Latardepan Kota
Kota
Palu, ibukota Sulawesi Tengah dibelah sungai besar, yang membagi kota ini
menjadi 2 wilayah. Orang Palu menyebutnya Palu (Pantai) Barat dan Palu (Pantai)
Timur. Penyebutan ini biasanya merujuk pada asal seseorang (suku) dengan
karakteristik tertentu. Misalnya, di Palu Barat bermukim penduduk asli (Kaili)
dialek Da’a. Orang-orang pendatang menyebut mereka ”orang gunung” atau
”mangge-mangge”. Di bagian kota ini hanya ada 1 traffic light, 1 gereja, mesjid
raya, pasar tertua, pasar inpres. Becak hanya beroperasi di sini. Sementara di
Palu Timur berpusat kantor pemerintah seperti kantor gubernur, dinas-dinas,
kantor DPRD, RSUD Undatu, perumahan pejabat, perhotelan dan kantor-kantor LSM.
Saat
ini wilayah kota Palu diperluas menjadi 4 administrasi pemerintahan: kecamatan
Palu Timur, Barat, Utara, dan Selatan. Terdiri dari 43 kelurahan, 58
lingkungan, 270 RW, dan 939 RT. Kepadatan penduduk tertinggi di kecamatan Palu
Barat, yakni 1.550 perkm². Dengan luas wilayah 57,7 km², jumlah penduduknya
89.073 jiwa atau 19.935 KK. Sekitar 30 % penduduk kota Palu bermukim di Palu
Barat, tersebar di 15 kelurahan.
Luas
kota Palu 395 km² dengan populasi penduduki 302.000 jiwa atau 65.438 KK.
Pegunungan mengelilingi seluruh ruang kota dan mentok di Teluk. Kota ini terasa
sempit dan biasa-biasa saja. Lalu-lintas masih longgar dibanding Makassar
maupun Manado. Padahal jalan-jalan raya tidak begitu luas. Tidak banyak
perkantoran, mall atau pun hotel yang mentereng. Begitu pun rumah-rumah
penduduk. Satu-satunya bangunan di pusat kota yang dianggap mewah adalah Mall
Tatura di kelurahan Maesa Palu Selatan. Satu bangunan mewah lainnya ada di
pantai Barat, Swiss Bel Hotel.
Kota
Palu dihuni oleh sedikitnya 40% pendatang yang didominasi orang
Bugis-Makassar. Mereka juga mendominasi
sektor jasa dan perdagangan. Mereka menguasai lods, ruko-ruko, dan distribusi
barang pabrikan. Sementara sektor informal seperti PKL, khususnya pedagang
komoditi pertanian, tukang becak, buruh, dan sais bendi kebanyakan digerakkan
orang Kaili.
Palu Kota Teluk
Garis
pantai kota Palu membentuk tapal kuda dan menganga ke laut Sulawesi. Panjangnya
sekitar 5 km, terbelah dua oleh muara sungai Palu menjadi pantai Talise dan di
Palu Timur dan pantai Tamanria di Palu Barat. Akses keduanya dihubungkan oleh
jembatan IV Teluk Palu yang bercat kuning sepanjang 500 meter. Pada sore hingga
dini hari, menjadi tempat pelesir dan jajanan PKL. Ada sekitar 500-an pedagang di sepanjang
pantai itu yang digerakkan oleh penduduk sekitar pantai bekerjasama dengan
pemerintah dan preman setempat. Mereka dikenakan retribusi Rp 7.000 semalam. Di
pantai Tamanria, kebanyakan penjualnya
adalah orang Kaili bercampur dengan orang Bugis dan Jawa. Tempat berjualan
mereka lebih tertata, berjejer dengan cat warna-warni. Sementara di pantai Talise umumnya penjual
adalah orang Bugis-Makassar berbaur dengan orang Kaili dan Jawa. Kebanyakan
tempat berjualan di sini menggunakan tenda plastik, di samping gerobak.
Selain
hiburan remang-remang seperti karaoke dan ”praktek prostitusi”, di sepanjang
pantai ini ada 100-an pengamen. Ada kelompok pengamen yang terorganisasi, yakni
Pedati (Persatuan Pengamen Adat dan Tradisi). Kelompok ini paling dikenal di
kota Palu karena dibina oleh Dewan Kesenian, dan sering diundang pejabat.
Kelompok kedua adalah KPJ (Kelompok Pengamen Jalanan) yang punya jaringan
sendiri. Ada 1 kelompok kecil pengamen yang menyebut dirinya KPTR ((Kelompok
Pengamen Tamanria), tidak terorganisasi, anggotanya tersisa 5 orang, dikenali
dari lagu-lagu daerahnya.
Begitulah
situasi Palu Kota Teluk saat ini. Mirip situasi di pantai kota Makassar maupun
Manado tahun 90-an, sebelum proyek Water front City digulirkan. Water front
City adalah konsep dasar kapitalisasi kota dari pantai. Dan, jika tidak ada
aral melintang, Palu akan seperti Makassar, Manado dan Jakarta, dimana pantai
disediakan bagi orang-orang kaya, investor asing, dan turis. Sektor informal
dan nelayan yang menggantungkan hidupnya dari Teluk terancam digusur.
Pasar
Manonda
Pasar
Inpres Manonda, pasar tradisional terbesar di Palu. Letaknya di Palu Barat.
Dibangun pertama kali pada akhir tahun 70-an. Sepanjang usianya itu sudah tiga
kali terbakar dengan sebab-sebab yang tidak pernah jelas. Sisa pasar ini yang
belum direnovasi. Pasar lainnya seperti pasar tua, sudah direnovasi menjadi
ruko-ruko pasca kebakaran. Pasar Masomba, sebagian sudah dibangun menjadi Mall
Tatura.
Pasar
Inpres Manonda adalah representasi dinamika perdagangan rakyat yang menampung
berbagai cara hidup informal dan tradisional. Petani dengan komiditi
pertaniannya berbaur dengan pedagang kain, kelontongan, pedagang ikan, tukang
becak, tukang kredit, buruh, preman, bendi, ojek, parkir, pemulung dan sopir
angkot. Ibu-ibu (Ina-ina) pedagang hasil bumi mengisi lorong-lorong, di antara
lods-lods pakaian dan barang pabrikan. Mereka hidup berdampinngan. Semuanya
diikat oleh sistem ekonomi pasar yang berbatas tradisi.
Ada
sekitar 2.000-an unit lods dan lebih 4.000 pedagang di dalam dan diluar pasar.
Para pedagang hasil bumi mengelilingi halaman hingga ke semua ruas jalan raya,
membuat pasar terasa sumpek dan jorok. Sekitar 400-an tukang becak dan sais
bendi, 4 pangkalan ojek, ratusan gerobak PKL menggantungkan hidupnya dari
transaksi ekonomi pasar ini. Persatuan Pengemudi Becak Kota Palu (PPB-KP)
adalah organisasi pengemudi becak yang bermarkas di pasar ini. Mereka berbaur
dengan pedagang sayuran, buah, rempah-rempah, dan pedagang ikan.
Distribusi
kekuasaan dan dominasi antaretnis pun terjadi di sini. Pedagang-pedagang bugis
menguasai lods dan kios-kios. PT Saridewi yang mengelola pasar ini pun milik
orang Bugis. Mereka diuntungkan oleh akses modal di antara sesamanya, sehingga bisa menguasai jalur distribusi dan
mengendalikan harga, bahkan menentukan struktur kekuasaan di pasar. Soal yang
terakhir ini seringkali memicu sentimen etnis di antara pendatang dengan
penduduk asli.
Satu-satunya
Mall di kota Palu yang terletak di kelurahan Maesa, Palu Selatan. Dibangun di
atas pasar tradisional Masomba pada tahun 2005. Mall ini menyisakan sebagian
lapak, kios dan lods pasar yang masih ramai pengunjung. Dengan situasi yang
kontras ini, nasib pedagang pasar Masomba bergantung pada arah kebijakan Pemkot
dan pengelola Mall.
Sebesar
97% saham Mall Tatura adalah milik Pemkot dibawah PD (Perusahaan Daerah) Palu.
Pemkot membeli saham ini dari PT Citra Nuansa Elok (PT CNE) pada september 2007
dengan dana APBD. Total aset Mall
senilai 130 M. Pendapatan setahun rata-rata Rp 50 juta. Hal ini yang membuat
anggota DPRD kota, khususnya dari partai Non-Golkar, memprotes Pemkot.
Pendapatan itu jauh dari target APBD.
Belakangan
ini Pemkot bermaksud melepas kembali sahamnya kepada swasta, dalam hal ini
kepada PT CNE. Komisaris PD Palu, Supratman adalah juga komisaris PT CNE,
bersama Hidayat, seorang pengusaha Bugis, memiliki sisa saham Mall. Dengan
dasar ini, rencana penjualan saham Mall itu dianggap sebagai permainan walikota
dengan konco-konconya, yakni partai Golkar dan PT CNE. Tujuannya adalah
mengumpulkan dana persiapan Pilkada dan Pemilu 2009.
Mall
Tatura adalah contoh awal menuju kapitalisasi kota, khususnya terhadap
pasar-pasar tradisional di Palu ke depan. Jika dirasiokan dengan jumlah
penduduk, kota Palu membutuhkan sedikitnya 4 mall lagi. Cepat atau lambatnya,
sangat bergantung pada: pertama, modal besar yang dibeking penguasa. Artinya, tugas
Walikota adalah mencari investor. Kedua, lokasi yang strategis. Garis pantai
kota Palu adalah ruang terbuka luas bagi investor. Ketiga, peluang perekonomian
kota Palu di masa datang. Soal yang ketiga ini, yang tampaknya belum bisa
meyakinkankan investor. Hal ini berkaitan dengan karakteristik pasar ekonomi
rakyat Palu yang bertumpu pada sektor informal.
Investasi
membutuhkan situasi yang kondusif, berterima dan aman. Bekas-bekas kerusuhan
dan potensi konflik antar-etnis yang masih laten, akan menghambat kapitalisasi
kota.
Angkot
di kota Palu seperti mesin yang tidak kenal berhenti bekerja, sepanjang hari
mengitari kota. TAXI! Itulah sebutan untuk kendaraan angkutan umum kota Palu.
Segala jenis kendaraan yang dipakai sebagai angkutan umum disebut Taxi. Tidak
ada argo, tempat mangkalnya bisa di pasar, di Mall, atau pun di Bandara. Sarana
transportasi ini yang menghubungkan roda ekonomi rakyat kota Palu dari Barat ke
Timur; desa ke kota dan sebaliknya. Seperti halnya tukang becak, bendi, ojek,
pedagang pasar, pemulung, PKL, Taxi adalah sektor informal yang sangat berperan
membentuk moda produksi dan dinamika sosial kota.
Taxi
memuat dan mengantar siapa saja ke tujuan masing-masing. Tarif dan trayeknya
sesuai ketentuan Pemkot. Namun, rute perjalanannya tergantung kesepakatan sopir
dengan penumpang. Hampir tidak ada pembatasan jalan bagi angkot. Polisi lalu
lintas pun sangat kurang di jalanan. Pelanggaran lalu lintas tergolong rendah.
Kebanyakan
sopir adalah orang-orang pendatang bugis dan jawa, tetapi menguasai betul
nama-nama kampung, jalan, bahkan lorong. Penumpang tidak khawatir diturunkan di
tengah jalan atau disesatkan, dan selalu sampai tujuan.
Konteks
Politik
Walikota
Palu, Rusdy Mastura (60 th)) dari partai Golkar. Publik memanggilnya Cudy. Dia
penduduk asli, asal Pantai Timur (Palu Utara). Dari nama belakangnya Mastura,
ada spekulasi yang menyebut dia berdarah bugis juga. Saat ini, Cudy adalah
Ketua Pemuda Pancasila Sulteng, dan pernah lama di Jakarta. Walikota ini
dikenal sangat responsif terhadap persoalan warga kota. Belum ada kasus korupsi
yang melibatkan dirinya.
Dia
tidak suka didemo, tapi terbuka untuk berkomunikasi dengan aktifis LSM. Tidak
sulit ditemui, ditelpon dan mau menghadiri undangan LSM. Beberapa persoalan
bisa diselesaikan dengan kebaikan Cudy. Misalnya, kesulitan keluarga Siti,
penderita tumor yang saat ini sudah 5 bulan dirawat di RS Wahidin Makassar.
Komunikasi dengan Cudy memudahkan keluarga Siti bertemu dan mendapatkan bantuan
dari kepala dinas kesehatan.
Pembangunan
Mall Tatura dianggap salah satu keberhasilan walikota Cudy. Dari Mall ini
diharapkan terjadi peningkatan PAD Pemkot Palu. Selama beberapa periode
pemerintahan, sumber utama PAD Pemkot Palu di atas Rp 1 milyar adalah pajak
restoran, reklame, PPJ dan tambang
galian C. Sementara pendapatan utama di atas Rp 500 juta dari retribusi
pelayanan kesehatan, kebersihan/sampah, dan KTP. Retribusi dari pasar hanya Rp
365 juta.
Total
PAD Pemkot Palu tahun 2005 sebesar Rp 22.841.670.219. Tidak sampai 10% dari
total APBDnya Rp 365.726.956.457. Artinya, 90% Pemkot Palu bergantung kepada
bantuan dana perimbangan pemerintah pusat (APBN). Fakta ini jelas akan memicu
Pemkot untuk menggenjot sumber-sumber pendapatan daerah yang baru. Selain Mall
Tatura, kemungkinan akan dibangun Mall lain atau yang sejenisnya.
OMS
Kecenderungan
OMS di Palu mengarah pada penguatan basis politik organisasi massa.
Segmen-segmen komunitas seperti tukang becak, PKL, pemulung, nelayan, dengan
cepat diorganisasikan. Organisasi menjadi wadah mengelola konflik dan
kepemimpinan. Misalnya, di kalangan tukang Becak ada PPB-KP (Persatuan
Pengemudi Becak Kota Palu) yang menggantikan Persatuan Pengemudi Becak Manonda.
Nelayan di pantai Barat membentuk SNTP (Serikat Nelayan Teluk Palu). Tahun lalu
organisasi nelayan ini membakar 6 alat tangkap ikan milik pejabat/pengusaha di
Palu. Pemulung tergabung dalam Sapu-Kopa, Serikat Pemulung Kota Palu.
Belakangan, muncul OPEK (Organisasi Pemulung Kota), pecahan dari Sapu Kopa.
Sedangkan JARAK (Jaringan Rakyat Kecil) adalah organisasi rakyat yang mewadahi
berbagai simpul komunitas di kampung dan sektor. PPB-KP, OPEK, dan kelompok
ibu-ibu tabungan bergabung dalam JARAK.
Di
tingkatan LSM, umumnya berafiliasi dengan LSM di Jakarta. Mirip partai politik,
yang hirarkinya lokal-nasional, daerah-pusat. Misalnya, WALHI, Kontras, LPSHAM,
AMAN, YLKI, JARI, KPI, SP, dan masih banyak lagi adalah organisasi jaringan di
Jakarta yang bercabang di Palu Sulteng. Isu dan agenda perjuangannya relatif
nyambung ke Jakarta. Berbeda dengan LSM seperti YTM (Yayasan Tanah Merdeka),
YPR (Yayasan Pendidikan Rakyat), Evergreen, YBH (Yayasan Bantuan Hukum-Bantaya)
yang tumbuh dengan riwayat lokalitasnya. LSM-LSM bekerja menurut tantangan
lokal, sambil berjaringan secara nasional dan internasional.
Gerak
politik aktifis LSM di Palu mengarah pada pembentukan “blok politik demokrasi”,
istilah yang dipakai Olle Tornquist (Demos, 2007), yakni: strategi perjuangan
OMS di Sulteng untuk mengkonsolidasikan isu-isu spesifik menjadi platform
bersama sambil menggabungkan kerja parlementer dan non-parlementer. Kerja
aktifis LSM tidak hanya mengadvokasi kebijakan pemerintah daerah, yang biasanya
disebut politik non-partisan. Lebih dari itu, aktifis LSM mengusahakan adanya
representasi politik. Sejumlah tokoh aktifis LSM di Palu adalah juga pengurus
partai politik, misalnya di PPR, PRP, Papernas, Pelopor dan PDIP. Bahkan, LSM
di Palu bisa bersatu memperjuangkan kandidat politiknya. Semua ini disadari
sebagai kerja sambil belajar berpolitik untuk melahirkan kader pemimpin.
Pengorganisasian
Beberapa
minggu lalu, JARAK mengadakan Kongres kedua, yang dihadiri representasi anggota
dari ibu-ibu tabungan dari berbagai kampung, tukang becak, pemulung, dan buruh.
Kongres ini memilih ketua dan pengurus baru. Yunus dari kampong Kawatuna
terpilih sebagai ketua JARAK menggantikan Hasnah.
JARAK
menjaring dan mengkoordinasi anggota dengan kegiatan menabung, pelayanan
kesehatan alternatif, pengembangan ekonomi (kebun), KBA, dan
pelatihan-pelatihan. Pertemuan-pertemuan berkala di tingkatan kota mulai
kendor. Kendala anggota adalah biaya transportasi ke sekretariat. Kendala ini
berkaitan dengan kondisi ekonomi yang dirasakan anggota semakin berat.
Pengembangan
kelompok dan perluasan organisasi sangat bergantung pada erat-tidaknya
kerjasama CO dengan simpul-simpul komunitas. Konflik internal terjadi di
tingkatan organ hingga sekretariat. Di tingkatan organ: PPB-KP vs Tamin PERAK;
Bahar OPEK vs Rahman Sapu Kopa. Di tingkatan Uplink antara Hasnah-Ano dengan
Jamal. Tipikal konfliknya adalah perbedaan interest, yang menyulitkan orang
luar ikut campur. Soal ini masih berlangsung dan belum ada resolusi yang
disepakati.
Secara
umum, JARAK maupun Uplink di Palu dikenal sebagai salah satu OMS (LSM) yang
menfokuskan kerjanya pada komunitas perkotaan. Memiliki sekretariat yang jelas.
Statusnya sudah setara dengan OMS yang lain. Polularitasnya sampai ke
organisasi pemerintah. Aksesnya sampai ke level nasional.
Advokasi
Hak-hak Dasar
Kebanyakan
advokasi yang dilakukan Uplink Palu adalah bagian kerja berjaringan dengan LSM
lainnya. Uplink Palu bergabung dalam berbagai koalisi LSM untuk mengadvokasi
kepentingan publik seperti Perda Pemenuhan Hak Anak, Pelayanan Publik (MP3),
Kenaikan BBM, Pilkada, dan lain-lain.
Advokasi yang dilakukan sendiri biasanya bersifat perorangan, di samping dan
aksi-aksi solidaritas yang digerakkan oleh sekretariat Uplink.
Kerja
advokasi dikoordinasi oleh staf sekretariat Uplink. Mediasi dan lobi ke Pemkot,
dinas, dan dewan kota dilakukan staf Uplink untuk kepentingan anggota. Kerja
seperti ini disadari betul sebagai pelayanan untuk menjaga tingkat kepercayaan
anggota. Satu contoh adalah advokasi kasus Siti Maryam, bayi usia 1 tahun
penderita tumor yang saat ini dirawat di RS Wahidin Makassar. Mobilisasi
dukungan dilakukan di tingkat komunitas JARAK. Lobi dilakukan ke dinas
kesehatan hingga walikota. Hasilnya baru sampai pada komitmen Pemkot untuk
meringankan beban keluarga Siti, belum mengubah kebijakan Pemkot tentang
pembiayaan dan pelayanan pasien rujukan.
Kader-kader
kampung (CL) aktif di kelompoknya mengikuti kecenderungan yang ada. Kebanyakan
CL itu terlibat aktif dalam program kemiskinan pemerintah, misalnya P2KP,
Askeskin, dan BLT. Keterlibatan tersebut disadari sebagai cara CL membangun
akses untuk kepentingan pribadi maupun kepentingan anggota kelompok. Hanya
saja, masalah yang muncul di tingkat kampung dengan pemerintah setempat
cenderung diselesaikan dengan kompromi. Masih ada anggapan CL bahwa
mempublikasi masalah di kampung adalah tindakan yang membuka aib orang.
Beberapa
kasus yang diadvokasi sekretariat Uplink Palu sendiri maupun bersama jaringan
antara lain:
- Pendampingan kasus Penggusuran PKL pasar Masomba dan pasar Manonda
- Pembelaan pedagang buah BNS yang diusir Satpol PP
- Penolakan Perda Pembatasan Becak
- Aksi solidaritas untuk korban pemukulan tukang becak oleh Satpol PP
- Penolakan rencana Pemkot membangun Pabrik Gas Metan di Kawatuna
- Aksi solidaritas di DPRD untuk nelayan Teluk Palu
Jaringan
Kerja
jaringan Uplink Palu direpresentasi oleh Ano hingga ke tingkat nasional.
Sementara Hasna merepresentasi kerja jaringan di tingkatan komunitas JARAK.
Kombinasi ini saling mengisi, yang kemudian mempopularitaskan Uplink Palu
sebagai gerakan LSM.
Jaringan
dengan para jurnalis cukup baik. Uplink Palu memiliki kontak personal dengan
wartawan Harian Radar Sulteng maupun Mercu Suar. Advokasi Uplink Palu dengan
mudah dipublikasikan. Hanya saja, akses CL-CL komunitas JARAK dengan para
jurnalis, khususnya reporter TV masih terbatas.
Catatan
Penutup
Dari
diskusi (berkenalan) dengan Syamsudin (reporter SCTV, anggota AJI) dengan
pengurus JARAK di sekretariat Uplink Palu. Ada komitmen yang kuat dari
Syamsudin untuk memback-up permasalahan hak-hak RMK. Komitmen itu ditunjukkan
dengan saling mencatat nomor HP masing-masing. Syamsudin siap men-TV-kan
aksi-aksi kolektif JARAK (minimal 10 orang).
Dari
kasus Siti Maryam, bayi penderita tumor yang dirawat di RS Wahidin Makassar,
Uplink Palu perlu mendesak DPRD Kota untuk membuka Hearing dengan Pemkot, Dinas
Kesehatan dan pihak RSU Arunadatu. Targetnya adalah Pemkot menjamin
keberlangsungan perawatan pasien yang dirujuk ke Makassar. Selama ini, dinas kesehatan
dan RSU di Palu seperti lepas tangan dari pasien yang dirujuknya. Tidak terjadi
komunikasi antar-RSU. Akibatnya, beberapa pasien terlantar di RSU Wahidin,
kesulitan biaya hidup, bahkan ada yang tewas karena tidak dilayani sebagaimana
mestinya. Pemkot diharapkan bisa menganggarkan pos dana bantuan bagi
pasien miskin yang dirujuk di RSU
Wahidin Makassar.
Dari
kunjungan ke komunitas pak Saprudin di Kamonji, JARAK akan mengadvokasi
pelayanan kesehatan untuk Neneng (5 th), anak perempuan tanpa anus.
Kemungkinannya Neneng akan dirujuk ke RS Wahidin Makassar karena keterbatasan
RS di Palu.
Dari
diskusi internal dengan pengurus JARAK dan staf Uplink Palu: Pertama, perlunya
dikembangkan sistim ekonomi alternatif, yakni cara berusaha tanpa bergantung
pada bantuan modal (uang) dari Uplink. Misalnya, mengajak orang kaya yang
bersedia mengeluarkan infaqnya dalam bentuk hewan ternak (kambing). Cara
lainnya adalah mengolah lahan tidur menjadi kebun kacang di Kawatuna sebagai
usaha bersama untuk organisasi. Semua itu ditujukan untuk mengatasi persoalan
biaya transport yang menghambat mobilisasi pengurus JARAK. Kedua, konflik
pengurus becak setelah ketua (Tamin) direkrut menjadi anggota Panwaslu suatu
kecamatan di kabupaten Donggala. Disepakati untuk mempersiapkan kongres luar
biasa sesuai AD organisasi becak. BPA (Badan Penasehat Anggota) akan yang
memediasi konflik tersebut. Ketiga, soal ketidakaktifan Jamal. Persoalan ini
diserahkan penyelesaiannya kepada Hasna dan Ano. Apabila tidak ada penyelesaian
juga, Ano siap menunggu keputusan Seknas.
Dari
pertemuan anggota BPA di rumah pak guru, ketua BPA. Sesuai hasil pembicaraan
pak guru dengan Tamin, pertemuan anggota becak baru bisa dilaksanakan setelah
pesta pernikahan Tamin, awal bulan Agustus. Apabila dalam jangka waktu itu
pertemuan belum terlaksana, BPA akan membentuk panitia pelaksana kongres luar
biasa.
Dari
perkenalan dengan Emil, pengamen di pantai Tamanria. Perlu pertemuan intensif
Hasna dengan kelompok pengamen Emil agar bergabung dengan JARAK.
Dari
diskusi dengan Aristan, aktivis LSM yang menjadi calon perorangan (independen)
dalam Pilkada Bupati kabupaten Donggala. Pencalonan Aristan adalah contoh “blok
politik demokrasi”. Aristan didukung sepenuhnya oleh mayoritas LSM di Palu,
Organisasi Rakyat (RMK, Buruh, Tani, Nelayan), kelompok prodem (mahasiswa),
termasuk partai-partai progresif seperti PPR, Papernas, dan PRP.
Palu,
20 Juli 2008
AWI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar