23 Sep 2008

Makan Nasi Aking, Tragedi Warga Kota Makassar

 (Siaran Pers 23 September 2008)

Kisah rakyat miskin yang harus makan nasi aking, ternyata bukan hanya ada di pulau Jawa seperti yang biasa kita saksikan di berita televisi atau surat kabar, tapi juga telah terjadi di kota Makassar Propinsi Sulawesi Selatan yang terkenal sebagai daerah penghasil beras (lumbung pangan). Kondisi kemiskinan yang parah menjadi penyebab tragedi kemanusiaan seperti ini terus terjadi dan terulang di negara ini.

Saat ini ada 21 Kepala Keluarga di RT 3/RW 4 Kelurahan Karuwisi Utara Kecamatan Panakukang, yang terpaksa mengkonsumsi nasi aking selama 3 tahun (sejak 2005). Mayoritas penduduk berprofesi sebagai tukang becak dan buruh harian, dengan penghasilan Rp 5.000,- sd Rp 15.000,- per hari. Dan, sudah berdomisili kurang lebih 20 tahun di Makassar, namun mereka belum pernah mendapatkan bantuan dari program pemerintah seperti Beras Miskin (Raskin), Bantuan Langsung Tunai (BLT), Jaring Pengaman Sosial (JPS), Asuransi Kesehatan Masyarakat Miskin (Askeskin), dan lain-lain.

Menurut warga beberapa waktu yang lalu, salah satu anak dari warga mati karena diare, meskipun sempat ditangani oleh petugas medis, tapi kesulitan memenuhi kebutuhan obat yang harus dibeli. Yang lebih ironis lagi, lokasi perkampungan warga miskin ini tidak jauh dari belakang Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Sulawesi Selatan dan Gedung Keuangan Negara.

Kejadian ini juga membuktikan bahwa program penanggulangan kemiskinan yang dilakukan oleh pemerintah tidak tepat, dan tidak menyentuh akar persoalan kemiskinan. Kemiskinan hanya dilihat dari aspek ekonomi semata, belum dilihat dari aspek yang lebih luas, seperti partisipasi, informasi,  identitas, proteksi, afeksi dan pemahaman.

Berdasarkan kenyataan tersebut, kami dari Komite Perjuangan Rakyat Miskin dan Jaringan Rakyat Miskin Kota Simpul Makassar, menuntut dan mendesak pemerintah pusat, provinsi dan kota, serta para Calon Walikota Makassar 2009-2014 untuk:

(1) Segera menyelesaikan persoalan rakyat miskin yang terpaksa makan nasi aking di RT 3 RW 4 Kelurahan Karuwisi Utara Kec. Panakkukang;

(2) Menjamin pelayanan kesehatan secara gratis, berkualitas dan beretika bagi rakyat miskin Kota Makassar;

(3) Meninjau ulang program penanggulangan kemiskinan yang tidak tepat sasaran karena hanya menghamburkan uang rakyat.

28 Jul 2008

Catatan Simpul Uplink Indonesia Makassar


Latardepan Kota

Kata Makassar, merujuk pada kelompok etnis yang umumnya mendiami belahan selatan kota. Makassar, atau “Mangkassara” dalam bahasa daerahnya berasal kata “akkasara”, yang artinya “menampakkan diri”. Sebagai kata sifat, “mangkasara” berarti juga “terus terang”. Pengertian semua itu berkaitan dengan cerita sejarah kedatangan penyebar agama Islam dari Minangkabau, yakni Dato ri Bandang alias Abdul Makmur Khatib Tunggal.

Pada abad 16, Makassar menjadi bandar utama kerajaan Gowa dan Tallo. Tomi Peres, 1513, seorang pelaut Portugis menyebut nama Makassar tua sebagai bandar kosmopolitan, tempat bertemunya berbagai bangsa. Pada tahun 1550-an, para pedagang Melayu mulai bertempat tinggal di Makassar, dan dilaporkan mereka membangun mesjid pertama di kota ini.

Pada abad 19 diperkirakan jumlah penduduk di kota Makassar 15.000 jiwa. Pada 1930, mencapai 84.000 jiwa, di antaranya ada sekitar 3.500 orang Eropa, 15.000 orang China, dan 65.000 pribumi.  Pada tahun 1961, 384.000 jiwa. Kemudian tahun 1980, terjadi lompatan jumlah penduduk menjadi 708.465. Pada awal abad 20, sudah ada 9 konsulat yang berkantor di Makassar, yakni Denmark, Swedia, Norwegia, Inggris, Perancis, Jerman, Belgia, Portugal, dan China. (Dias Pradadimara dalam Kota Lama Kota Baru, 2005). Pada masa itu, bandar Makassar memainkan perannya sebagai simpul pengumpul semua hasil dari belahan timur Indonesia seperti mutiara, teripang, kayu cendana, kopra, rotan.

Pada 1971, Kota Makassar berubah nama menjadi Ujung Pandang. Menurut Dias lagi, Ujungpandang mencerminkan simbol kebaruan dinamika sosial pada masa itu. Orang Bugis menyebutnya “Jumpandang“.  Pada awal 1970-an, etnis bugis memang mayoritas urban di Makassar, yakni 30% dari total penduduk. Pasca reformasi, desakan untuk kembali memakai nama Makassar sangat kuat. Sehingga tanggal 13 Oktober 1999, pemerintahan Habibie menerbitkan PP No. 86 Tahun 1999.


Konteks Sosial

Kota Makassar, Ibukota Propinsi Sulawesi Selatan, berada pada bagian barat Sulawesi dengan ketinggian 0-25 meter dari permukaan laut. Kontur tanahnya adalah dataran rendah dengan luas wilayah 175,77 kilometer persegi. Administrasi kota Makassar terbagi atas 14 kecamatan, 143 kelurahan, 936 Rukun Warga (RW) dan 4.580 Rukun Tetangga (RT).

Total penduduk Makassar tahun 2005 sebanyak 272.727 KK atau 1.173.107 jiwa yang terdiri dari 578.416 laki-laki dan 594.691 perempuan. Populasi penduduk terbanyak di wilayah Kecamatan Tamalate yang – dengan luas 20,21 kilometer persegi – menampung 144.458 jiwa atau sebesar 12,31% dari total penduduk Makassar. Sebanyak 9.392 KK (144.458 jiwa) dari 70.160 KK penduduk miskin di Makassar (BPS 2006) bermukim di wilayah kecamatan ini.

Konsentrasi kepadatan penduduk kota Makassar berada di daerah pesisir, yang membuktikan bahwa sejak dahulu Makassar adalah kota Pantai (Water Front City); dimana pusat pemukiman, pemerintahan dan perdagangan sebagai kesatuan tata ruang masih bisa ditelusuri jejak arkeologisnya. Kampung-kampung pesisir ini adalah basis tumbuh kembangnya kaum urban, yang mencakup separuh dari 14 kecamatan di Makassar, termasuk beberapa pulau. Entitas hidup mereka adalah nelayan, dagang dan buruh. Gerak pertumbuhan ekonomi mereka setidaknya dipengaruhi pelelangan-pelelangan ikan yang dekat dengan pelabuhan, pasar, gudang-gudang, juga hotel dan tempat-tempat hiburan.

Sejak dekade 1990-an, habitat hidup kaum urban pesisir mulai berubah dengan dicanangkannya proyek Water front City, pada tahun 1995. Pemerintah kota dan orang-orang kaya membayangkan Makassar ke depan seperti kota pantai Jakarta, Singapura, Hongkong, entah mana lagi. Pada masa walikota Malik B. Masri (1993-1998), pembangunan proyek “water front city” dimulai dengan reklamasi pantai Losari sejauh 2 km. Proyek ini dibiayai bersama GMTDC (Gowa Makassar Tourism and Developmen Corporation), kongsi pemprov Sulsel, pemkot Makassar, pemkab Gowa dengan swasta (Lippo Group, Darmala, Latief Group, dll). Ketika terjadi krisis politik dan moneter tahun 1997-1998, proyek ini sempat terhenti. Beberapa sengketa pertanahan bermunculan: antara warga dan “tuan tanah” dengan pengusaha dan pengelola proyek Tanjung Bunga. 

Walikota Ilham Arief Sirajuddin (2003-2008) melanjutkan kebijakan pembangunan kota yang pro-investasi di pesisir itu. Ilham yang dipanggil “Aco” oleh para pendukungnya itu mencanangkan “Makassar Great Expectation” dengan ambisi menjadikan “Makassar Kota Dunia 2025”. Konsep yang dicari-cari dari jejak kota Makassar sebagai Bandar niaga dunia. Dengan dukungan politisi, pengusaha, dan ahli tata kota, walikota Ilham memasarkan ikon-ikon metropolis seperti water front city di Tanjung Bunga, hotel-hotel di sekitar kawasan Losari lama, serta mall-mall dan hypermarket di kawasan Panakkukang. Pada masa Ilham juga dilakukan reklamasi Anjungan Losari, reklamasi Celebes Convention Centre (CCC), rehabilitasi jalan Tol, lalu disambung dengan proyek revitalisasi lapangan Karebosi tahun 2007.

Lembaga donor internasional seperti Sofei (Bank Dunia), UNICEF, USAID, JICA, Oxfam pun tidak kalah gencarnya mendampingi kebijakan Pemkot Makassar dengan riset dan pengembangan proyek-proyek kemiskinan, tata pemerintahan, dan infrastruktur kampung. Namun, di balik itu semua, pertumbuhan kota tidak seiring dengan tingkat kesejahteraan RMK. Bisnis, investasi dan proyek-proyek sosial lembaga-lembaga donor itu hanya sejalan dengan tuntutan kemajuan kota, tetapi berselisih jalan dengan tuntutan dasar RMK. Justru tahun 2000-an itu, penggusuran yang dilakukan Pemkot dan pengusaha properti terhadap pemukiman dan PKL meningkat tajam. Catatan Uplink Makassar tahun 2004 dan 2006 – 2008, sedikitnya 16 kasus sengketa tanah dan penggusuran tempat tinggal, serta; 19 kasus penggusuran PKL/kios. Dari 35 kasus penggusuran itu, sedikitnya 1.613 KK kehilangan tempat tinggal, dan 583 PKL kehilangan tempat usahanya.

Besarnya investasi dan proyek-proyek penanggulangan kemiskinan ternyata berbanding terbalik dengan status kemiskinan warga kota. Banyaknya kasus gizi buruk membuktikan hal tersebut. Kasus kematian Dg. Basse dan 2 anaknya menjadi tolak ukur yang komplit mengenai kegagalan proyek penanggulangan kemiskinan di Makassar. Status gizi dan kesehatan Dg. Basse yang sangat buruk memicu kematiannya. Namun, struktur birokrasi politik yang jauh lebih buruk lagi telah memiskinkan status sosial keluarga Dg. Basse. Istri tukang Becak yang berasal dari kabupaten Bantaeng itu tidak mendapat bantuan dan pertolongan pemerintah hanya karena tidak berKTP Makassar dan tidak berKartu Miskin.

Maka, semakin teranglah maksud dari para pemikir kontra-neoliberalisme bahwa kemajuan sebuah pemerintahan diukur dari kemampuannya mengelola investasi dan profit. Ibarat mengelola perusahaan, begitulah mengatur pemerintahan. Walikota bekerja separti layaknya manajer perusahaan yang mengikuti kecenderungan ekonomi pasar bebas, sambil melayani dan melindungi keamanan aset investor. Adapun RMK yang tergusur dan kelaparan itu hanyalah ekses dari investasi yang harus dilakukan demi kemajuan kota. Orang-orang yang tergusur, miskin, lapar dan mati adalah kesalahan orang itu sendiri karena gagal bersaing memenuhi kebutuhan dasarnya. Itulah sesat pikir neoliberalisme kota abad 20.

Politik Pendidikan

Sudah 4 bulan, gubernur Syahrul Yasin Limpo memimpin Sulsel. Para pendukungnya mulai menagih janji-janji politiknya. Komitmen menggratiskan (subsidi penuh) pendidikan dan pelayanan kesehatan mulai diprogramkan. Pemprov membagi penganggaran untuk subsidi dengan kabupaten/kota 40:60%. Program ini diprioritaskan kepada 9 kabupaten/kota yang memenangkannya, termasuk Makassar.

Politik pendidikan gratis ini diuji pada saat penerimaan siswa baru di Makassar. Dari beberapa kasus yang mencuat, persoalan yang sesungguhnya bukan pada besar-kecilnya subsidi anggaran. Pokok persoalannya adalah praktek korupsi yang merajalela di sekolah-sekolah, yang memustahilkan program pendidikan gratis. Pendidikan sudah menjadi komoditi politik untuk mempertahankan jabatan dengan cara suap-menyuap. Fakta yang relevan dengan politik pendidikan di Makassar sebagai berikut:

Pertama, kasus pembocoran soal ujian nasional untuk masuk ke perguruan tinggi yang dilakukan beberapa sekolah swasta. Sindikasi jual-beli jawaban soal ini dimotori oleh kepala sekolah. Sindikasi ini terungkap di media massa. Kasus ini masih dalam pemeriksaan kepolisian, tetapi tidak ada tanda-tanda pelaku (Kepsek) dimejahijaukan.

Kedua, penerimaan siswa SMP/SMA pasca ujian nasional. Pungli dan pembocoran jawaban soal untuk tes penerimaan siswa baru dilakukan oleh oknum guru, anggota komite sekolah dan kepala sekolah. Rahasia umum menyebut “baku-pegang” antara orang tua siswa dengan oknum di sekolah. Orang tua murid harus menyogok oknum-oknum itu untuk menjamin anaknya lolos tes. Bayarannya bervariasi menurut status sekolah: di SMP antara Rp 200.000 – Rp 2.000.000; SMA antara Rp 1.000.000 – Rp 4.000.000. Sudah menjadi rahasia umum, tetapi sulit dibuktikan.

Ketiga, pungli terjadi setelah siswa lolos tes dan mendaftar ulang. Sekolah memungut biaya pengadaan seragam, buku cetak, perlengkapan lainnya. Di SD Rp 300.000 – Rp 500.000; SMP Rp 500.000 – Rp 2.000.000; SMA Rp 1.000.000 – Rp 4.000.000. Diperkirakan sekolah mendapat keuntungan persiswa minimal Rp 200.000 perpaket penjualan. Dengan perkiraan 19.000 siswa SMP/SMA/SMK yang diterima setiap tahun, sekolah mengumpulkan Rp 3,8 milyar atau Rp 60 jutaan persekolah. Belum termasuk pungli dari siswa “letjen” yang berkisar Rp 1 juta – 6 Rp juta (Tribun Timur, 15/07/08).

Keempat, sindikasi pelaku pungli sekolah sampai ke pejabat Pemkot. Melalui forum MKKS (Musyawarah Kerja Kepala Sekolah), setiap Kepsek menyetor Rp 2,5 juta kepada pejabat di Balai Kota. Harian Tribun Trimur (18/07/08) mensinyalir salah seorang pejabat yang menerima setoran itu adalah tim sukses kandidat walikota.

Gubernur Syahrul Yasin Limpo bereaksi keras atas kenyataan di atas. Dia mendesak pihak Pemkot, kejaksaan dan dinas pendidikan mengusut dan memecat Kepsek yang terbukti pungli. Hasilnya, 2 kepala sekolah dicopot dari jabatannya, 4 kepsek dimutasi (Tribun Timur, 22/07/08). Tidak satu pun yang dimejahijauhkan. Padahal, pungli adalah delik aduan dalam Undang-undang antikorupsi. Anehnya lagi, pada saat bersamaan kepala dinas pendidikan mewakili Pjs Walikota melantik kepala-kepala sekolah baru. Padahal, sebulan lalu (30 Juni 2008), beberapa hari sebelum walikota Ilham Arief Sirajuddin mendaftar sebagai kandidat di KPU, walikota Ilham melantik 106 Kepsek baru. Semua itu menggambarkan situasi pendidikan kita yang dikendalikan elit politik dan penguasa. Para elit ini tidak pernah menjadikan praktek korupsi di sekolah yang sudah berlangsung bertahun-tahun itu sebagai titik tolak untuk mengubah sistim pendidikan.

Politik Ekonomi

Ada dua kelompok pengusaha yang sangat mempengaruhi opini politik warga kota Makassar setahun terakhir ini, yaitu percetakan dan warung kopi. Percetakan memproduksi tulisan, foto, gambar-gambar dan mempengaruhi opini publik di koran dan di jalan-jalan. Warung kopi memproduksi gosip, rumor dan ramalan-ramalan tentang sepak terjang aktor-aktor politik dan mempengaruhi opini melalui obrolan informal dan diskusi-diskusi terbatas. Keduanya memiliki motivasi dasar mencari keuntungan.

Motivasi mencari keuntungan, kata lainnya menumpuk kekayaan pribadi adalah sifat dasar dari para politisi maupun calon politisi dewasa ini. Pola hubungan yang dibangun politisi dengan pemilihnya persis dengan pola hubungan politisi dengan pengusaha: uang adalah segalanya. Demokrasi berjalan karena ada uang. Tuntutan seperti ini sudah membelenggu parpol, politisi dan pendukung serta pemilihnya, mulai dari pengumpulan KTP, mobilsasi massa untuk pendfataran dan kampanye, hingga menjelang pemungutan suara. Konsep dan program-program menguap di koran-koran, di jalanan dan warung kopi.

Pertarungan kandidat Walikota dan wakil walikota Makassar adalah riil politik yang dibeking para pemilik modal. Partai politik dan Ormas hanyalah kendaraan yang dipakai kandidat untuk menggenapkan syarat minimal 15% kursi parlemen. Para kandidat pun tidak naik kendaraan parpol secara gratis. Mereka harus membayar ratusan juta bahkan milyaran rupiah sebagai ongkos untuk menggerakkan mesin politik. Dan, mesin politik artinya dukungan struktural partai politik sampai ke basis pemilih. Semakin tinggi strukturnya, semakin besar bagian duitnya. Sementara massa cukup dihargai dengan paket sembako, baju kaos, dan uang bensin.

Tanggal 15 Juli lalu, KPU  Makassar menetapkaan 7 pasangan kandidat walikota; 4 pasang di antaranya tidak dicalonkan partai. Walikota Ilham Arief Sirajuddin kembali mencalonkan diri berpasangan dengan mantan Sekretaris kota Supomo Guntur. Pasangan ini diusung oleh Partai Golkar dan PDIP. Pasangan lainnya, Idris Manggabarani dengan Adil Patu diusung Partai Demokrat, PDK dan PAN; pasangan Halim Razak – Jafar Sodding diusung PKS; pasangan Ridwan Musagani – Irwan Paturusi diusung PPP, PBB, dan partai kecil lainnya. Dari keempat pasangan kandidat itu, 4 diantaranya berlatar belakang pengusaha; 3 politisi, dan 1 birokrat.

Blok Politik OMS

Ada konteks yang berbeda antara Pilkot dan Pilgub. Dalam proses politik Pilgub tahun lalu, Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) membangun komitmen dengan kandidat-kandidat. Para aktifis LSM, Ormas dan mahasiswa membentuk blok-blok politik, dan aktif mempromosikan isu beserta kepentingan politiknya kepada tiga kandidat. Misalnya, isu anti korupsi diblok oleh pasangan Azis Kahar Muzakar – Mubyl Handaling. Blok ini didukung oleh aktifis anti-korupsi dari ACC, Perak, dan aktifis yang pro penegakan Syariat Agama. Isu hak-hak dasar diblok oleh pasangan Syahrul Yasin Limpo – Agus Arifin Nu’mang (SAYANG). Blok ini didukung oleh aktifis perempuan (KPI) dan komunitas RMK. Sedangkan blok politik pasangan incumbent Amin Syam – Mansur Ramly (ASMARA) didominasi oleh aktifis Parpol (khususnya Golkar) dan Ormas tanpa isu yang spesifik.

Pilgub Sulsel akhirnya dimenangkan oleh pasangan SAYANG dengan selisih suara 0,7% dari pasangan incumbent. Kecilnya selisih suara dan tingginya pemilih yang tidak menggunakan hak suaranya – sekitar 40%, sedangkan pemenang hanya mengumpulkan suara sekitar 37% dari 4 jutaan wajib pilih – melemahkan legitimasi hasil Pilgub. Akhirnya, Pilgub SAYANG dengan dukungan aksi puluhan ribu massanya, baru bisa dilantik pada februari 2008 setelah lolos dari sengketa di Mahkamah Agung.

Pengalaman dari Pilgub Sulsel ternyata tidak memberikan pendidikan politik yang maju bagi aktifis LSM di Makassar. Blok politik justru semakin kuat dikendalikan oleh partai politik, politisi dan pengusaha. Calon perseorangan yang semula diadvokasi oleh aktifis LSM, juga sudah diblok orang-orang parpol dan pengusaha. Seolah-olah independen, calon perseorangan tidak lebih sebagai pemecah blok politisi yang ada. Sementara LSM dan mahasiswa saat ini seperti kehilangan orientasi politik. Gerakan politik mereka masih di tataran wacana, yakni mempengaruhi opini publik tentang parpol dan kandidat dengan jargon-jargon politiknya yang semakin tidak menarik.


Strategi Uplink Makassar

1. Pengorganisasian

Dari Kongres II KPRM bulan Pebruari 2008, ditetapkan bahwa KPRM adalah organisasi rakyat yang berbasis keanggotaan. Maka disusunlah tiga lapis keanggotaan, yakni anggota biasa, anggota pendamping, dan anggota luar biasa. Anggota biasa adalah individu-individu yang berasal dari RMK di kampung maupun sector; anggota pendamping adalah individu yang bukan komunitas RMK, yang secara intensif mengorganisir RMK dan berterima di kalangan KPRM. Sedangkan anggota luar biasa adalah individu yang bukan komunitas RMK, tetapi dianggap memiliki kemampuan atau pun keahlian tertentu dan mau memperjuangkan hak-hak RMK bersama KPRM, misalnya jurnalis, pengacara, akademisi, aktifis LSM, dll. Untuk membangun kekuatan organisasi, maka:

a) CO Uplink dan pengurus KPRM mengusahakan penggalangan anggota di seluruh kecamatan dan kelurahan dengan cara mempromosikan gerakan menabung, kesehatan alternatif, KBA dan operasi beras murah, dan advokasi hak-hak dasar. Namun, usaha ini belum tercapai maksimal. Ruang lingkup KPRM masih itu-itu juga: 5 kecamatan; 10 kelurahan; 24 kelompok tabungan; 6 KBA; 1 organisasi becak; Klaim anggota sekitar 947 KK. Kendala utamanya pada kualitas, dalam hal ini, kapasitas, kompetensi, integritas CO. Kendala jumlah CO masih bisa diatasi dengan penguatan CL.

b) CO Uplink mengembangkan pelatihan kader penggerak kelompok, yang diprioritas kepada CL dan kolektor tabungan. Pelatihan ini dimaksudkan untuk mengatasi jumlah CO. Rencananya, pelatihan seperti ini akan dilakukan setiap tiga bulan. Pesertanya adalah anggota baru yang direkrut oleh CO Uplink maupun CL KPRM yang sudah dilatih.

c) Rekrutmen tenaga indok/Litbang dilakukan untuk menjamin tertatanya sumber-sumber informasi di sekretariat untuk mesupport kerja advokasi. Namun, data dan informasi yang terkumpul dalam bentuk kliping maupun database saat ini belum menjadi referensi CO untuk memetakan permasalahan dan melakukan aksi.

2. Advokasi

Advokasi diartikan sebagai cara-cara KPRM bersama CO Uplink membantu pemecahan permasalahan hak-hak dasar anggota yang berhubungan langsung dengan kebijakan pemerintah. Cara-cara yang ditempuh sedapat mungkin berhasil membuat – cepat atau lambat – pemerintah memenuhi hak-hak dasar tersebut.

Dalam bingkai pengorganisasian, praktek-praktek advokasi itu dimaksudkan sebagai bentuk pelayanan (perhatian) kepada anggota, menjaga kepercayaan, melatih kemampuan memecahkan masalah, dan mempromosikan misi perjuangan organisasi kepada publik luas. Layanan advokasi bisa perorangan maupun kelompok. Misalnya, membantu seorang anggota yang dipersulit di Rumah Sakit, di sekolah, di kantor lurah, dll. Bisa juga secara kolektif, misalnya aksi ke kantor menuntut pemkot menerbitkan kartu miskin, aksi menolak kenaikan harga BBM di kantor pertamina, aksi memprotes pungli di sekolah ke kantor dinas pendidikan.

Sejauh ini, praktek-praktek advokasi KPRM bersama CO Uplink cukup efektif dan bermanfaat bagi anggota. Hanya saja, output dari aksi advokasi itu belum sampai mengubah kebijakan secara mendasar, dan tidak pernah ada kebijakan baru yang dihasilkan dari advokasi KPRM. Hal ini akan mempengaruhi psiko-sosial komunitas anggota, juga keyakinan CO. Contoh kemenangan warga Bontoduri melawan Idris Manggabarani di PN, dirasakan sementara saja. Kemungkinan dikalahkan masih menghantui warga setelah menyadari buruknya kinerja lembaga peradilan.

Pada momen Pilgub lalu, KPRM mendukung salah satu kandidat yang mempromosikan kebijakan pendidikan gratis. Ini juga bagian dari strategi advokasi. Harapannya, gubernur baru sungguh-sungguh mensubsidi pendidikan (di luar BOS), yang akan meringankan beban pembiayaan sekolah bagi RMK. Dan, subsidi itu terjadi. Tapi, ternyata pokok persoalan pendidikan bukan hanya di anggaran. Pokok persoalan sesungguhnya pada mental korup yang sudah lama menghinggapi aparat pengelola sekolah dari guru, kepala sekolah sampai ke pejabat pemerintah. Sama persis mental korup itu di jajaran birokrasi dari pemkot sampai kelurahan. Kenyataan seperti ini mendorong Uplink Makassar untuk aktif mengadvokasi masalah korupsi.

Hasnia Dg, Caya ketua KPRM mewakili unsur masyarakat sebagai penandatangan Pakta Integritas bersama Walikota dan Pengusaha. Pengalaman ini membuka akses KPRM dan Uplink Makassar untuk berjaringan dengan organisasi anti-korupsi seperti TII. KPRM menjadi mitra program TII yang intensif di Makassar.

3. Jaringan

Pola jaringan yang dilakukan Uplink Makassar masih horizontal dan lokal. Umumnya masih taktis berdasarkan isu bersama, misalnya bergabung dengan aksi-aksi mahasiswa (Front Kebangkitan Rakyat) menolak kenaikan harga BBM; bergabung dalam aksi-aksi GERAM (Gerakan Rakyat Makassar) menolak BHP. Aliansi yang dianggap strategis adalah aliansi menolak penggusuran Kassi-kassi, Mariso, dan Bontoduri. Organisasi yang secara tetap tergabung dalam aliansi itu antara lain: LBH Makassar, YLBHM, Lapar, dan Walhi.

Aliansi yang lebih strategis sedang digalang enam bulan terakhir ini. Selain LSM yang aktif mengadvokasi penggusuran itu, Uplink Makassar mengaktifikan diskusi dengan kelompok akademisi dan aktifis kampus. Ruang lingkud diskusinya pada isu-isu perkotaan dengan fokus kemiskinan, globalisasi dan hak-hak dasar RMK. Salah satu kelompok kajian yang terbentuk adalah Forum Kajian Kota (Forkata). Forum ini menginisiasi gagasan tentang gerakan sosial pada tiga lapis, yakni pengorganisasian, reproduksi gagasan, dan blok politik demokrasi. Untuk kebutuhan Uplink Makassar, Forkata bisa mengisi kelemahan/kekurangan yang tampak jelas, misalnya: litbang, pengembangan kapasitas dan penerbitan.

Makassar, 26 Juli 2008

AWI

20 Jul 2008

Catatan Simpul Uplink Indonesia Palu


Latardepan Kota

Kota Palu, ibukota Sulawesi Tengah dibelah sungai besar, yang membagi kota ini menjadi 2 wilayah. Orang Palu menyebutnya Palu (Pantai) Barat dan Palu (Pantai) Timur. Penyebutan ini biasanya merujuk pada asal seseorang (suku) dengan karakteristik tertentu. Misalnya, di Palu Barat bermukim penduduk asli (Kaili) dialek Da’a. Orang-orang pendatang menyebut mereka ”orang gunung” atau ”mangge-mangge”. Di bagian kota ini hanya ada 1 traffic light, 1 gereja, mesjid raya, pasar tertua, pasar inpres. Becak hanya beroperasi di sini. Sementara di Palu Timur berpusat kantor pemerintah seperti kantor gubernur, dinas-dinas, kantor DPRD, RSUD Undatu, perumahan pejabat, perhotelan dan kantor-kantor LSM.

Saat ini wilayah kota Palu diperluas menjadi 4 administrasi pemerintahan: kecamatan Palu Timur, Barat, Utara, dan Selatan. Terdiri dari 43 kelurahan, 58 lingkungan, 270 RW, dan 939 RT. Kepadatan penduduk tertinggi di kecamatan Palu Barat, yakni 1.550 perkm². Dengan luas wilayah 57,7 km², jumlah penduduknya 89.073 jiwa atau 19.935 KK. Sekitar 30 % penduduk kota Palu bermukim di Palu Barat, tersebar di 15 kelurahan.

Luas kota Palu 395 km² dengan populasi penduduki 302.000 jiwa atau 65.438 KK. Pegunungan mengelilingi seluruh ruang kota dan mentok di Teluk. Kota ini terasa sempit dan biasa-biasa saja. Lalu-lintas masih longgar dibanding Makassar maupun Manado. Padahal jalan-jalan raya tidak begitu luas. Tidak banyak perkantoran, mall atau pun hotel yang mentereng. Begitu pun rumah-rumah penduduk. Satu-satunya bangunan di pusat kota yang dianggap mewah adalah Mall Tatura di kelurahan Maesa Palu Selatan. Satu bangunan mewah lainnya ada di pantai Barat, Swiss Bel Hotel.

Kota Palu dihuni oleh sedikitnya 40% pendatang yang didominasi orang Bugis-Makassar.  Mereka juga mendominasi sektor jasa dan perdagangan. Mereka menguasai lods, ruko-ruko, dan distribusi barang pabrikan. Sementara sektor informal seperti PKL, khususnya pedagang komoditi pertanian, tukang becak, buruh, dan sais bendi kebanyakan digerakkan orang Kaili.


Palu Kota Teluk

Garis pantai kota Palu membentuk tapal kuda dan menganga ke laut Sulawesi. Panjangnya sekitar 5 km, terbelah dua oleh muara sungai Palu menjadi pantai Talise dan di Palu Timur dan pantai Tamanria di Palu Barat. Akses keduanya dihubungkan oleh jembatan IV Teluk Palu yang bercat kuning sepanjang 500 meter. Pada sore hingga dini hari, menjadi tempat pelesir dan jajanan PKL.  Ada sekitar 500-an pedagang di sepanjang pantai itu yang digerakkan oleh penduduk sekitar pantai bekerjasama dengan pemerintah dan preman setempat. Mereka dikenakan retribusi Rp 7.000 semalam. Di pantai Tamanria, kebanyakan  penjualnya adalah orang Kaili bercampur dengan orang Bugis dan Jawa. Tempat berjualan mereka lebih tertata, berjejer dengan cat warna-warni.  Sementara di pantai Talise umumnya penjual adalah orang Bugis-Makassar berbaur dengan orang Kaili dan Jawa. Kebanyakan tempat berjualan di sini menggunakan tenda plastik, di samping gerobak.

Selain hiburan remang-remang seperti karaoke dan ”praktek prostitusi”, di sepanjang pantai ini ada 100-an pengamen. Ada kelompok pengamen yang terorganisasi, yakni Pedati (Persatuan Pengamen Adat dan Tradisi). Kelompok ini paling dikenal di kota Palu karena dibina oleh Dewan Kesenian, dan sering diundang pejabat. Kelompok kedua adalah KPJ (Kelompok Pengamen Jalanan) yang punya jaringan sendiri. Ada 1 kelompok kecil pengamen yang menyebut dirinya KPTR ((Kelompok Pengamen Tamanria), tidak terorganisasi, anggotanya tersisa 5 orang, dikenali dari lagu-lagu daerahnya.

Begitulah situasi Palu Kota Teluk saat ini. Mirip situasi di pantai kota Makassar maupun Manado tahun 90-an, sebelum proyek Water front City digulirkan. Water front City adalah konsep dasar kapitalisasi kota dari pantai. Dan, jika tidak ada aral melintang, Palu akan seperti Makassar, Manado dan Jakarta, dimana pantai disediakan bagi orang-orang kaya, investor asing, dan turis. Sektor informal dan nelayan yang menggantungkan hidupnya dari Teluk terancam digusur.

Pasar Manonda

Pasar Inpres Manonda, pasar tradisional terbesar di Palu. Letaknya di Palu Barat. Dibangun pertama kali pada akhir tahun 70-an. Sepanjang usianya itu sudah tiga kali terbakar dengan sebab-sebab yang tidak pernah jelas. Sisa pasar ini yang belum direnovasi. Pasar lainnya seperti pasar tua, sudah direnovasi menjadi ruko-ruko pasca kebakaran. Pasar Masomba, sebagian sudah dibangun menjadi Mall Tatura.

Pasar Inpres Manonda adalah representasi dinamika perdagangan rakyat yang menampung berbagai cara hidup informal dan tradisional. Petani dengan komiditi pertaniannya berbaur dengan pedagang kain, kelontongan, pedagang ikan, tukang becak, tukang kredit, buruh, preman, bendi, ojek, parkir, pemulung dan sopir angkot. Ibu-ibu (Ina-ina) pedagang hasil bumi mengisi lorong-lorong, di antara lods-lods pakaian dan barang pabrikan. Mereka hidup berdampinngan. Semuanya diikat oleh sistem ekonomi pasar yang berbatas tradisi.

Ada sekitar 2.000-an unit lods dan lebih 4.000 pedagang di dalam dan diluar pasar. Para pedagang hasil bumi mengelilingi halaman hingga ke semua ruas jalan raya, membuat pasar terasa sumpek dan jorok. Sekitar 400-an tukang becak dan sais bendi, 4 pangkalan ojek, ratusan gerobak PKL menggantungkan hidupnya dari transaksi ekonomi pasar ini. Persatuan Pengemudi Becak Kota Palu (PPB-KP) adalah organisasi pengemudi becak yang bermarkas di pasar ini. Mereka berbaur dengan pedagang sayuran, buah, rempah-rempah, dan pedagang ikan.

Distribusi kekuasaan dan dominasi antaretnis pun terjadi di sini. Pedagang-pedagang bugis menguasai lods dan kios-kios. PT Saridewi yang mengelola pasar ini pun milik orang Bugis. Mereka diuntungkan oleh akses modal di antara sesamanya,  sehingga bisa menguasai jalur distribusi dan mengendalikan harga, bahkan menentukan struktur kekuasaan di pasar. Soal yang terakhir ini seringkali memicu sentimen etnis di antara pendatang dengan penduduk asli.


Mall Tatura

Satu-satunya Mall di kota Palu yang terletak di kelurahan Maesa, Palu Selatan. Dibangun di atas pasar tradisional Masomba pada tahun 2005. Mall ini menyisakan sebagian lapak, kios dan lods pasar yang masih ramai pengunjung. Dengan situasi yang kontras ini, nasib pedagang pasar Masomba bergantung pada arah kebijakan Pemkot dan pengelola Mall.

Sebesar 97% saham Mall Tatura adalah milik Pemkot dibawah PD (Perusahaan Daerah) Palu. Pemkot membeli saham ini dari PT Citra Nuansa Elok (PT CNE) pada september 2007 dengan dana APBD.  Total aset Mall senilai 130 M. Pendapatan setahun rata-rata Rp 50 juta. Hal ini yang membuat anggota DPRD kota, khususnya dari partai Non-Golkar, memprotes Pemkot. Pendapatan itu jauh dari target APBD.

Belakangan ini Pemkot bermaksud melepas kembali sahamnya kepada swasta, dalam hal ini kepada PT CNE. Komisaris PD Palu, Supratman adalah juga komisaris PT CNE, bersama Hidayat, seorang pengusaha Bugis, memiliki sisa saham Mall. Dengan dasar ini, rencana penjualan saham Mall itu dianggap sebagai permainan walikota dengan konco-konconya, yakni partai Golkar dan PT CNE. Tujuannya adalah mengumpulkan dana persiapan Pilkada dan Pemilu 2009.

Mall Tatura adalah contoh awal menuju kapitalisasi kota, khususnya terhadap pasar-pasar tradisional di Palu ke depan. Jika dirasiokan dengan jumlah penduduk, kota Palu membutuhkan sedikitnya 4 mall lagi. Cepat atau lambatnya, sangat bergantung pada: pertama, modal besar yang dibeking penguasa. Artinya, tugas Walikota adalah mencari investor. Kedua, lokasi yang strategis. Garis pantai kota Palu adalah ruang terbuka luas bagi investor. Ketiga, peluang perekonomian kota Palu di masa datang. Soal yang ketiga ini, yang tampaknya belum bisa meyakinkankan investor. Hal ini berkaitan dengan karakteristik pasar ekonomi rakyat Palu yang bertumpu pada sektor informal.

Investasi membutuhkan situasi yang kondusif, berterima dan aman. Bekas-bekas kerusuhan dan potensi konflik antar-etnis yang masih laten, akan menghambat kapitalisasi kota.


TAXI

Angkot di kota Palu seperti mesin yang tidak kenal berhenti bekerja, sepanjang hari mengitari kota. TAXI! Itulah sebutan untuk kendaraan angkutan umum kota Palu. Segala jenis kendaraan yang dipakai sebagai angkutan umum disebut Taxi. Tidak ada argo, tempat mangkalnya bisa di pasar, di Mall, atau pun di Bandara. Sarana transportasi ini yang menghubungkan roda ekonomi rakyat kota Palu dari Barat ke Timur; desa ke kota dan sebaliknya. Seperti halnya tukang becak, bendi, ojek, pedagang pasar, pemulung, PKL, Taxi adalah sektor informal yang sangat berperan membentuk moda produksi dan dinamika sosial kota.

Taxi memuat dan mengantar siapa saja ke tujuan masing-masing. Tarif dan trayeknya sesuai ketentuan Pemkot. Namun, rute perjalanannya tergantung kesepakatan sopir dengan penumpang. Hampir tidak ada pembatasan jalan bagi angkot. Polisi lalu lintas pun sangat kurang di jalanan. Pelanggaran lalu lintas tergolong rendah.

Kebanyakan sopir adalah orang-orang pendatang bugis dan jawa, tetapi menguasai betul nama-nama kampung, jalan, bahkan lorong. Penumpang tidak khawatir diturunkan di tengah jalan atau disesatkan, dan selalu sampai tujuan.

Konteks Politik

Walikota Palu, Rusdy Mastura (60 th)) dari partai Golkar. Publik memanggilnya Cudy. Dia penduduk asli, asal Pantai Timur (Palu Utara). Dari nama belakangnya Mastura, ada spekulasi yang menyebut dia berdarah bugis juga. Saat ini, Cudy adalah Ketua Pemuda Pancasila Sulteng, dan pernah lama di Jakarta. Walikota ini dikenal sangat responsif terhadap persoalan warga kota. Belum ada kasus korupsi yang melibatkan dirinya.

Dia tidak suka didemo, tapi terbuka untuk berkomunikasi dengan aktifis LSM. Tidak sulit ditemui, ditelpon dan mau menghadiri undangan LSM. Beberapa persoalan bisa diselesaikan dengan kebaikan Cudy. Misalnya, kesulitan keluarga Siti, penderita tumor yang saat ini sudah 5 bulan dirawat di RS Wahidin Makassar. Komunikasi dengan Cudy memudahkan keluarga Siti bertemu dan mendapatkan bantuan dari kepala dinas kesehatan.

Pembangunan Mall Tatura dianggap salah satu keberhasilan walikota Cudy. Dari Mall ini diharapkan terjadi peningkatan PAD Pemkot Palu. Selama beberapa periode pemerintahan, sumber utama PAD Pemkot Palu di atas Rp 1 milyar adalah pajak restoran, reklame, PPJ  dan tambang galian C. Sementara pendapatan utama di atas Rp 500 juta dari retribusi pelayanan kesehatan, kebersihan/sampah, dan KTP. Retribusi dari pasar hanya Rp 365 juta.

Total PAD Pemkot Palu tahun 2005 sebesar Rp 22.841.670.219. Tidak sampai 10% dari total APBDnya Rp 365.726.956.457. Artinya, 90% Pemkot Palu bergantung kepada bantuan dana perimbangan pemerintah pusat (APBN). Fakta ini jelas akan memicu Pemkot untuk menggenjot sumber-sumber pendapatan daerah yang baru. Selain Mall Tatura, kemungkinan akan dibangun Mall lain atau yang sejenisnya.

OMS

Kecenderungan OMS di Palu mengarah pada penguatan basis politik organisasi massa. Segmen-segmen komunitas seperti tukang becak, PKL, pemulung, nelayan, dengan cepat diorganisasikan. Organisasi menjadi wadah mengelola konflik dan kepemimpinan. Misalnya, di kalangan tukang Becak ada PPB-KP (Persatuan Pengemudi Becak Kota Palu) yang menggantikan Persatuan Pengemudi Becak Manonda. Nelayan di pantai Barat membentuk SNTP (Serikat Nelayan Teluk Palu). Tahun lalu organisasi nelayan ini membakar 6 alat tangkap ikan milik pejabat/pengusaha di Palu. Pemulung tergabung dalam Sapu-Kopa, Serikat Pemulung Kota Palu. Belakangan, muncul OPEK (Organisasi Pemulung Kota), pecahan dari Sapu Kopa. Sedangkan JARAK (Jaringan Rakyat Kecil) adalah organisasi rakyat yang mewadahi berbagai simpul komunitas di kampung dan sektor. PPB-KP, OPEK, dan kelompok ibu-ibu tabungan bergabung dalam JARAK.

Di tingkatan LSM, umumnya berafiliasi dengan LSM di Jakarta. Mirip partai politik, yang hirarkinya lokal-nasional, daerah-pusat. Misalnya, WALHI, Kontras, LPSHAM, AMAN, YLKI, JARI, KPI, SP, dan masih banyak lagi adalah organisasi jaringan di Jakarta yang bercabang di Palu Sulteng. Isu dan agenda perjuangannya relatif nyambung ke Jakarta. Berbeda dengan LSM seperti YTM (Yayasan Tanah Merdeka), YPR (Yayasan Pendidikan Rakyat), Evergreen, YBH (Yayasan Bantuan Hukum-Bantaya) yang tumbuh dengan riwayat lokalitasnya. LSM-LSM bekerja menurut tantangan lokal, sambil berjaringan secara nasional dan internasional.

Gerak politik aktifis LSM di Palu mengarah pada pembentukan “blok politik demokrasi”, istilah yang dipakai Olle Tornquist (Demos, 2007), yakni: strategi perjuangan OMS di Sulteng untuk mengkonsolidasikan isu-isu spesifik menjadi platform bersama sambil menggabungkan kerja parlementer dan non-parlementer. Kerja aktifis LSM tidak hanya mengadvokasi kebijakan pemerintah daerah, yang biasanya disebut politik non-partisan. Lebih dari itu, aktifis LSM mengusahakan adanya representasi politik. Sejumlah tokoh aktifis LSM di Palu adalah juga pengurus partai politik, misalnya di PPR, PRP, Papernas, Pelopor dan PDIP. Bahkan, LSM di Palu bisa bersatu memperjuangkan kandidat politiknya. Semua ini disadari sebagai kerja sambil belajar berpolitik untuk melahirkan kader pemimpin.

Pengorganisasian

Beberapa minggu lalu, JARAK mengadakan Kongres kedua, yang dihadiri representasi anggota dari ibu-ibu tabungan dari berbagai kampung, tukang becak, pemulung, dan buruh. Kongres ini memilih ketua dan pengurus baru. Yunus dari kampong Kawatuna terpilih sebagai ketua JARAK menggantikan Hasnah.

JARAK menjaring dan mengkoordinasi anggota dengan kegiatan menabung, pelayanan kesehatan alternatif, pengembangan ekonomi (kebun), KBA, dan pelatihan-pelatihan. Pertemuan-pertemuan berkala di tingkatan kota mulai kendor. Kendala anggota adalah biaya transportasi ke sekretariat. Kendala ini berkaitan dengan kondisi ekonomi yang dirasakan anggota semakin berat.

Pengembangan kelompok dan perluasan organisasi sangat bergantung pada erat-tidaknya kerjasama CO dengan simpul-simpul komunitas. Konflik internal terjadi di tingkatan organ hingga sekretariat. Di tingkatan organ: PPB-KP vs Tamin PERAK; Bahar OPEK vs Rahman Sapu Kopa. Di tingkatan Uplink antara Hasnah-Ano dengan Jamal. Tipikal konfliknya adalah perbedaan interest, yang menyulitkan orang luar ikut campur. Soal ini masih berlangsung dan belum ada resolusi yang disepakati.

Secara umum, JARAK maupun Uplink di Palu dikenal sebagai salah satu OMS (LSM) yang menfokuskan kerjanya pada komunitas perkotaan. Memiliki sekretariat yang jelas. Statusnya sudah setara dengan OMS yang lain. Polularitasnya sampai ke organisasi pemerintah. Aksesnya sampai ke level nasional.

Advokasi Hak-hak Dasar

Kebanyakan advokasi yang dilakukan Uplink Palu adalah bagian kerja berjaringan dengan LSM lainnya. Uplink Palu bergabung dalam berbagai koalisi LSM untuk mengadvokasi kepentingan publik seperti Perda Pemenuhan Hak Anak, Pelayanan Publik (MP3), Kenaikan BBM, Pilkada,  dan lain-lain. Advokasi yang dilakukan sendiri biasanya bersifat perorangan, di samping dan aksi-aksi solidaritas yang digerakkan oleh sekretariat Uplink.

Kerja advokasi dikoordinasi oleh staf sekretariat Uplink. Mediasi dan lobi ke Pemkot, dinas, dan dewan kota dilakukan staf Uplink untuk kepentingan anggota. Kerja seperti ini disadari betul sebagai pelayanan untuk menjaga tingkat kepercayaan anggota. Satu contoh adalah advokasi kasus Siti Maryam, bayi usia 1 tahun penderita tumor yang saat ini dirawat di RS Wahidin Makassar. Mobilisasi dukungan dilakukan di tingkat komunitas JARAK. Lobi dilakukan ke dinas kesehatan hingga walikota. Hasilnya baru sampai pada komitmen Pemkot untuk meringankan beban keluarga Siti, belum mengubah kebijakan Pemkot tentang pembiayaan dan pelayanan pasien rujukan.

Kader-kader kampung (CL) aktif di kelompoknya mengikuti kecenderungan yang ada. Kebanyakan CL itu terlibat aktif dalam program kemiskinan pemerintah, misalnya P2KP, Askeskin, dan BLT. Keterlibatan tersebut disadari sebagai cara CL membangun akses untuk kepentingan pribadi maupun kepentingan anggota kelompok. Hanya saja, masalah yang muncul di tingkat kampung dengan pemerintah setempat cenderung diselesaikan dengan kompromi. Masih ada anggapan CL bahwa mempublikasi masalah di kampung adalah tindakan yang membuka aib orang.

Beberapa kasus yang diadvokasi sekretariat Uplink Palu sendiri maupun bersama jaringan antara lain:

- Pendampingan kasus Penggusuran PKL pasar Masomba dan pasar Manonda

Pembelaan pedagang buah BNS yang diusir Satpol PP

- Penolakan Perda Pembatasan Becak

- Aksi solidaritas untuk korban pemukulan tukang becak oleh Satpol PP

- Penolakan rencana Pemkot membangun Pabrik Gas Metan di Kawatuna

- Aksi solidaritas di DPRD untuk nelayan Teluk Palu

Jaringan

Kerja jaringan Uplink Palu direpresentasi oleh Ano hingga ke tingkat nasional. Sementara Hasna merepresentasi kerja jaringan di tingkatan komunitas JARAK. Kombinasi ini saling mengisi, yang kemudian mempopularitaskan Uplink Palu sebagai gerakan LSM.

Jaringan dengan para jurnalis cukup baik. Uplink Palu memiliki kontak personal dengan wartawan Harian Radar Sulteng maupun Mercu Suar. Advokasi Uplink Palu dengan mudah dipublikasikan. Hanya saja, akses CL-CL komunitas JARAK dengan para jurnalis, khususnya reporter TV masih terbatas.

Catatan Penutup

Dari diskusi (berkenalan) dengan Syamsudin (reporter SCTV, anggota AJI) dengan pengurus JARAK di sekretariat Uplink Palu. Ada komitmen yang kuat dari Syamsudin untuk memback-up permasalahan hak-hak RMK. Komitmen itu ditunjukkan dengan saling mencatat nomor HP masing-masing. Syamsudin siap men-TV-kan aksi-aksi kolektif JARAK (minimal 10 orang).

Dari kasus Siti Maryam, bayi penderita tumor yang dirawat di RS Wahidin Makassar, Uplink Palu perlu mendesak DPRD Kota untuk membuka Hearing dengan Pemkot, Dinas Kesehatan dan pihak RSU Arunadatu. Targetnya adalah Pemkot menjamin keberlangsungan perawatan pasien yang dirujuk ke Makassar. Selama ini, dinas kesehatan dan RSU di Palu seperti lepas tangan dari pasien yang dirujuknya. Tidak terjadi komunikasi antar-RSU. Akibatnya, beberapa pasien terlantar di RSU Wahidin, kesulitan biaya hidup, bahkan ada yang tewas karena tidak dilayani sebagaimana mestinya. Pemkot diharapkan bisa menganggarkan pos dana bantuan bagi pasien  miskin yang dirujuk di RSU Wahidin Makassar.

Dari kunjungan ke komunitas pak Saprudin di Kamonji, JARAK akan mengadvokasi pelayanan kesehatan untuk Neneng (5 th), anak perempuan tanpa anus. Kemungkinannya Neneng akan dirujuk ke RS Wahidin Makassar karena keterbatasan RS di Palu.

Dari diskusi internal dengan pengurus JARAK dan staf Uplink Palu: Pertama, perlunya dikembangkan sistim ekonomi alternatif, yakni cara berusaha tanpa bergantung pada bantuan modal (uang) dari Uplink. Misalnya, mengajak orang kaya yang bersedia mengeluarkan infaqnya dalam bentuk hewan ternak (kambing). Cara lainnya adalah mengolah lahan tidur menjadi kebun kacang di Kawatuna sebagai usaha bersama untuk organisasi. Semua itu ditujukan untuk mengatasi persoalan biaya transport yang menghambat mobilisasi pengurus JARAK. Kedua, konflik pengurus becak setelah ketua (Tamin) direkrut menjadi anggota Panwaslu suatu kecamatan di kabupaten Donggala. Disepakati untuk mempersiapkan kongres luar biasa sesuai AD organisasi becak. BPA (Badan Penasehat Anggota) akan yang memediasi konflik tersebut. Ketiga, soal ketidakaktifan Jamal. Persoalan ini diserahkan penyelesaiannya kepada Hasna dan Ano. Apabila tidak ada penyelesaian juga, Ano siap menunggu keputusan Seknas.

Dari pertemuan anggota BPA di rumah pak guru, ketua BPA. Sesuai hasil pembicaraan pak guru dengan Tamin, pertemuan anggota becak baru bisa dilaksanakan setelah pesta pernikahan Tamin, awal bulan Agustus. Apabila dalam jangka waktu itu pertemuan belum terlaksana, BPA akan membentuk panitia pelaksana kongres luar biasa.

Dari perkenalan dengan Emil, pengamen di pantai Tamanria. Perlu pertemuan intensif Hasna dengan kelompok pengamen Emil agar bergabung dengan JARAK.

Dari diskusi dengan Aristan, aktivis LSM yang menjadi calon perorangan (independen) dalam Pilkada Bupati kabupaten Donggala. Pencalonan Aristan adalah contoh “blok politik demokrasi”. Aristan didukung sepenuhnya oleh mayoritas LSM di Palu, Organisasi Rakyat (RMK, Buruh, Tani, Nelayan), kelompok prodem (mahasiswa), termasuk partai-partai progresif seperti PPR, Papernas, dan PRP.

Palu, 20 Juli 2008

AWI

27 Jun 2008

Catatan Simpul Uplink Indonesia Manado


Latardepan Kota

Kota Manado berpenduduk 600.000 jiwa, mayoritasnya adalah penganut agama Kristen protestan. Ada 23.000 jiwa penduduk di antaranya adalah kelompok miskin. Sektor informal (PKL) sekitar 3000-an, yang mayoritasnya adalah muslim dari etnis Gorontalo, Jawa, dan Bugis-Makassar.

Pemerintah Daerah Manado mencanangkan Manado Kota Pariwisata 2010. Sebelum itu akan dilaksanakan World Asean Conference 2009 di Manado. Pemerintah kota melakukan percepatan pembangunan di wilayah pesisir yang menghubungkan roda ekonomi selatan dan utara kota.

Proyek reklamasi pantai sudah dilakukan sejak tahun 1998 yang dimotori oleh pengusaha lokal/nasional seperti Theo Syafei dan Benny Tungka yang mendapat konsesi lahan 65 Ha, keluarga Edy Baramuli, serta pengusaha non-pribumi. Tahap I proyek sudah selesai di selatan kota (Boulevard I). Sepanjang 5 km kawasan reklamasi itu adalah ruko, pusat perbelanjaan, sector jasa, penginapan, dan tempat hiburan. Tahap selanjutnya (Boulevard II) diarahkan ke utara kota yang dimulai dengan pembangunan jalan/jembatan Soekarno-Hatta dan Megawati sebagai penghubung jalur transportasi, serta pembersihan lokasi PKL di pasar Calaca.


Dengan misi Manado Kota Pariwisata 2010 itu, Pemkot dan pengusaha membatasi dan meggusur lokasi kegiatan sektor informal di sepanjang jalan Boulevard seperti PKL, Bendi, Becak Motor dan Tunanetra sampai ke Calaca. Bahkan pusat kedai kopi di jalan Roda pun kabarnya akan digusur.

Jarod

Jalan Roda (Jarod) adalah ruang social-ekonomi yang menghimpun moda interaksi informal dalam satu atap di pusat kota Manado. Tempat ini cukup luas, tetapi kelihatan kecil dan terkesan digencet oleh ruko-ruko dan pusat-pusat perniagaan di sekelilingnya. Seperti biasanya selalu diramaikan beraneka orang yang ngobrol serius tapi kelihatan santai sambil ngopi atau pun makan.


Sekretariat Uplink Manado terletak di kampong Mahakam kelurahan Wawonasa, sekitar 1 km dari Jarod, tetapi dengan angkot sekitar 15 menit. Sekretariat Uplink lebih ramai dibanding setahun lalu. Ilham dan beberapa mahasiswa PMII menjadikan secretariat Uplink sebagai “base-camp” atau pondokan mereka di malam hari.
Pagi hingga sore hari, mereka di kampus atau di Jarod.

Di Jarod berdiskusi dengan aktifis mahasiswa PMII. Komunitas jaringan Uplink. Mereka yang sehari-hari bermarkas di Jarod, berbagi pengalaman mengenai aktivitisme mahasiswa di Manado. Pertama, secara internal, kebanyakan aktifis itu berasal dari luar Sulawesi Utara. Misalnya, Ismail, Aji, Irfan, Christ, Tuti berasal dari luar Sultra (Sulawesi Selatan, Gorontalo, Jawa). Kedua, kecenderungan para aktifis itu dipengaruhi oleh dinamika politik di Manado. Sehingga kerja advokasi maupun pendampingan komunitas tidak pernah tuntas, dan tidak ada strategi jangka panjang. Di satu sisi gerakan aktifis di tingkatan komunitas bersifat reaksioner, istilah mereka “pemadam kebakaran”; di sisi lain gerakan aktifis itu dikendalikan oleh kekuatan senioritas, yang umumnya bermain di arena politik. Misalnya dalam kasus penggusuran PKL, kekuatan yang bermain selain mahasiswa dan LSM adalah partai politik. Ketiga, militansi perlawanan yang dibangun oleh para aktifis dengan mudah dibubarkan oleh kekuatan pemerintah kota dengan Satpol PP, preman bayaran yang didatangkan dari berbagai kelurahan, bahkan melibatkan brigade milisi, selain aparat kepolisian. Kondisi yang sangat mengkhawatirkan para aktifis ini adalah dimainkannya isu etnik dan agama. Misalnya, pemerintah berkuasa adalah Golkar, etnis minahasa dan Kristen dihadap-hadapkan dengan komunitas aktifis yang umumnya adalah etnik Gorontalo, Muslim, dan didukung oleh politisi muslim.


Pada kesempatan lain, berbincang dengan
kelompok Tunanetra di Jarod. Kami membicarakan perkembangan advokasi ke Pemkot mengenai lapangan kerja kelompok tunantera. Menurut mereka belum ada hasil yang nyata dari beberapa kali pertemuan dengan pemkot dan pengusaha. Hambatan utamanya, para pengusaha belum bersedia mengakomodir kelompok tunanetra untuk menyediakan lapangan kerja pengganti asongan. Namun, pemkot tidak melarang tunanetra berjualan kacang dan menawarkan jasa pijat.

Kelompok Tabungan Pedagang Pasar

Di kampung Texas, di kawasan Megamas Boulevard I. Pemukiman yang tersisa ini memanjang kurang lebih 400 meter dengan 1 mesjid. Luasnya sekitar 200 x 100 meter. Sebelah barat pemukiman ini menghadap teluk manado, dengan rumah-rumah semi permanen yang sebagian reot. Beberapa tempat menjadi warung makan/kopi tempat para sopir, calo-calo dan preman berkumpul. Di sebelah timur menghadap jalan raya, berjejer ruko-ruko yang kusam tetapi berisik sekali oleh penjual VCD dan peralatan elektronik. Di sekitarnya berkeliaran Satpol PP yang setiap hari bergerombol di beberapa titik mengawasi jalanan dari PKL dan asongan yang sudah tidak ada.

Di Pasar Bersehati, berbincang dengan sekretaris PPIM. Mengenal PMII sejak kasus penggusuran PKL pasar Calaca tahun lalu. PMII menyuarakan kepentingan pedagang ikan yang bakal digusur oleh pembangunan jembatan penghubung Boulevard I dengan II. Pedagang bersedia merelokasi tempat jualan masuk ke dalam bangunan pasar. Namun, hingga kini belum ada jawaban. Ada kabar bahwa bangunan pasar juga akan digusur atau direlokasi.

Di pasar ini ada 2000-an pedagang ikan, yang 98% adalah etnis gorontalo muslim. Setiap hari Pemkot memungut retribusi Rp 2000 perpedagang untuk semua jenis dagangan. Hitung-hitungannya, pemasukan PD Pasar dari retribusi rata-rata perhari lebih dari 9 juta sehari. Setahun bisa mencapai 1,4 M. Nyatanya, PD Pasar hanya mencantumkan pemasukan ke kas Pemkot hanya 1 M setahun. Persoalan ini sudah dimediasi oleh PMII ke koran-koran lokal.

Sekitar 300 dari pasar Bersehati ada perkampungan Sindulang I. Kami mengunjugi pak Kasim di kampong Sindulang 1. Salah seorang mantan “Pala” (ketua RT atau kepala dusun) mengenal Uplink dalam suatu pertemuan dengan wakil-wakil warga Sindulang 1. Saat ini dia bekerja di proyek pembangunan jalan Soekarno-Megawati sebagai kuli bangunan (pemborong). Dia hanya ada waktu luang pada malam hari. Kampung ini akan terkena perluasan jalan dan pembangunan jembatan Soekarno dan jembatan Megawati. Informasi dari kecamatan bahwa perluasan jalan akan membongkar pemukiman penduduk antara 5 sampai 17 meter. Baginya, setuju saja asal jelas ganti rugi dan relokasinya. Namun, dia pesimis melakukan perlawanan karena sudah sering melihat di TV kegagalan RMK mempertahannya tanahnya. Beberapa rumah sudah dibongkar dan mendapat ganti rugi plus ongkos pindah Rp 9 juta.

Secara umum Uplink di Manado dikenal sebagai nama organisasi jaringan nasional dengan adanya secretariat. Kalangan aktifis yang mengenal dan mempromosikan nama Uplink di Manado umumnya adalah aktifis PMII yang tersebar di LSM maupun Ormas lainnya. Sehingga Uplink Manado identik dengan aktifis PMII.

Foot Not Bombs

Istilah Foot Not Bombs ini diperkenalkan oleh seorang aktivis yang menyebut dirinya libertarian kolekitf. Istilah ini digunakan untuk kampanye pangan dan anti-kekerasan bagi anak-anak jalanan. Sempat berbincang dengannya di Multi Mart. Saat ini dia lagi sibuk mengerjakan program dinas kesehatan untuk kampanye penanggulangan HIV/AIDS. Motivasinya terutama kebutuhan praktis. Gerakan kolektifnya ditinggalkan sementara. Soal kecenderungan aktivisme, Ia mengeluhkan 2 hal: pertama, ketidakseriusan aktifis membangun gerakan bersama komunitas. Kedua, kuatnya orientasi politik dalam gerakan yang membuat aktifis gampang dikontrol.

Manado, 27 Juni 2008

AWI*

30 Mei 2008

Catatan Simpul Uplink Indonesia Pare-pare


Latardepan Kota

Kotamadya Pare-pare, 240 km² dari ibukota propinsi Makassar, dapat dijangkau dengan angkutan darat dan laut. Dengan luas hanya 99,33 km, topografi kota ini adalah bukit dan pantai. Ketinggian dari permukaan laut bervariasi antara 6 sampai 500 meter. Jarak dari pesisir pantai ke perbukitan kurang dari 2 km. 

Wilayah Pare-pare miskin sumber daya alam baik hutan maupun bahan tambang. Nasi orang Pare-pare bergantung pada suplai beras dari lumbung beras Sulsel, yakni kabupaten Sidrap di sebelah timur, kabupaten Pinrang di sebelah utara, serta kabupaten Barru di sebelah selatan. Produksi beras petani Pare-pare dari sawah tadah hujan hanya sekitar 5.000 ton atau 5 juta kilogram. Produksi sebesar ini hanya mampu mensuplai nasi orang Pare-pare selama 6  bulan sekitar 7 kilogram perjiwa.

Pemukiman penduduk terkonsentrasi di dataran landai hingga pesisir. Sesuai sebutan awalnya “para-para”, yang harfiahnya “rawa-rawa”, terbentuknya pemukiman penduduk kota ini dirintits oleh kaum urban (pendatang) dari tanah bugis di sekitarnya. Urban bugis yang mendominasi kota hingga kini adalah orang Sidrap, Pinrang, dan Wajo. Mereka ini yang menguasai pemerintahan, juga sektor perdagangan dan jasa bersama urban Tionghoa. Pusat pemerintahan dan keramaian kota terletak di pesisir pantai kecamatan Soreang.

Pertumbuhan ekonomi pun berpusat di pesisir. Hotel, pusat-pusat perbelanjaan, bank, restoran, bisnis hiburan, dan sektor informal berkutat di pesisir. Kota ini memang diprospek menjadi kota jasa dan perdagangan, di samping visi kota pendidikan. Pelabuhan laut adalah salah satu andalan Pare-pare di sektor jasa. Ekspor TKI/TKW dan impor pakaian bekas (Cakar = Cap Karung) melalui pelabuhan ini. Sektor informal, misalnya tukang becak dan buruh bangunan, umumnya digerakkan pendatang dari Jeneponto dan Gowa. Pendatang dari Jawa biasanya menjual mie bakso, warung makan “sari laut”, gorengan, dan lain-lain, yang mudah dijumpai di sepanjang pesisir pantai Pare-pare.

Administrasi pemerintahan kota Pare-pare terbagi dalam 3 kecamatan dengan 21 kelurahan. Total penduduknya pada tahun 2006 adalah 25.161 KK atau 115.169 jiwa (BPS 2007), kurang dari sepersepuluh dari total penduduk kota Makassar. Dari jumlah penduduk 2006 itu, terdapat 28.480 jiwa yang dikelompok-miskinkan oleh Pemkot berdasarkan SK No. 538/2004 tanggal 1 Desember 2006. Laporan BPS 2007 mencatat jumlah keluarga miskin penerima BLT periode 2005/2006 adalah 6.256 KK. Angka kelompok miskin ini kemudian bertambah menjadi 30.774 jiwa sebagai penerima hadiah BLT (Fajar, 7/9/2006).

Salah satu program pembangunan di kota Parepare adalah penataan kawasan berikat (Free Trade Zone) yang meliputi; (a) penataan sistem pengelolaan terpadu yang mencakup kawasan Industri, pergudangan dan kawasan pelabuhan; (b) reklamasi pantai yang meliputi pembangunan hotel dan pasar swalayan serta pembangunan pasar Lakessi yang menelan biaya Rp 42,3 milyar uang dari Bank Dunia. Proyek rehabilitasi pasar Lakessi menjadi pasar Mall ini potensial meminggirkan pedagang kecil karena harga sewa kios, lods yang mahal.

Proyek kawasan terpadu sesungguhnya adalah tantangan advokasi organisasi masyarakat sipil di Pare-pare dalam jangka panjang. Setidaknya, sekretariat Uplink Pare-pare mulai menginisiasi perdebatan di kalangan mahasiswa, LSM dan Ormas tentang agenda “Neoliberalisasi Kota”.

Konteks Sospol

Secara umum, roda pembangunan Pare-pare digerakkan oleh kekuatan partai politik, pengusaha dan organisasi masyarakat sipil, yakni Ormas dan LSM. Di level pemerintahan, kekuatan utama pengendalinya berada di tangan politisi parpol dan pengusaha. Calon politisi dan moblisasi massa politik diolah oleh kekuatan Parpol dan Ormas. Sehingga aktifis Ormas lebih leluasa memanfaatkan sumber-sumber dana pembangunan. Sementara LSM di Pare-pare secara institusi bergantung pada proyek, baik yang berasal dari jaringan donor maupun dinas-dinas pemerintah. Proyek-proyek seperti pencegahan HIV/AIDS, Good Governance, PPK, P2KP, Partisipasi Penganggaran, Gender, di samping pengembangan ekonomi adalah proyek-proyek yang mendukung kinerja pemerintahan kota. Advokasi korupsi, lingkungan, dan kemiskinan kurang mendapat respon pemerintah. Kasus-kasus korupsi umumnya muncul ke media akibat ulah sesama politisi yang biasanya diolah oleh aktifis Ormas, termasuk wartawan sendiri.

Satu kasus korupsi yang mencuat ke media adalah pungutan dalam proyek sertifikasi tanah nasional di kecamatan Soreang. Di kampong Menara, ada 50 KK yang dikenakan biaya Rp 300.000 – Rp 500.000 perKK untuk urusan sertifikasi. Kasus ini melibatkan orang BPN bekerja sama dengan Lurah sampai ke pengadilan. Akhirnya, tidak satu pun pelaku yang ditahan karena aparat kelurahan mampu membuktikan bahwa tidak ada warga yang keberatan di pengadilan. Semuanya bertanda tangan mengakui tidak ada pungutan. Anehnya, tidak ada LSM yang mengadvokasi kasus ini.

Contoh lainnya adalah advokasi kenaikan harga BBM bulan Mei lalu. Tercatat di media massa dua kali aksi jaringan rakyat miskin kota (AKRAM) dan kelompok mahasiswa UNPAR dan STAIN di gedung DPRD Pare-pare. Di antara mahasiswa RMK, bergabung aktifis Ormas bergaya LSM. Sementara yang sebenarnya aktifis LSM tidak terlibat dalam koalisi aksi. Aksi ini kemudian ditindaklanjuti anggota dewan ke dalam rapat paripurna yang menghadirkan elemen aksi. Hasilnya, rapat paripurna mendukung aksi mahasiwa dengan mengirim surat penolakan ke pemerintah pusat. Belakangan, aktifis Ormas memanfaatkan momen aksi ini untuk kepentingan pribadi, misalnya fasilitas transportasi, bahkan dana kegiatan dari APBD pemerintah kota.

Selama kepemimpinan walikota Zain Katoe, total APBD Pare-pare tahun 2006 adalah Rp 264,7  milyar. PAD hanya menyumbang Rp 21,2 milyar dengan sumber pokoknya retribusi daerah dari perdagangan, jasa perhotelan, bisnis hiburan dan rumah sakit. Artinya, pedagang, pengguna hotel, para penghibur dan orang-orang sakit cukup signifikan membiayai aparat pemerintahan kota Pare-pare. Di sisi lain, pembiayaan pembangunannya sangat bergantung kepada subsidi pemerintah pusat dari dana alokasi umum dan khusus sebesar Rp 217,7 milyar tahun 2006.

Masyarakat Pare-pare saat ini memasuki tahapan pencalonan untuk pemilihan walikota 2009 - 2014. Masa kerja Zain Katoe, walikota Pare-pare, kader Golkar akan berakhir tahun ini, dan akan maju lagi (incumbent). Dengan sistem pemilihan langsung, selain incumbent, sedikitnya 3 pasangan balon lainya ikut bertarung. Sementara jumlah pemilihnya sekitar Rp 60.000 orang. Maka pilkada walikota Pare-pare kali ini seperti magnet yang menyedot semua lapisan masyarakat untuk masuk ke dalam lingkaranyna. Sudut-sudut kota pun seperti stand pameran yang dipenuhi foto-foto raksasa, spanduk, poster, yang memaksa setiap orang untuk melihatnya. Gambar-gambar para kandidat semakin menampakkan kekayaannya, dan seketika ramah sekali, bersih sekali dengan pesan dan idiom-idiom yang sangat menjemukan. Seperti burung beo, itulagi-itulagi: “pendidikan dan kesehatan gratis”, “ekonomi kerakyatan”, “lapangan kerja”, “pemerintahan bersih”.


Komunitas AKRAM

Komunitas AKRAM kumpulan ibu-ibu rumah tangga yang aktif dalam kegiatan Posyandu, PAUD, pendataan rumah tangga miskin, serta pengajian. Pemukiman mereka berada di sekitar pesisir, pelabuhan, dan di antara pusat-pusat pertokoan. Pada tahun 2005 mereka masih tergabung dalam FORMIK yang diinisiasi oleh aktivis LSM lokal. Kemudian berubah menjadi AKRAM setelah  kongres pertama 2007, menyusun aturan dasar organisasi dan memilih pengurus. Mereka berjejaring dengan mahasisiwa UNPAR dan STAIN Pare-pare dalam merespon isu-isu populis seperti kenaikan BBM, bantuan Raskin, dan konflik pertanahan.

AKRAM dan juga tidak luput dari penawaran untuk mendukung salah satu kandidat. Di perkampungan sekitar sekretariat AKRAM gambar semua pasangan kandidat sudah terpasang di rumah penduduk. Banyak warga yang senang karena foto copy KTPnya bisa ditukar dengan duit Rp 5.000 – Rp 10.000. Tidak perlu antre seperti pembagian kartu BLT. Lebih senang lagi para pengumpul, dapat Rp 5.000 perKTP plus biaya pasang spanduk dan poster.

Respon Simpul Uplink Pare-pare

Pembacaan atas situasi dari dinamika sosial politik dan pembangunan di kota Pare-pare dewasa ini akan membantu organisasi masyarakat sipil seperti AKRAM menentukan fokus isu dan langkah strategis dalam jangka pendek dan panjang. Fokus isunya adalah pemenuhan hak-hak dasar RMK seperti hak atas tempat tinggal, kebutuhan dasar, dan partisipasi politik. Strateginya adalah memproduksi kader-kader penggerak kelompok yang tersebar di wilayah yang signifikan populasi RMKnya, yakni di kecamatan Soreang dan Ujung. Perangkat kerja yang masih relevan dimainkan adalah tabungan, kesehatan alternatif, kelompok belajar anak, dagang, yang diimbangi dengan pendekatan populis seperti melayani warga yang ada masalah dengan kartu miskin, KTP, akte kelahiran, askeskin, dan BLT.

Pelatihan Kader Penggerak Kelompok

Pelatihan kader adalah salah satu kegiatan untuk merekrut dan menguatkan kapasitas anggota kelompok/sektor yang berjaringan dengan AKRAM. Pelatihan hanya dua hari untuk 1 angkatan. Partisipan angkatan pertama adalah anggota AKRAM dan anggota LSM pendamping masyarakat dari kabupaten Pinrang dan Barru sebanyak 20 orang. Alumni pelatihan dievaluasi dalam pertemuan rutin yang dikordinasi CO Uplink. Syarat-syarat peserta minimal saja, misalnya anggota yang berkomitmen untuk mengembangkan kelompoknya (aktif). Oleh karena itu, pelatihan seperti ini menjadi ajang pembelajaran awal tentang organisasi rakyat miskin dan tujuan perjuangannya.

Seri Diskusi Bulanan

Diskusi bulanan adalah wadah membagi informasi perkembangan kota dan problematika RMK. Misalnya kontroversi kenaikan harga BBM. Persoalan ini menjadi topik utama diskusi sepanjang bulan Mei-Juni 2008. Diskusi di sekretariat AKRAM diikuti kader-kader penggerak kelompok, aktivis mahasiswa dan LSM di Pare-pare. Ada tiga pokok persoalan yang didiskusikan secara tajam oleh patisipan; pertama, adanya kontradiksi di antara sikap menolak kenaikan BBM dan menerima BLT. Kondisi ini yang dialami RMK, yang tentu saja bertolak belakang dengan sikap mahasiswa. Kedua, kontradiksi di dalam aksi-aksi mahasiswa. Tuntutan aksi mahasiswa dan RMK memang diterima oleh DPRD Pare-pare dalam suatu rapat paripurna. Tetapi, berkembang isu bahwa aksi-aksi mahasiwa ditunggangi oleh politisi parlemen. Ketiga, masih adanya pertentangan ideologis di balik gerakan masyarakat sipil; “soal kiri vs kanan”; “idealisme vs pragmatism”. Pertentangan seperti ini tidak bisa disatukan, tetapi bisa bertemu dalam suatu aksi. Sebagai contoh penyikapan terhadap BLT. RMK dan mahasiswa sama-sama aksi menolak kenaikan harga BBM, tetapi kemudian RMK menerima BLT. Alasannya, RMK membutuhkan tambahan pendapatan untuk mengimbangi harga-harga.

Partisipan sampai pada satu kesepahaman bahwa strategi gerakan seharusnya diarahkan pada pendampingan yang intensif kepada komunitas, bukan pada konflik ideologisnya. Pengetahuan saja tidak cukup, dibutuhkan kesungguhan dan keterampilan dalam pendampingan.


Advokasi

1. Advokasi akte kelahiran sudah dirintis oleh sejumlah LSM di Pare-pare yang tergabung dalam KOMPAK (Koalisi Masyarakat Pembebasan Akte Kelahiran). Tahun lalu, koalisi ini mengadvokasi 754 anak yang tidak memilik akte kelahiran kepada Pemkot. Hasilnya, pada peringatan HUT kota Pare-pare 14 Pebruari 2007, walikota menerbitkan SK yang membebaskan anak usia 60 hari dari biaya akte kelahiran. Kenyataannya, untuk mendapatkan selembar kertas akte, orang tua anak harus mengurus 6 persyaratan formal, yang kesemuanya membutuhkan biaya.

AKRAM mengintensifkan advokasi ini dengan pendekatan lobby. Informasi terakhir, Pemkot menganggarkan biaya akte kelahiran bagi 745 anak yang tidak mampu ke dalam APBD 2008. Sementara anggota dewan sedang menyusun ranperda baru untuk pembebasan biaya akte kelahiran. Konsep yang ditawarkan AKRAM adalah (a) Subsidi langsung dan tidak dipungut biaya (gratis); (b) Obligatif, yakni kewajiban aparatur pemerintah daerah, dalam hal ini walikota dan dinas kependudukan dan catatan sipil sampai ke tingkat birokrasi terendah (RT, RW, kelurahan, kecamatan) untuk melayani warga yang membutuhkan akte kelahiran

2. Air Bersih, bermula dari persoalan 5 tahun warga Timurama hanya bisa menikmati air PDAM pada jam tertentu. Alasan PDAM, lokasi perumahan Timurama yang berbukit, sehingga secara teknis air sulit mengalir ke rumah-rumah warga. Akan tetapi, warga diharuskan membayar tagihan setiap bulan. Protes warga dimulai ketika pasokan air terhenti selama 10 hari, sehingga 4 orang warga yang tergabung dalam kelompok tabungan Timurama berinisiatif mendatangi PDAM. Hasilnya pihak PDAM berjanji akan memperbaiki pipa. Kemudian tanggal 31 Januari, 30 orang warga Timurama kembali mendatangi pihak PDAM. Ada dua tuntutan warga. Pertama, mendesak PDAM untuk mengantar air ke perumahan dengan mobil tangki. Kedua, mendesak PDAM memperbaiki pipa yang menyebabkan tidak mengalirnya air ke rumah-rumah warga. Baru tuntutan pertama yang dipenuhi PDAM.

3. Pengguna Askeskin dan SKTM. Masih terjadi diskriminasi pelayanan bagi pengguna Askeskin dan SKTM di Puskesmas CempaE. Sebagai langkah awal, tanggal 14 Februari 2008, AKRAM melakukan dialog di kantor dinas kesehatan dengan kepala dinas dr. Chaerani Kadir dan kepala Puskemas CempaE dr. Budiman Siri’. Tuntutan AKRAM adalah perbaikan pelayanan dasar bagi RMK terutama warga yang menggunakan SKTM dan Askeskin. Hasil dialog tersebut ditindaklanjuti dengan kunjungan kepala Puskesmas CempaE ke sekretariat AKRAM, tanggal 3 April 2008. Dari kunjungan ini, diperoleh informasi bahwa program kesehatan bagi rakyat miskin diganti menjadi program Jaminan Kesehatan Masyarakat miskin (Jamkesmas). jumlah penerima Jamkesmas di Parepare 26.170 dari sekitar 30 ribu RTM yang terdata. Di kecamatan Soreang 5.976 RTM. Puskesmas CempaE menyiapkan anggaran Rp 5 juta lebih setiap bulan yang diperuntukkan bagi pengguna SKTM.

AWI