Tulisan ini adalah salah satu Materi Dasar Pelatihan CO (Community Organizing) – Uplink Indonesia region Sulawesi yang dilaksanakan oleh UPC Jakarta pada tahun 2005 di Makassar. Acuan pokok materi ini diambil dari buku karangan Anne Hope dan Sally Timmel: Training for Transformation, Book 1, London - Intermediate Technology Publications, 1999, dan; buku Pendidikan Popular karangan Mansour Fakih dkk.
Postingan ini
dimaksudkan sebagai referensi bagi aktivis mengenai pokok-pokok pikiran
Paulo Freire tentang pendidikan pembebasan yang sangat digandrungi
oleh para aktivis pengorganisasian komunitas (CO) dan gerakan sosial
dekade 70-80an. Paulo Freire Reglus Neves, begitu nama lengkapnya;
lahir di Recife, ibukota provinsi timur laut Brasil, salah satu
daerah yang paling miskin di Amerika Latin. Meskipun dibesarkan dalam
keluarga kelas menengah, Freire tertarik pada pendidikan orang miskin
di wilayahnya. Berkualifikasi sebagai pengacara, Freire kemudian
mengembangkan 'sistim' pengajaran untuk semua tingkat pendidikan.
Dasar-dasar sistim
pendidikan Freire berfokus pada lingkungan sosial siswa. Freire
berasumsi bahwa pembelajar harus memahami realitas mereka sendiri
sebagai bagian dari kegiatan belajarnya. Seorang siswa tidak cukup
dengan membaca kalimat: 'Hawa melihat anggur '. Siswa harus belajar
memahami Hawa dalam konteks sosialnya, mencari tahu siapa yang
bekerja menghasilkan anggur dan yang mendapat keuntungan dari
pekerjaan tersebut. Sistim pendidikan ini yang membawa Freire dalam
pengasingan penjara selama tujuh puluh lima hari pada tahun 1964 atas
tuduhan mengembangkan teori 'revolutionery and an ignorant'. Dia
kemudian menghabiskan empat tahun hidupnya di Chili dan satu tahun di
Amerika Serikat. Pada tahun 1970, dia pindah ke Jenewa, dan bekerja
untuk Dewan Gereja-gereja Dunia. Pada tahun 1980, dia ke Brasil untuk
'kembali belajar' tentang negaranya.
Koleksi buku yang
diterbitkan Paulo Freire telah diterjemahkan ke dalam delapan belas
bahasa. Lebih dari dua puluh universitas di dunia menganugerahkannya
gelar Doktor Honoris Causa. Publikasinya yang paling populer,
Pedagogi (Pendidikan) Kaum Tertindas, didedikasikan kepada masyarakat
yang hidup dalam penderitaan dan bagi mereka yang bekerja, serta
berjuang untuk mengentaskan pemiskinan. Pada tahun 1989, dia menjabat
Sekretaris Pendidikan di Sao Paulo, negara yang paling padat
penduduknya di Brasil. Selama menjabat, dia berusaha mewujudkan
ide-idenya dengan meninjau ulang kurikulum, dan meningkatkan gaji
para pendidik Brasil.
Paulo
Freire adalah seorang pria yang memiliki rasa humor. Pada saat yang
sama, dia juga seorang pria yang sangat muak dengan semua jenis
ketidakadilan (dehumanisasi). Dia adalah ayah dari lima anak dari
istri pertamanya, Elza. Setelah kematian Elza, dia kemudian menikahi
mantan mahasiswanya, Ana Maria {dikutip dari paper Heinz Peter
Gerhardt: Paulo Freire (1927-97) dalam Prospects: the quarterly
review of comparative education (Paris, UNESCO: International
Bureau of Education), vol. XXIII, no. 3/4, 1993, p.439–58,
©UNESCO: International Bureau of Education, 2000.
Gagasan-gagasan
terpenting yang mendasari karya Paulo Freire cukup mudah dipahami
oleh mereka yang terlibat dalam perjuangan untuk mengubah situasi
yang tidak adil. Prinsip-prinsip tersebut mempunyai pengaruh besar
pada apa yang di Amerika Latin, Filipina dan Afrika Selatan disebut
‘pendidikan rakyat’ (popular education). ‘Pendidikan rakyat’
adalah upaya komunitas untuk menguasai pengetahuan yang sudah ada dan
membangun pengetahuan baru untuk membaharui masyarakat sehingga semua
orang memiliki kesempatan untuk hidup secara utuh dan penuh.
Para pendamping
pengorganisasian masyarakat sangat perlu memahami prinsip-prinsip
kunci tersebut, jika mereka ingin berperan secara efektif dalam
proses transformasi sosial.
Masalah yang
dialami rakyat adalah situasi penindasan
Freire berangkat
dari kehidupan nyata yang memperlihatkan bahwa sebagian besar manusia
menderita, sementara sebagian lainnya menikmati jerih payah orang
lain dengan cara-cara yang tidak adil. Keadaan itu disebutnya sebagai
situasi penindasan. Menurut Freire penindasan adalah keadaan yang
menafikan harkat kemanusiaan. Dehumanisasi ini terjadi baik atas
rakyat yang merupakan mayoritas kaum tertindas, maupun atas diri
minoritas kaum penindas sendiri. Keduanya menyalahi martabat manusia.
Mayoritas kaum tertindas menjadi tidak manusiawi karena hak-hak dasar
mereka diingkari dan dibenamkan dalam ‘kebudayaan bisu’ (culture
of silence). Minoritas penindas juga tidak manusiawi karena mendustai
hati nurani sendiri dengan memaksakan penindasan bagi sesamanya.
Meski dehumanisasi
itu telah terjadi sepanjang sejarah peradaban, humanisasi merupakan
panggilan dasar manusia atau fitrah manusia. Panggilan manusia sejati
adalah menjadi pelaku atau subyek sejarahnya, bukan penderita dan
obyek. Panggilan manusia sejati adalah menjadi pelaku yang sadar,
yang bertindak mengatasi dunia serta realitas yang menindas. Kaum
tertindas harus memerdekakan diri mereka dari penindasan yang tidak
manusiawi sekaligus membebaskan kaum penindas mereka dari penjara
hati nurani yang tidak jujur.
Tujuan pendidikan
adalah transformasi radikal
Kita terpanggil
untuk melakukan tranformasi: kehidupan pribadi kita, komunitas kita.
lingkungan kita, dan seluruh masyarakat. Bagi kaum miskin di dunia,
‘situasi seperti yang ada sekarang’ tidaklah memuaskan, dan bukan
niscaya harus seperti itu. Pendidikan transformatif didasarkan pada
harapan bahwa sungguh mungkin mengubah kehidupan menjadi lebih baik.
Landasannya adalah visi tentang masyarakat baru yang lebih adil.
‘Radikal’
artinya sampai ke akar-akarnya. Akar penyebab banyaknya kesengsaraan
yang tidak perlu di dunia moderen ini tertanam dalam nilai-nilai yang
mempengaruhi ‘peradaban’ industri moderen Barat. ‘Peradaban’
itu kini berpengaruh pada sebagian terbesar dunia. Nilai-nilai
dominan ini mencakup keserakahan dan kendali atas harta milik serta
kuasa atas orang dan barang.
Untuk melakukan
transformasi masyarakat, kita perlu menggali nilai-nilai kerjasama,
keadilan dan ‘kepedulian pada kepentingan bersama’. Semua agama
menantang kita untuk menjunjung tinggi nilai-nilai tersebut, karena
semua itu adalah segi-segi terpenting dari cinta kasih. Itulah
sebabnya pendidikan transformatif pada dasarnya adalah proses
spiritual.
Proses transformasi
meliputi aksi maupun refleksi.
Pendidikan dan pengembangan masyarakat
bukanlah proses yang terpisah, keduanya adalah dua sisi dari satu
keping mata uang. ‘Pendidikan rakyat’ bukanlah kegiatan akademis
yang individualistik seperti kebanyakan pendidikan tradisional Barat
dimana orang berusaha mencapai kualifikasi setinggi-tingginya buat
dirinya sendiri. ‘Pendidikan rakyat’ mengakui energi dan potensi
yang ada dalam diri tiap pribadi dan komunitas dan berusaha
memberdayakannya agar mampu memberikan sumbangan sebesar-besarnya
bagi proses pengembangan masyarakat baru yang memungkinkan semua
orang memenuhi kebutuhan kemanusiaannya.
Penyadaran
merupakan inti proses pendidikan
Penyadaran atau
konsientisasi merupakan inti proses pendidikan rakyat, karena
transformasi radikal sebagaimana disebut di atas tidak mungkin
terjadi tanpa upaya penumbuhan kesadaran yang menjauhkan seseorang
dari ‘rasa takut akan kemerdekaan’ (fear for freedom).
Kesadaran seseorang menurut Freire berproses dari satu tahap ke tahap
lainnya. Ada tiga tahap kesadaran rakyat: (1) Kesadaran magis
(magical consiousness), yaitu tahap kesadaran ketika rakyat
masih beranggapan bahwa penyebab kesengsaraan mereka adalah faktor di
luar manusia (entah alam atau supra alam); (2) Kesadaran naif (naival
consciousness), yaitu tahap kesadaran rakyat saat mereka
mengidentifikasi penyebab kesengsaraan mereka adalah kelemahan
manusia. Mereka sengsara karena mereka kurang rajin, tidak memiliki
sikap wiraswasta, tidak mempunyai budaya ‘membangun’, kurang
trampil, kurang pengetahuan; (3) Kesadaran kritis (critical
consiousness) adalah tahap ketika rakyat melihat bahwa biang
keladi kesengsaraan mereka adalah sistem dan struktur yang berlaku,
dan menindas.
Tema yang relevan
dan menggerakkan (relevant generative themes)
Semua pekerja
sosial berfikir kegiatan pendidikan yang diselenggarakannya relevan:
tapi siapa yang menentukan apa yang relevan bagi suatu komunitas?
Banyak yang menegaskan bahwa komunitas sendiri harus memilih isu yang
paling penting dalam dalam pendidikan dan pengembangan masyarakat.
Paulo Freire menerima konsep itu dan mengembangkannya lebih lanjut
dengan mengemukakan kaitan antara emosi dan motivasi untuk bertindak.
Banyak pendidikan
mencoba menafikan perasaan manusia dan memusatkan perhatian pada akal
dan tindakan. Tapi Freire berpendapat bahwa emosi memegang peranan
menentukan dalam transformasi. Perasaan adalah kenyataan. Hanya
dengan bertolak dari isu yang membangkitkan perasaan kuat –
harapan, ketakutan, kekhawatiran, kemarahan, kegembiraan, kesedihan -
pada komunitas dan mengangkatnya ke permukaan, kita dapat memecahkan
rasa acuh tak acuh (apatis) dan ketakberdayaan yang telah melumpuhkan
kaum miskin di mana-mana.
Apatis bukanlah
keadaan alami pada manusia. Yang alami bagi semua manusia adalah
berjuang memenuhi kebutuhan mereka. Hanya ketika usaha-usaha mereka
terus-menerus mengalami hambatan, maka mereka menjadi terpuruk dalam
sikap apati.s Peran animator adalah membantu rakyat menemukan harapan
baru saat mereka menggali kembali energi alami mereka dan memecah
sikap apatis mereka bersama-sama.
Paulo Freire
menamakan isu yang mampu membangkitkan energi alami dan harapan
mereka itu ‘tema-tema generatif’. Agar program bisa
sungguh-sungguh didasarkan atas tema-tema itu, animator perlu
mengawali kegiatannya dengan survei mendengarkan. Proses mendengarkan
dan dialog terus-menerus harus tetap ada di sepanjang proses
selanjutnya.
Beberapa isu
dibicarakan orang secara bebas dan muncul ke permukaan dalam
perbincangan di komunitas seperti misalnya isu penutupan klinik atau
langkanya kesempatan kerja. Tema-tema lain berkecamuk di bawah
permukaan, tetapi tidak dibicarakan karena ketakutan atau ditabukan
(seperti kekerasan seksual, hubungan seksual antara kerabat dekat -
incest, kecanduan minuman keras, wabah AIDS).
Dialog atau
musyawarah
Dialog atau
musyawarah sangat menentukan dalam setiap aspek pembelajaran
partisipatif dan dalam seluruh proses transformasi. Tantangan untuk
membangun masyarakat yang adil berdasarkan kesetaraan sangat
kompleks. Kita telah diajar untuk percaya bahwa ada orang-orang ahli
yang mempunyai pengetahuan yang kita perlukan. Selama bertahun-tahun
pendidikan tradisional dipandang sebagai proses penyampaian
informasi dari ‘seorang yang tahu’ (guru) kepada orang-orang lain
‘yang tidak tahu’ (murid). Paulo Freire menyebut proses seperti
ini sebagai pendidikan gaya ‘bank’, karena si guru setiap kali
menaruh simpanan pada pikiran murid yang kosong. Proses itu juga
dilukiskan sebagai proses menuang air dari bejana yang penuh pada
gelas yang kosong atau seperti mengisi bensin pada tangki mobil yang
kosong.
Tapi kini kita tahu
bahwa pada banyak isu pandangan para ‘ahli’ itu terbukti keliru.
Ini khususnya terjadi dalam persoalan pengembangan masyarakat;
nasihat para ‘ahli’ dalam bidang ini berkali-kali telah membawa
ke keadaan kemiskinan yang lebih parah. Kini ada kesadaran baru bahwa
tak ada ‘ahli’ yang bisa memberikan semua jawaban pada persoalan
besar yang dihadapi dunia moderen. Masing-masing mungkin mempunyai
informasi yang berharga, tetapi kita membutuhkan dialog untuk mencari
masukan dari semua orang yang peduli untuk mencari pemecahan
masalahnya. Partisipasi rakyat setempat sangat menentukan efektivitas
upaya pengembangan masyarakat.
Tentu saja ada
perlunya informasi dari mereka yang mempunyai pengetahuan dan
pengalaman khusus. Namun, suatu kelompok akan jauh lebih mudah
menyerap dan mengambil manfaat dari informasi itu, apabila program
dimulai dengan dialog, yang akan membawa ke permukaan semua
pertanyaan yang tersembunyi di pikirannya. Masukan yang relevan
kemudian akan menantangnya untuk berfikir lebih mendalam dan
berdialog lebih lanjut.
Dialog menuntut
kesabaran, kerendahan hati dan kepercayaan yang tulus bahwa seseorang
bisa belajar dari orang lain. Dialog menuntut keterbukaan pada
informasi baru, kesediaan untuk ditantang dan harapan yang mendalam
bahwa perubahan memang bisa terjadi. Peran animator adalah
menciptakan iklim yang mendukung terjadinya dialog sejati.
Karena itu ia membutuhkan pemahaman tentang dinamika kelompok dan
keterampilan kepemimpinan kelompok.
Ajuan masalah dan
pencarian pemecahan masalah
Setelah kita
menemukan isu generatif dari komunitas, kita perlu menemukan suatu
perangkat yang mampu menyajikan kembali pengalaman tentang masalah
inti itu kepada kelompok komunitas. Ini akan bisa membuat mereka
menyadari bahwa mereka punya sesuatu yang bisa diajukan berkenaan
dengan masalah tersebut. Poster, drama, foto, slide, lagu dan
permainan simulasi bisa digunakan untuk membantu memusatkan perhatian
kelompok pada satu masalah yang sama. Bahan ajuan masalah ini disebut
kode (code). Mereka seringkali mengaitkan perasaan dengan fakta dan
menekankan kontras (kontradiksi). Energi yang bisa dibangkitkan oleh
kode seperti itu dalam diskusi kelompok jauh lebih besar daripada
ceramah dan pertanyaan abstrak.
Dengan kode yang
baik, animator tidak usah menerangkan masalah. Semua pattisipan akan
langsung melihatnya. Animator kemudian mengajukan serangkaian
pertanyaan agar kelompok bisa menggambarkan dan menganalisis
masalahnya. Mereka harus bisa mengaitkan kode itu dengan situasi
nyata dalam kehidupan mereka, karena itu akan membangkitkan energi
untuk bertindak. Animator membantu kelompok untuk mendalami akar
penyebab masalah dan kemudian menantang mereka untuk menemukan
pemecahan permasalahan, kadangkala menyajikan alternatif pemecahan
yang diambil orang lain. Refleksi atas masalah itu meletakkan dasar
kokoh untuk perencanaan aksi yang efektif. Peran animator sepanjang
proses bukan memberi jawaban, tetapi mengembangkan proses sedemikian
rupa sehingga kelompok bisa mencari sendiri pemecahan masalahnya
secara sistematis.
Pendekatan Bank
|
Pendekatan Ajuan Masalah
|
|
|
Refleksi dan Aksi
Lingkaran refleksi
dan aksi adalah penting dalam keseluruhan proses transformasi
komunitas. Proses tersebut mencakup survei tema generatif,
penggunaan kode ajuan masalah dan pertanyaan-pertanyaan yang
disarankan akan mengarahkan diskusi. Semua itu dirancang untuk
menggerakkan lingkaran refleksi dan aksi. Sekali satu komunitas
telah merasakan kegembiraan bersama karena mencapai sebagian tujuan
mereka, mereka akan semakin berambisi dan hidup mereka akan semakin
dipenuhi energi dan arah baru. Animator akan bisa menyaksikan
bagaimana rakyat dan komunitas tumbuh mekar di depan matanya. Inilah
yang membuat metode ini mengasyikkan.
Perubahan radikal
mulai saat suatu komunitas mengalami ketidakpuasan atas salah satu
aspek kehidupan mereka dan bersedia meluangkan waktu untuk memeriksa
ketidakpuasan mereka itu. Animator perlu menyiapkan suasana agar
musyawarah tentang isu tersebut bisa terjadi. Pertemuan reguler
organisasi seringkali sudah penuh acara, sehingga mungkin perlu
diselenggarakan lokakarya khusus agar ada waktu memadai untuk
membahas masalahnya secara lebih mendalam. Namun,
pertemuan-pertemuan dalam rangka program pendidikan rakyat bisa
sepenuhnya dirancang atas dasar lingkaran aksi-refleksi ini.
Animator
menyiapkan suasana agar orang bisa berhenti dari pekerjaan
sehari-hari dan melakukan refleksi secara kritis atas apa yang
mereka kerjakan. Kode dapat sangat membantu untuk mempercepat proses
mengawali refleksi itu. Kelompok mengidentifikasi informasi baru
atau ketrampilan yang mereka butuhkan, mencari informasi tersebut
atau berusaha mendapatkan pelatihan, lalu merancang tindakan.
Seringkali
rancangan tindakan pertama memang memecahkan aspek tertentu dari
masalah mereka, tapi tidak menyentuh secara mendalam akar penyebab
masalahnya. Dengan mengadakan pertemuan reguler dalam rangka
lingkaran refleksi dan aksi, kelompok dapat secara terus menerus
merayakan keberhasilan dan menganalisis secara kritis sebab
kekeliruan dan kegagalan mereka, sehingga mereka menjadi makin mampu
melakukan transformasi kehidupan sehari-hari mereka secara efektif.
Proses aksi dan refleksi ini disebut ‘praxis’ .
Masukan dalam
lingkaran refleksi-aksi itu penting. Kelompok tidak usah menemukan
segala sesuatunya sendiri dari awal. Mereka bisa belajar dari
pengalaman orang dari luar kelompok mereka. Masukan bisa beragam
bentuknya, seperti:
- ceramah pendek unutk memberi informasi yang menurut mereka relevan;
- model analisis yang memberi kerangka dan menempatkan masalah mereka dalam perspektif lebih luas;
- kutipan-kutipan dari Kitab Suci atau buku rohani yang dapat menantang mereka untuk memberi tanggapan yang mendalam;
- pemutaran slides atau film yang menunjukkan bagaimana kelompok lain dalam situasi yang serupa melakukan percobaan untuk memecahkan masalah mereka;
- panduan untuk perencanaan (langkah-langkahnya)
- masukan harus dijadikan pokok pikiran untuk mengawali musyawarah, bukan ‘kebenaran’ akhir atau jawaban tuntas.
Tidak ada
pendidikan yang netral
Tidak ada guru yang
pernah obyektif sepenuhnya. Kita semua dikondisikan oleh pengalaman
hidup kita, oleh karena itu kita perlu merikasa secara kritis
bagaimana pengalaman itu telah mempengaruhi nilai dan keputusan kita.
Kita perlu memeriksa seberapa jauh kita telah menggunakan peran dan
kekuasaan kita dalam kelompok untuk mencoba membentuk orang lain
menurut citra kita. Kita harus pula memeriksa seberapa jauh kita
telah mendorong orang lain agar mengembangkan diri menurut alur
mereka. Kita harus memeriksa seberapa jauh pendidikan yang kita
lakukan ‘menjinakkan’, agar peserta dapat cocok dengan peran yang
dituntut oleh budaya yang dominan dan sejauhmana pendidikan kita
telah membebaskan mereka menjadi orang yang kritis, kreatif, merdeka,
aktif dan bertanggungjawab baik sebagai warga masyarakat, maupun
sebagai anggota kelompok belajar.
Namun, tentu saja
ada fakta yang harus kita ketahui agar kita bisa memahami dunia.
Tetapi fakta tersebut kurang ada artinya jika dilihat terlepas tanpa
kaitan dengan keseluruhan. Bahwa jumlah penderita kurang gizi
mencapai 60% atau 64% itu adalah fakta, tapi informasi ini bila
disandingkan dengan fakta membesarnya anggaran untuk pembelian
senjata dan menurunnya anggaran untuk penyediaan makanan dalam
anggaran belanja negara akan mengubah secara radikal pemahaman kita
tentang penyebab kekurangan gizi.
1 komentar:
Open Education / Open Knowladge ^_^
Posting Komentar