Oleh M. Nawir
Sumber Buku:
Perubahan Politik dan Pemerintahan; Hubungan Kekuasaan Makassar 1906 – 1942
Pengarang : Edward L. Poelinggomang
Editor : M. Nursam dkk
Penerbit : Ombak, Yogyakarta
Thn Terbit : 2004
Penguasaan Tanah
Rakyat menganggap bahwa pemilik utama tanah adalah Kalompoang. Penguasa sebagai pemegang kalompoang mewakili rakyat melakukan pengawasan atas tanah. Masyarakat hanya mengolah tanah atas dasar hak pakai dengan kewajiban bagi hasil 10% untuk penguasa. Hak pakai tanah dapat dipindahkan atas izin penguasa, baik pewarisan, hadiah maupun penggadaian. Hak pakai tanah akan hilang apabila pemegangnya meninggal tanpa pewaris, tidak memenuhi kewajibannya, melakukan kejahatan, meninggalkan tanah itu baik dengan sukarela atau pun melarikan diri dari pengabdiannya.
Tanah-tanah yang tidak ditanami bersifat kemasyarakatan (kolektif), sebagai padang pengembalaan, perburuan, sumber kayu bakar. Pengumpulan hasil hutan yang dapat diperdagangkan dikenakan pajak (susung romang).
Tanah kebesaran diperuntukkan bagi penguasa yang keseluruhan hasilnya diberikan kepadanya sebagai pemegang kalompoang. Tanah-tanah tersebut tidak dapat dibagikan kepada pewaris, melainkan hanya beralih dari satu penguasa kepada penggantinya. Tanah-tanah kebesaran itu diolah oleh rakyat dari penyerahan tenaga kerja. Setiap musim tanam, tanah kebesaran ini yang pertama kali dibajak dengan upacara kerajaan. Contoh: upacara Alliri atau Appalili, suatu upacara yang berhubungan dengan masa mulai kerja sawah di Labakkang. Orang yang harus pertama kali membajak sawah adalah raja. Upacara ini dibiayai sepenuhnya oleh raja penguasa (“raja sehari”)
Tanah kebesaran diperuntukkan bagi penguasa yang keseluruhan hasilnya diberikan kepadanya sebagai pemegang kalompoang. Tanah-tanah tersebut tidak dapat dibagikan kepada pewaris, melainkan hanya beralih dari satu penguasa kepada penggantinya. Tanah-tanah kebesaran itu diolah oleh rakyat dari penyerahan tenaga kerja. Setiap musim tanam, tanah kebesaran ini yang pertama kali dibajak dengan upacara kerajaan. Contoh: upacara Alliri atau Appalili, suatu upacara yang berhubungan dengan masa mulai kerja sawah di Labakkang. Orang yang harus pertama kali membajak sawah adalah raja. Upacara ini dibiayai sepenuhnya oleh raja penguasa (“raja sehari”)
Tanah penguasa atau tanah jabatan, yaitu tanah yang ditambahkan kepada penguasa karena tanah itu berada dibawah pengawasan dan penguasaannya. Tanah ini dapat diwariskan kepada keluarganya atau kepada pendukungnya sebagai hadiah. Rakyat yang mengolah tanah penguasa (bangsawan) memperoleh sepertiga dari hasil, dan duapertiga lainnya dibagi antara pemilik hak pakai dan pemilik peralatan dan hewan pembajak.
Pada masa pemerintahan Hindia Belanda, tanah-tanah jabatan itu diambil alih dan dinyatakan dibawah pengawasan langsung pemerintah Hindia Belanda. Bangsawan pemilik tanah diberikan ganti rugi atas kehilangan pendapatan mereka.
Wajib Kerja
Berdasarkan peraturan wajib kerja, rakyat dikenakan wajib kerja sebanyak-banyaknya 30 hari setahun. Jangka waktu bekerja 12 jam sehari.
Haji La Pappang Daeng Sirewa, pemilik tanah di Leloaka (Maros), mengadukan Regen Maros karena mewajibkan bekerja 15-16 hari per-enam minggu. Asisten Residen Makassar J.A Eithoven menyanggah, kemudian memperketat pengawasan wajib kerja karena rakyat dianggap mulai menentang. Rakyat wajib kerja menentang karena seringkali tenaganya digunakan untuk saluran pengairan sawah tertentu saja. Tenaga wajib kerja sering juga digunakan secara tidak resmi untuk keperluan bangsawan tertentu yang bekerjasama dengan pemerintah Belanda.
Penyimpangan lain terjadi dalam penarikan pajak. Pajak pendapatan atau de tiende van het rijtsgewas, yaitu pemungutan 10% dari hasil usaha pertanian padi oleh pemerintah. Kenyataannya, tidak terjadi pertambahan jumlah pajak yang harus ditarik.
Terdapat ketidakadilan karena ada pengecualian, misalnya Daerah adat Balocci (capem Pangkajene), Mallawa, Camba, Cenrana, Laiya, Sudiyang (capem Maros), Bontonompo, Laikang dan Bangkala (capem Takalar) adalah daerah bebas pajak.
Ada dugaan tindak korupsi, yakni jumlah taksiran jauh melampaui kenyataan hasil yang diperoleh:
Daerah Adat | Taksiran | Realisasi | Tahun |
Pangkajene | £ 61.000 | £ 39.500 | 1928 |
Takalar | £ 78.000 | £ 47.000 | 1928 |
Gowa | £ 105.000 | £ 51.000 | 1928 |
Limbung | £ 6.000 | £ 2.330 | 1926 |
Limbung | £ 6.000 | £ 2.884 | 1927 |
Limbung | £ 1.983 | £ 220,60 | 1928 |
Sumber: Edward P.L (2004;120)
Kesalahan administrasi/taksiran dibebankan kepada Kepala Kampung. Contoh: 5 kepala kampung di Daerah Adat Limbung dan 41 kepala kampung di Cabang Pemerintahan Takalar harus menanggung kekurangan atas taksiran pajak sekitar f 40.000. Hingga tahun 1923, masih tersisa kekurangan pajak yang dibebankan kepada kepala kampung sebesar f 20.000.
Tiga faktor penyebab buruknya pengelolaan hasil pajak, yakni kesalahan administrasi, SDM dan Kebangsawanan: (1) Kesalahan administrasi dan banyaknya jumlah selisih perbandingan antara taksiran dan hasil yang dicapai, berkaitan dengan tingkat kemampuan dan pendidikan pejabat pemerintah bumiputera. (2) Persyaratan pendidikan dan pengalaman berpengaruh besar dalam kedudukan pemerintah bumiputera di samping kebangsawanan. (3) Sebagai bentuk jalinan kerjasama dan penghargaan kepada para regen, pemerintah Hindia Belanda memberikan penghargaan. Begitu pun, jika terjadi sebaliknya.
- Contoh 1: di Daerah Adat Limbung, pada tahun 1929 memiliki 37 orang Kepala Kampung, hanya 5 orang yang dapat membaca dan menulis. Di antara kelima kepala kampong itu, hanya 2 orang yang dapat membaca dan menulis huruf Latin dan bahasa Melayu. Faktor ini menyebabkan banyak kesalahan tata administrasi.
- Contoh 2: Andi Pintara, seorang petani-bangsawan di Tanete. Pernah mengikuti pendidikan Sekolah Rakyat Kelas II, dia diangkat sebagai juru tulis Datuk Tanete pada tahun 1925. Setahun kemudian (1926), pemerintah Hindia Belanda mengangkat Andi Pintara sebagai regen Daerah Adat Ma’rang (cabang pemerintahan Pangkajene). Putranya yang mengikuti pendidikan pada Holland Inlandische School (HIS), Untuk maksud tersebut, putranya itu dipekerjakan pada kantor administrasi pemerintahan dan jaksa di Pangkajene. Untuk menduduki jabatan regen, dia dikawinkan dengan putra bangsawan Pangkajene.
- Contoh 3: La Toa Daeng Mattona, regen Sigeri 1908 – 1919. Dia tidak memiliki keturunan dari perkawinannya dengan bangsawan tinggi. Pada tahun 1919, dia memohon pemberhentian dan dikabulkan, jabatannya diambil alih oleh kontrolir kontrolir – karena cucunya, yang diharapkan menjadi calon pengganti sedang mengikuti pendidikan OSVIA kelas II di Makassar. Cucu Daeng Mattona ini adalah putra dari Nanggung Daeng Matinung – bekas regen Tanralili yang diberhentikan pada tahun 1919 atas permintaan sendiri. Kemudian, Daeng Matinung diangkat sebagai regen Daerah Adat Sigeri pada tahun 1929 agar kelak anaknya atau cucu Daeng Mattona bisa menjadi pengganti.
- Contoh 4: Gallarang Tetebatu (regen) dan kepala kampung Pallangga sebagai pelaksana pemerintahan Daerah Adat Tetebatu, awalnya mereka tidak bersedia dan tidak berani mengambil tindakan terhadap Abasa Daeng Manromo Karaeng Bilaji – seorang bangsawan tinggi, saudara tiri raja Gowa terakhir – yang sering melakukan pencurian dan mengganggu keamanan. Pemerintah Hindia Belanda harus mengultimatum 3 hari (23 – 27 juni 1915) para regen untuk menyerahkan Abasa hidup atau mati. Maka pada 27 Juni, mereka menyerang tempat persembunyian Abasa di Pallangga.
- Contoh 5: Mauraga Dg Mallingang (regen Pangkajene) dan La Towa Daeng Mattona (regen Sigeri) dinilai rajin, baik, bergairah dan taat semasa tugas. Dia dianugerahi bintang perak oleh pemerintah Hindia Belanda pada 31 Agustus 1931.
Sebaliknya, Salong Daeng Mattepo (regen Balocci). Meskipun dia dinilai lincah dan cekatan dalam pekerjaan teknik (non-administratif). Daeng Mattepo tidak mendapatkan penghargaan. Padahal, selama menjabat, dia membangun jembatan melintasi sungai Pangkajene, proyek pengairan rakyat, mengembangkan kehidupan beragama Islam, dan membangun tempat ibadah.
Reaksi anggota Dewan Rakyat (Volksraad):
- Bahwa di beberapa tempat dilakukan penarikan pajak dan di daerah lain, walaupun dekat dengan perbatasan, tidak dilakukan pemungutan pajak pendapatan, padahal di daerah itu terdapat sawah.
- Bahwa rata-rata pajak dari daerah yang dipungut pajak pendapatan dua sampai tiga kali banyaknya dengan daerah yang tidak dikenakan pajak.
- Bahwa pegawai yang harus bekerja untuk menimbang, menghitung, mencatat dan lain-lain, kurang teliti, dan hanya beberapa orang yang bersedia untuk pekerjaan itu.
- Bahwa pajak pendapatan dalam berbagai segi tidak diperhitungkan dengan pengeringan, biaya kerja dan upah panen
Larangan perdagangan beras, sebagai akibat dari adanya peraturan bahwa tanpa surat izin dari kepala pemerintah setempat, tidak diperkenankan mengangkut padi yang ingin dijual.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar