20 Jul 2008

Catatan Simpul Uplink Indonesia Palu


Latardepan Kota

Kota Palu, ibukota Sulawesi Tengah dibelah sungai besar, yang membagi kota ini menjadi 2 wilayah. Orang Palu menyebutnya Palu (Pantai) Barat dan Palu (Pantai) Timur. Penyebutan ini biasanya merujuk pada asal seseorang (suku) dengan karakteristik tertentu. Misalnya, di Palu Barat bermukim penduduk asli (Kaili) dialek Da’a. Orang-orang pendatang menyebut mereka ”orang gunung” atau ”mangge-mangge”. Di bagian kota ini hanya ada 1 traffic light, 1 gereja, mesjid raya, pasar tertua, pasar inpres. Becak hanya beroperasi di sini. Sementara di Palu Timur berpusat kantor pemerintah seperti kantor gubernur, dinas-dinas, kantor DPRD, RSUD Undatu, perumahan pejabat, perhotelan dan kantor-kantor LSM.

Saat ini wilayah kota Palu diperluas menjadi 4 administrasi pemerintahan: kecamatan Palu Timur, Barat, Utara, dan Selatan. Terdiri dari 43 kelurahan, 58 lingkungan, 270 RW, dan 939 RT. Kepadatan penduduk tertinggi di kecamatan Palu Barat, yakni 1.550 perkm². Dengan luas wilayah 57,7 km², jumlah penduduknya 89.073 jiwa atau 19.935 KK. Sekitar 30 % penduduk kota Palu bermukim di Palu Barat, tersebar di 15 kelurahan.

Luas kota Palu 395 km² dengan populasi penduduki 302.000 jiwa atau 65.438 KK. Pegunungan mengelilingi seluruh ruang kota dan mentok di Teluk. Kota ini terasa sempit dan biasa-biasa saja. Lalu-lintas masih longgar dibanding Makassar maupun Manado. Padahal jalan-jalan raya tidak begitu luas. Tidak banyak perkantoran, mall atau pun hotel yang mentereng. Begitu pun rumah-rumah penduduk. Satu-satunya bangunan di pusat kota yang dianggap mewah adalah Mall Tatura di kelurahan Maesa Palu Selatan. Satu bangunan mewah lainnya ada di pantai Barat, Swiss Bel Hotel.

Kota Palu dihuni oleh sedikitnya 40% pendatang yang didominasi orang Bugis-Makassar.  Mereka juga mendominasi sektor jasa dan perdagangan. Mereka menguasai lods, ruko-ruko, dan distribusi barang pabrikan. Sementara sektor informal seperti PKL, khususnya pedagang komoditi pertanian, tukang becak, buruh, dan sais bendi kebanyakan digerakkan orang Kaili.


Palu Kota Teluk

Garis pantai kota Palu membentuk tapal kuda dan menganga ke laut Sulawesi. Panjangnya sekitar 5 km, terbelah dua oleh muara sungai Palu menjadi pantai Talise dan di Palu Timur dan pantai Tamanria di Palu Barat. Akses keduanya dihubungkan oleh jembatan IV Teluk Palu yang bercat kuning sepanjang 500 meter. Pada sore hingga dini hari, menjadi tempat pelesir dan jajanan PKL.  Ada sekitar 500-an pedagang di sepanjang pantai itu yang digerakkan oleh penduduk sekitar pantai bekerjasama dengan pemerintah dan preman setempat. Mereka dikenakan retribusi Rp 7.000 semalam. Di pantai Tamanria, kebanyakan  penjualnya adalah orang Kaili bercampur dengan orang Bugis dan Jawa. Tempat berjualan mereka lebih tertata, berjejer dengan cat warna-warni.  Sementara di pantai Talise umumnya penjual adalah orang Bugis-Makassar berbaur dengan orang Kaili dan Jawa. Kebanyakan tempat berjualan di sini menggunakan tenda plastik, di samping gerobak.

Selain hiburan remang-remang seperti karaoke dan ”praktek prostitusi”, di sepanjang pantai ini ada 100-an pengamen. Ada kelompok pengamen yang terorganisasi, yakni Pedati (Persatuan Pengamen Adat dan Tradisi). Kelompok ini paling dikenal di kota Palu karena dibina oleh Dewan Kesenian, dan sering diundang pejabat. Kelompok kedua adalah KPJ (Kelompok Pengamen Jalanan) yang punya jaringan sendiri. Ada 1 kelompok kecil pengamen yang menyebut dirinya KPTR ((Kelompok Pengamen Tamanria), tidak terorganisasi, anggotanya tersisa 5 orang, dikenali dari lagu-lagu daerahnya.

Begitulah situasi Palu Kota Teluk saat ini. Mirip situasi di pantai kota Makassar maupun Manado tahun 90-an, sebelum proyek Water front City digulirkan. Water front City adalah konsep dasar kapitalisasi kota dari pantai. Dan, jika tidak ada aral melintang, Palu akan seperti Makassar, Manado dan Jakarta, dimana pantai disediakan bagi orang-orang kaya, investor asing, dan turis. Sektor informal dan nelayan yang menggantungkan hidupnya dari Teluk terancam digusur.

Pasar Manonda

Pasar Inpres Manonda, pasar tradisional terbesar di Palu. Letaknya di Palu Barat. Dibangun pertama kali pada akhir tahun 70-an. Sepanjang usianya itu sudah tiga kali terbakar dengan sebab-sebab yang tidak pernah jelas. Sisa pasar ini yang belum direnovasi. Pasar lainnya seperti pasar tua, sudah direnovasi menjadi ruko-ruko pasca kebakaran. Pasar Masomba, sebagian sudah dibangun menjadi Mall Tatura.

Pasar Inpres Manonda adalah representasi dinamika perdagangan rakyat yang menampung berbagai cara hidup informal dan tradisional. Petani dengan komiditi pertaniannya berbaur dengan pedagang kain, kelontongan, pedagang ikan, tukang becak, tukang kredit, buruh, preman, bendi, ojek, parkir, pemulung dan sopir angkot. Ibu-ibu (Ina-ina) pedagang hasil bumi mengisi lorong-lorong, di antara lods-lods pakaian dan barang pabrikan. Mereka hidup berdampinngan. Semuanya diikat oleh sistem ekonomi pasar yang berbatas tradisi.

Ada sekitar 2.000-an unit lods dan lebih 4.000 pedagang di dalam dan diluar pasar. Para pedagang hasil bumi mengelilingi halaman hingga ke semua ruas jalan raya, membuat pasar terasa sumpek dan jorok. Sekitar 400-an tukang becak dan sais bendi, 4 pangkalan ojek, ratusan gerobak PKL menggantungkan hidupnya dari transaksi ekonomi pasar ini. Persatuan Pengemudi Becak Kota Palu (PPB-KP) adalah organisasi pengemudi becak yang bermarkas di pasar ini. Mereka berbaur dengan pedagang sayuran, buah, rempah-rempah, dan pedagang ikan.

Distribusi kekuasaan dan dominasi antaretnis pun terjadi di sini. Pedagang-pedagang bugis menguasai lods dan kios-kios. PT Saridewi yang mengelola pasar ini pun milik orang Bugis. Mereka diuntungkan oleh akses modal di antara sesamanya,  sehingga bisa menguasai jalur distribusi dan mengendalikan harga, bahkan menentukan struktur kekuasaan di pasar. Soal yang terakhir ini seringkali memicu sentimen etnis di antara pendatang dengan penduduk asli.


Mall Tatura

Satu-satunya Mall di kota Palu yang terletak di kelurahan Maesa, Palu Selatan. Dibangun di atas pasar tradisional Masomba pada tahun 2005. Mall ini menyisakan sebagian lapak, kios dan lods pasar yang masih ramai pengunjung. Dengan situasi yang kontras ini, nasib pedagang pasar Masomba bergantung pada arah kebijakan Pemkot dan pengelola Mall.

Sebesar 97% saham Mall Tatura adalah milik Pemkot dibawah PD (Perusahaan Daerah) Palu. Pemkot membeli saham ini dari PT Citra Nuansa Elok (PT CNE) pada september 2007 dengan dana APBD.  Total aset Mall senilai 130 M. Pendapatan setahun rata-rata Rp 50 juta. Hal ini yang membuat anggota DPRD kota, khususnya dari partai Non-Golkar, memprotes Pemkot. Pendapatan itu jauh dari target APBD.

Belakangan ini Pemkot bermaksud melepas kembali sahamnya kepada swasta, dalam hal ini kepada PT CNE. Komisaris PD Palu, Supratman adalah juga komisaris PT CNE, bersama Hidayat, seorang pengusaha Bugis, memiliki sisa saham Mall. Dengan dasar ini, rencana penjualan saham Mall itu dianggap sebagai permainan walikota dengan konco-konconya, yakni partai Golkar dan PT CNE. Tujuannya adalah mengumpulkan dana persiapan Pilkada dan Pemilu 2009.

Mall Tatura adalah contoh awal menuju kapitalisasi kota, khususnya terhadap pasar-pasar tradisional di Palu ke depan. Jika dirasiokan dengan jumlah penduduk, kota Palu membutuhkan sedikitnya 4 mall lagi. Cepat atau lambatnya, sangat bergantung pada: pertama, modal besar yang dibeking penguasa. Artinya, tugas Walikota adalah mencari investor. Kedua, lokasi yang strategis. Garis pantai kota Palu adalah ruang terbuka luas bagi investor. Ketiga, peluang perekonomian kota Palu di masa datang. Soal yang ketiga ini, yang tampaknya belum bisa meyakinkankan investor. Hal ini berkaitan dengan karakteristik pasar ekonomi rakyat Palu yang bertumpu pada sektor informal.

Investasi membutuhkan situasi yang kondusif, berterima dan aman. Bekas-bekas kerusuhan dan potensi konflik antar-etnis yang masih laten, akan menghambat kapitalisasi kota.


TAXI

Angkot di kota Palu seperti mesin yang tidak kenal berhenti bekerja, sepanjang hari mengitari kota. TAXI! Itulah sebutan untuk kendaraan angkutan umum kota Palu. Segala jenis kendaraan yang dipakai sebagai angkutan umum disebut Taxi. Tidak ada argo, tempat mangkalnya bisa di pasar, di Mall, atau pun di Bandara. Sarana transportasi ini yang menghubungkan roda ekonomi rakyat kota Palu dari Barat ke Timur; desa ke kota dan sebaliknya. Seperti halnya tukang becak, bendi, ojek, pedagang pasar, pemulung, PKL, Taxi adalah sektor informal yang sangat berperan membentuk moda produksi dan dinamika sosial kota.

Taxi memuat dan mengantar siapa saja ke tujuan masing-masing. Tarif dan trayeknya sesuai ketentuan Pemkot. Namun, rute perjalanannya tergantung kesepakatan sopir dengan penumpang. Hampir tidak ada pembatasan jalan bagi angkot. Polisi lalu lintas pun sangat kurang di jalanan. Pelanggaran lalu lintas tergolong rendah.

Kebanyakan sopir adalah orang-orang pendatang bugis dan jawa, tetapi menguasai betul nama-nama kampung, jalan, bahkan lorong. Penumpang tidak khawatir diturunkan di tengah jalan atau disesatkan, dan selalu sampai tujuan.

Konteks Politik

Walikota Palu, Rusdy Mastura (60 th)) dari partai Golkar. Publik memanggilnya Cudy. Dia penduduk asli, asal Pantai Timur (Palu Utara). Dari nama belakangnya Mastura, ada spekulasi yang menyebut dia berdarah bugis juga. Saat ini, Cudy adalah Ketua Pemuda Pancasila Sulteng, dan pernah lama di Jakarta. Walikota ini dikenal sangat responsif terhadap persoalan warga kota. Belum ada kasus korupsi yang melibatkan dirinya.

Dia tidak suka didemo, tapi terbuka untuk berkomunikasi dengan aktifis LSM. Tidak sulit ditemui, ditelpon dan mau menghadiri undangan LSM. Beberapa persoalan bisa diselesaikan dengan kebaikan Cudy. Misalnya, kesulitan keluarga Siti, penderita tumor yang saat ini sudah 5 bulan dirawat di RS Wahidin Makassar. Komunikasi dengan Cudy memudahkan keluarga Siti bertemu dan mendapatkan bantuan dari kepala dinas kesehatan.

Pembangunan Mall Tatura dianggap salah satu keberhasilan walikota Cudy. Dari Mall ini diharapkan terjadi peningkatan PAD Pemkot Palu. Selama beberapa periode pemerintahan, sumber utama PAD Pemkot Palu di atas Rp 1 milyar adalah pajak restoran, reklame, PPJ  dan tambang galian C. Sementara pendapatan utama di atas Rp 500 juta dari retribusi pelayanan kesehatan, kebersihan/sampah, dan KTP. Retribusi dari pasar hanya Rp 365 juta.

Total PAD Pemkot Palu tahun 2005 sebesar Rp 22.841.670.219. Tidak sampai 10% dari total APBDnya Rp 365.726.956.457. Artinya, 90% Pemkot Palu bergantung kepada bantuan dana perimbangan pemerintah pusat (APBN). Fakta ini jelas akan memicu Pemkot untuk menggenjot sumber-sumber pendapatan daerah yang baru. Selain Mall Tatura, kemungkinan akan dibangun Mall lain atau yang sejenisnya.

OMS

Kecenderungan OMS di Palu mengarah pada penguatan basis politik organisasi massa. Segmen-segmen komunitas seperti tukang becak, PKL, pemulung, nelayan, dengan cepat diorganisasikan. Organisasi menjadi wadah mengelola konflik dan kepemimpinan. Misalnya, di kalangan tukang Becak ada PPB-KP (Persatuan Pengemudi Becak Kota Palu) yang menggantikan Persatuan Pengemudi Becak Manonda. Nelayan di pantai Barat membentuk SNTP (Serikat Nelayan Teluk Palu). Tahun lalu organisasi nelayan ini membakar 6 alat tangkap ikan milik pejabat/pengusaha di Palu. Pemulung tergabung dalam Sapu-Kopa, Serikat Pemulung Kota Palu. Belakangan, muncul OPEK (Organisasi Pemulung Kota), pecahan dari Sapu Kopa. Sedangkan JARAK (Jaringan Rakyat Kecil) adalah organisasi rakyat yang mewadahi berbagai simpul komunitas di kampung dan sektor. PPB-KP, OPEK, dan kelompok ibu-ibu tabungan bergabung dalam JARAK.

Di tingkatan LSM, umumnya berafiliasi dengan LSM di Jakarta. Mirip partai politik, yang hirarkinya lokal-nasional, daerah-pusat. Misalnya, WALHI, Kontras, LPSHAM, AMAN, YLKI, JARI, KPI, SP, dan masih banyak lagi adalah organisasi jaringan di Jakarta yang bercabang di Palu Sulteng. Isu dan agenda perjuangannya relatif nyambung ke Jakarta. Berbeda dengan LSM seperti YTM (Yayasan Tanah Merdeka), YPR (Yayasan Pendidikan Rakyat), Evergreen, YBH (Yayasan Bantuan Hukum-Bantaya) yang tumbuh dengan riwayat lokalitasnya. LSM-LSM bekerja menurut tantangan lokal, sambil berjaringan secara nasional dan internasional.

Gerak politik aktifis LSM di Palu mengarah pada pembentukan “blok politik demokrasi”, istilah yang dipakai Olle Tornquist (Demos, 2007), yakni: strategi perjuangan OMS di Sulteng untuk mengkonsolidasikan isu-isu spesifik menjadi platform bersama sambil menggabungkan kerja parlementer dan non-parlementer. Kerja aktifis LSM tidak hanya mengadvokasi kebijakan pemerintah daerah, yang biasanya disebut politik non-partisan. Lebih dari itu, aktifis LSM mengusahakan adanya representasi politik. Sejumlah tokoh aktifis LSM di Palu adalah juga pengurus partai politik, misalnya di PPR, PRP, Papernas, Pelopor dan PDIP. Bahkan, LSM di Palu bisa bersatu memperjuangkan kandidat politiknya. Semua ini disadari sebagai kerja sambil belajar berpolitik untuk melahirkan kader pemimpin.

Pengorganisasian

Beberapa minggu lalu, JARAK mengadakan Kongres kedua, yang dihadiri representasi anggota dari ibu-ibu tabungan dari berbagai kampung, tukang becak, pemulung, dan buruh. Kongres ini memilih ketua dan pengurus baru. Yunus dari kampong Kawatuna terpilih sebagai ketua JARAK menggantikan Hasnah.

JARAK menjaring dan mengkoordinasi anggota dengan kegiatan menabung, pelayanan kesehatan alternatif, pengembangan ekonomi (kebun), KBA, dan pelatihan-pelatihan. Pertemuan-pertemuan berkala di tingkatan kota mulai kendor. Kendala anggota adalah biaya transportasi ke sekretariat. Kendala ini berkaitan dengan kondisi ekonomi yang dirasakan anggota semakin berat.

Pengembangan kelompok dan perluasan organisasi sangat bergantung pada erat-tidaknya kerjasama CO dengan simpul-simpul komunitas. Konflik internal terjadi di tingkatan organ hingga sekretariat. Di tingkatan organ: PPB-KP vs Tamin PERAK; Bahar OPEK vs Rahman Sapu Kopa. Di tingkatan Uplink antara Hasnah-Ano dengan Jamal. Tipikal konfliknya adalah perbedaan interest, yang menyulitkan orang luar ikut campur. Soal ini masih berlangsung dan belum ada resolusi yang disepakati.

Secara umum, JARAK maupun Uplink di Palu dikenal sebagai salah satu OMS (LSM) yang menfokuskan kerjanya pada komunitas perkotaan. Memiliki sekretariat yang jelas. Statusnya sudah setara dengan OMS yang lain. Polularitasnya sampai ke organisasi pemerintah. Aksesnya sampai ke level nasional.

Advokasi Hak-hak Dasar

Kebanyakan advokasi yang dilakukan Uplink Palu adalah bagian kerja berjaringan dengan LSM lainnya. Uplink Palu bergabung dalam berbagai koalisi LSM untuk mengadvokasi kepentingan publik seperti Perda Pemenuhan Hak Anak, Pelayanan Publik (MP3), Kenaikan BBM, Pilkada,  dan lain-lain. Advokasi yang dilakukan sendiri biasanya bersifat perorangan, di samping dan aksi-aksi solidaritas yang digerakkan oleh sekretariat Uplink.

Kerja advokasi dikoordinasi oleh staf sekretariat Uplink. Mediasi dan lobi ke Pemkot, dinas, dan dewan kota dilakukan staf Uplink untuk kepentingan anggota. Kerja seperti ini disadari betul sebagai pelayanan untuk menjaga tingkat kepercayaan anggota. Satu contoh adalah advokasi kasus Siti Maryam, bayi usia 1 tahun penderita tumor yang saat ini dirawat di RS Wahidin Makassar. Mobilisasi dukungan dilakukan di tingkat komunitas JARAK. Lobi dilakukan ke dinas kesehatan hingga walikota. Hasilnya baru sampai pada komitmen Pemkot untuk meringankan beban keluarga Siti, belum mengubah kebijakan Pemkot tentang pembiayaan dan pelayanan pasien rujukan.

Kader-kader kampung (CL) aktif di kelompoknya mengikuti kecenderungan yang ada. Kebanyakan CL itu terlibat aktif dalam program kemiskinan pemerintah, misalnya P2KP, Askeskin, dan BLT. Keterlibatan tersebut disadari sebagai cara CL membangun akses untuk kepentingan pribadi maupun kepentingan anggota kelompok. Hanya saja, masalah yang muncul di tingkat kampung dengan pemerintah setempat cenderung diselesaikan dengan kompromi. Masih ada anggapan CL bahwa mempublikasi masalah di kampung adalah tindakan yang membuka aib orang.

Beberapa kasus yang diadvokasi sekretariat Uplink Palu sendiri maupun bersama jaringan antara lain:

- Pendampingan kasus Penggusuran PKL pasar Masomba dan pasar Manonda

Pembelaan pedagang buah BNS yang diusir Satpol PP

- Penolakan Perda Pembatasan Becak

- Aksi solidaritas untuk korban pemukulan tukang becak oleh Satpol PP

- Penolakan rencana Pemkot membangun Pabrik Gas Metan di Kawatuna

- Aksi solidaritas di DPRD untuk nelayan Teluk Palu

Jaringan

Kerja jaringan Uplink Palu direpresentasi oleh Ano hingga ke tingkat nasional. Sementara Hasna merepresentasi kerja jaringan di tingkatan komunitas JARAK. Kombinasi ini saling mengisi, yang kemudian mempopularitaskan Uplink Palu sebagai gerakan LSM.

Jaringan dengan para jurnalis cukup baik. Uplink Palu memiliki kontak personal dengan wartawan Harian Radar Sulteng maupun Mercu Suar. Advokasi Uplink Palu dengan mudah dipublikasikan. Hanya saja, akses CL-CL komunitas JARAK dengan para jurnalis, khususnya reporter TV masih terbatas.

Catatan Penutup

Dari diskusi (berkenalan) dengan Syamsudin (reporter SCTV, anggota AJI) dengan pengurus JARAK di sekretariat Uplink Palu. Ada komitmen yang kuat dari Syamsudin untuk memback-up permasalahan hak-hak RMK. Komitmen itu ditunjukkan dengan saling mencatat nomor HP masing-masing. Syamsudin siap men-TV-kan aksi-aksi kolektif JARAK (minimal 10 orang).

Dari kasus Siti Maryam, bayi penderita tumor yang dirawat di RS Wahidin Makassar, Uplink Palu perlu mendesak DPRD Kota untuk membuka Hearing dengan Pemkot, Dinas Kesehatan dan pihak RSU Arunadatu. Targetnya adalah Pemkot menjamin keberlangsungan perawatan pasien yang dirujuk ke Makassar. Selama ini, dinas kesehatan dan RSU di Palu seperti lepas tangan dari pasien yang dirujuknya. Tidak terjadi komunikasi antar-RSU. Akibatnya, beberapa pasien terlantar di RSU Wahidin, kesulitan biaya hidup, bahkan ada yang tewas karena tidak dilayani sebagaimana mestinya. Pemkot diharapkan bisa menganggarkan pos dana bantuan bagi pasien  miskin yang dirujuk di RSU Wahidin Makassar.

Dari kunjungan ke komunitas pak Saprudin di Kamonji, JARAK akan mengadvokasi pelayanan kesehatan untuk Neneng (5 th), anak perempuan tanpa anus. Kemungkinannya Neneng akan dirujuk ke RS Wahidin Makassar karena keterbatasan RS di Palu.

Dari diskusi internal dengan pengurus JARAK dan staf Uplink Palu: Pertama, perlunya dikembangkan sistim ekonomi alternatif, yakni cara berusaha tanpa bergantung pada bantuan modal (uang) dari Uplink. Misalnya, mengajak orang kaya yang bersedia mengeluarkan infaqnya dalam bentuk hewan ternak (kambing). Cara lainnya adalah mengolah lahan tidur menjadi kebun kacang di Kawatuna sebagai usaha bersama untuk organisasi. Semua itu ditujukan untuk mengatasi persoalan biaya transport yang menghambat mobilisasi pengurus JARAK. Kedua, konflik pengurus becak setelah ketua (Tamin) direkrut menjadi anggota Panwaslu suatu kecamatan di kabupaten Donggala. Disepakati untuk mempersiapkan kongres luar biasa sesuai AD organisasi becak. BPA (Badan Penasehat Anggota) akan yang memediasi konflik tersebut. Ketiga, soal ketidakaktifan Jamal. Persoalan ini diserahkan penyelesaiannya kepada Hasna dan Ano. Apabila tidak ada penyelesaian juga, Ano siap menunggu keputusan Seknas.

Dari pertemuan anggota BPA di rumah pak guru, ketua BPA. Sesuai hasil pembicaraan pak guru dengan Tamin, pertemuan anggota becak baru bisa dilaksanakan setelah pesta pernikahan Tamin, awal bulan Agustus. Apabila dalam jangka waktu itu pertemuan belum terlaksana, BPA akan membentuk panitia pelaksana kongres luar biasa.

Dari perkenalan dengan Emil, pengamen di pantai Tamanria. Perlu pertemuan intensif Hasna dengan kelompok pengamen Emil agar bergabung dengan JARAK.

Dari diskusi dengan Aristan, aktivis LSM yang menjadi calon perorangan (independen) dalam Pilkada Bupati kabupaten Donggala. Pencalonan Aristan adalah contoh “blok politik demokrasi”. Aristan didukung sepenuhnya oleh mayoritas LSM di Palu, Organisasi Rakyat (RMK, Buruh, Tani, Nelayan), kelompok prodem (mahasiswa), termasuk partai-partai progresif seperti PPR, Papernas, dan PRP.

Palu, 20 Juli 2008

AWI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar