Lingkaran Setan Kemiskinan yang Mematikan
(Materi Sinrilik Syarifuddin Dg. Tutu di Bontoduri, Maret 2008)
Awal bulan Maret 2008, kota Makassar diguncang gempa pemberitaan berskala internasional tentang keluarga miskin (urban poor) yang sakit kemudian mati karena kemiskinannya. Media cetak dan elektronik lokal, nasional, bahkan media internasional mengabarkan kepada warga dunia bahwa di negeri yang kaya sumberdaya agraria ini masih banyak rakyatnya yang miskin, gizi buruk, busung lapar, penyakitan, dan akhirnya tewas.
Adalah almarhumah Dg. Basse, perempuan hamil dengan janin 7 bulan dalam kandungannya, dan seorang anak laki-laki keduanya, tewas di sebuah rumah kontrakan di Jln. Dg. Tata dikelilingi orang-orang yang senasib dengannya, kaum miskin kota: “mereka tewas karena tidak makan 3 hari”; “mereka tewas karena diare akut”; “mereka mati karena telat ke Rumah Sakit”; “keluarga Dg. Basse menderita gizi buruk”; “Basri, suami Dg. Basse tidak bertanggung jawab”. Begitulah orang-orang sekitar Dg. Basse bereaksi terhadap peristiwa tersebut. Pejabat pemerintah kota dan propinsi, anggota dewan dan politisi menganggap peristiwa itu sebagai aib politis, yang memalukan. Terjadilah "kemarahan struktural", aparat birokrasi tertinggi menegur dan memarahi aparat di bawahnya sampai di tingkat kader posyandu dan RT/RW.
Ironis. Mereka meninggalkan dunia ini di tengah-tengah lonjakan kenaikan harga beras dan gabah, minyak tanah, minyak goreng, terigu, kedele, dan kebutuhan pokok lainnya. Mereka tewas di saat para kandidat dan pemerintah berkuasa sedang gencar-gencarnya memprogramkan pengentasan kemiskinan.
Katakanlah alm. Dg. Basse beserta anaknya adalah rakyat miskin yang mati karena kemiskinannya. Pengertian kemiskinan ditekankan oleh para pakar sebagai kondisi dimana seseorang atau sekelompok orang, laki-laki dan perempuan, yang tidak terpenuhi hak-hak dasarnya secara layak untuk menempuh dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Hak-hak dasar itu adalah pangan yang layak, lingkungan yang sehat, pelayanan kesehatan yang memadai, pendidikan, pekerjaan dengan pendapatan yang cukup, rumah yang layak huni, air bersih, kepemilikan dan kepenguasaan tanah, keamanan, dan akses yang sama dengan warga lainnya untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial ekonomi dan politik. Apabila sebagian, apalagi keseluruhan hak-hak dasar itu tidak terpenuhi, maka seseorang bisa dikatakan minimal ”hampir miskin” atau maksimal ”miskin absolut”. Nasib keluarga alm. Dg Basse tampaknya berada pada level kemiskinan absolut. Ini sama artinya keluarga tersebut dimiskinkan oleh struktur dan sistim yang berlaku di kota ini.
Keluarga alm. Dg Basse seperti juga sebagian besar warga kota Makassar di sekelilingnya seperti PKL, sopir, buruh, guru, PNS, walikota, anggota dewan adalah kaum “urban” (pendatang, perantau) yang pada mulanya punya mimpi tentang kerja dan kesejahteraan. Mimpi-mimpi itu tidak terlepas dari jargon dan daya tarik pembangunan kota yang terus dipromosikan pemerintah. Bedanya, nasib keluarga alm. Dg Basse tidak lebih baik dari orang-orang di sekitarnya itu. Situasi kota dan kemiskinan yang dialaminya seperti penjara dan perangkap dimana seseorang yang sudah masuk ke dalamnya akan sangat sulit untuk keluar dari situasi tersebut.
Apakah dengan begitu, resiko kemiskinan dan kematian sepenuhnya menjadi beban korban atau kesalahan orang miskin itu sendiri?
Pernyataan retoris terhadap pertanyaan itu adalah tidak ada orang yang mau miskin, apalagi mau mati karena kemiskinan. Bukankah orang Makassar-Bugis percaya pada ungkapan “lebih baik mati berdarah daripada mati kelaparan”. Jadi, pada dasarnya orang miskin selalu berusaha mengubah nasibnya. Meski, Tuhan jua yang menentukan akhirnya. Dalam hal inilah tanggung jawab Negara dan atau pemerintah menjalankan mandat yang diamanahkan rakyat di dalam Konstitusi 45, yakni: melindungi, melayani, mensejahterahkan, dan mencegah terjadinya “saling-memangsa”.
Mahatma Gandhi pada tahun 40-an pernah menyatakan bahwa sumberdaya, khususnya tanah dan pangan di muka bumi ini cukup untuk dibagi kepada setiap orang, tetapi tidak cukup untuk satu orang yang serakah. Ungkapan bijak ini ingin menegaskan bahwa Negara atau pun pemerintah harus berperan sungguh-sungguh untuk mencegah rakyatnya dari perangkap kemiskinan dan kelaparan yang diakibatkan oleh keserakahan orang perorang atau kelompok orang. Negara mengatur dan mengendalikan distribusi sumberdaya secara adil dan merata agar tidak terjadi penumpukan kekayaan di satu atau sekelompok kecil orang. Bantuan (subsidi) dari pemerintah adalah suatu kewajiban, dan merupakan hak rakyat miskin. Tidak dibenarkan adanya sikap seolah-olah hal itu adalah hadiah atau belas kasihan (charity).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar