22 Feb 2016

Orang Kecil yang Berfikir Besar: Sosok Pejuang Rakyat

Aman Wijaya
(https://indonesiana.tempo.co/read/63752/2016/02/22/aman.wijaya.aman/orang-kecil-yang-berfikir-besar-sosok-pejuang-rakyat)
Saya mengenalnya enam tahun yang lalu di sebuah warung kopi di kota Makassar. Saat itu, saya yang kebetulan sedang mem-browsing tugas perkuliahan, mengamati para pengunjung warkop tersebut dan mendapati sekumpulan orang yang sebagian besar dari mereka adalah senior saya di kampus. Di antara mereka, ada sosok yang sama sekali tidak ku kenali. Waktu itu, dia hanya diam mengamati rekan-rekannya yang sedang berdiskusi. Di sela-sela pendiskusian, sekali-sekali rekan-rekannya memotong pendiskusian dan meminta pendapatnya. Namun orang itu hanya mengangguk-ngangguk tanpa sepatah kata. Selang beberapa minggu, di tempat yang sama, orang itu muncul lagi. Dan seorang teman memperkenalkan saya padanya. M.Nawir, itulah namanya.
Setiap kali saya mengunjungi warung kopi itu, saya selalu mendapati dirinya di tengah-tengah pengunjung lainnya. Tapi karena belum beberapa lama mengenalnya, saya masih enggan untuk menginisiasi sebuah obrolan bersama dirinya. Padahal saya begitu penasaran, karena beberapa dosen saya seringkali mengatakan bahwa, “Nawir adalah sosok yang berpotensi menjadi orang kaya, namun tetap memilih menjadi miskin”. Selain itu, katanya dia juga dikenal sebagai sosok pekerja sosial yang yang terampil, tak kenal lelah, dan jadi buah pembicaraan publik utamanya rakyat miskin kota. Sebab itu, saya coba menanyakan banyak hal ke seorang senior yang cukup dekat dengannya.
***

13 Feb 2016

INDONESIA BAGIAN DESA SAYA

Judul postingan di atas dipetik dari sebuah buku karya Emha Ainun Nadjib, yang berisi 29 tulisan esais tentang dinamika budaya pedesaan dalam perubahan sosial di era 1990-an. Buku ini merefleksikan situasi kritis masyarakat pedesaan pasca pemilu 1992. Cak Nun memandang politisasi dan modernisasi desa oleh orang-orang kota adalah sumber permasalahan, yang menimbulkan gejolak sosial yang mendalam. Menguatnya kepentingan kepentingan kelompok dominan (status quo), dalam hal ini partai Golkar, disertai dengan penetrasi gaya hidup kaum metropolis telah mengubah tidak hanya mengubah pola relasi antarwarga, lebih dari itu merusak sendi-sendi moral-spiritual masyarakat desa.