa komitmen untuk melakukan perubahan mental, termasuk revitalisasi nilai-nilai tradisi dan agama berpotensi menguatkan perilaku feudal dan sikap-sikap primordial. Untuk itu gerakan atau kritik kebudayaan yang berkontribusi langsung dalam pemecahan masalah rakyat. Tidak berarti seorang seniman, pekerja sosial atau pun agamawan harus berpolitik praktis untuk memecahkan persoalan kemasyarakatan. Tetapi, terlibat dalam mengapresiasi dan mengkritisi aktivitas tatakelola pemerintahan yang buruk di lingkungan sekitarnya.
Sebagai ilustrasi, penerapan Undang-undang Desa No. 6 Tahun 2014, yang memuat dua gagasan substantif, yaitu pengakuan atas hak asal-usul dan kewenangan menatakelola pemerintasan secara demokratis. Kecenderungan yang terjadi, keberhasilan dari pembangunan desa masih dikalkulasi dari pencapaian proyek-proyek infrastruktur. Yang idealnya, proyek-proyek tersebut merupakan media pembelajaran dan praktik menatakelola pemerintahan yang transparan dan akuntabel, dimana masyarakat memperoleh manfaat praktis dan ekonomis sekaligus pengetahuan tentang konstruksi dan audit proyek. Selain itu, seni-tradisi, pengetahuan dan teknologi tepat guna masih tereksklusi, bukan prioritas. Yang sesungguhnya, pegiat seni-tradisi, dan pembudidaya pertanian alami pada masyarakat desa, jika dikelola dengan tepat sasaran dapat mempercepat pelembagaan tujuan revolusi mental.
Di perkotaan, banyak organisasi gerakan masyarakat sipil, termasuk kaum muda yang melembagakan nilai-nilai kemandirian, keadilan dan kesetaraan dengan cara mengintegrasikan seni kreatif ke dalam aktivitas pengorganisasian dan advokasi. Sebagai contoh yang berharga dari kampanye hak atas tanah dan pemukiman yang layak oleh Jejaring Rakyat Miskin Indonesia (JERAMI). Seni pertunjukan, drama, tari, rebab, qasidahan hingga musik jalanan, selain menjadi corong solidaritas, juga sebagai media dalam kontrak maupun kontrol politik. Gerakan ini diperkuat dengan pelibatan kaum muda, pekerja seni perorangan dan arsitek komunitas. Kolaborasi ini menghasilkan model penyelesaian masalah atau pun resolusi konflik yang menguntungkan pihak-pihak yang terlibat. Praktik-praktik yang sukses ini seharusnya menjadi metode alternatif dari cara pemerintah dalam menatakelola ruang public (public space).
Dalam hal pelestarian dan pengelolaan benda cagar budaya, hasil-hasil penelitian arkeologi belum terintegrasi ke dalam kegiatan konservasi, preservasi, dan apresiasi terhadap kearifan budaya lokal. Parisipasi masyarakat masih rendah. Sebagai ilustrasikegiatan penelitian dan pelestarian situs purba di Lembah Sungai Walanae kabupaten Soppeng Sulawesi Selatan. Temuan artefak seperti gajah kerdil, kura-kura, babi rusa, dan peralatan batu tersebar di sepanjang Daerah Aliran Sungai Walanae, tepatnya sepuluh desa dan tiga kabupaten. Namun, hampir sepanjang tahunair sungai meluap, longsor, dan membanjiri wilayah sekitar hingga ke hulu di Danau Tempe.Dampak kerusakan yang ditimbulkannya dalah penurunan kualitas sumber daya air, tanaman, pemukiman, bahkan lokasi temuan situs. Sehingga sangat penting untuk dikembangkan pendekatan kawasan dan sinergi program. Pada saat yang sama memposisikan masyarakat dalam kawasan situs sebagai pelaku dalam kegiatan penelitian dan pelestarian situs.
Sebagai kekuatan penggerak, cakrawala atau pun spektrum berkebudayaan akan menjadi luas, dan melampaui pengertian konvensionalnya. Dalam pengertian ini, corak dan praktik sehari-hari dari sistem ekonomi dan politik merupakan ungkapan kebudayaan, sehingga tidak ada lagi dikotomi di dalamnya (Karlina Supeli, 2014). Segala bentuk ekspresi manusia yang bertujuan mencerdaskan (enlightment), membebaskan (emancipatory), menguatkan (empowerment), memajukan, dan memanusiakan manusia itu sendiri adalah aktivitas berkebudayaan. Dalam konsep ini berbagai aktivitas sosial yang bertujuan mengangkat martabat kemanusiaan dari penindasan atau menentang dehumanisasi merupakan kerja kebudayaan. Dengan pemahaman ini pula, gerakan keprihatinan terhadap penggusuran pemukiman warga, perampasan tanah, perusakan situs warisan budaya dan peminggiran (exclution) terhadap entitas masyarakat adat secara paksa termasuk dalam gerakan kebudayaan (new cultural movement). Sebaliknya, korupsi, tindakan penggusuran, perusakan situs dan peminggiran hak-hak warga secara paksa (force exclution) sudah sepantasnya dicap sebagai kebijakan yang anti-kebudayaan.
Perspektif kebudayaan telah meluas tanpa batas budaya dan politik. Relasi antarindividu maupun antarbangsa telah dijembatani oleh teknologi informasi, sehingga segala tindakan yang mencederai rasa kemanusiaan dan keadilan (anti-kebudayaan) menjadi perhatian masyarakat dunia. Tahun ini, World Culture Forum yang akan berlangsung pada tanggal 10-14 Oktober 2016 mengajukan tema utama Culture for an Inclusive Sustainable Planet. Sebuah tema yang semakin mengedepankan visi gerakan kebudayaan. Sifat-sifat inklusif pada kebudayaan merupakan modal sosial dalam pembangunan hari ini dan di masa depan. Istilah ‘inklusif dalam tema ini menjadi kata kunci yang mempertautkan visi revolusi mental berkebudayaan dengan pembangunan ekopol.Dalam konteks ini, tujuan gerakan kebudayaan adalah mewujudkan masyarakat yang inklusif (inclusive society).
Masyarakat yang inklusif ditandai dengan adanya pengakuan terhadap kesetaraan (equity), penerimaan terhadap keberagaman (diversity), dan perlindungan terhadap entitas budaya, aktivitas sosial, ekonomi, dan kepentingan politik warga. Para ahli merumuskannya menjadi; An inclusive society is a society that over-rides differences of race, gender, class,generation, and geography, and ensures inclusion, equality of opportunity as well ascapability of all members of the society to determine an agreed set of social institutionsthat govern social interaction (Expert Group Meeting on Promoting Social Integration,Helsinki, July 2008). Suatu tatanan sosial, juga pemerintahan yang menjamin terciptanya keterbukaan (tidak eksklusif), kesetaraan, dan kesempataan yang sama dari setiap warga dalam menentukan kelembagaan dan pengaturan hubungan sosial mereka. Dengan demikian, membangun tatanan sosial yang inklusif sejalan dengan tujuan revolusi mental berkebudayaan, yaitu mencegah sekaligus memberantas eksklusivisme, mental korup dan kesewenangan-wenangan.
Prasyarat utama dalam membangun budaya masyarakat yang inklusif adalah sistim pendidikan yang membuka ruang apresiasi terhadap identitas kebangsaan, keberagaman budaya dan keyakinan. Pendidikan berperan penting dalam menumbuhkan kecerdasan sosial, yang tumbuh dari keterlibatan masyarakat sipil, termasuk para pegiat keseniandan kaum muda dalam kegiatan sosial, ekonomi dan politik di level lokal, nasional, dan global. Organisasi masyarakat sipil yang kuat akan mendorong berkembangnya budaya politikyang beretika dan bertanggung-gugat (accountability). Budaya politik yang sehat atau pun inklusif akan meningkatkan kredibilitas kepemimpinan pejabat negara di mata publik.
Penutup
Revolusi Mental tidak persis sama dengan Trisakti. Sebagaimana yang tersurat dalam teks pidatonya, gagasan revolusi versi Jokowi ini diarahkan pada tiga kebutuhan mendasar dalam suatu tatakelola kepemerintahanan yang baik (good governance), yaitu; sistim politik yang beretika, sistim ekonomi yang produktif dan inovatif, serta sistim pendidikan yang menguatkan identitas budaya dan kebangsaan.
Sudah sepantasnya negara hadir dalam meregulasi, memediasi dan melindungi rakyat dari kekerasan, marjinalisasi, dan pemiskinan yang disebabkan oleh kegagalan pemimpinan politik dan pejabat birokrasi dalam mengelola sumberdaya pembangunan. Dan, dimensi kebudayaan hadir bersamaan untuk melembagakan visi revolusi mental. Segala tindakan yang memiskinkan dan mengeksklusi rakyat dan budayanya sepantasnya disebut sebagai tindakan yang anti-kebudayaan.
Tatanan masyarakat yang inklusif merupakan tatanan sosial yang hendak diwujudkan melalui gerakan kebudayaan. Wacana kebudayaan sebagai kekuatan penggerak atau gerakan kebudayaan merupakan prasyarat untuk mewujudkan visi revolusi mental. Pengembangan strategi atau politik kebudayaan dimulai dari pelembagaan atau internalisasi nilai-nilai dasar revolusi mental, yaitu integritas, etos kerja, dan gotong royong.Penguatan aspek budaya, perubahan perilaku dan mentalitas kepemimpinan dapat mempercepat pemecahan masalah kemiskinan dan ketimpangan sosial.

Referensi:
World Culture Forum Bali, 10-14 Oktober 2016 (https://worldcultureforum-bali.org/)
Mutiara Hati: Alqur’an dan Revolusi Mental(Liputan6, 26 Juni 2016)
Naskah Pidato Revolusi Mental Presiden Joko Widodo, 2015
Paradigma Baru Strategi Kebudayaan Indonesia (Kemendikbud, 2014)
Imajinasi Kebudayaan (Nirwan Andan dan Martin Suryajaya, 2013)
Political Corruption as an Expression of Political Alienation: The Rampant Political Corruption During the Decline of State Ideal Role (Joko Purnomo, 2011).
Korupsi Pemilu di Indonesia(ICW, 2010)
Creating an Inclusive Society: Practical Strategy to Promote Social Inclution (DESA, 2007).
Globalization and Social Exclusion in Cities: Framing the Debate with Lessons from Africa and Asia, (John Beall, 2002) {http://www.lse.ac.uk/internationalDevelopment/pdf/WP/WP27.pdf}
Political Corruption and Democracy (Susan Rose &Ackerman, 1999).

***** Penulis adalah pegiat dan peneliti ilmu-ilmu sosial dan humaniora, bekerja bersama Jejaring Masyarakat Miskin Indonesia (JERAMI) di Makassar (21/09/2016)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar