Perubahan Politik dan Pemerintahan: Hubungan Kekuasaan Makassar 1906 – 1942
Pengarang : Edward L. Poelinggomang
Editor : M. Nursam dkk
Penerbit : Ombak, Yogyakarta
Thn Terbit : 2004
Antara tahun 1906 – 1942 banyak sekali aksi-aksi rakyat yang bercorak perampokan maupun kepercayaaan. Penyebabnya menurut gubernur Hindia Belanda: (1) Tabiat masyarakat yang cenderung melakukan kejahatan, tidak senang keteraturan, mudah terpengaruh oleh harapan-harapan eskhatologis, masyarakat tidak memahami peraturan atau merasakan peraturan itu sebagai tekanan. (2) Kelompok bangsawan tidak ingin kebesaran dan kekuasaannya hilang, sehingga mereka mendalangi gerakan penolakan terhadap pemerintah Hindia Belanda. (3) Pemerintah Hindia Belanda hanya menggantungkan segala kegiatannya pada kekuatan militer dan mata-mata.
Perampokan (1906 – 1916):
Perampokan (1906 – 1916):
Perampokan (roverwezen), kelompok perampok (roverpartij), kelompok liar (bende), gangguan keamanan (rustverstoring), pembalasan dendam (wraakoefening). Pelaku perampokan adalah kelompok perampok yang ulung, orang-orang yang jenuh dengan keberadaannya, pemimpin-pemimpin lokal yang tidak puas, dan bangsawan muda yang menguji ketangkasan. Contoh: di Polombangkeng, peminangan dan penolakan ditentukan oleh ketangkasan dan keberanian pemuda melakukan perampokan. Perampokan dilakukan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Perampokan sebagai cara mengukur kemampuan dan kekuasaan suatu kelompok masyarakat. Perampokan didalangi dan dipimpin oleh bangsawan terhadap mereka yang bekerja sama dengan Belanda (politis). Perampokan meningkat menjelang pecah Perang Dunia II, ketika Belanda melakukan penarikan pasukan militer (2 kompi) Makassar ke Batavia
1. Gerakan I Tollo Daeng Magassing
I Tollo kelahiran atau berasal dari Limbung (Gowa), eks pimpinan satu bagian pasukan kerajaan Gowa sebelum dikuasai Belanda. Daerah operasinya di sekitar gunung Lompobattang, perbatasan Bagian Pemerintahan Makassar dan Bhontain.Tahun 1913, I Tollo berhasil meloloskan diri dari penyerangan polisi Belanda. Pengikut I Tollo antara lain: Macan Daeng Barani, Abasa Daeng Manromo Karaeng Bilaji, Paciro Daeng Mapata, Daeng Patompo, dan Daeng Manyengka.
2. Macan Daeng Barani
Macan Dg Barani adalah bangsawan keturunan Gowa-Wajo. Tanggal 19 Oktober 1914, polisi berhasil mengepung dan menembak mati Macan Dg Barani di kampong Bategalung. I Kitti Patta Lolo (ayahnya), I Janjang Karaeng Manjaling (pamannya), Ishak Mangga Barani Karaeng Mangeppe sepakat melakukan balas dendam.
Bulan Mei 1915, bangsawan kerajaan Gowa Kr. Batupute, Kr. Barombong, Kr. Manjapai memberikan bantuan senjata dan amunisi kepada pengikut I Tollo. Menyusul bantuan dari Patta Lolo dan Kr. Manjaling pada bulan Juni. Bantuan ini berkaitan pula dengan balas dendam keluarga Macan Dg Barani.
Pada April 1915 perampokan meningkat, terjadi pada malam dan siang hari. Perampokan ini didukung oleh para regen dan kepala kampong. Di daerah tertentu dilakukan pemungutan pajak untuk I Tollo dkk. Hingga Agustus 1915, tidak kurang dari 150 kali perampokan. Jumlah perampokan versi Coenen:
Cab. Pemerintahan April Mei Juni Juli:
Gowa Barat 1 1 3 2
Takalar 8 11 23 15
Jeneponto - 4 9 32
Bonthain 2 - - 5
Jumlah 11 16 26 54
Pemerintah Hindia Belanda mengerahkan pasukan militer dari Sungguminasa dipimpim oleh H. Van der Wall, dari Makassar dipimpin A. L. van Waardenburg, dari Palleko petugas pajak Proovost, dan dari pasukan infantry Makassar dipimpin Letnan satu Reenan. Pasukan ini berhasil mempertahankan penyerangan kelompok I Tollo (sasaran kolektir Palleko) yang berjumlah sekitar 100 orang.
Penangkapan Pengikut I Tollo
- Pemerintah Belanda memberikan ultimatum (23 Juni 1915) kepada Regen Tetebatu dan kepala kampong Pallangga. Dalam waktu 3 hari mereka harus menyerahkan Abasa Daeng Manromo Kr. Bilaji. Tanggal 27 Juni 1915 Abasa disergap dan dibunuh, menyusul penangkapan Basareng, Baso Paciro Daeng Mapata dan Japa. Basareng sempat meloloskan diri dari tahanan. Basareng adalah pengikut utama I Tollo, bekas anggota polisi bersenjata.
- Tanggal 28 Juni 1915 terjadi lagi pertemuan I Tollo dengan kelompok bangsawan. Dicanangkan dua buah tombak pusaka raja-raja Polombangkeng kepada I Tollo. Arung Matoa Wajo mengusulkan agar I Tollo diberi kewenangan untuk menyimpan benda pusaka (ornamen) kerajaan Gowa yang disembunyikan di kampong Masale ketika penaklukan 1905. Tanggal 29-30 Juni 1915, dlangsungkan upacara pelantikan dan penyerahan ornamen kerajaan kepada I Tollo, yang dihadiri 2 orang putra Arung Matoa Wajo, anak dan keponakan regen Polombangkeng dan sejumlah kepala kampong.
- Tanggal 15 Juli 1915, Karaeng Mappanyukki, Karaeng Bontonompo, Karaeng Bontolangkasa, Karaeng Lengkese, Karaeng Batupute, dan Karaeng Barombong menyampaikan kegetiran mereka kepada kontrolir Gowa Barat H. Van der Wall. Kr. Batupute dan Kr. Barombong sebenarnya adalah pendukung gerakan I Tollo. Mereka ini yang aktif mencari bantuan senjata dari pihak Jepang. Namun jaringan mereka dengan orang-orang Jepang diketahui oleh mata-mata Belanda. Adalah Daeng Matutu, mata-mata gubernur Heyting Coenen, seorang pedagang yang menetap di kampung Wajo (Kota Makassar).
- Tanggal 17 Nopember 1915, berkat usaha Kr. Mappanyukki, Kr. Kabalokang dan Kr. Lengkese, Belanda berhasil menyergap dan menangkap pengikut I Tollo; Rajamang dan Rajaraja di kampong Kalanipa. Peristiwa ini yang dianggap sebagai akhir dari gerakan I Tollo.
- Tanggal 3 Mei 1916, Kr. Batupute dan Kr. Barombong ditawan Belanda dan diasingkan ke Magelang.
- Tanggal 25 September 1916 Regen Binamu, Lompo Daeng Raja dipecat dan dipenjara. Demikian juga regen Polombangkeng dipecat dan dipenjara.
Hasil pemeriksaan gubernur Heyting terhadap Kr. Batupute dan Kr. Barombong dinyatakan bahwa penolakan kaum bangsawan disebabkan oleh pengambilalihan hak-hak tanah milik bangsawan oleh pemerintah Hindia Belanda.
Gerakan Kepercayaan/Pemujaan/Mesianis (1916 – 1942):
Gerakan Karaeng Data (Karaeng Data Beweging)
Adanya anggapan rakyat akan kembalinya tokoh Karaeng Data untuk membebaskan mereka dari kekuasaan Belanda. Karaeng Data adalah putra I Sangkilang Batara Gowa yang berusaha merebut kerajaan Gowa pada 1776. Kemudian dilanjutkan oleh Karaeng Data tahun 1818. Tahun 1819 Karaeng Data diserang dan berhasil dibinasakan di tempat persembunyiannya di daerah Beba. Tapi, rakyat meyakini ia masih hidup dan bersembunyi menunggu saatnya membebaskan rakyat dari penderitaan/penjajahan.
Laporan pemerintah Belanda (Kolonial Verlag), tahun 1916 tampil seorang tokoh, Baso Ua Ta Esa dari Takalar yang mempengaruhi rakyat dengan ramalan-ramalan tentang hari kemudian. Bahwa akan terjadi gerhana matahari bersamaan dengan munculnya batara Gowa I Sangkilang untuk mengawinkan putrinya dengan dia. Bahwa Darah akan mengalir, terjadi perang, semua orang Eropa dan Timur Asing akan dilenyapkan. Kerajaan Gowa tampil kembali kebesarannya, dan dia menjadi rajanya. Tetapi, kemudian tanggal 10 Juli 1916, Baso Ua Ta Esa ditangkap dan dipenjarakan.
Gerakan Karaeng Ta
Gerakan ini dipimpin Matuleleh, seorang petani berusia sekitar 26 tahun berasal dari Wajo. Ia mengaku dirinya adalah Karaeng Ta, cucu dari karaeng Data. Ia mempengaruhi khalayak dengan keterampilan bersulap. Ia memberikan jimat kepada pengikutnya untuk kekebalan dan bisa menghilang. Ia berhasil mempersunting seorang putri bangsawan di Jeneponto dengan sulapnya. Ia dianggap panrita, berilmu gaib, sehingga bekas air pencuci kakinya pun diminum pengikutnya. Hingga akhirnya, Ia ditangkap di Bonthain (Bantaeng) setelah istrinya mempertemukan dia dengan karaeng Alang. Ia dijatuhi hukuman 1 tahun 3 bulan, kemudian menjadi 4 tahun atas laporan kontrlir Gowa yang menyatakan Matuleleh adalah pimpinan gerakan Karaeng Data di Malakaji dan Jeneponto.
Ong Cing Beng, seorang keturunan China mengaku keturunan karaeng Data. Dalam pertemuan tanggal 21 Nopember 1928 di rumah Lawang Daeng Mangemba (Bontolangksa). Ia menegaskan bahwa kelak Karaeng data akan bangkit bersama seorang bangsawan dari Bontonompo untuk mengusir Belanda. Ia ditangkap pada Januari 1929, kemudian dibebaskan karena tidak ada bukti memberatkan.
Karaeng Baba, juga keturunan China. Pada pertemuan di kampung Bontopaja Limbung, april 1929, Ia mengatakan bahwa bulan Haji mendatang akan turun dari kayangan 7 orang raja di Karebosi yang akan mengusir dan melenyapkan pemerintah Belanda. Enam tahun kemudian gerakan ini bergabung ke dalam gerakan Pajenekang.
Gerakan Pajenekang, 1936 dipimpin oleh Sattu Gandi. Tokoh ini meramalkan akan datang dari kayangan 7 raja di Karebosi. Mereka tampil memimpin perlawananan mengusir Belanda, kemudian membentuk satu pemerintahan baru yang membebaskan rakyat dari pajak dan kerja wajib. Sattu juga menawarkan jimat kepada pengikutnya, yang ia yakini akan membawa keselamatan. Jika nanti ketujuh raja dari kayangan itu turun ke bumi, orang-orang yang tidak memiliki jimat akan dipandang sebagai sekutu Belanda.
Karaeng Baba menggabungkan diri dengan Karaeng Nojeng dan Mamie di Maros. Kegiatan dipusatkan di Maros dengan menjual jimat dan obat-obatan untuk menyembuhkan penyakit (profesi dukun). Kr. Baba berhasil ditangkap melalui siasat pelayanan pengobatan. Dalam pemeriksaan terbukti Kr Baba adalah Ong Cing Beng. Ia dijatuhi hukuman 10 tahun penjara.
Karaeng Nojeng memperkenalkan dirinya memiliki hubungan keluarga dengan Karaeng Baba, keturunan raja China yang memperistri putri raja Luwu. Ia juga menjelaskan bahwa istri Kr. Baba akan melahirkan seorang putra yang dapat langsung dapat berbicara. Setelah usia 40 hari, bayi itu akan mairat ke kayangan dan kembali ke dunia memimpin pasukan kerajaan Gowa dan Pare-pare berperang melawan Belanda. Kr. Nojeng adalah orang yang muncul di dalam mimpi Mamie tentang tokoh yang akan turun dari kayangan. Info ini yang memikat Kr. Baba untuk bergabung.
Pada bulan Oktober 1929 di kampong Tammalu (Lassang-Polombangkeng) muncul gerakan yang dipimpin Mammu. Ia mengaku Karaeng Data kepada 9 orang yang sedang istirahat dan berbincang-bincang. Mammu memberikan mereka 8 tombak dan mengajak mereka ke Mamuju untuk mempersembahkan korban kepada Dewata di tempat keramat Toabilalang. Dalam perjalanannya ia ditangkap tanpa melakukan perlawanan.
Pada bulan pebruari 1934, muncul perkumpulan yang dipimpin Hassan dengan julukan Susah di kampong Manggala (Sungguminasa). Awalnya perkumpulan ini bertujuan membina hubungan dan saling membantu di bidang lapangan kerja. Hassan menyatakan kepada anggotanya bahwa tidak lama lagi sebelum panen akan terjadi perang kerajaan Gowa yang bersatu dengan kerajaan Bone melawan pemerintahan Belanda. Hassan dibantu keponakannya Battia menjual surat berharga senilai 25 sen selembar kepada anggotanya. Surat berharga itu menjadi bukti bebas dari peraturan pajak dan kerja wajib, berkhasiat untuk usaha perdagangan. Keduanya ditangkap dengan tuduhan menyebarkan pembangkangan pajak dan wajib kerja.
Tokoh/Bangsawan Penghambat I Tollo
Karaeng Mangeppe bangsawa Gowa menyerahkan diri pada waktu penyerangan 1905 dan bersedia bekerjasama. Pemerintah Belanda menjadikannya kepala pemerintahan di Wajo.
Saeba Daeng Matutu dijadikan mata-mata oleh gubernur Coenen dan Heyting. Orang ini yang berhasil mengungkap beberapa bangsawan Gowa yang terlibat dalam gerakan perampokan yang dipimpin I Tollo Daeng Magassing.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar