16 Okt 2016

Merayakan Hari Habitat 2016

MEMBANGUN RUMAH PERADABAN
https://www.youtube.com/watch?v=bQH8gRGWntM
Merupakan agenda tahunan Jejaring Rakyat Miskin Indonesia (JERAMI) merayakan World Habitat Day pada minggu pertama bulan Oktober. Tahun ini, Jerami - KPRM Makassar melakukan pawai dari Monumen Mandala ke Lapangan Karebosi, kemudian dilanjutkan dengan Dialog Kebijakan Pemerintah Kota Makassar. Perayaan tahun ini dihadiri tidak kurang dari 500 massa rakyat KPRM (lih. link beritanya http://makassar.tribunnews.com/2016/10/16/jerami-tuntut-kesejahteraan-lewat-dialog-bareng-pemkot-makassar, http://makassartoday.com/2016/10/16/ribuan-orang-peringati-hari-habitat-dan-penghapusan-kemiskinan-di-karebosi/.Selain poster, spanduk, siaran pers, perayaan hari habit Jerami - KPRM diramaikan dengan pertunjukan seni tradisi 'Ganrang Buloa', yakni seni pencak diiiringi gendang dari warga pesisir Tallo, Buloa.
Tema perayaan hari habitat tahun ini adalah "Housing at the Centre", yang dapat diartikan menjadi "Rumah sebagai Pusat Peradaban". Untuk kesekian kalinya, rumah menjadi tema pokok badan-badan PBB, khususnya UN Habitatm, akan terus menjadi keprihatinan masyarakat dunia. Hal ini sangat beralasan, mengingat kehidupan rakyat miskin perkotaan identik dengan tiga kondisi objektif, yakni; masih tingginya angka ketiadaan tempat tinggal mereka alias gelandangan; mereka menempati rumah yang tidak layak huni dan kumuh, serta; kerentanannya dari penggusuran paksa lantaran dinilai ilegal atau pun rawan tertimpa bencana kebanjiran, kebakaran, epidemi dan longsor. Sebaliknya, pertumbuhan pemukiman dan bangunan mewah semakin pesar, sehingga kesenjangan kian lebar.
Kesenjangan antara si kaya dan si miskin, antara mayoritas dan minoritas dalam hal pendapatan, kepemilikan propeti, lahan, dan akses pada kebijakan pemerintah menciptakan situasi kontras, lebih tepatnya kontradiksi dalam pembangunan kota. Kawasan pemukiman formal (real-estate) dan gedung-gedung mewah lambaut laun memarginalisasi kawasan perumahan swadaya yang dihuni warga berpendapatan rendah. Beberapa lokasi pemukiman warga yang berada di atas lahan privat maupun tanah negara harus direlokasi paksa ke rumah-rumah susun, yang sebenarnya mengeksklusi warga miskin dari pusat peradabannya, yakni kota. Bukankah setiap warga kota adalah kaum urban, yang seharusnya memiliki hak konstitusional yang sama untuk berumah tangga, berusaha, bekerja, berorganisasi, dan mendayagunakan fasilitas kota dalam rangka meningkatkan kesejahteraan? Sepanjang 71 tahun republik ini merdeka dari penjajahan, pertanyaan tersebut masih mengendap di dalam siklus pertumbuhan ekonomi dari peradaban kota.
Presiden Joko Widodo dalam pidato kenegaraan 17 Agustus 2016 tegas menyebut kemiskinan, pengangguran dan ketimpangan sosial adalah persoalab akut sepanjang periode kepresidenan republik ini. Dengan program 100-0-100, kebinaet kerja Joko Widodo hendak menjawab salah satu persoalan yang akut itu, yakni subsidi perumahan swadaya warga berpendapatan rendah. Pada saat yang sama kebijakan ini disandingkan dengan program reforma agraria sejuta hektar. Sungguh suatu misi terobosan dalam pembangunan nasional setidaknya lima tahun ke depan. Namun, lagi-lagi kebijakan ini memerlukan sokongan pembiayaan yang memadai, tidak semata political will birokrasi pemerintah daerah. Faktanya, pengetatan anggaran tahun ini menimbulkan keraguan pada kebijakan subsidi pemukiman 100-0-100.
Terobosan yang sesungguhnya adalah bagaima menggerakkan pembangunan, terutama di sektor perumahan (dalam situasi pengetatan anggaran yang merata di daerah) secara swadaya atau berbasis kemampuan warga. Ini adalah modal sosial Joko Widodo yang paling berharga. Sekiranya modal ini dapat digerakkan, maka penggusuran atau relokasi dapat dicegah atau diminimalkan agar anggaran proyek rumah 'kotak-kotak' alias rusunawa itu efektif dimanfaatkan pemerintah daerah bekerja sama dengan warga. Sekalipun menggunakan skema proyek MBR (rusun), setidaknya warga miskin tidak tercerabut dari akar sosialbudaya dan ekonominya yang belasan bahkan puluhan tahun menjadi membangun peradaban kampung di pinggir kanal, sungai, pantai, dan lahan-lahan tak  bertuan.
Dari ilustrasi di atas, semakin jelas lah apa yang dimaksud dengan 'Rumah Peradaban' itu, yakni pemukiman yang dibangun dan dikembangan secara beradab - dalam arti berbudaya dan konstitusional.
Perayaan Hari Habitat setiap tahun oleh masyarakar dunia, tidak terkecuali warga miskin di kota Makassar, tidak semata menuntut pelayanan pulblik seperti KIS, KIP, listrik, air bersih yang tepat sasaran dan berkualitas. Bukan pula sebatas menghadirkan negara dalam menggerakkan aparatur untuk memecahkan persoialan dasar rakyart. Lebih dari itu adalah negara hadir dan menggerakan modal sosial-budaya warga agar terhidar dari kekerasan, dan terpenuhinya rumah yang nyaman untuk ditinggali (home).

Makassar, 16 Nopember 2016  
MN07

Tidak ada komentar:

Posting Komentar