6 Feb 2010

Melahirkan Konsep Alternatif Kebijakan

community metaplan (kprm, 2008)
Disajikan dalam Semiloka Environmental Parliement Watch (EPW) dan Sosialisasi Tools Pemantauan
oleh M. Nawir
Isu lingkungan hidup sudah harus dipahami dalam bingkai politik-ekonomi pembangunan. Misalnya, mengapa pencemaran lahan pertanian oleh pestisida yang berlangsung puluhan tahun tidak dianggap sebagai persoalan lingkungan hidup yang serius oleh pemerintah suatu negara. Atau, mengapa asap knalpot kendaraan bermotor yang setiap hari kita hirup di jalanan tidak menjadi prioritas dalam kebijakan pemerintah kota? Bandingkan misalnya dengan kasus Buyat (PT Newmont Minahasa), atau limbah tailing PT Freeport di Timika. Kedua kasus itu menjadi persoalan nasional sampai ke tingkat internasional.
Contoh-contoh kasus itu menunjukkan adanya “setting” politik lingkungan yang berbeda. Dalam kasus Buyat maupun Freeport, ada kepentingan negara-negara investor seperti AS yang langsung terganggu. Kedua kasus tersebut menyentuh standar perdagangan internasional, dimana investor dari suatu negara berkewajiban untuk membayar kerugian yang ditimbulkan oleh aktivitas perusahaannya. Hal ini yang membedakannya dengan pencemaran pestisida dan emisi gas buangan kendaraan bermotor, belum ada catatan yang menyebutkan bahwa akibat pencemaran itu ada perusahaan pestisida atau pemilik kendaraan bermotor yang kena denda, apalagi diadili atau distop aktivitasnya.
Dengan ilustrasi di atas, saya ingin menegaskan bahwa persoalan lingkungan hidup di Sulsel bisa ditelusuri sumbernya dari kebijakan politik-ekonomi yang ditentukan oleh agenda pembangunan global. Zaim Saidi (dalam MATRA, September 1994) mengutip istilah “rezimentasi internasional” untuk menegaskan bahwa politik lingkungan hidup adalah agenda bersama negara penandatangan KTT Bumi di Brazil tahun 1992. Dalam kaitan itu, menurut saya fokus strategi pemantauan yang penting diperhatikan adalah relasi antara kepentingan modal/investor dengan kebijakan pemerintah. Bagaimana terjadinya sebuah kebijakan atau undang-undang/peraturan daerah, seringkali dikendalikan oleh kepentingan ekonomi penguasa.
Beberapa fokus strategi yang saya tawarkan sebagai berikut: Pertama, kebijakan pembangunan yang disponsori oleh MDB’s (multilateral development banks), yang berdampak luas pada perubahan suatu kawasan. Ciri utamanya berjangka panjang yang dibiayai dari pinjaman jangka panjang. Beberapa proyek yang dibiayai oleh MDB’s sejak tahun 1990-an:
Nama Proyek
Sektor
Persetujaun Dok.
Donor
Sulawesi Urban Development II (42 kota, 4 propinsi) Urban Development April-Agustus-Januari 1997 IBRD
Regional Watershed Development Agriculture Nop – Jan – September 1997 IBRD
South Sulawesi Gas Transmision Energy Natural gas Jan-Peb-Maret-Mei 1996 ADB
South Sulawesi Gas Transmision and Distribution (Pare-pare &Takalar) Energy/electric power July-Oktober 1997 ADB
Ujungpandang Port Urgent Rehabilitation Project Transportation AR1991 OECF
Bili-bili Multi Purpose Dam Project (I)
Bila Irrigation Project (II)
Electric power and gas
Agriculture
AR1991

AR1993
OECF
Bili-bili Multi Purpose Dam Project (II)
Bili-bili Multi Purpose Dam Project (III)
Irrigation and Flood Control
Electric power and gas
AR1993


AR1995
OECF




Ujungpandang Water Supply Development Project (I) Social Services AR1994 OECF
Small Scale Irrigation Management Project (II) Agriculture, flood control AR1995 OECF
Engineering Services for Bakaru HEPP 2nd stage and Assosiated Transmission line Energy AR1996 OECF
(Sumber diolah dari Infid, 1997)
Kedua, kebijakan pembangunan yang berdampak penurunan daya dukung lingkungan dalam jangka panjang, misalnya kegiatan pertambangan. Perusahaan tambang di Indonesia memperoleh keuntungan resmi Rp 60 trilyun setahun, dan hanya sekitar Rp 104 juta setahun yang disetor ke pemerintah Indonesia. Beberapa kontrak karya pertambangan di Sulawesi Selatan (Tator, Selayar) sudah ditandatangani oleh pemerintah, sisa mencari investor. Menghadapi hal ini, aktivis lingkungan hidup baru-baru ini mendeklarasikan tuntutan moratorium investasi baru dan renegosiasi perusahaan tambang yang sudah beroperasi.
Bahan Tambang Golongan A dan B
Sedang Eskploitasi
Lokasi
Belum Eksploitasi
Lokasi
Pasir dan besi Takalar Antimonit Tator
Emas, Tembaga Luwu, Tator, Mamuju Timah Hitam, Cobalt Mamuju, Luwu
Kronit, Mangan Barru, Bone Besi Luwu, Bone, Tator, Polmas
(Sumber: Propeda Sulsel 2001-2005)
Sektor kehutanan juga perlu mendapat pemantauan, mengingat setiap tahun mengalami deforestasi. Luas kawasan pada tahun 1994 adalah 3,35 juta ha. Tahun 1999 menurun menjadi 3,2 juta ha. Luas hutan di Sulsel terdiri atas hutan lindung 1,9 juta ha, hutan produksi terbatas 828.255 ha atau 25.45 ha, hutan produksi biasa seluas 186.666 ha, hutan produksi konsumsi 102.073 ha, hutan suaka alam/wisata 208.301. Kebijakan yang berkaitan dengan sektor ini adalah privatisasi air sejalan dengan terbukanya investasi. Sejumlah investor sudah mengkapling mata air kita dengan mendirikan perusahaan air kemasan.
Ketiga, kebijakan pembangunan yang mengubah tata ruang kota dan pesisir pantai. Misalnya GMTDC, yang bertanggung jawab atas pembangunan dan pengembangan kawasan pesisir barat daya kota. Pembangunan dilaksanakan dalam dua tahap seluas dibangun 1000 ha lahan. Tahap I direncanakan selesai tahun 2020. Rencananya akan dibangun 3 jembatan. Dua jembatan dibangun pemerintah kota, satu lagi oleh pemerintah Gowa. Mega proyek GMTDC dan Reklamasi Pantai Losari yang dibangun sejak tahun 1997 adalah tidak saja mengubah sempadan pantai, tetapi juga merusak ekosistem kawasan pantai, yang merupakan sumber mata pencaharian nelayan Pannambungan, Lette, Mariso, Bontorannu hingga Barombong. Lebih dari itu, penggusuran terhadap kampung-kampung di sekitarnya akan terjadi dalam waktu yang tidak terlalu lama lagi.
Proyek lain yang memiliki karakteristik yang sama adalah pembangunan jalan lingkar yang akan melalui 16 kelurahan di Makassar. Proyek ini mulai dirintis pada tahun 2000 berdasarkan studi master plan transportasi Makassar yang dilakukan oleh JICA pada tahun 1994. Proyek ini sebagian didanai oleh Bank Dunia dan APBN/APBD. Studi AMDAL yang dilakukan Unhas sudah selesai pada tahun 2002. Persoalannya kemudian mulai muncul ketidakpuasan atas biaya pembebasan tanah sebesar Rp 60.000 permeter sesuai SK Walikota tahun 2002.
Keempat, aktivitas produksi/produsen yang berpotensi menimbulkan pencemaran B-3 (bahan berbahaya dan beracun) dan emisi gas buangan kendaraan bermotor. Sumber-sumber pencemaran di antaranya Rumah Sakit, industri tekstil, kimia/pestisida, otomotif, dan pabrik logam. Demikian juga dengan limbah yang dihasilkan hotel-hotel, mall dan perumahan mewah. Pemerintah kota perlu mengenakan pajak lingkungan (eco tax) kepada para penghasil limbah itu sebagai bentuk tanggung jawab mereka terhadap lingkungan hidup. Berkaitan dengan hal tersebut, pemerintah kota juga perlu segera mengajukan kembali Ranpenda tentang emisi gas buangan kendaraan bermotor dan program penghijauan kota. Kedua hal ini saling berkaitan.
Peran Strategis: Organisasi lingkungan hidup memiliki peran-peran strategis yang bervariasi menurut tujuan pendiriannya. Pada umumnya, organisasi lingkungan bergerak di bidang konservasi sumber daya alam. Di banyak negara maju juga negara berkembang, ada organisasi preservasi (penyelamat binatang) untuk mengimbangi pelestari tanaman. Tidak banyak organisasi lingkungan yang bergerak di bidang advokasi kebijakan. Kemunculannya pun relatif baru dibandingkan dengan kelompok konservasi. WALHI, misalnya, didirikan pertama kali pada tahun 1985, tidak lama setelah pembentukan kementerian Lingkungan Hidup. Organisasi yang bergerak di bidang advokasi pun memiliki spesifikasi yang berbeda-beda, misalnya ICEL, sebuah organisasi lingkungan yang menfokuskan diri pada litigasi. Sementara WALHI lebih menfokuskan perannya pada jaringan dan advokasi non-litigasi.
Kemunculan EPW (Environmental Parliament Watch) -- yang tampaknya menfokuskan diri pada pemantauan kebijakan lingkungan hidup – diharapkan memperkuat gerakan lingkungan hidup di Indonesia, khususnya di Sulawesi. Menurut saya, tugas pokok EPW adalah melahirkan konsep-alternatif pengelolaan SDA yang berkedaulatan rakyat. Sehingga peran EPW harus dijabarkan dalam kerangka advokasi, yakni bagaimana pemantauan kebijakan mampu mempengaruhi pengambil kebijakan. Setidak-tidaknya membantu penegakan hukum di bidang lingkungan hidup. Caranya adalah dengan menjadikan hasil pantauannya sebagai konsep-alternatif (tandingan). Jadi peran-peran strategis EPW mencakup empat bagian:
  1. Memetakan produk-produk kebijakan pemerintah di bidang pengelolaan lingkungan hidup, termasuk di dalamnya mengidentifikasi sistim pengelolaan lingkungan hidup yang berkembang di tingkat masyarakat
  2. Menyusun dan mempromosikan konsep alternative kebijakan pengelolaan lingkungan hidup bekerja sama dengan kelompok professional, akademisi, politisi, dan NGO.
  3. Mendorong transparansi dan akuntabilitas pemerintah dan swasta dalam pengelolaan sumber daya alam dan penyediaan informasi kebijakan lingkungan hidup.
  4. Mempengaruhi pengambil kebijakan untuk membuat dan/atau merevisi kebijakan (perda-perda) pengelolaan lingkungan hidup yang bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat/konstituen.
Hotel Istana Makassar, 11 September 2004

Tidak ada komentar:

Posting Komentar