6 Feb 2010

Pemilu Bukan untuk Si Miskin

Pengantar diskusi Peliputan Pemilu dan Masalah Kaum Marjinal
 ELSIM Makassar (9 Maret 2004): 
"Untuk Apa Rakyat Miskin Ikut Pemilu"
Oleh M. Nawir
“Untuk Apa Rakyat Miskin Ikut Pemilu?” – jika pada akhirnya pemilu hanya mengokohkan kekuasaan yang korup, dan menggusur rakyat miskin. Dari pemilu ke pemilu, partai politik dan para politisi/caleg menghamburkan uang untuk merebut dukungan dari rakyat miskin. Lalu, pemilu menghasilkan politisi dan pemerintahan yang hanya melindungi kepentingan dirinya, partai dan golongannya. Mayoritas rakyat miskin yang telah memilihnya, dilupakan. “Caleg tidak tahu diri, sudah dibantu dorong mobilnya dari selokan, kita ditinggalkan begitu saja”, demikian ilustrasi Dg Bau di Bonto Duri”.
Begitulah tradisi politik yang diwariskan Orde Baru. Menjelang pemilu 2004, partai dan calon-calon anggota dewan tidak berubah perilaku politiknya. Membujuk, menjanji dan membagi-bagikan uang dan materi. “Saya dapat sembako 10 kg”; Saya dapat selendang dan sarung bergambar partai”; “Saya dikasih uang kalau ke rumah caleg”; “ Saya dijanji suntik KB gratis, senam gratis’ “Saya dijanji gitar dan bola volley”; “Saya dapat makan siang dan baju kaos waktu ikut pawai”; “Setelah rumahku digusur, sudah berapa partai yang kasih saya bantuan”. Demikian petikan kalimat beberapa warga miskin di Makassar. Semuanya terjadi menjelang pemilu.
Rakya miskin, khususnya di perkotaan adalah warga negara yang selalu dikorbankan dalam proses politik dan pemilu. Pemiskinan dalam bentuknya yang paling nyata saat ini adalah penghilangan hak-hak atas tanah, tempat tinggal, dan alat usaha. Sementara pemiskinan yang terselubung tetapi berdampak sistemik adalah tertutupnya akses dan kontrol kaum miskin terhadap perilaku elit politik. Dampaknya adalah pembangunan yang justru mengancam eksistensi kaum miskin itu sendiri.
Contoh lain yang membuktikan bahwa politisi parlemen memang tidak sungguh-sungguh membela nasib rakyat miskin adalah; pembatasan operasi Becak, penyelewengan dana RASKIN, pemotongan subsidi BBM/TDL atas anjuran IMF yang diikuti kenaikan tarif angkot, penggusuran pemukiman rakyat miskin di sekitar lokasi proyek GMTDC, penggusuran pemukiman warga Karuwisi, penggusuran ribuan alat usaha PK-5, banyaknya pungutan/biaya pendidikan, dan pembebasan tanah untuk pembangunan jalan lingkar. Termasuk di dalamnya, penghamburan dana APBD untuk membiayai kebutuhan rutin anggota dewan dan aparat pemerintah. Sebagian di antara politisi “botto” itu mencalegkan dirinya kembali pada pemilu 2004.
*****
Kampanye Pemilu 2004, sisa dua hari. Sejauh ini belum tampak keseriusan parpol maupun caleg untuk memperjuangkan agenda pokok rakyat miskin kota, yakni:
1. Perbaikan pemukiman dan sanitasi bagi rakyat miskin kota
2. Anti penggusuran pemukiman dan alat usaha (becak, PK-5, Asongan)
3. Pengakuan hak atas tanah meliputi kepemilikan dan legalisasi hak
4. Pembebasan rakyat miskin kota dari biaya pendidikan
5. Pelayanan kesehatan yang murah dan manusiawi.
6. Hak atas kebutuhan pokok yang murah, adil, merata, berkualitas dan tidak dikorupsi

Bagi kami, ukuran pemilu demokratis, bukan pada kesuksesan parlemen menyusun undang-undang politik/pemilu, tidak pada keberhasilan politisi parpol mengumpulkan suara terbanyak, tidak juga pada kepemimpinan elite politik yang baru. Ukuran paling sederhana adalah;
Pertama, apakah politisi parpol cukup dikenal mengakar oleh basis pemilihnya;
Kedua, apakah terjadi relasi timbal-balik antara politisi parpol dengan basisnya itu;
Ketiga, apakah politisi parpol mampu merealisasikan kepentingan dan kebutuhan dasar rakyat miskin seperti proteksi kebijakan “kota untuk semua” (city for all), yang menjamin kebebasan berserikat dan mengemukakan pendapat; jaminan tanah tempat tinggal dan tempat berusaha bagi rakyat miskin; pendidikan, kesehatan dan kebutuhan pokok murah, dan jaminan rasa aman dari penggusuran.
Keempat, apakah tersedia saluran bagi rakyat miskin untuk mengartikulasikan kepentingan dan kebutuhan dasarnya secara terus menerus, termasuk mengontrol proses politik di parlemen dan kebijakan pemerintahnya.
Kelima, apakah para politisi parpol cukup bermoral untuk mengontrol dirinya dari korupsi, membeberkan kekayaannya kepada publik, dan bersedia mundur jika rakyat memintanya.

Jika kelima poin di atas jauh dari kenyataan, maka Pemilu 2004 hanya menghasilkan Politisi “Botto”, yang pada gilirannya membuat kebijakan pembangunan yang justru mengancam rakyat miskin. Artinya, Pemilu Bukan untuk Si Miskin.

Makassar, 9 Maret 2004

Tidak ada komentar:

Posting Komentar