Salah satu agenda pokok pembangunan global di perkotaan dewasa ini adalah privatisasi sektor publik. Privatisasi atau swastanisasi, dalam pengertian pelepasan sebagian atau seluruh tanggung jawab negara – atas rakyatnya – kepada pemodal perorangan (swasta). Tanah, air dan sumber daya alam yang selama ini dikuasai negara sesuai mandat konstitusi – mulai diserahkan hak pengelolaannya atau pun dijual ke sektor swasta. Akibatnya, negara, dalam hal ini pemerintah kota dan rakyatnya semakin kehilangan hak atas tanah, air dan sumber daya alam lainnya.
Privatisasi di kota Makassar tengah berlangsung cepat di depan mata kita. Pembangunan sentra perdagangan (trade-center) mall, hipermarket, dan kawasan pemukiman elit, menjadi “icon” metropolitan Makassar. Pemerintah kota juga merencanakan pembangunan jalan lingkar yang melintasi 16 kelurahan, dan pengembangan kawasan pelabuhan 2025 hingga ke galangan kapal. Semua itu membutuhkan tanah dan modal. Hampir tidak bisa dipercaya, semua itu dibangun di tengah krisis moneter. Darimana sumber pendanaan pembangunan itu, jika bukan dari kaum pemilik modal swasta.
Dampak
Masalahnya kemudian, pembangunan yang mendahulukan kepentingan swasta (investor) di atas kepentingan rakyat akan membawa sengketa tata ruang yang berkepanjangan. Setidaknya, ada tiga dampak pembangunan yang diakibatkan penetrasi modal swasta.
Pertama, penguasaan oleh swasta atas suatu hamparan lahan akan memperlebar perbedaan kelas sosial-ekonomi antara orang kaya dan orang miskin. Contohnya, di kawasan panakkukang, di dalamnya pemukiman elit dan sentra perdagangan tumbuh bagai tiada hentinya. Mereka yang memanfaatkan fasilitas di dalam kawasan itu adalah umumnya elit-menengdimuat harian harian Tribun Timur Makassar,18 Oktober 2004 dengan judul "Makassar Kota Tanpa Penggusuran"ah kota. Mereka menawarkan gaya hidup hedonis-metropolis kepada publik. Artinya kawasan itu dibangun sesuai selera mereka.
Kedua, reklamasi pantai Losari dan pembangunan kawasan Tanjung Bunga. Kawasan ini tidak saja mengubah garis sempadan pantai, proyek ini juga merusak habitat sosial-ekonomi nelayan pesisir Mariso, Lette, dan Pannambungan.
Ketiga, penguasaan suatu kawasan pembangunan berdampak pada penggusuran (eviction) tempat tinggal dan tempat usaha. Ironisnya, penggusuran biasanya tidak disertai dengan konsep alternatif yang menguntungkan korban, kecuali uang ganti rugi. Bahkan, penggusuran disertai dengan tindak kekerasan oleh aparat TNI/Polri. Ini artinya, kaum pemodal bisa membiayai suatu rencana penguasaan lahan sampai kelancaran jalannya pembangunan.
Hampir semua kasus penggusuran di kota-kota di Asia, Afrika dan Amerika Latin menimpa rakyat kecil. Motifnya relatif sama, yakni kebijakan penataan kota. Pelakunya pun relatif sama, yakni pemerintah kota bersama kaum pemodal swasta maupun badan-badan dunia seperti Bank Dunia, atau sebaliknya kaum pemodal menfasilitasi aparat pemerintah kota untuk melakukan penggusuran atas nama penataan kota “City without Slum”. Pendek kata, penggusuran adalah dampak globalisasi pembangunan yang tidak mengenal batas negara, ibarat Coca Cola, “kapan saja, dimana saja”.
Solusi Alternatif
Rakyat memiliki hak atas kota, terutama hak untuk ikut serta dalam menata dan merawat habitat kotanya dari dampak pembangunan yang merusak dan memiskinkan. Forum Sosial Dunia (World Social Forum III) di Porto Allegre tahun 2003 merumuskan inti kesepakatan dunia tentang hak-hak rakyat atas kota, yakni:
(1) Hak rakyat atas standar kehidupan dan perumahan yang layak, serta jaminan atas keseluruhan hak asasi warga sipil lainnya seperti pendidikan, kesehatan, pekerjaan, organisasi, budaya, dan keamanan;
(2) Hak rakyat atas tanah, sanitasi, transportasi publik, sarana dan prasarana dasar, pengembangan kapasitas, dan akses terhadap layanan publik, termasuk sumber daya alam dan keuangan.
Bertolak dari kesepakatan tentang hak-hak rakyat kota, penulis bersama pegiat masalah kemiskinan dan perkotaan di Makassar menyampaikan gagasan alternatif untuk mencegah penggusuran:
Pertama. Perlunya warga kota menolak agenda globalisasi pembangunan kota yang memiskinkan rakyat. Slogan Makassar City Without Slum (Kota tanpa Kampung Kumuh) diganti dengan Makassar City Without Eviction (Kota tanpa Penggusuran). Slogan City without Slum, ibarat “parang” bermata dua; bisa dipakai untuk memotong akar kemiskinan karena “slum” adalah bagian dari informalitas kota; bisa juga dipakai untuk memerangi rakyat miskin karena kekumuhannya tidak cocok dengan selera investor dan orang-orang kaya.
Kedua. Pembangunan sentra perdagangan, hipermarket, hotel, perumahan elit, yang berpotensi merusak bangunan bersejarah, serta habitat informal pasar dan kampung-kampung di sekitarnya, dihentikan sementara. Anggota dewan bertanggung jawab untuk meninjau kebijakan tata kota ruang yang diskriminatif bagi rakyat miskin, dan membuat rancangan yang sesuai aspirasi warga kota.
Ketiga. Diperlukan tindakan yang sungguh-sungguh dari pemerintah kota untuk menyelamatkan lingkungan hidup perkotaan dari pencemaran limbah industri, limbah rumah sakit, perhotelan, mall-mall, perumahan elit, maupun akibat pendangkalan drainase dan kanal, serta tingginya emisi gas buangan kendaraan. Pengadaan taman kota dan pengenaan pajak lingkungan adalah salah satu alternatif yang bisa dikenakan kepada pengusaha pengelola hotel, mall, hipermarket, perumahan elit, rumah sakit, dan pemilik kendaraan pribadi.
Keempat. Pemerintah kota perlu menyusun rancangan kebijakan publik yang menjamin terciptanya pendidikan dan kesehatan yang murah, perlindungan perempuan dan anak-anak dari tindak kekerasan, ketersediaan lapangan kerja, upah buruh yang layak, serta pengawasan sistim transportasi kota. Anggota dewan bertanggung jawab untuk menjamin adanya alokasi anggaran yang cukup untuk memenuhi kebutuhdan dasar tersebut. Sektor transportasi kota seperti pete-pete dan becak juga penting untuk mendapat perlindungan dari pemerintah kota. Pete-pete diliputi oleh masalah izin trayek, pungli dan rute angkot yang berubah-ubah sesuai kepentingan aparat dan pemodal. Becak, diatur oleh perda yang membatasi jalur, warna, dan plat becak, yang saat ini tidak efektif lagi. Anggota dewan perlu lebih proaktif melakukan pengawasan dan memediasi kepentingan sopir. Sedangkan Perda No. 3/1995 yang membatasi ruang gerak becak harus ditinjau kembali.
Kelima. DPRD kota perlu menginisiasi penyusunan konsep/solusi alternatif untuk penyelesaian dan pencegahan masalah sengketa pertanahan, penggusuran dan pencemaran lingkungan hidup di Makassar. Banyaknya rencana pembangunan dalam skala besar seperti proyek jalan lingkar, pengembangan pelabuhan, perluasan kawasan GMTD, formalisasi pasar-pasar tradisional, serta pemukiman elit – sudah cukup alasan bagi anggota dewan untuk membuat konsep alternatif.
Keenam. DPRD perlu mempertimbangkan tuntutan berbagai organisasi rakyat yang berkepentingan langsung dalam perencanaan dan penyusunan kebijakan tata ruang kota. Selama ini, rakyat tidak dilibatkan dalam penyusunan tata ruang kota, sehingga kebijakan tersebut lebih menguntungkan elit-menengah kota dan para investor.
(dimuat harian harian Tribun Timur Makassar,18 Oktober 2004 dengan judul "Makassar Kota Tanpa Penggusuran")
Privatisasi di kota Makassar tengah berlangsung cepat di depan mata kita. Pembangunan sentra perdagangan (trade-center) mall, hipermarket, dan kawasan pemukiman elit, menjadi “icon” metropolitan Makassar. Pemerintah kota juga merencanakan pembangunan jalan lingkar yang melintasi 16 kelurahan, dan pengembangan kawasan pelabuhan 2025 hingga ke galangan kapal. Semua itu membutuhkan tanah dan modal. Hampir tidak bisa dipercaya, semua itu dibangun di tengah krisis moneter. Darimana sumber pendanaan pembangunan itu, jika bukan dari kaum pemilik modal swasta.
Dampak
Masalahnya kemudian, pembangunan yang mendahulukan kepentingan swasta (investor) di atas kepentingan rakyat akan membawa sengketa tata ruang yang berkepanjangan. Setidaknya, ada tiga dampak pembangunan yang diakibatkan penetrasi modal swasta.
Pertama, penguasaan oleh swasta atas suatu hamparan lahan akan memperlebar perbedaan kelas sosial-ekonomi antara orang kaya dan orang miskin. Contohnya, di kawasan panakkukang, di dalamnya pemukiman elit dan sentra perdagangan tumbuh bagai tiada hentinya. Mereka yang memanfaatkan fasilitas di dalam kawasan itu adalah umumnya elit-menengdimuat harian harian Tribun Timur Makassar,18 Oktober 2004 dengan judul "Makassar Kota Tanpa Penggusuran"ah kota. Mereka menawarkan gaya hidup hedonis-metropolis kepada publik. Artinya kawasan itu dibangun sesuai selera mereka.
Kedua, reklamasi pantai Losari dan pembangunan kawasan Tanjung Bunga. Kawasan ini tidak saja mengubah garis sempadan pantai, proyek ini juga merusak habitat sosial-ekonomi nelayan pesisir Mariso, Lette, dan Pannambungan.
Ketiga, penguasaan suatu kawasan pembangunan berdampak pada penggusuran (eviction) tempat tinggal dan tempat usaha. Ironisnya, penggusuran biasanya tidak disertai dengan konsep alternatif yang menguntungkan korban, kecuali uang ganti rugi. Bahkan, penggusuran disertai dengan tindak kekerasan oleh aparat TNI/Polri. Ini artinya, kaum pemodal bisa membiayai suatu rencana penguasaan lahan sampai kelancaran jalannya pembangunan.
Hampir semua kasus penggusuran di kota-kota di Asia, Afrika dan Amerika Latin menimpa rakyat kecil. Motifnya relatif sama, yakni kebijakan penataan kota. Pelakunya pun relatif sama, yakni pemerintah kota bersama kaum pemodal swasta maupun badan-badan dunia seperti Bank Dunia, atau sebaliknya kaum pemodal menfasilitasi aparat pemerintah kota untuk melakukan penggusuran atas nama penataan kota “City without Slum”. Pendek kata, penggusuran adalah dampak globalisasi pembangunan yang tidak mengenal batas negara, ibarat Coca Cola, “kapan saja, dimana saja”.
Solusi Alternatif
Rakyat memiliki hak atas kota, terutama hak untuk ikut serta dalam menata dan merawat habitat kotanya dari dampak pembangunan yang merusak dan memiskinkan. Forum Sosial Dunia (World Social Forum III) di Porto Allegre tahun 2003 merumuskan inti kesepakatan dunia tentang hak-hak rakyat atas kota, yakni:
(1) Hak rakyat atas standar kehidupan dan perumahan yang layak, serta jaminan atas keseluruhan hak asasi warga sipil lainnya seperti pendidikan, kesehatan, pekerjaan, organisasi, budaya, dan keamanan;
(2) Hak rakyat atas tanah, sanitasi, transportasi publik, sarana dan prasarana dasar, pengembangan kapasitas, dan akses terhadap layanan publik, termasuk sumber daya alam dan keuangan.
Bertolak dari kesepakatan tentang hak-hak rakyat kota, penulis bersama pegiat masalah kemiskinan dan perkotaan di Makassar menyampaikan gagasan alternatif untuk mencegah penggusuran:
Pertama. Perlunya warga kota menolak agenda globalisasi pembangunan kota yang memiskinkan rakyat. Slogan Makassar City Without Slum (Kota tanpa Kampung Kumuh) diganti dengan Makassar City Without Eviction (Kota tanpa Penggusuran). Slogan City without Slum, ibarat “parang” bermata dua; bisa dipakai untuk memotong akar kemiskinan karena “slum” adalah bagian dari informalitas kota; bisa juga dipakai untuk memerangi rakyat miskin karena kekumuhannya tidak cocok dengan selera investor dan orang-orang kaya.
Kedua. Pembangunan sentra perdagangan, hipermarket, hotel, perumahan elit, yang berpotensi merusak bangunan bersejarah, serta habitat informal pasar dan kampung-kampung di sekitarnya, dihentikan sementara. Anggota dewan bertanggung jawab untuk meninjau kebijakan tata kota ruang yang diskriminatif bagi rakyat miskin, dan membuat rancangan yang sesuai aspirasi warga kota.
Ketiga. Diperlukan tindakan yang sungguh-sungguh dari pemerintah kota untuk menyelamatkan lingkungan hidup perkotaan dari pencemaran limbah industri, limbah rumah sakit, perhotelan, mall-mall, perumahan elit, maupun akibat pendangkalan drainase dan kanal, serta tingginya emisi gas buangan kendaraan. Pengadaan taman kota dan pengenaan pajak lingkungan adalah salah satu alternatif yang bisa dikenakan kepada pengusaha pengelola hotel, mall, hipermarket, perumahan elit, rumah sakit, dan pemilik kendaraan pribadi.
Keempat. Pemerintah kota perlu menyusun rancangan kebijakan publik yang menjamin terciptanya pendidikan dan kesehatan yang murah, perlindungan perempuan dan anak-anak dari tindak kekerasan, ketersediaan lapangan kerja, upah buruh yang layak, serta pengawasan sistim transportasi kota. Anggota dewan bertanggung jawab untuk menjamin adanya alokasi anggaran yang cukup untuk memenuhi kebutuhdan dasar tersebut. Sektor transportasi kota seperti pete-pete dan becak juga penting untuk mendapat perlindungan dari pemerintah kota. Pete-pete diliputi oleh masalah izin trayek, pungli dan rute angkot yang berubah-ubah sesuai kepentingan aparat dan pemodal. Becak, diatur oleh perda yang membatasi jalur, warna, dan plat becak, yang saat ini tidak efektif lagi. Anggota dewan perlu lebih proaktif melakukan pengawasan dan memediasi kepentingan sopir. Sedangkan Perda No. 3/1995 yang membatasi ruang gerak becak harus ditinjau kembali.
Kelima. DPRD kota perlu menginisiasi penyusunan konsep/solusi alternatif untuk penyelesaian dan pencegahan masalah sengketa pertanahan, penggusuran dan pencemaran lingkungan hidup di Makassar. Banyaknya rencana pembangunan dalam skala besar seperti proyek jalan lingkar, pengembangan pelabuhan, perluasan kawasan GMTD, formalisasi pasar-pasar tradisional, serta pemukiman elit – sudah cukup alasan bagi anggota dewan untuk membuat konsep alternatif.
Keenam. DPRD perlu mempertimbangkan tuntutan berbagai organisasi rakyat yang berkepentingan langsung dalam perencanaan dan penyusunan kebijakan tata ruang kota. Selama ini, rakyat tidak dilibatkan dalam penyusunan tata ruang kota, sehingga kebijakan tersebut lebih menguntungkan elit-menengah kota dan para investor.
(dimuat harian harian Tribun Timur Makassar,18 Oktober 2004 dengan judul "Makassar Kota Tanpa Penggusuran")
Tidak ada komentar:
Posting Komentar