6 Feb 2010

Sekolah Berbasis Komunitas

sumber: https://gramho.com/explore-hashtag/SokolaRimba
Materi Diskusi Bedah Buku SOKOLA RIMBA karya Butet Manurung di Gedung Mulo, 
29 Januari 2008
Oleh M. Nawir
Aku mau mereka “jatuh cinta” pada literacy, sadar betul apa itu baca tulis dan apa gunanya buat kehidupan mereka.
Kutipan kalimat di atas terselip di halaman 59 paragraf kedua Bagian Pertama buku SOKOLA RIMBA. Menurutku, kalimat itu mencerminkan misi dasar pendidikan pada umumnya, yakni membentuk pengetahuan melalui baca-tulis hingga menjadi kesadaran tentang realitas.
Pada prinsipnya, pendidikan adalah proses belajar yang dialektis di antara pengetahuan dan realitas. Apa yang membedakan sekolah yang diyakini Butet dengan sekolah yang lain, terletak pada usaha atau cara-cara yang digunakan Butet untuk menciptakan keberterimaan, dan tentunya kesadaran. Pikiran Butet dalam kalimat itu ingin menyatakan bahwa proses belajar tumbuh dari kebutuhan karena adanya kesadaran. Proses belajar tidak menjadi sarana untuk mencapai tujuan pengetahuan semata, apalagi menjadi media menjinakkan orang atau komunitas untuk kepentingan tertentu.
Membawa misi pendidikan kepada suatu komunitas, sudah tentu mengikut pula subjektivitas pembawanya; di samping belajar tradisi, ada tradisi belajar yang ingin ditanamkan kepada komunitas. Ini suatu kontradiksi. Itulah sebabnya, komunitas bereaksi terhadap bawaan orang luar dengan alasan bertentangan dengan tradisi dan pengetahuan komunitas. Menurutku, keberhasilan Butet “menjinakkan” komunitas dan menanamkan tradisi belajarnya kepada anak-anak rimba, bermula dari kesediaan dia untuk belajar pada tradisi. Dia menjinakkan dirinya lebih dahulu dengan cara menghormati kebiasaan dan pengetahuan orang rimba. Hanya saja tidak tampak tradisi belajar orang rimba yang berlangsung antar-generasi sebagai pondasi sekolah anak-anak rimba.

Integrasi dengan Komunitas
Misi pendidikan baru bisa dijalankan efektif setelah melalui penyesuaian total dengan cara hidup komunitas. Sedikitnya ada tujuh kejadian atau kebiasaan yang menentukan awal diterimanya/dikenalnya Butet sebagai bagian dari OR, khususnya bagi anak-anak rimba.
Pertama, ikut melantak sialang, yaitu ritual mengambil madu di hutan.
Kedua, ikut menangkap ikan di sungai
Ketiga, merekam dan membawakan pantun/mantra OR
Keempat, menggambar kegiatan anak-anak
Kelima, ikut melahap daging babi
Keenam, mendampingi OR yang sakit ke Puskemas
Ketujuh, belajar naik sepeda dan menulis nama
Di kalangan aktivis community organizing (CO) cara tersebut diartikan sebagai proses dan taktik membaur (integrasi) atau live-in. Tujuannya adalah memperkenalkan diri dan mengenal orang-orang kampong dengan kebiasaannya, menciptakan suasana akrab dengan komunitas, sambil memetakan relasi individu, serta menjajaki permasalahannya.
Proses pembauran ini, selain menumbuhkan keberterimaan komunitas terhadap pribadi orang luar, juga memungkinkan terjadinya kesepahaman tentang suatu ide dan rencana kegiatan yang akan dilakukan bersama komunitas. Pada pengalaman Butet, ada pernyataan dari orang rimba yang akhirnya mendukung gagasan tentang pendidikan baca tulis: “Baca tulis tidak mengubah agama kami atau adat kami, tetapi baca tulis membantu kami dalam bekerja” (hal. 50)
Pendidikan Berbasis Komunitas
Metode Sokola adalah tradisi belajar yang ingin ditanamkan Butet kepada Orang Rimba. Rumusan dasar konsep itu dikemukakan dalam suatu workshop dengan WARSI (hal 113):
1) Pendidikan harus operasional terhadap kehidupan sehari-hari (membumi), rasional dan terjangkau oleh kemampuan Orang Rimba (OR)
2) Pendidikan harus menguntungkan
3) Pendidikan harus diorganisasikan secara lokal. Penggunaan bahasa, alam pikiran dan kebudayaan OR akan mempercepat penerimaan pelajaran. Juga penyesuaian yang total dengan cara hidup OR. Sesekali menarik diri ke luar untuk melihat lingkaran permasalahan sebagai orang luar.
4) Pendidikan harus membantu menumbuhkan kesadaran dan kesiapan terhadap perubahan/proses perkembangan kebudayaan suatu masyarakat. Harus ada penjelasan yang jujur mengenai resiko pilihan atau putusan hidup mereka.
5) Tujuan sederhana dari pendidikan adalah harus mampu membuat OR menyadari siapa dirinya, posisinya dan akan seperti apa kelak agar mereka siap menghadapi tekanan dari dunia luar dan proaktif mengarahkan kehidupannya.
Jika dipadatkan, kelima rumusan tersebut menegaskan bahwa pendidikan harus berbasis komunitas. Banyak contoh yang dipraktekkan Butet pada tahun pertama di rimba, misalnya.
a. Metode/Teknik Pembelajaran
Metode dan teknik pembelajaran komunitas muncul dari pertanyaan-pertanyaan murid, bukan sebaliknya. Anak-anak yang sering bertanya menunjukkan adanya kesadaran tentang situasi di sekitarnya. Lebih dari itu, hal-hal yang mereka tanyakan adalah hal-hal yang mereka butuhkan kemudian.
Dalam konteks orang-orang rimba, teknik-teknik pembelajaran yang dipraktekkan Butet bukanlah hal yang luar biasa. Misalnya, teknik penjumlahan dengan gambar dan cerita. Teknik ini sudah dikenal lama dalam sekolah formal. Teknik ini menjadi sangat efektif karena proses penemuannya dilakukan bersama “guru” dan “murid”. Sehingga murid dengan cepat menguasai pelajaran.
Begitupun cara pengejaan huruf sengau –ng pada kata YANG, atau konsonan rapat pada kata pada RA-MB-UT. Proses penemuannya dimunculkan oleh anak rimba sendiri ketika mereka membaca potongan koran atau pun bungkus produk tertentu.
b. Fungsi/Peran Guru
Gambaran ideal seorang guru ideal adalah guru yang mampu membuat proses belajar menyenangkan. Ada yang lebih penting daripada kepintaran guru, yaitu cara memberi pelajaran; kepekaaan pada sikap dan kata-kata pada saat mengajar.
Hal yang luar biasa dihasilkan Sokola Rimba adalah memproduksi kader guru sekaligus membangun kepemimpinan komunitas. Butet ingin menegaskan bahwa sekolah yang baik melahirkan murid yang pintar, tetapi sekolah yang hebat membangun kepemimpinan (leadership). Logika yang sama bahwa pendidikan yang baik melahirkan guru, tetapi pendidikan yang hebat melahirkan pemimpin (leader).
c. Transformasi Pengetahuan
Pada umumnya transformasi pengetahuan dan nilai-nilai suatu komunitas dilakukan secara informal-lisan. Budaya Orang Rimba tidak mengenal pengetahuan tertulis. Mereka bisa belajar dimana dan kapan saja sambil bekerja. Sokola Rimba Butet mengakomodir tradisi itu. Bedanya, Butet tetap meyakini bahwa proses belajar pada akhirnya harus terstruktur dan terdokumentasi. Sokola Rimba tetap saja menggunakan buku sebagai media belajar. Tradisi ini yang ingin ditanamkan kepada orang rimba. Ini juga yang menunjukkan subjektivitas orang luar.
Pada konteks OR, apakah program baca-tulis-hitung akan memicu tumbuhnya daya kritis mereka? Atau sebaliknya justru menjauhkan OR dari aset kebudayaannya, termasuk kearifan pengetahuan lokal yang diwariskan turun-temurun? Pada halaman 41-42, Butet menyadari bahwa pendidikan adalah awal menuju pemberdayaan OR menghadapi arus agresi dunia luar. Tidak cukup dengan pendidikan baca tulis dan hitung, tetapi diperlukan juga peningkatan kesejahteraan dan jaminan atas habitat hidup mereka.
Menurut saya, Sokola Rimba tidak menemukan tradisi belajar Orang Rimba yang sebenarnya berlangsung secara turun temurun. Misalnya, pada saat apa, kapan transformasi pengetahuan dan nilai-nilai tradisi dilakukan antar-generasi. Siapa yang berperan sebagai guru/pendidik, bagaimana proses pembelajarannya. Sejauh yang tercatat dalam buku ini, para tetua kampong ikut mengontrol sentra Sokola Rimba dan menjadi “tutor” kepada anak-anak rimba yang belajar tentang dongeng, pengobatan, pantun, mantra, hantu dan mitologi orang rimba (hal. 216)
d. Pengorganisasian Sumberdaya
Suatu pertanyaan kritis tentang kemana arah pendidikan orang rimba kelak. Premis Sokola Rimba bahwa pendidikan harus menciptakan kemandirian dan kemampuan merespon tantangan perubahan dari dunia luar (jaman). Gagasan yang dimunculkan anak-anak rimba adalah perlunya organisasi yang menjaga dan mengawal konservasi hutan. Mereka menyebutnya Pasukan Penjaga Rimba. Sayangnya gagasan ini berhenti karena tidak ada dukungan LSM (WARSI). Lebih disayangkan lagi, Sokola Rimba Butet tidak melanjutkan gagasan brilian anak-anak rimba itu.
Di kalangan aktivis community organizing dikenal tahapan pembentukan OR (Organisasi Rakyat) menjadi wadah penyatuan aspirasi dan sumberdaya komunitas. Tujuan pokoknya adalah menjamin terjadinya keberlangsungan misi pendidikan (perjuangan) dan kemandirian komunitas. Sehingga “orang luar” tidak mengalami ketergantungan kepada komunitas, begitupun sebaliknya.
Yang terjadi kemudian adalah Butet dan kawan-kawannya melembagakan tradisi belajar Sokola Rimba menjadi organisasi perkumpulan pegiat pendidikan komunitas pada tanggal 13 April 2005.
Pendidikan yang Membebaskan
Pada bagian kedua buku ini banyak sekali pertanyaan kritis dan reflektif tentang pendidikan berkaitan dengan pemihakan kepada hak-hak komunitas. Misalnya, bagaimana pendidikan dikaitkan dengan masalah pencurian kayu di hutan, pendangkalan sungai, kenakan harga-harga, kesenjangan antara si kaya dan si miskin, dan kejahatan, dll.
Butet menolak pendekatan konservasi, yang menurutnya cenderung mengabaikan faktor sumber daya manusia di dalamnya. Pendekatan konservasi WARSI menjadi konservatif terhadap Orang Rimba (OR), dan cenderung membatasi kemerdekaan OR. Dalam penilaian Butet, “OR berhak berubah dan pasti akan berubah, ada atau tidak ada aku di hutan ini. Bisa jadi mereka memang belum menyadari konsekuenasi dari pilihan yang mereka ambil itu. Tapi, itu bukanlah alasan bagi kita untuk merasa punya hak melarang mereka kan?”
Di kalangan aktivis NGO, dikenal istilah pendidikan yang membebaskan (emansipatoris). Prinsip-prinsip pendidikannya diadopsi dari pemikiran Paulo Freire. Asumsi-asumsi yang dibagun sebagai berikut:
1) Bahwa rakyat dalam situasi penindasan. Sebagian besar manusia menderita, sementara sebagian lainnya menikmati jerih payah orang lain dengan cara-cara yang tidak adil. Kondisi atau situasi seperti itu harus disadari dan menjadi pemahaman awal untuk bergerak melakukan pendidikan.
2) Dengan melihat situasi ketidakadilan itu, maka sangat mungkin mengubah kehidupan menjadi lebih baik. Pendidikan tidak ada artinya jika kondisi rakyat tidak berubah secara menyeluruh. Maka proses pendidikan yang dijalankan adalah belajar dengan praktek langsung menangani masalah yang dihadapi.
3) Penyadaran inti dari proses pendidikan karena perubahan menyeluruh sebagaimana disebut di atas tidak mungkin terjadi tanpa upaya penumbuhan kesadaran, agar orang tidak takut lagi akan kemerdekaan.
4) Tema yang relevan dan menggerakkan. Untuk melakukan perubahan dalam komunitas, perlu dikenali dulu apa-apa yang selalu mengganggu perasaan banyak orang dalam kampung. Apa saja yang membangkitkan perasaan, seperti harapan, kekhawatiran, ketakutan, kemarahan, kegembiraan, kesedihan.
5) Dialog atau musyawarah sangat menentukan dalam setiap aspek pembelajaran dan dalam seluruh proses perubahan. Dengan demikian dialog merupakan cara belajar yang paling baik, karena semua peserta dialog dianggap mempunyai pengetahuan sehingga mereka bisa saling berbagi dengan orang-orang lain.
6) Pemecahan Masalah. Isu atau masalah yang relevan dan menggerakkan kampung perlu dipecahkan secara bersama-sama oleh warga kampung tersebut. Pendamping komunitas harus bisa memfasilitasi warga agar mereka mampu menyelesaikan masalahnya sendiri.
7) Tidak ada pendidikan yang netral. Setiap orang punya pengetahuan dan pengalaman yang berbeda-beda. Karena itu pendidikan dipengaruhi oleh pengetahuan dan pengalaman masing-masing. Misalnya: orang kaya dan berkuasa memandang kondisi sekarang ini mengenakkan dan merasa tidak ada yang salah dan perlu dipertahankan, tetapi bagi orang miskin situasi seperti sekarang tidak nyaman dan perlu diubah agar yang miskin menjadi lebih maju dan sejahtera.
Lalu, apa sebenarnya yang dicita-citakan SOKOLA? Apakah prinsip dan asumsi pendidikan yang membebaskan akan menjadi spirit pengembangannya? Ataukah cukup menjadi pusat belajar yang alternatif bagi anak-anak?
Jika ditelusuri konsep dasar SOKOLA akan tampak bahwa tujuan pokok pendidikan adalah penyadaran dan pemecahan masalah komunitas. Ini berarti diperlukan pendidikan tentang HAM, sambil mengembangkan kapasitas rakyat dalam memecahkan masalah praktis dan strategis. ***** awi 29/01/08

2 komentar:

Anonim mengatakan...

Terima kasih atas tulisannya, sangat konstruktif dan memberi saya banyak ide. Saya butet manurung dari Sokola Institute.

AWI MN mengatakan...

trima kasih apresiasinya mba. salam hormat saya

Posting Komentar