25 Agu 2005

Aktivisme Simpul Uplink Kendari

(Catatan 25 Agustus 2005)

Berdasarkan statistik (2005), penduduk Kota Kendari pada tahun 2004 sebanyak 222.955 jiwa. Jumlah penduduk sebesar ini hampir sama dengan penduduk dua kecamatan di kota Makassar. Tandanya Kendari kota kecil, dengan persoalan yang belum sekompleks kota Makassar. Mayoritas penduduknya beragama Islam (209.013 orang), beragama Katolik (4.851 orang), beragama Protestan (10.025 orang), beragama Hindu (1.400 orang), dan beragama Budha sebanyak 820 orang.

Wilayah Kota Kendari berupa dataran rendah dan perbukitan. Luasnya 295,89 Km2 atau 0,70 persen dari luas daratan provinsi Sulawesi Tenggara. Pemukiman terkonsentrasi di sekeliling Teluk Kendari dan di dataran bukit. Pusat kegiatan ekonomi terutama berada di sepanjang jalan poros Bandara – Kota Lama dan di sepanjang Teluk . Di Teluk Kendari terdapat satu pulau, yaitu Bungkutoko.

Pertumbuhan kota Kendari tidak terlepas dari sejarah migrasi orang-orang pendatang, terutama dari Sulawesi Selatan. Hal ini sudah berlangsung sejak masa kolonial, dan mencapai puncaknya pasca krisis politik tahun 1960-an. Hingga tahun 1990-an, wilayah Sulawesi Tenggara masih instansi yang digandeng dengan Sulawesi Selatan, misalnya Polda Sulselra, PLN Sulselra, Balar Sulselra.

Kendari adalah kota kecil, yang baru belasan tahun terakhir ini beranjak dari dari kota admiistratif menjadi kotamadya. Dibandingkan dengan enam tahun lalu ketika saya dan Alwy Rachman berkunjung, berdiskusi dengan aktivis LSM dan mahasiswa jelang Pemilu 1999, dinamika kota sudah berbeda jauh. Waktu itu pak Alwy sempat berkesan “kota Kendari seperti Makassar tahun 70-an”. Dari bandara memasuki kota tampak bangunan rumah dan toko relatif sama ketimggiannya. Tidak mall atau pun hotel mewah. Kawasan teluk Kendari kebanyakan rawa dan mangrove. Hotel terbaik di sekitar teluk masih sekelas wisma. Nyaris tidak ada jejak-jejak kemacetan.

Kini Kendari mulai menyambut era reformasi. Ibarat gadis “baru bakka”mulai beranjak dewasa. Masa dimana para pendatang tertarik untuk beradu nasib, memperebutkan ruang-ruang ekonomi di atas lahan yang terbentang dari bandara hingga ke Teluk Kendari. Dengan keterbukaan sikap penduduk asli menerima para pendatang, gagasan baru dan investasi niscaya berterima.

 

Kendari Beach

Begitu orang-orang menyebutnya. Terletak di pinggiran teluk Kendari. Para penjual berjejer menghadap jalan raya membelakangi tanggul teluk. Mirip dengan suasana Pantai Losari Makassar. Suasananya lebih ramai dibanding enam tahun lalu. Asap ikan bakar dan jagung bakar mengepul di antara tenda-tenda pedagang. Orang-orang makan dan minum kop atau jus. Sesekali diselingi nyanyian pengamen.

Di sini saya menemui kenalan lama, Selvi dan cowoknya. Dia masih ingat saya. Dia PSK seperti dulu tetap cerewet dan “ganjen”. Dia minta ditraktir bir sebotol plus sprite. Harganya Rp 20.000. Kami mengobrol tentang perkembangan usaha tenda di sepanjang teluk Kendari. Pemkot menyuruh semua usaha tenda dipasangi lampu yang terang, dan tendanya tidak boleh dipasangi kain penutup, Tidak remang-remang lagi. Lampu jalan juga menyala semua.

Pengamen jalanan makin ramai. Mereka terorganisasi dalam KPJK (Kelompok Pengamen Jalanan Kendari). Antara usaha tenda dan pengamen saling mendukung. Tidak semuanya ngamen. Ada yang sekedar meramaikan suasana pantai. Kadangkala ribut dengan pengunjung karena salah paham. Apalagi kalau sudah mabuk.

 

Jajanan Pinggir Jalanan

Tidak sulit mencari makanan dan minuman jajanan di kota ini. Para penjual masih bisa ditemui di persimpangan jalan raya, depan toko, apalagi sekitar teluk. Mereka buka dari hingga larut malam, menemani orang-orang yang begadang. Harga masih terjangkau.

Pagi hari, berjalan kaki ke pasar Mandonga. Di sini tersedia menu sarapan pagi. Beli kue-kue tradisional Rp 5.000 dapat sepuluh biji. Makan siang, ikan bakar, 4 bungkus Rp 12.000. Beli di warung dekat pangkalan ojek. Penjualnya Ato, anak Makassar, baru 2 bulan di Kendari. Lokasi jualannya bekas gusuran, samping ruko. Dulunya di tempat itu ada rumah, digusur karena melanggar roling jalan. Ato pakai tempat itu tidak sewa. Dia cuma izin ke pemilik warung di sebelahnya, orang Bugis.

Malam hari, ada penjual makanan Sari Laut, orang jawa. Cukup dengan berjalan kaki untuk sampai di Sari Laut samping TVRI ini. Makan ikan bakar Rp 25.000 berdua. Ada juga Soto Ayam dekat pangkalan ojek. Habis makan bisa langsung ke Kendari Beach dengan angkot. Pulang naik angkot lagi. Singgah di warung gorengan. Beli molen dan tahu goreng Rp 6.000 sebungkus. Sesekalli singgah di Cafe di jalan Saranani dekat Perumnas. Minum Green Sand sebotol Rp 10.000.

 

KPJK

Mereka berencana mengadakan kegoatan “gelar pengamen akbar di kendari”. Di sini berkumpul anak-anak jalanan, pengamen, dan aktivis “prodem”. Kenalan dengan Sakkir, ketua KPJK. Kami diskusi soal rumah singgah. Ada keinginan mereka advokasi rumah singgah untuk anak jalanan seperti di Makassar. Pertanyaan yang mereka perdebatkan, apakah rumah singgah itu sudah menjadi kebutuhan kaum jalanan di Kendari, apa dampaknya bagi anak-anak jalanan? Apalagi proyek rumah singgah Depsos dan LSM seperti di Makassar menjadi lahan korupsi.

Tidak jauh dari tenda Selvi adalah kios daeng Erwin, kenalan lama, orang Makassar. Letak kios di pinggir jalan raya  A. Yani, samping lorong kelinci. Dia masih ingat saya. Seperti dulu dia menyapa saya dengan bahasa makassar. Dia kira saya masih bawa barang dagangan.

Seperti dulu, kios daeng jadi tempat nongkrong. Ada 4 orang yang nongkrong malam ini. Tampaknya kelas terpelajar. Tapi, malam ini tidak satu pun orang yang saya kenal. Mereka bicara soal politik sampai ke mistik. Mereka mengulas pertarungan politik gubernur, bupati, walikota, dan La Ode Ida. Daeng bersemangat waktu ngomong soal mistik. Saya menyimak saja, tahan diri untuk tidak nimbrung dalam percakapan.

 

Komunitas Pemulung

Berkunjung ke komunitas pemulung. Naik ojek dari sekretariat KPI – Koalisi Perempuan Indonesia jalan MT. Haryono Rp 1.500. Di perkampungan pemulung bertemu dengan Lasmi bersama ibu angkat dan 3 anaknya. Berkenalan dengan pak Eskandar, bekas tukang becak yang ikut pelatihan enumerasi di Jakarta bersama yanti. Kami mengobrol dengan ibu-ibu tentang sejarah tempat tinggal, biaya sekolah dan pelayanan asuransi kesehatan.

Warga di sini menempati tanah milik pak Yakobus, tuan tanah. Statusnya menumpang. Ada yang sudah tinggal sejak 1983. Lasmi tinggal di sini sudah 5 tahun. Suaminya pergi dan tidak kembali ketika anaknya yang bungsu berusia 6 bulan. Setiap pagi dia dan ibunya keliling mulung sampah di seputar kota. Lasmi pakai becak angkut sampah plastik, besi, aluminium, dan karton. Sekalian angkut-jemput anak-anaknya yang sekolah. Ibunya jalan kaki mulung sampai ke pasar Mandonga. Siang pulang, sore mulung lagi. Hari ini Lasmi dapat Rp 40.000.

Ibu-ibu di sini belum dapat Askes, tapi sudah dialog dengan dinas kesehatan dan lurah. Mereka dijanji dapat Askes tahap kedua. Mereka juga mengeluhkan mahalnya biaya sekolah. Pernah istri bupati beserta rombongan berkunjung dan mengasih sumbangan Rp 50.000 ke setiap anak pemulung. Kesannya sekedar “iklan”. Kunjungan ini dimuat di koran lengkap dengan gambarnya. Menurut ibu-ibu, sumbangan itu tidak menyelesaikan masalah sekolah. Maunya mereka biaya beli buku sekolah digratiskan saja. Mereka mau saja ketemu istri bupati lagi di rumah atau kantornya, asalkan ditemani pendamping Uplink/KPI.

 

Kelompok Tabungan Lapulu

Cerita mengenai kelompok tabungan di Kendari bermula dari pengalaman Rukiah dan Dg. Kebo, perempuan miskin kota dari KPRM Makssar tahun lalu. Keduanya memperkenalkan sistim tabungan harian, yang diajarkan UPC. Sistim tabungan ini merupakan media pemberdayaan dan penyadaran.

Berbeda dengan arisan, ibu-ibu menabung setiap hari, menyisakan penghasilannya berapa saja, yang penting menabung. Setiap hari ketua kelompok atau kolektor memungut uang tabungan anggota kelompok. Setiap bulan pertemuan kelompok mengevaluasi jumlah uang tabungan masing-masing anggota, sekalian membahas persoalan rumah tangga atau pun permasalahan yang bekaitan dengan pekerjaan, layanan kesehatan, anak sekolah. Jadi kolektor juga mengumpulkan informasi, dan ditindaklanjuti bersama pendamping Uplink.

Hingga jumlah tertentu, uang tabungan dapat digunakan oleh anggota kelompok sesuai dengan kebutuhan mendesak berdasarkan tujuan awal menjadi penabung. Misalnya uang tabungan digunakan untuk berobat saat sakit, biaya anak sekolah, keperluan di bulan puasa dan lebaran, bahkan usaha simpan pinjam. Namun, yang paling ditekankan adalah pertemuan dan pemecahan masalah anggota kelompok.   

Kami berangkat ke Lapulu di kecamatan Ibeli dengan menggunakan angkot Rp 1.000/orang ke pelabuhan. Kemudian menyeberang pakai ojek perahu, sekitar 15 menit. Ongkosnya Rp 1.000/orang. Pemukiman warga di sini berada di sekitar teluk Kendari. Rumah-rumah warga umumnya berbahan kayu dan setengah panggung.

Ibu-ibu di sini semuanya mengenal aktivis KPI. Setiap jalan mereka menyapa kami serasa akrab. Anak-anak berebutan kalau diambil gambarnya. Kelompok ibu-ibu tabungan di kampung ini diketuai mamanya Eka sekaligus kolektor. Jumlah tabungan sekitar Rp 3 juta. Kami mengobrol di rumah bu Roy, bekas kolektor. Dia ikut demo protes soal harga minyak tanah di hari anti pemiskinan. Mereka berhasil menurunkan harga minyak tanah di pangkalan, dari Rp1.300/lt menjadi Rp 1.000/lt. Tapi, bu Roy tetap dikenakan harga Rp 1.300/lt. Menurut bu Roy, pemilik pangkalan sentimen sama dia karena dia yang paling vokal dan nampak jelas di RCTI.

 

Kelompok Tabungan Anggoya

Jelang magrib, saya diantar Cornelis ke pangkalan ojek di kelurahan Talia. Naik ojek ke Anggoya Rp 3.000/orang. Berkunjung ke rumah bu Asiana, ketua kelompok (CL) tabungan Anggoya. Dia juga alumni pelatihan CO di Makassar.  Dia masih ingat saya waktu pertemuan pertama kali di rumah bu Sulastri tahun lalu. Kata teman-teman, dia CL yang potensial, paling vokal waktu demo BBM. Sudah sering ikut acaranya KPI. Ssekarang dia ikut program penanggulangan kemiskinan P2KP. Dia dipercaya oleh pak Lurah untuk mengelola dana pinjaman Rp 400 ribu untuk membuat abon ikan. Dia ikutkan anggota tabungannya 10 orang. Dia tahu dana P2KP dari Bank Dunia. Dia mau ambil dana itu karena didukung suami dan anggota tabungan. Menurutnya, dana itu penting untuk menambah pendapatan anggota. Meskipun demikian, bu Asia tidak yakin kalau nanti modal usaha itu bisa kembali.

 

Kelompok Tabungan Petoaha

Kami berempat ke pelabuhan, kemudian menyeberang ke Petoaha pakai ojek perahu Rp 1.500/per-orang. Perjalanan sekitar 20 menit.

Kampung ini tampak rapi. Rumah panggung beratap seng yang bentuknya sama, berjejer sepanjang pesisir pantai. Penduduknya kebanyakan suku Bajo yang dulunya digelari “manusia perahu” karena tempat tinggalnya di atas perahu. Dua tahun lalu, suku ini dirumahkan oleh Pemkot. Rumah-rumah mereka berdiri di atas air di antara tanggul dan daratan. Beberapa rumah masih tampak beratap daun nipah. Mata pencaharian mereka umumnya adalah nelayan dan memelihara rumput laut.

Seperti biasa teman-teman memperkenalkan saya dari makassar. Kesanya seperti inspeksi. Kenalan dengan anggota tabungan, Cece, As, Cornelis dan Asnaling. Ketua kelompok tabungan Cornelis, baru pulang dari Maluku. Barangkali dia satu-satunya warga non-muslim di kampung ini. Kolektor Cece, bendaharanya As. Menurut mereka, tabungan tidak lancar. Warganya malas menabung karena penghasilannya tidak menentu, dan masih belum yakin pada pengurusnya. Anggota maunya uang tabungan itu dijadikan modal usaha.

Di sini kami lebih banyak mengobrolkan kehidupan nelayan sehari-hari. Misalnya, pengalaman mereka mengambil lokan besar, dan dijual Rp 5.000/biji. Sekarang semakin sulit. Begitu juga usaha rumput laut, perkilonya Rp 4.000. Jaring penangkarnya sering ditabrak kapal di malam hari.

 

Aktivisme LSM

Dinamika dan keberlangsungan aktivis LSM di kota Kendari juga sangat bergantung pada relasi dengan organisasi jaringan nasional seperti Uplink, KPI, Walhi, KPA, AMAN, termasuk LBH dan PRD. Jaringan ini umumnya memiliki kontak person lokal, aktivis senior. Selain sebagai simpul wilayah, mereka juga mengkader aktivis muda dan mahasiswa.

KPI seperti problem aktivis pada umumnya mengalami dilema, tegangan di antara urusan pribadi, keluarga, dan karir. Mereka semua masih lajang dan tinggal bersama orang tua. Ada yang berencana menikah dan pindah ke Makassar; Ada yang harus mengurus kondisi orang tua yang sakit-sakitan sambil mendampingi komunitas. Mereka juga butuh biaya operasional untuk sekretariat, untuk mobilitas agar bisa fokus pada pengembangan karir sebagai organizer komunitas.

Dari diskusi evaluasi pengorganisasian komunitas jaringan Uplink dan KPI, saya mencatat beberapa poin sebagai berikut:

(1)    Proses integrasi sudah berjalan, meski dirasakan belum tuntas;

(2)    Media pengorganisasian tabungan cukup efektif, tapi dirasakan kurang variatif, sehingga perlu menggunakan media yang lain;

(3)    Pengidentifikasian persoalan sudah terjadi seperti BBM, askes, biaya sekolah, tapi belum sampai ke penyelesaian yang memuaskan komunitas;

(4)    Pemecahan masalah di tingkat lokal sudah terjadi untuk kasus minyak tanah pangkalan di Lapulu. Kasus ini efektif membangun kepercayaan komunitas kepada pendamping.

(5)    Uplink dipandang punya ciri, dan bisa diandalkan untuk membangun gerakan berbasis komunitas.

Sebelum pulang ke Makassar berdiskusi dengan aktivis Suluh hingga larut malam. Mereka sepakat menggalakkan pelatihan CO seperti yang dilakukan UPC supaya aktivis punya visi gerakan sosial alternatif. Saya meninggalkan Suluh menuju KPI jam 07.30 pagi. Para aktivis Suluh masih tidur. Pintu tidak terkunci. Saya pergi tanpa pamit lagi. Di KPI juga aktivis masih tidur. Pintu tidak terkunci. Saya  ambil barang langsung ke pangkalan ojek menuju bandara.  Di atas ojek, saya pamit via SMS ke kawan-kawan yang masih menikmati tidur lelapnya.