Tanah, barang yang setiap hari bahkan setiap detik kita pijak. Sama dekatnya kita dengan air yang setiap saat dibutuhkan tubuh kita; udara yang setiap waktu kita hirup, dan; cahaya yang setia menemani kehidupan umat manusia. Apabila satu di antara empat unsur pokok alam itu tidak berfungsi menurut hukumnya, bisa dipastikan akan terjadi bala. Ungkapan lama dan semakin nyata kebenarannya hingga kini yang menyatakan bahwa tanah di muka bumi ini lebih dari cukup apabila dibagi kepada setiap orang, tetapi tidak cukup untuk satu orang yang serakah. Ungkapan yang akhir-akhir sangat mudah menemukan faktanya.
Dalam riwayat penguasaan tanah di Indonesia dikemukakan bahwa terjadi perubahan secara brutal dari kepenguasaan tanah komunal menjadi individual; dari fungsi tanah sebagai basis pangan menjadi komoditi yang diperdagangkan dan kemudian menjadi sumber perang dan kemiskinan. Pada tahun 1965, kepemilikan tanah di Sulawesi Selatan dan Tenggara adalah 705.961 rumah tangga. Dari populasi itu, mereka yang memiliki tanah seluas antara 0–0,5 hektar adalah 411.127 rumah tangga (petani). Sedangkan mereka yang memiliki tanah seluas antara 10–20 hektar atau lebih hanya 11.145 rumah tangga.
Data BPS tahun 1987 yang dikutip Konsorsium Pembaruan Agraria (2000) menyebutkan jumlah petani yang memiliki lahan kurang dari 1 hektar sebanyak 15.25 juta rumah tangga petani. Sebanyak 1,24 juta di antaranya petani yang hanya memiliki lahan kurang dari 0,09 hektar. Lebih jauh diidentifikasi struktur penguasaan tanah berdasarkan ketimpangan kelas sosial petani dirinci seperti berikut ini:
Pertama, Tuan Tanah adalah mereka yang menguasai tanah lebih dari 10 ha (11,9 ha = 232.700 rumah tangga)
Kedua, Petani Menengah adalah mereka yang menguasai tanah antara 1–5 ha (3,23 ha = 10,6% = 1.897.400)
Ketiga, Petani Miskin atau Petani Gurem. Mereka ini adalah petani yang menguasai tanah kurang dari 1 hektar dan petani yang menguasai tanah rata-rata 0,10 ha. Jumlah mereka sekitar 48,5% (rata-rata 0,17 ha) dan 39,6% (rata-rata 0,9 ha) yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia.
Keempat, Petani Tuna Kisma. Mereka ini adalah petani yang benar-benar tidak memiliki tanah dan tidak mempunyai lahan garapan. Jumlah mereka sekitar 9,1 juta. Jika petani tuna kisma ditambah petani yang menguasai lahan kurang dari 0,10 ha, maka jumlahnya 11.084.605 petani.
Yang ingin ditegaskan dalam paper ini berdasarkan referensi tersebut bahwa ketiadaan akses dan kekuasaan tanah menjadi salah satu faktor pemicu urbanisasi arau perantauan orang desa ke kota. Terutama pada dekade tahun 80-an, ketika pemerintahan Orde Baru dinilai sukses mengekstensifikasi dan mengintensifikasi, yang biasa disebut modernisasi sistim pertanian. Modernisasi ini ditunjang oleh proyek Land Adminitration Project (LAP) seperti program sertifikasi nasional (prona), yang mendorong terbukanya pasar tanah. Bank Dunia dan agen-agen korporasi produk dan teknologi pertanian berada di balik skenario pembangunan tersebut. Swasembada pangan dinilai sukses, tetapi semakin lebar pula ketimpangan struktur kepemilikan tanah karena pihak yang memiliki modal besar sanggup membeli tanah ratusan hektar.
Urbanisasi menjadi pilihan yang paling rasional bagi petani tanpa tanah itu sebagai strategi mengatasi kemiskinannya. Di Sulawesi Selatan, gelombang migrasi besar-besaran terjadi antara tahun 1970-an dan 1980-an. Selain faktor politik, kondisi ekonomi juga mendorong urbanisasi. Faktor ekonomi di antaranya adalah petani harus membeli, bahkan berhutang untuk memperoleh paket bibit-pupuk-pestisida dan traktor. Tanpa disadari petani mulai berubah menjadi konsumen dan buruh tani.
Urbanisasi menjadi pilihan yang paling rasional bagi petani tanpa tanah itu sebagai strategi mengatasi kemiskinannya. Di Sulawesi Selatan, gelombang migrasi besar-besaran terjadi antara tahun 1970-an dan 1980-an. Selain faktor politik, kondisi ekonomi juga mendorong urbanisasi. Faktor ekonomi di antaranya adalah petani harus membeli, bahkan berhutang untuk memperoleh paket bibit-pupuk-pestisida dan traktor. Tanpa disadari petani mulai berubah menjadi konsumen dan buruh tani.
Tanah dan Pangan
Tentang rusaknya relasi di antara tanah dan pangan dapat dipelajari dari riwayat Revolusi Hijau di Indonesia. Pada mulanya adalah kelangkaan pangan beras, terutama pada orde lama Soekarno. Untuk mengatasinya, salah satu cara adalah dengan mengimport beras dari 0,3 juta ton menjadi 1 juta pada awal tahun 1960-an. Di masa akhir pemerintahan Soekarno, impor beras ini menurun drastis menjadi 0,2 juta ton.
Revolusi Hijau yang diprakarsai saintis Yayasan Rockfeller di Amerika Serikat, Norman E. Bourlaug menawarkan teknologi baru pertanian dan menjanjikan strategi jitu mengatasi kemiskinan dan kelaparan. Di Indonesia, produk teknologi revolusi hijau ini dapat dikenali pada benih hibrida, bahan kimia pupuk dan pestisida/ herbisida, serta peralatan produksi seperti traktor, alat semprot, dll. Pengembangan lebih jauh dari konsep revolusi hijau adalah pembangunan pengairan sawah dan bendungan.
Pada Orde Baru Soeharto, proyek revolusi hijau dikemas menjadi program intensifikasi pertanian dan pangan, khususnya beras. Program itu dikenal dengan Inmas dan Binmas. Tahun 1972-1973 terJadi krisis pengadaan beras akibat kegagalan panen, bersamaan dengan melonjaknya harga beras di pasar dunia. Pemerintah Orba mengimpor beras dari 0,74 juta ton menjadi 1,66 juta ton pada tahun 1973. Pemerintah Orba juga menerapkan kebijakan subsidi untuk kebutuhan intensifikasi pertanian seperti berikut ini (lihat Fauzi, Petani dan Penguasa, 1999):
(a) Subsidi harga pupuk. Perbandingan harga pupuk urea adalah 1:0,6. Setelah disubsidi (1982) menjadi 1:1,9. Subsidi sekitar US $ 500 juta setahun.
(b) Kredit pertanian berbunga rendah melalui proyek Binmas dan Inmas.
(c) Pembelian padi oleh pemerintah melalui penetapan harga dasar gabah, dimaksudkan untuk membangun stok cadangan gabah nasional.
(d) Pengadaan dan perbaikan sarana irigasi yang dibiayai pinjaman luar negeri.
Di balik keberhasilan “revolusi hijau” untuk swasembada beras, hanya 20 – 30 % rumah tangga pedesaan yang diuntungkan. Mereka menjadi petani kaya, tetapi tidak independen, bergantung subsidi Negara, serta teknologi baru. Dan, anehnya, dari tahun ke tahun laju urbanisasi dan migrasi terus meningkat. Kota-kota besar di Indonesia bagaikan diserbu oleh para 'mantan' petani yang terjerat utang dan kemiskinan. Kebanyakan mereka bekerja di sektor informal dan bermukim di atas tanah-tanah rawan sengketa. Sebagian lagi di antara mereka menjadi gelandangan ibukota.
Pangan dan Kemiskinan
Kaum miskin di kota-kota besar adalah konsumen akhir dari komoditi pertanian pangan petani, khususnya sembilan kebutuhan pokok. Itulah sebabnya, pemerintah menentukan standar asupan kalori makanan dalam mengukur naik-turunnya garis kemiskinan. Berikut ini adalah perhitungannya:
Pertama, Sangat Miskin. Apabila seseorang tidak mampu memenuhi kebutuhan dasarnya, yaitu hanya mampu memenuhi konsumsi makanan 1.900 kalori per orang sehari, plus kebutuhan dasar nonmakanan yang setara Rp 480 ribu per RT per bulan.
Kedua, Miskin. Apabila seseorang hanya mampu memenuhi konsumsi makanan antara 1.900- 2.100 kalori per-orang sehari, plus kebutuhan dasar nonmakanan atau setara Rp600 ribu per RT per bulan, di atas Rp 480 ribu.
Ketiga, Mendekati/Hampir Miskin. Apabila seseorang hanya memenuhi konsumsi makanan antara 2.100 - 2.300 kalori per-orang sehari, plus kebutuhan dasar non makanan atau setara Rp 700 ribu per RT per bulan, di atas Rp 600 ribu.
Jika ditelusuri riwayat kemiskinan mereka, kaum miskin di kota maupun di pedesaan sama-sama menghadapi persoalan yang sama, yakni ketiadaan akses dan kontrol terhadap sumberdaya tanah dan pangan. Tanah tempat tinggal kaum miskin kota umumnya tanah yang rawan sengketa. Sementara kebutuhan pokok, terutama sangat bergantung pada subsidi pemerintah.
Kenaikan harga BBM menjadi salah satu penyebab utama ketergantungan rakyat miskin kota pada pangan yang disubsidi pemerintah. Operasi pasar murah, raskin adalah bentuk intervensi pemerintah untuk kaum miskin kota. Tahun 2007, subsidi beras untuk rakyat miskin dengan harga tebus Rp 1000 sebanyak Rp 1,896 juta ton, yang dianggarkan dalam APBN 2007 Rp 6,4 trilyun untuk menjangkau 15,8 juta.
Tahun 2008 ini, pemerintah SBY-Kalla akan mengalokasikan dana sekitar Rp 54 trilyun untuk proyek-proyek pengentasan kemiskinan (Awalil Rizjy dan Tim UPC, 2007). Namun, sebagain besar dananya dipinjam dari badan-badan dunia seperti Bank Dunia. Pemerintah SBY-Kalla menargetkan penurunan angka kemiskinan menjadi 8,2 % pada tahun 2009 dari level 16,6 %. Kenyataannya, pada tahun ini (2008) angkanya masih berkisar 15-16%. Terbukti strategi yang dipakai pemerintah tidak menyelesaikan masalah kemiskinan. Sebaliknya hanya menguntungkan kelompok kecil yang hampir miskin dan bukan orang miskin. ***** Awi/22/01/08
Tidak ada komentar:
Posting Komentar