31 Jan 2017

Catatan Seminggu di Solo (Bagian 1)

Siasat Arsitek Komunitas
Menghadiri undangan Yuli Kusworo, saya mengikuti rangkaian kegiatan Nyemlung Kampung Arkom Jogja dari 18 sampai 27 Januari 2017 di kota Solo. Serasa melepaskan saya dari rumah-kampung, dan masuk kota lagi. Lebih seminggu bergabung dengan 40-an anak muda jurusan arsitek dari berbagai kota, Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Medan, Makassar, Kendari, Pontianak, dan tentu saja jogja-Solo. Beberapa di antaranta mahasiswa jurusan sosiologi UNS Surakarta.
Ada perasaan tua yang membuat saya agak kikuk memulai perbincangan atau berdiskusi dengan anak-anak muda yang rerata usia 25–30-an tahun. Kuatir juga disangka sok akrab. Apalagi kalau ada yang tanya “dulu kuliah dimana, selesai tahun berapa? Haa... iya, siap pak!” Pada kenyataannya tidak lah sevulgar itu. Rasa penasaran lah yang menjembataninya, sehingga percakapan bisa berubah menjadi diskusi-tanya jawab. Saya penasaran mau tahu apa yang mereka pikirkan tentang Nyemplung Kampung. Dan, mungkin saja di antara mereka mau tahu bagaimana memulai bekerja dengan komunitas. Bagi saya perasaan seperti ini adalah pikiran yang serius, yang seharusnya diguyonkan dalam bahasa sehari-hari dari pengalaman pribadi.
Dalam hati saya bertanya apa yang sebaiknya saya omongkan. Mas Heru dan Jalil, yang paling senior di antara Arkom itu, hanya mengingatkan perlunya berbagi pengalaman. Betul, pengalaman adalah guru terbaik. Ungkapan ini terasa semakin tua tetapi semakin berisi di hadapan kaum muda. Dengan begitu, wong tue ini bisa percaya diri, kata sahabat saya setengah berbisik. Baiklah, kita mengalir dari apa dan dari mana saja.
Kecocokan Asmara: “Abangnya Senter, Adiknya Kuda”
Di meja kantin Wisma Seni Solo yang tenang tetapi hangat, saya bercanda tentang formasi Arkom Jogja saat ini. Masih ada para senior alias sing tue-tue, Mas Heru, Jalil, Yuli Kusworo. Belakangan ini bergabung Hunk, Marsen dan Nuki. Semuanya sahabat kerja saya di Aceh Pasca Gempa Tsunami 2005 – 2007. Sementara yang muda sedang mengarungi lautan asmara. Mul baru saja menikah dengan gadis pujaannya di Padang; Mayang dinikahi Cora, koleganya dari Makassar; Arta lebih duluan menikah; Senja sedang bertunangan, siap naik panggung. Tersisa Tomo, Lintang, terutama Aldi yang paling muda jadi bahan candaan. Sampai lah percakapan tentang asmara, kuda dan senter.
Orang bujang seperti Aldi itu masih berstatus “SSB” alias Senter-Senter Bella, istilah anak muda di Makassar. Ibarat mencari sesuatu dalam kegelapan, perlu alat senter untuk tahu dan sampai pada – sambil melirik Senja – tiga kecocokan dalam asmara, yaitu “cocok hati, cocok harga, dan cocok kelamin”. Maksudku, begitulah liku-liku menuju ke lembaga perkawinan. Mengapa senter? Penjelasannya bisa jadi serius. Lebih baik mengatakan bahwa setiap lelaki itu memiliki “Abangnya Senter, Adiknya Kuda” supaya terasa candaannya. Tanpa perlu penjelasan, biar lah mereka berimajinasi. Dengan latihan berpikir imajinatif, hasrat-hasrat yang dilahirkannya bukanlah angan-angan semata, tetapi suatu rangsangan untuk bertindak kreatif. Imajinasi lah yang melahirkan cita-cita. Pada gilirannya menjadi visi yang memandu tujuan berorganisasi.
Sikap Dasar CO: “Goceng atau Aheng, Mas?”
Marsen, Hunk, Lintang dan beberapa anak muda terbahak-bahak mendengar guyonan orang Surabaya-Madura versi Arta. Saya pun ikut nimbrung dengan cerita anak muda Makassar yang pertama kali merantau ke Jakarta. Dengan kapal Pelni, anak muda itu sampai di pelabuhan Tanjung Priok. Di pintu keluar pelabuhan, dia dihadang tukang ojek. Si anak muda bertanya. “Mas, ojek, mas. Berapa ke Cilincing”. Spontan tukang ojek menjawab. “Goceng, mas”. Pemuda ini pertama kali mendengar kata ‘goceng’. Tetapi, dia merasa gengsi bertanya apa atau berapa itu ‘goceng’. Antara penasaran dan kuatir ketahuan sebagai pendatang baru, dia balik tanya. “Bisa tawar mas. bagaimana kalau Aheng saja?” Si tukang ojek balik tanya, “Aheng itu apa mas?”. Pemuda itu justru balik tanya lagi, “Kau dulu, berapa itu Goceng?”. Setelah dia tahu Goceng itu 5.000 rupiah, selesai lah rasa penasarannya. Tidak ada masalah di antara goceng dengan aheng. Dan, perjalanan pun dilanjutkan. Singkat cerita, kata ‘aheng’ itu penamaan bagi calo-calo penumpang kendaraan umum antarkabupaten di Makassar.
Begitu pun dalam memulai bekerja dengan komunitas. Bertanya adalah ilmu percakapan yang paling utama. Bahkan orang tua dahulu sering berpesan kepada anak-anak muda yang hendak merantau atau bertamu ke kampung seberang agar jangan mengobral kata-kata di rumah atau di kampung yang baru dikunjungi. Orang Bugis dahulu percaya sekiranya ada tamu yang baru kenal dan terlalu banyak bicara, biasanya orang itu dicap pembohong. Logisnya, bagaimana mungkin suatu perkenalan dimulai dengan ceramah. Seringkali terjadi, anak muda, apalagi yang berlatar sekolahan, tidak bisa menahan hasratnya untuk menggurui orang-orang kampung. Sikap dasar seperti ini bertentangan dengan prinsip-prinsip berkomunikasi atau berinteraksi dengan komunitas.   
CO Arkom: “Gunung Tertinggi di Jawa Barat?”
Pengalanan tujuah tahun Arkom Jogja yang ditulis ulang oleh Marsen Sinaga dalam buku Pengorganisasian Rakyat dan Hal-hal yang Belum Selesai mengingatkan saya pada percakapan Sangkala dan Uding tukang becak di Makassar. Di atas becaknya, Sangkala duduk sambil cabut jenggot. Di belakangnya, Uding sedang mengisi TTS. Seketika itu Uding nyeletuk, “sisa satu pertanyaan ini, daeng. Gunung Tertinggi di Jawa Barat?” Spontan Sangkala menjawab, ”Borobudur”. “Ihhh, lima kotak ini daeng...”. Sambil cabut jenggot, Sangkala tegas, “Ahh..tulis saja, cukup lah itu”. Uding pun mengeja dan mengisi kotak “/bo/ro/bu/du/r/,,,iya ya, cukup juga”.
Tidak persis sama dengan makna cerita kedua tukang becak itu bahwa pikiran harus didekatkan dengan kenyataan. Hambatan teknis harus diatasi untuk mencapai tujuan strategis. Begitu pun dalam proses pengorganisasian komunitas. Klaim keberhasilan program selalu saja menyisakan hal-hal yang tertunda atau tidak sanggup dikerjakan. Oleh karena itu keberhasilan diukur dari praktik-praktik yang baik sebagai tolak ukur kinerja organisasi. Dari pengalaman Arkom, yang dimaksud hal-hal yang belum selesai bukan lah suatu kegagalan. Adapun hal-hal yang belum baik akan menjadi tantangan bagi setiap individu Arkom. Maka sikap dasar yang diperlukan CO Arkom adalah menjadi individu yang organis, fleksibel, berinisiatif untuk memahami realitas, tidak selalu terikat target program yang mekanis.   
Di Loji Gandrung: “Arsitek Komputer vs Arsitek Komunitas”
Loji Gandrung, kediaman resmi walikota Solo adalah situs bersejarah (museum), sebuah bangunan klasik abad XIX berarsitektur kolonial. Penamaan Loji Gandrung yang berarti pula “Rumah Dansa” merujuk pada masa kepemilikan Johanes Agustinus Dezentye, pengusaha kolonial, yang menjadikanya  tempat orang-orang Belanda bernyanyi, berpasangan, berdansa. Bangunan ini cukup luas dan tertata baik. Di bagian belakang, terdapat rumah Joglo yang berfungsi sebagai aula pertemuan bagi masyarakat umum.
Di Loji Gandrung muncul istilah “Arkom alias Arsitek Komputer”, yaitu profesi arsitek yang identik dengan keahlian mendesain bangunan dari komputer. Profesi seperti ini menjadi arus utama dalam perancangan tata ruang dan bangunan kota. Prof. Eko Budihardjo dalam Kongres IAI (Sindroma Colombus Melanda Arsitek, 1985) mengkritknya dengan sebutan “arsitek yang bergulat dan main cinta dengan dirinya sendiri” alias onani. Profesi arsitek dimaknai sebagai keahlian dan uang. Padahal makna asali dari profesi dari bahasa Latin professio, yakni “janji (kepada) publik”. Mengutip pikiran Karlina Supeli (Kebudayaan dan Kegagapan Kita, 2013),  “Seseorang disebut profesional bukan terutama dia pakar di bidangnya, melainkan karena dengan kepakarannya dia menjalankan tugas dan pada saat bersamaan dia menjadikan keahliannya sebagai sumbangan bagi kepentingan masyarakat”.
Kritik pak Eko 20 tahun lalu itu memotivasi banyak arsitek-arsitek muda dekade tahun 2000-an untuk mengembangkan paradigma pembangunan manusia. Beberapa nama yang pantas disebut perintis di antaranya Romo Mangunwijaya, Eko Prawoto, Marco Kusumawijaya, yang kemudian menginspirasi banyak arsitek muda untuk keluar dari main-stream. Arkom Jogja sendiri dibangun dari arsitek muda di antaranya Yuli Kusworo dan Andrea Cak-cak yang pernah nyemplung di tengah-tengah konflik seperti di Stren Kali Surabaya, Kolong Tol Jakarta, Aceh pasca Tsunami, Kampung Pisang Makassar, dan Bungkutoko Kendari.
Paradigma Arkom: “Kata Kuncinya adalah Alat”
Metode kerja yang khas Arkom adalah pemetaan komunitas, yang mencakup aspek pendokumentasian potensi, masalah dan kebutuhan komunitas. Kata kuncinya adalah “alat”.  Metode ini diturunkan dari konsep Tribina Romo Mangun di perkampungan Kali Code Yogyakarta. Sehingga outputnya berupa peta yang komprehensif meliputi peta fisik, sosial, ekonomi, dan lingkungan hidup. Dengan pendekatan CO, Arkom kemudian mengfungsikan pemetaan dalam tiga proses: pertama, sebagai alat untuk mengumpulkan warga, menghimpun informasi, bekerjasama secara berkelompok, sampai pada pengambilan keputusan; kedua, sebagai alat untuk menegosiasikan kepentingan warga dengan penentu kebijakan; ketiga, sebagai alat kerja Arkom sendiri dalam mengolah informasi, data, dan mendesainnya menjadi dokumen rancangan proyek.
Jika pemetaan hanyalah alat, lalu apa yang sesungguhnya hendak dicapai Arkom? Ini pertanyaan yang mengemuka dalam workshop. Untuk menjawabnya, maka misi Arkom harus dijelaskan dalam kerangka gerakan alternatif untuk mengubah kebijakan. Dalam hal misi Arkom sejalan dengan gerakan advokasi yang dimotori LSM/NGO dekade tahun 80-an. Perbedaannya, Arkom digerakkan oleh komunitas arsitek, dan karena profesi itu pula Arkom hendak atau seharusnya bekerja mengikuti para pendahulunya untuk mengubah paradigma pembangunan arsitektural.
Pada akhirnya, gerakan Arkom dapat dijelaskan dari pandangan Max Neef tentang pembangunan martabat manusia melalui pemenuhan kebutuhan dasar (Human Scale Development: an Option for the Future, 1987). Menurutnya, apa yang kita pahami tentang kebutuhan masyarakat seperti jalan, drainase, rumah, sembako, air bersih, listrik, sekolah hanyalah alat untuk mencapai kebutuhan yang sesungguhnya, yakni kebahagian, kebebasan, keselamatan, kepuasan, dan rasa aman dari kekerasan. Faktanya, pemenuhan kebutuhan fisik itu seringkali menjadi sumber perpecahan antarwarga, korupsi, bahkan mengakibatkan kerusakan terhadap kearifan budaya lokal, penggusuran (bencana sosial) dan bencana lingkungan. Olehnya itu, bekerja bersama komunitas pada prinsipnya membangun kearifan lokal, daya kritis, dan kepercayaanya untuk menata diri dan mengubah ketimpangan sosial. Sembilan kebutuhan dasar manusiawi atau yang sesungguhnya versi Max Neef adalah subsistensi (subsistence), proteksi (protection), afeksi (affection), penghargaan (understanding), keterlibatan (participation), rekreasi (recreation), kreasi (creation), identitas (identity) dan kebebasan (freedom).  
Di Bantaran Kali Pepe: “Geser jangan Gusur, ya!”
Kota Solo sedang ramai-ramainya menyambut perayaan Imlek Grebeg Sudiro, terutama di sepanjang jalan Umbul Mataram, Pasar Gede, dan Kali Pepe. Tradisi tahunan ini digelar pada masa Joko Widodo menjabat Walikota Solo. Pada setiap perayaannya, Grebeg Sudiro mengemas tema-tema inklusivitas dalam kehidupan bermasyarakat. Even ini menjadi ikon persatuan dalam kebhineekaan warga kota Solo.
Di pusat keramaian depan Balaikota, samping jembatan, saya ditemani Mayang, Panji dan Adli menyusuri bantaran Kali Pepe dari Sudiroprajan sampai Keprabon. Terbayang sepanjang kanal di kota Makassar yang dangkal, penuh sampah, airnya hitam, kotor dan berbau. Kali Pepe tidak lah seburuk itu. Dinding kanal masih dalam, sekira 2 meteran, dan airnya jernih, tetapi relatif bersih dari sampah. Pada umumnya rumah penduduk menghadap kali. Ruas jalan yang rata-rata 2-4 meteran, dimanfaatkan warga sebagai ruang publik, taman, tempat berjualan, kandang ayam, dan MCK. Beberapa rumah penduduk masih seukuran 1 meter dari bantaran kali.
Warga sepanjang Kali Pepe sudah tahu rencana proyek penataan Kali Pepe, termasuk rencana Pemkot mengembangkan Wisata Sungai. Namun, kesan yang utama dari percakapan dengan warga bahwa Pemkot akan melakukan penggusuran. Pesan “jangan gusur ya” berulang kali diungkapkan warga kepada Arkom sejak hari pertama Nyemlung Kampung. Terhadap hal ini, pak Wali akan bertindak tegas menggeser rumah warga yang rapat dengan bantaran kali Pepe minimal 3 meteri. Selain dilandasi oleh peraturan pemerintah, juga untuk keamanan dan kenyamanan warga sendiri, serta perbaikan lingkungan perairan sungai. Peran Arkom dalam hal ini adalah mereproduksi pengetahuan warga ke dalam dokumen perencanaan yang komprehensif, dan menjadikannya sebagai media untuk berunding dengan Pemkot. (Bersambung)

2 komentar:

PANJI JARMIKO mengatakan...

ASIK, MANTAP

Unknown mengatakan...

Artikel terkait buku ikut kami lansirkan di link: http://blog.insist.or.id/insistpress/id/arsip/17069

Posting Komentar