2 Nov 2009

Pembelaan Forum Warga Bulogading

 (Lembar Kasus 2 November 2009)

Kampung Bulogading merupakan tanah ex eigendom verponding No. 937 dengan surat ukur tanggal 23 Maret 1901 No. 162 seluas 2475 m². Terletak di jalan Bulogading kelurahan Bulogading kecamatan Ujungpandang. Sejak masih bernama kampung baru, lokasi tanah sudah ditempati oleh warga tahun 1926. Adapun penduduk pertama yang menempati lokasi tersebut adalah Dg. Baleo. Dalam perkembangannya semakin banyak warga berdatangan dan membangun rumah. Jalan Bulogading masih berupa lorong bernama “lorong 276”.

Berdasarkan surat pernyataan dari kepala kampung baru bernama H. Tcanda Dg. Tarang menyatakan bahwa penduduk sudah padat pada tahun 1946. Orang yang menetap sejak tahun itu berstatus penduduk lama dan diberikan surat kepemilikan. Namun surat-surat kepemilikan tanah yang mereka miliki terbakar akibat pemberontakan Andi Azis (peristiwa KNIL) yang terjadi pada tanggal 5 Agustus 1950. Keterangan ini berdasarkan surat yang dikeluarkan pemerintah pada saat itu sebagai korban pemberontakan. Sejak peristiwa kebakaran, warga diwajibkan oleh Pemerintah Kota untuk membayar IPEDA (PBB), sehingga warga membangun dan memperbaiki rumah masing-masing.

Pada tahun 2008 seseorang yang mengaku sebagai ahli waris dari Hasjim Dg. Manappa bernama Hj. Sadiah kembali menggugat warga (43 orang) dengan nomor perkara 131/Pdt.G/Vi/PN Mks. Namun, warga yang tersisa hanya 20 orang, dan setengahnya merupakan ahli waris. Sementara 23 orang lainnya sudah meninggal dan ada yang sudah tinggal di lokasi sekarang.

Dalam sidang pembuktian, keterangan saksi ahli yang diminta dari kepala BPN Kota Makassar yang diwakili oleh kepala seksi pendaftaran tanah dalam kesaksiannya di persidangan mengatakan bahwa tanah di Bulogading merupakan bekas tanah hak barat (ex eigendom verponding). Sertifikat HGB 273 yang dijadikan dasar gugatan oleh penggugat telah habis masa berlakunya dari tahun 1960 dan berakhir pada tanggal 24 september 1980. BPN juga sudah dua kali mengeluarkan surat penolakan perpanjangan HGB pada tahun 1993 dan 2008 karena di atas tanah tersebut sudah ada sertifikat hak milik (SHM) yang dimiliki oleh warga Bulogading.

Hari Kamis tanggal 23 Oktober 2009, majelis hakim yang diketuai Tiwery Christer Rolof, SH, anggota Kemal Tampubolon, SH.MH, dan Gossen Butar-Butar SH.MH yang mengadili perkara tersebut mengabulkan gugatan penggugat. Adapun pertimbangan hakim adalah:

(1)    Menggunakan putusan tahun 1976 yang mana pada saat itu warga tidak mengetahui jika tanah digugat, yang menurut mereka penggugat telah menangkan. Padahal perintah dari Mahkamah Agung untuk kembali membuka persidangan pada tahun 1982 tidak pernah dilaksanakan;

(2)    Dasar dari putusan tersebut adalah sertifikat HGB 273 yang telah berakhir masa berlakunya pada tahun 1980;

Berdasarkan pada fakta-fakta persidangan dan alat bukti yang dimiliki warga berupa PBB, akte jual beli lurah/camat, sertifikat hak milik, posisi secara hukum warga bulogading sangat kuat. Bukti  formal yang mereka miliki sah dan menguasai lokasi tanah sejak Indonesia merdeka. Mejelis hakim yang menyidangkan perkara ini tidak memperhatikan alas hak yang dimiliki warga bulogading. Sehingga ada beberapa keganjilan dari putusan hakim PN Makassar yang mencederai rasa keadilan sosial sebagai berikut:

(1)    Sudah ada 7 warga yang memiliki sertifikat hak milik (SHM) namun ini dikalahkan oleh sertifikat HGB yang telah berakhir tahun1980;

(2)    Dari  43 orang yang tergugat, 23 orang telah meninggal, dan 20 orang lainnya adalah ahli waris, namun gugatan yang tidak sempurna tetap digunakan;

(3)    Kesaksian dari kepala BPN Kota Makassar di PN Makassar pada tanggal 29 Juli 2009 juga tidak dijadikan sebagai dasar pertimbangan;

(4)    Masih banyak warga yang menempati lokasi tanah yang digugat namun tidak digugat termasuk kantor kelurahan Bulogading kecamatan Ujungpandang yang berada di dalam lokasi sengketa.

Saat ini sebanyak 75 KK atau kurang lebih 220 jiwa menempati tanah yang ada di Bulogading terancam digusur. Tidak hanya itu fasilitas pemerintah, yakni kantor kelurahan, MCK umum dan sumur umum, serta posyandu untuk ibu dan anak semuanya juga terancam digusur oleh putusan PN Makassar yang tidak berdasar pada kebenaran dan keadilan serta tidak dapat dipertaggungjawabkan secara logis dan formal.

Dalam isi putusan PN Makassar tanggal 29 Oktober 2009, ada indikasi terjadinya praktik mafia peradilan. Dan juga, sejak sidang kesimpulan pada tanggal 5 Agustus 2009, hasil putusan baru dibacakan pada tanggal 29 oktober 2009. Ini berarti 11 minggu lamanya sidang tertunda. Hal ini sangat memungkinkan terjadi negosiasi antara para penggugat dan mejelis hakim yang mengadili perkara agar hasil putusan menguntungkan pihak penggugat.

Dalam kasus sengketa warga Bulogading dengan ahli waris Hasjim Dg. Manappa, yakni Hj. Sadiah, ada indikasi yang sangat kuat adanya keterlibatan mafia tanah dan pengusaha/investor besar dalam upaya merampas tanah-tanah rakyat miskin yang ada di Bulogading. Karena secara sosial posisi tanah tersebut sangat strategis dan bernilai ekonomi yang sangat tinggi. Hal inilah yang kemudian sangat memungkinkan terjadinya permufakatan jahat dan perselingkuhan antara pengusaha dan penegak hukum untuk mengalahkan rakyat miskin dengan jalan yang tidak benar.

Jika pengosongan itu terjadi maka bencana sosial akan terjadi di Bulogading, ratusan orang akan kehilangan tempat tinggal dan tidak hanya itu berapa banyak orang tua yang harus kehilangan pekerjaan karena mereka menggantungkan mata pencaharian di sekitar pantai Losari dan jalan Somba opu, anak-anak yang tidak dapat bersekolah dan dampak sosial lainnya. Ketika hal itu terjadi maka dalam sejarah kota Makassar akan tercatat pelanggaran HAM berat sebagaimana diatur dalam UU No. 11 tahun 2005 tentang Kovenan Hak-hak Ekosob karena pemerintah tidak berdaya untuk melindungi warganya.

Berdasarkan situasi itulah kami dari Forum Warga Bulogading meminta perlindungan kepada Walikota dan DPRD Kota Makassar melindungi rumah dan tanah kami dari upaya pihak penggugat untuk melakukan pengosongan sebelum ada putusan yang berkekuatan hukum tetap. Karena putusan dari PN Makassar merupakan putusan yang jauh dari prinsip kebenaran dan keadilan serta melanggar nilai-nilai kemanusiaan. “Rakyat yang digusur akan menjadi api dalam setiap nasi yang mereka makan”.