7 Feb 2010

Respon Masyarakat Soal Pemberantasan Korupsi

M. Nawir
(Catatan Fasilitator Pelatihan TI Indonesia, 9 September 2008)
1. Respon terhadap Organisasi Anti Korupsi
Masyarakat, dalam hal ini peserta pelatihan menganggap organisasi anti-korupsi seperti KPK dan ICW adalah aktor utama gerakan pemberantasan korupsi. Harapan masyarakat yang terlalu tinggi ini menimbulkan distorsi pemahaman tentang korupsi itu sendiri: korupsi dipahami kasus-perkasus. Akibatnya, organisasi anti-korupsi tampak lemah sekali kemampuannya menyelesaikan pengaduan kasus korupsi. Padahal, disadari bersama bahwa korupsi di Indonesia sudah sistemik di semua level institusi. Sehingga untuk memberantas korupsi, diperlukan faktor pendorong dari sisi kepemimpinan politik dan komitmen aparat, peraturan perundangan yang detail, dan adanya gerakan sosial. Singkat kalimat, pemberantasan korupsi harus dilakukan dari atas (= besar, pusat) dan dari bawah (= kecil, daerah).
Masyarakat mendorong organisasi anti-korupsi memberantas korupsi dari atas. Targetnya koruptor kelas kakap; mengingat pelaku tindak pidana korupsi ini jelas-jelas merampok kekayaan Negara dan hak-hak rakyat miskin. Penangkapan dan penyitaan harta serta aset koruptor kelas kakap ini akan menimbulkan efek jera dari atas ke bawah. Selain itu, harta dan asset koruptor yang disita akan menjadi pendapatan Negara. Meskipun begitu, masyarakat masih mempertanyakan kontribusi KPK sebagai lembaga Negara dalam pemecahan krisis keuangan Negara. Belum jelas benar di mata publik mengenai jumlah pemasukan Negara dari pemberantasan kasus-kasus korupsi, siapa yang mengelola dan digunakan untuk apa.
Gerakan organisasi anti-korupsi seperti KPK dipandang masih berpusat di Jakarta. Dengan jumlah staf 400 orang, sekitar 150 staf di antaranya penyidik, kontribusi KPK di daerah masih sangat kecil. Sehingga masyarakat meminta KPK membuat perwakilan di daerah. Oleh karena keterbatasan Undang-undang, peran KPK di daerah sangat diharapkan, khususnya dalam mengkoordinasi dan mengontrol kinerja pejabat penegak hukum seperti Kejaksaan, Kepolisian, dan Bawasda. Tugas itu belum cukup, KPK perlu mengembangkan jaringan dan merespon cepat pengaduan organisasi anti-korupsi dan organisasi rakyat di daerah.

2. Respon terhadap Isu Korupsi
Korupsi di Indonesia sudah sistemik, “ada dimana-mana”. Itulah sebabnya, masyarakat dengan mudah mengenali isu korupsi, bahkan mendefinisikannya. Beberapa kata kunci tentang korupsi yang dirumuskan peserta sebagai berikut:
a. mengambil hak orang lain (korupsi = mencuri)
b. menerima sesuatu yang bukan haknya (korupsi = suap)
c. menyalahgunakan kepercayaan dan jabatan (koruptor = pengkhianat)
d. membelanjakan sesuatu yang tidak sesuai dengan jumlah yang seharusnya (korupsi = mark up)
e. memperkaya diri sendiri dan merugikan keuangan Negara (korupsi = keserakahan)
Pengertian di atas mencakup unsur-unsur pokok dalam tindak pidana korupsi menurut UU 31/1999 jo UU 20/2001, yakni: (1) memperkaya diri sendiri/kelompok; (2) perbuatan melawan hukum; (3) merugikan keuangan Negara.
Tantangan di tingkatan masyarakat adalah kemampuan untuk membuktikan secara formal (tertulis) adanya dugaan korupsi dengan merujuk peraturan-perundang-undangan. Dalam banyak dugaan kasus korupsi di lingkungan masyarakat, bukti maupun data tertulis tidak tersedia atau sulit diperoleh, sehingga advokasi gagal, yang mengakibatkan masyarakat frustasi. Isu-isu atau dugaan adanya tindak pidana korupsi di lingkungan masyarakat adalah:
1. Program BLT (Bantuan Langsung Tunai), potensi penyelewengan pada saat pendataan dan pungli pada saat pembagian. Data yang diperlukan Juklak/Juknis BLT dan data penerima BLT.
2. Program BOS (Bantuan Operasional Sekolah), potensi penyelewengan pada belanja pengadaan barang, misalnya buku. Data yang diperlukan adalah Juklak/Juknis BOS, RAPBS.
3. Program Askeskin/Jamkesmas, potensi penyelewengan pada pengadaan dan harga obat
4. Proyek Jalan, potensi penyelewengan pada mutu dan volume (bestek) jalan. Data yang diperlukan adalah RAB barang dan dokumen tender proyek
5. Retribusi Parkir, potensi penyelewengan pada perbedaan jumlah pungutan/retribusi yang masuk dan yang ditargetkan dinas Perparkiran. Data yang diperlukan adalah karcis retribusi dan Perda.
Pada sesi simulasi mengenai kelima contoh kasus tersebut, sebagian besar peserta belum atau tidak membaca juklak/juknis proyek, RAPBS, dokumen RAB proyek, dan peraturan-perundang-undangannya. Padahal dokumen-dokumen tersebut adalah informasi awal untuk mengungkap dugaan adanya tindak pidana korupsi ke publik, misalnya pers.
Modus tindak korupsi pada proyek-proyek tersebut sangat dikenali masyarakat. Begitu pun respon masyarakat yang disampaikan melalui Unjuk Rasa, Surat Protes maupun Surat Pembaca maupun SMS di Koran-koran tentang pelayanan publik yang buruk dan dugaan penyelewengan dana program. Protes dan pengaduan tersebut tidak berlanjut pada penyelidikan dan pengusutan. Dalam banyak kejadian, para pegiat anti-korupsi kurang tertarik karena skop dan kecilnya kerugian Negara, di samping memang keterbatasan data. Dengan kenyataan itu, masyarakat yang terorganisasi baik memerlukan penguatan pada kemampuan mengidentifikasi, meneliti/investigasi, menulis dan mengungkap dugaan kasus korupsi di lingkungan sosialnya.
Sumber informasi/data yang berkaitan dengan proyek-proyek tersebut antara lain: BPS, Pemkot, Bappeda, BPM, Dinas Kesehatan, Dinas Pendidikan, Kelurahan, Sekolah, pelaksana proyek, wartawan, dan internet. Tantangannya kemudian adalah bagaimana cara masyarakat memperoleh data maupun informasi dari sumbernya. Ini persoalan yang tidak mudah, mengingat keterbukaan informasi tidak sama pada setiap sumber. Bagi masyarakat awam, cara-cara formal untuk mengakses data/informasi itu hampir tidak pernah atau hampir tidak mungkin dilakukan. Itulah sebabnya diperlukan dukungan kerja investigasi dari organisasi anti-korupsi.

3. Pakta Integritas: Legalitas Partisipasi Warga
Kerja Transparansi Indonesia (TI), juga organisasi anti-korupsi seperti KPK dan ICW sangat menentukan tingkat keterlibatan dan keberhasilan organisasi masyarakat dalam memantau dan mengungkap kasus korupsi. Sebaliknya, peran organisasi masyarakat dalam merespon secara cepat dan massif tentang dugaan kasus korupsi akan menentukan kinerja aparat birokrasi pemerintahan mulai dari level bawah.
Pakta Intgritas adalah salah satu bentuk dukungan program organisasi anti-korupsi untuk “sedikit memaksa” terbentuknya komitmen aparat pemerintah terhadap keterbukaan informasi (transaparansi). Langkah selanjutnya adalah memastikan bahwa komitmen pemerintah diwujudkan dalam bentuk peningkatan kinerja pelayanan, khususnya pelayanan informasi dan data. Sedangkan Organisasi masyarakat yang ikut bertanda-tangan di dalam pakta itu secara formal diakui perannya dalam mewujudkan aparat birokrasi yang takut korupsi.
Sesungguhnya respon organisasi masyarakat terhadap pelayanan birokrasi pemerintahan cukup tinggi. Hal ini menunjukkan tingkat partisipasi warga dalam mengontrol kerja aparat birokrasi pemerintahan. Hanya saja respon masyarakat itu seringkali disikapi secara sinis oleh aparat dan kelompok pengelola Raskin. Sebagai contoh, protes bu Hasni kepada pengelola Raskin dan aparat kelurahan soal pembagian Raskin di Tallo. Masalahnya pembagian yang tidak sesuai dengan harga, jumlah dan kualitas beras. Muncul masalah baru yang dialami ibu Hasni, yakni dia dinyatakan tidak berhak mencampuri urusan pembagian Raskin, bahkan dia diintimidasi oleh pengelola Raskin yang notabene sekampungnya sendiri.
Contoh berikutnya adalah penuturan pak Muslimin mengenai pembangunan jalan. Sebagai ketua RT di Mariso, dia tidak pernah membaca rancangan teknis proyek, apalagi anggaran dan belanja pengadaan material jalan paving blok. Bahkan dia mengakui terjadi manipulasi tanda tangan pada suatu rapat; peserta yang hadir hanya 15 orang, tetapi pengelola proyek melaporkan tanda tangan 25 orang (10 tanda tangan fiktif). Masalah bagi pak Muslimin, sekalipun dia ketua RT adalah dia tidak memiliki kewenangan (mungkin juga keahlian) untuk mengaudit teknis konstruksi dan pengadaan material jalan. Pak Muslimin menganggap harus ada surat keputusan (SK) dari lembaga pemerintah yang lebih tinggi sebagai pegangan warga untuk mengawasi dan mengaudit sebuah proyek.
Dari kedua contoh di atas, ada hambatan yang merupakan kebutuhan organisasi masyarakat, yakni legalitas, di samping keahlian mengaudit proyek. Keduanya mengharapkan back-up politik dari organisasi anti-korupsi. Dan, program Pakta Integritas seharusnya bisa menengahi hambatan dan kebutuhan legalitas tersebut.
*****
Sesungguhnya pengetahuan dan legalitas adalah dua soal yang berbeda. Pengetahuan dibentuk oleh pengalaman yang kemudian melahirkan kesadaran untuk bertindak, sekalipun tanpa legalitas Pengetahuan dan informasi adalah modal sosial pokok warga untuk merespon isu-isu korupsi.
Sementara legalitas atau pun pengakuan formal tidak terbentuk melalui pengalaman tadi. Sebuah legalitas, jika diperlukan harus direbut dan menjadikannya alat untuk mendukung kerja organisasi. Legalitas diperlukan untuk menguatkan kewenangan (orotitas) tertentu.
Pemberantasan korupsi di Indonesia sudah sepantasnya ditopang oleh legalitas dan otoritas yang kuat untuk para pemberantasnya. KPK memiliki modal sosial ini untuk memberantas korupsi di tingkatan elit penguasa. Sementara legalitas bagi organisasi masyarakat (warga) sudah cukup untuk membuat aparat tidak meremehkan mereka. Apalagi jika legalitas itu disebar ke berbagai elemen masyarakat dan diorganisir secara intensif ke dalam pertemuan-pertemuan warga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar