M. Nawir
Istilah arsitek kampung atau pun
arsitek komunitas akhir-akhir ini sering digunakan oleh sejumlah
aktivis-intelektual perkotaan untuk menyebut sekelompok praktisi yang bekerja
sama dengan masyarakat akar rumput dalam menata maupun membangun suatu pemukiman.
Sebelumnya, kalangan perencana kota/pemukiman pernah mempopulerkan istilah barefoot
architect (arsitek telanjang kaki), yakni arsitek yang melakukan
pendampingan teknis kepada masyarakat yang membutuhkannya, terutama masyarakat
miskin. Misalnya, pasca rekonstruksi Aceh 2004, beberapa perguruan tinggi
bekerjasama dengan UN Habitat merekrut mahasiswa jurusan teknik arsitek menjadi
relawan sekaligus teknisi perencana pemukiman di lokasi bencana. Selanjutnya,
istilah barefoot architect - yang sebenarnya diinsiprasi dari konsep barefoot
doctors atau "dokter telanjang kaki" pada masa kepemimpinan Mao
Tse Tung di China - kemudian dipertegas lagi dengan istilah arsitek komunitas (community/social
architect) untuk menjelaskan fungsi-fungsi sosial seorang arsitek/perencana
dalam memecahkan masalah pemukiman masyarakat miskin perkotaan. Sejumlah
arsitek dan pekerja sosial di Yogyakarta menamakan dirinya Jaringan Arkom
(Arsitek Komunitas) pasca letusan Merapi dua tahun lalu.Visi arsitek untuk komunitas banyak diinspirasi oleh arsitek senior di Asia, di antaranya George Ansorena, seorang pastor yang mengabdikan dirinya lebih dari 30 tahun di pemukiman-pemukiman miskin di Jepang. Demikian halnya Khirtee di New Delhi, Sandeep dan Kiran di Gujarat India, Arif Hassan di Karachi, dan Romo Mangun di Yogyakarta pada tahun 70/80-an. Meskipun profesi mereka mulanya adalah praktisi perencana/arsitek, dalam pengabdian pada kaum miskin kota, mereka bekerja dengan pengorganisasian masyarakat laiknya pekerja sosial.
Istilah Arsitek Kampung (Arkam)
juga diinspirasi dari konsep arsitek komunitas, yang maksudnya ingin lebih
menegaskan peranan "orang kampung" sendiri dalam suatu program. Para
pegiat Arkom menyadari betul ada banyak ahli berpengalaman yang berkontribusi
besar dalam membangun rumah dan lingkungan pemukiman, dengan atau tanpa bantuan
aristek/perencana sekolahan. Terjadi pertukaran pengalaman/[pengetahuan lokal
dan keahlian moderen di tingkatan kerja (praksis). Aktivis arkom mulai
dipengaruhi oleh detil-detil struktur sebuha rumah dengan segala variasi dan
ornamennya di bubungan rumah, teras, pintu, jendela, tangga, sampai dapur.
Semua itu dibuat secara sadar dan terencana.
Bagaimana praktik kerja arsitek
kampung? Saya terkesan pada karya orang-orang kampung di Bungkutoko kecamatan Abeli
kota Kendari.
Bedah Kampung vs Bedah Rumah
Gagasan tentang Bedah Kampung Terpadu (integrated upgrading kampung) mulai dilaunching Bappeda kota Makassar dan
Komite Perjuangan Rakyat Miskin (KPRM) dalam suatu workshop di hotel Losari
Beach, 13-14 April 2011. KPRM mengajukan konsep bedah kampung untuk
mengganti program Bedah Rumah Dinas Sosial. Bedah kampung dipandang lebih komprehensif,
efisien dan tepat sasaran. Pada banyak kasus, bantuan perbaikan rumah tidak
layak huni (RTLH) yang nilainya 5 – 10 juta rupiah tidak utuh diterima warga.
Padahal dalam setahun, pemkot menggulirkan proyek ini kepada 200-an rumah
tangga miskin.
Program bedah kampung merupakan tindak lanjut kesepakatan KPRM dengan
Walikota Makassar, Ilham Arief Sirajuddin dalam menemukan alternatif
penyelesaian sengketa pertanahan/pemukiman dan pengentasan kemiskinan, yakni
berbagi lahan (land sharing). Meskipun masih terkendala oleh legalitas
tanah, KPRM mengajukan
Kampung Pisang kelurahan Maccini Sombala sebagai lokasi percontohan. Pasca
lokakarya dengan Bappeda, KPRM bekerjsama dengan ARKOM Yogya dan Rujak Centre
melakukan pemetaan dan perencanaan kampong seluas 7.000 meter
dari 3,7 hektar lahan sengketa. Hasilnya, sebuah desain pemukiman yang
berwawasan lingkungan, yang disertai dengan komitmen warga untuk membongkar
rumah sendiri, menimbun lahan, dan menggunakan material bekas untuk membangun
rumah di lokasi yang mereka inginkan.
Warga kampung pisang menerima konsep bedah
kampung terpadu sebagai metode resolusi konflik baik secara ke dalam (sesama
warga) maupun konflik dengan pihak pemilik tanah, dimana pemerintah kota
bertidak sebagai mediator. Keputusan diambil secara terbuka dengan menghadirkan
seluruh pemilik rumah, terutama kesediaan mereka untuk memindahkan rumah
masing-masing ke dalam areal yang disepakati. Warga juga belajar bekerja
bersama mengukur luas lahan, batas-batas perumahan, jalan, desain rumah yang
diinginkan, letak balai warga, dan tempat pembuangan sampah. Para tukang
kampung dan perencana/arsitek sekolahan saling bertukar pengetahuan teknis.
Kerjasama ini melahirkan sebuah desain tata kampung yang detail disertai maket
pemukiman. Meski, pihak pemkot Makassar dinilai gagal berperan sebagai mediator
land sharing, konsep dan desain tata
kampung ini direalisasikan secara sederhana oleh warga sendiri tanpa bantuan pembiayaan
dari pemkot.
Dari kampung
pisang pula istilah arsitek kampung (ARKAM) dipakai untuk mengorganisasikan
tukang-tukang ahli dari dalam komunitas, yang diasumsikan dapat memimpin pembangunan
pemukiman tanpa harus bergantung penuh ahli-ahli sekolahan.
Arsitek Bedah Kampung Bungkutoko
Bungkutoko, sebuah
pemukiman nelayan pesisir teluk kota Kendari, yang dihuni 55 KK. Mereka terancam digusur oleh proyek
pengembangan pelabuhan. UPC dan GERMIS (Gerakan Rakyat Miskin)
Kendari memediasi persoalan ini. Sebagai alternatif
dari penggusuran, pemerintah kota menyiapkan lahan untuk relokasi seluas 18,265 m2
atau 1,8 hektar, sekitar 500 meter dari kampung semula.
Lahan relokasi adalah tanah rawa
dan berlumpur, 50 meter dari pantai. Secara teknis, lokasi baru itu tidak
mungkin bisa dibanguni perumahan oleh warga sendiri. Namun, pesimisme warga
berbalik menjadi anstusiasme membangun setelah UPC dan GERMIS melakukan perencanaan
partisipatif bekerjasama dengan ARKOM Yogya. Kolaborasi antara organisasi
komunitas dan organisasi profesi, yang didukung dengan kebijakan pemkot dan
pendanaan dari Kemensos RI menghasilkan program bersama yang disebut City Wide Upgrading atau Bedah Kampung
Terpadu Bungkutoko. Program ini diasumsikan menjadi model bagi penataan
kampung-kampung kumuh di kota Kendari dan kota-kota lainnya.
Pada awal
perencanaan kampung Bungkutoko, peranan aktivis ARKOM Yogya dan Makassar sangat besar
dalam menyusun sebuah dokumen master plan. Tata ruang, desain rumah dan
mekanisme kerja disepakati bersama. Kesiagaan bencana
menjadi perspektif dengan menyadari kenyataan bahwa dampak perubahan iklim
global terkait erat dengan kemiskinan dan kerentanan sosial. Perspektif pengurangan resiko bencana
dapat dilihat pada teknik pemasangan tiang rumah, dan pengaturan atap rumah. Dokumen master
plan kampung Bungkutoko ini kemudian menjadi dasar pembiayaan program RTLH,
KUBE dan SARLING dari Kemensos RI dan Pemkot Kendari.
Sebagian besar warga Bungkutoko adalah
nelayan pesisir yang minim keterampilan kerja pertukangan, sehingga proses memulai
pembangunan tidaklah mudah. Selain kondisi lahan, masalah teknis pengadaan
material, tenaga kerja, juga dibutuhkan intensitas pengorganisasian rumah
tangga pemilik rumah. Hal yang terakhir sangat menentukan tingkat pencapaian aspek
pembangunan pemukiman. Untuk memudahkan kordinasi, pembagian kerja, dan distribusi
informasi, warga terorganisasi
dalam kelompok per-10 KK dan tim kerja. Kordinasi dilakukan oleh tim
kerja yang terdiri dari
kepala pembangunan (pimpro), tim tukang, tim pengadaan material, pengawas,
dan bendahara. Pemilik rumah diposisikan dan diperankan sebagai subyek utama dengan segala kemampuan dan
kearifan yang mereka miliki. Pada akhirnya, mereka terbiasa merancang, mengelola, melaksanakan dan
mengontrol sendri pembangunan rumah, sehingga mereka memilki kebanggaan tehadap hasil kerjanya.
Keberhasilan pembangunan kampung
Bungkutoko tidak terlepas dari dua tukang berpengalaman dari KPRM Makassar.
Mereka adalah Dg. Sampara dari Kampung Pisang dan Dg. Tuppu dari Bontoduri
kecamatan Tamalate. Kedua orang kampung ini adalah pengurus organisasi rakyat
KPRM Makassar, yang direkrut dan difasilitasi oleh UPC. Dg. Keduanya berperan
sebagai kepala pembangunan. Dg. Tuppu berpengalaman sebagai pemimpin proyek, dan memiliki keahlian
sebagai manajer dan estimator. Dg. Sampara adalah tukang ahli, yang berpengalaman
mengorganisasikan kerja teknis. Mereka tidak
hanya bekerja tetapi juga mengkader dan melatih warga menjadi tukang. Mereka inilah yang disebut dengan Arsitek Kampung, yang menjadi motor
penggerak warga membangun pemukiman baru di atas lahan rawa-rawa dan terpisah dari
pemukiman lainnya.
(diolah dari berbagai sumber dan catatan dari acara peresmian Bedah Kampung Terpadu Bungkutoko oleh Mensos RI, 15 Mei 2012)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar