Daeng Basse adalah anak keempat dari lima bersaudara. Dia ditinggal mati oleh kedua orang tuanya ketika masih kecil. Sebelum menikah, dia tinggal bersama Radiah kakaknya di kampung Ni’boboka, kelurahan Bonto Rita Kecamatan Bissapu kabupaten Bantaeng. Saat usianya beranjak remaja, Dg. Basse dibawa lari oleh Basri ke kabupaten Jeneponto. Setelah tiga bulan, mereka pun kembali, dan Basri langsung mempersunting Basse dengan uang belanja atau panai Rp 250.000. Setelah menikah, Dg. Basse sekeluarga bermukim di rumah orang tua Basri di kampung Lembang Loe, Dusun Borong Ganjeng, Desa Bonto Tiro kecamatan Sinoa kabupaten Bantaeng. Perkawinannya dengan Basri melahirkan anak 4 orang, yakni Salma, Baha (7), Bahir (5), Aco (4).
Harta yang dimiliki oleh keluarga Dg. Basse hanya sepetak tanah yang ditanami jagung, itu pun semakin hari semakin sempit karena digunakan untuk pemakaman umum. Basri, suaminya kemudian memutuskan ke kota Makassar untuk memperbaiki ekonomi keluarga yang carut marut. Tahun 2004, Dg. Basse sekeluarga tinggal di rumah rekannya Noro, di Jln. Mappaoddang II No 4 Makassar, yang juga tukang becak. Setelah tinggal selama tiga bulan, mereka pindah ke Jln. Bontoduri 7 kecamatan Tamalate. Tidak berselang lama, keluarga Dg. Besse pindah ke rumah kost Dg. Dudding di Jln. Dg. Tata I Blok 5 lorong 2 Makassar. Di tempat ini, keluarga Dg. Basse tinggal di atas rumah kayu (panggung) yang memprihatinkan. Ruangan di atas rumah terbagi empat, yakni dapur, ruang tengah, ruang tidur serta gudang. Di rumah ini tidak terdapat lemari atau perabot mahal lainnya. Hanya ada karung berisi pakaian, rak piring, satu kompor, satu tungku dan sejumlah peralatan masak seperti panci, piring tua serta dua kasur usang.
Pekerjaan Basri, suaminya adalah tukang becak. Untuk memenuhi kebutuhan makan sehari-hari, Dg. Basse menjadi tukang cuci dengan penghasilan Rp 5.000 – Rp 10.000 perhari. Dari penghasilan itu, Dg. Basse biasanya membeli beras setengah liter dan minyak tanah. Kalau pun tidak mencukupi, biasanya dia membeli ubi kayu. Untuk mengirit beras, ketika masak diencerkan atau dibuat jadi bubur. Untuk kebutuhan lauk pauk, biasanya diganti dengan sisa minyak goreng dan garam. Keluarga Dg. Basse tidak mendapat bantuan program kemiskinan yang dikucurkan pemerintah seperti Raskin dan Askeskin, karena identitas kependudukan mereka berasal dari kabupaten Bantaeng.
Malam Juma’at, Dg. Basse, dalam keadaan hamil tujuh bulan, mengalami mual dan muntah yang mengeluarkan bau tidak enak. Bahkan, saat muntah mengeluarkan cacing. Dia tidak makan selama 3 hari. Dalam kondisi lapar dan sakit, Dg. Basse sempat menangis dan berteriak kesakitan. Pada hari Jum’at siang pukul 13.00 tanggal 29 Februari 2008, Dg. Basse menghembuskan nafas terakhirnya di rumah kost Dg. Dudding. Berselang lima menit, anak ketiganya Bahir, menyusul meninggal. Mayat Dg. Basse dan anaknya Bahri, langsung dibawa pulang ke Desa Bonto Tiro untuk dimakamkan. Menjelang pemakaman, 1 Maret sore, pada saat dimandikan mulut keduanya mengeluarkan busa.
(diolah dari berbagai sumber harian oleh Uplink Makassar)
(diolah dari berbagai sumber harian oleh Uplink Makassar)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar