Oleh Judy Rahardjo
(Aktivis Organisasi Konsumen, Tinggal di Makassar)
Senin lalu, para pedagang kaki lima di pintu II Universitas Hasanuddin (Unhas) akhirnya digusur dengan cara represif, dan menelan lima orang korban luka (Pedoman Rakyat, 31 Mei 2005). Peristiwa ini tentu paradoksal jika direlasikan dengan aikon universitas, yang semestinya ditafsir sebagai pilar pembebasan bagi kemiskinan, tirani, dan represi politik. Atau dalam tafsir orang awam dengan penuh rasa geram, bagaimana mungkin orang sekolahan dapat melukai rasa keadilan. Pertanyaan yang mucul mengapa orang sekolahan itu tidak dapat memoderasi masalah ini. Mengapa para ilmuwan Unhas membiarkan masalah pedagang kaki lima pintu II sampai mengkristal dan bereskalasi pada ujung konflik, mengingat para pedagang tersebut mulai menempati jalur pintu II pada tahun 1997.Modus penggusuran sendiri memang bukan yang pertama kali di kota ini, atau di negeri ini. Hampir dalam banyak kejadian, yang muncul di permukaan, terutama di wilayah perkotaan, bentrokan yang berlangsung di bawah pusaran antara sektor informal dengan aparatus Negara, dengan atas nama ”pembangunan” atau diturunkan pada kosa kata ”ketertiban”, ”keindahan”, dan ”demi kepentingan umum”. Kita tidak hendak membahas filsafat estetika itu sendiri, melainkan untuk apa sektor informal itu harus mengalami perlakuan sewenang-wenang diiringi dengan letupan kekerasan. Kalau dinyatakan dalam pertanyaan, apa yang dipikirkan di balik kepala para profesor itu untuk melakukan tindak penggusuran terhadap sektor informal. Jika ditarik ke dalam tataran sosiologis, demikian teori yang dibuat oleh orang sekolahan, para pedagang kaki lima, daeng becak, pencari kerang dan sebagainya, dimasukkan dalam kotak yang disebut sektor informal.
Kosa kata informal dan formal, jika kita geledah, memang seringkali mengandung bias, yaitu mengalami ”politic of meaning” atau politisasi pemaknaan. Kategorisasi kedua sektor ini dipahami secara simplifikasi dan dikotomis, atau dalam bahasa awan dinyatakan sebagai ”hitam-putih”. Misalnya, semata-mata melakukan simbolisasi dikotomis antara pasar tradisional dengan mal. Dengan pembagian dikotomis semacam itu, tentu akan menyulitkan kita untuk memahami akar masalah lahirnya sektor informal. Secara teknis, kita tidak dapat mengoperasikan kategori tersebut secara jernih ke dalam arus persoalan sosial. Lebih celaka lagi, kalau politisasi makna sektor informal justru merupakan tindak kaum elit untuk melakukan konsolidasi ke arah kekuatan dan kekuasaan, termasuk konsolidasi anak sekolahan, meminjam istilah Emmanuel Subangun, beremansipasi membangun ”republik kaum cendekia”. Jika demikian yang terjadi, tindak penggusuran sebenarnya lebih bersifat mistisfikasi daripada rasionalisasi terhadap persoalan sosiologis, dengan cara menculik kesadaran rakyat.
Dalam praktik akademik, baik intitusi pemerintah seperti BPS dan institusi lembaga penelitian universitas, kerap kali menyusun angka-angka statistik mengenai sektor informal, yang kerap kali pula tidak mudah dipahami relasi antara angka, kepentingan penyusun angka, dengan model intervensi yang dilakukan. Sebut saja, ”The Economic of Democracy”, terbitan BPS, Bappenas dan UNDP, yang berisikan laporan pembangunan manusia di Indonesia pada tahun 2004. Dari lembar angka statistik dalam buku ini dinyatakan, 34,6 persen jumlah pekerja di Makassar bekerja di sektor informal. Pada tahun 2002, jumlah penduduk Makassar berjumlah, 1.127.785 jiwa. Jumlah angkatan kerja pada tahun itu sekitar, 637.200 orang. Dari jumlah ini, 21,8 persen diantaranya atau 138.910 orang masuk dalam kategori pengangguran terbuka. Artinya, jumlah pekerja di Makassar terdapat 498.290 orang. Dari jumlah itu, 172.408 orang diantaranya menggantungkan hidup dari sektor informal. Angka statistik ini dapat saja bias atau bersifat relatif, tergantung bagaimana mendefinisikan sektor informal secara jernih. Bagaimanapun juga, dalam kenyataan sosiologis, menunjukan adanya eksistensi sektor informal. Bahkan, sejumlah orang sekolahan mengajukan pernyataan metoforik atau cenderung memuja, sektor informal yang menghidupkan jantung ekonomi kota ketika negeri ini diterpa badai krisis. Namun modus menghadapi kenyataan sosiologis, kerap kali berujung pada penggusuran sektor informal karena didakwa sebagai biang kemacetan atau memasukan ke dalam proyek ambisius ”relokasi”. Sekali lagi, yang tidak mudah untuk dipahami adalah hubungan tiga perkara yaitu, apa gunanya angka statitistik dan apa kepentingan para penyusun angka statistik, serta bagaimana model intervensi yang dilakukan.
Perihal ini menunjukan betapa lemahnya integrasi kita dalam memahami kenyataan sosiologis, bahkan di dalam sistem sosial itu sendiri. Akibatnya, kita seringkali gagap dalam membangun empati terhadap mereka yang tersingkirkan dari sumber nafkah. Di sisi lain, kita tengah mengalami gelombang kuat Negara Korporatisme, sebuah ekspansi terkombinasi antara kekuatan entitas Negara dan Swasta. Fenomena ini tengah bergerak cepat menggamit kesadaran bahkan mimpi-mimpi kita. Tanpa perlindungan dan penghargaan atas hak hidup dan hak bekerja pada mereka yang bekerja di sektor informal, hanya akan memperbesar bangunan piramida korban manusia. Ini sama artinya, kredo pengurangan kemiskinan dengan cara menelikung orang miskin melalui pusaran utang yang tidak berkesudahan dan tidak mudah dihancurkan.
Karena itu, memetakan sektor informal semestinya tidak secara simplifikasi atau secara naif. Proses mendefinisikan sektor informal dari kelas berkuasa yang bekerja di sektor formal, hanya menjebak kita dalam kolonialisasi kesadaran. Sektor informal semestinya dirunut dalam proses ideologisasi pembangunan, atau biasa disebut pembangunanisme. Secara empirik, pembangunanisme telah menggunakan penetrasi kapitalisme yang secara masif menggeser sumberdaya dari kampung ke kota, tanpa melakukan distribusi yang adil. Sederhananya dapat dilihat dengan kuatnya arus urbanisasi, pergesekan antar kelas, dan penyeragaman ke arah formalisme. Para pekerja di sektor informal mengikuti arus urbanisasi, karena terjadi proses pemiskinan secara struktural di kampung, tidak sekedar untuk menggamit fantasi kelas yang dipersonafikasikan sebagai orang kota. Kedua, di luar kekuatan urbanisasi, sektor informal mulai membesar saat badai krisis ekonomi tahun 1998, ketika itu para perempuan menjadi tulang punggung ekonomi, bergerak menggantikan para laki-laki yang mengalami PHK secara besar-besaran.
Sekalipun telah dihajar dengan krisis, Negara ini tetap saja masih percaya tentang kenicayaan sektor formal untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi. Sektor formal diceminkan dengan pola produksi dan organisasi yang berbeda dengan sektor informal yaitu, ditopang dengan padat modal, teknologi tinggi, tenaga kerja yang berpendidikan formal, serta pasar yang terlindungi. Paradigma pembangunan yang bertumpu pada kompetisi dan efesiensi, hanya akan menjadikan sektor formal sebagai anak kandung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar