community metaplan (kprm, 2008) |
Disajikan dalam
Semiloka Environmental Parliement Watch (EPW) dan Sosialisasi Tools
Pemantauan
oleh M. Nawir
Isu lingkungan
hidup sudah harus dipahami dalam bingkai politik-ekonomi pembangunan.
Misalnya, mengapa pencemaran lahan pertanian oleh pestisida yang
berlangsung puluhan tahun tidak dianggap sebagai persoalan lingkungan
hidup yang serius oleh pemerintah suatu negara. Atau, mengapa asap
knalpot kendaraan bermotor yang setiap hari kita hirup di jalanan
tidak menjadi prioritas dalam kebijakan pemerintah kota? Bandingkan
misalnya dengan kasus Buyat (PT Newmont Minahasa), atau limbah
tailing PT Freeport di Timika. Kedua kasus itu menjadi persoalan
nasional sampai ke tingkat internasional.
Contoh-contoh kasus
itu menunjukkan adanya “setting” politik lingkungan yang berbeda.
Dalam kasus Buyat maupun Freeport, ada kepentingan negara-negara
investor seperti AS yang langsung terganggu. Kedua kasus tersebut
menyentuh standar perdagangan internasional, dimana investor dari
suatu negara berkewajiban untuk membayar kerugian yang ditimbulkan
oleh aktivitas perusahaannya. Hal ini yang membedakannya dengan
pencemaran pestisida dan emisi gas buangan kendaraan bermotor, belum
ada catatan yang menyebutkan bahwa akibat pencemaran itu ada
perusahaan pestisida atau pemilik kendaraan bermotor yang kena denda,
apalagi diadili atau distop aktivitasnya.
Dengan ilustrasi di
atas, saya ingin menegaskan bahwa persoalan lingkungan hidup di
Sulsel bisa ditelusuri sumbernya dari kebijakan politik-ekonomi yang
ditentukan oleh agenda pembangunan global. Zaim Saidi (dalam MATRA,
September 1994) mengutip istilah “rezimentasi internasional”
untuk menegaskan bahwa politik lingkungan hidup adalah agenda bersama
negara penandatangan KTT Bumi di Brazil tahun 1992. Dalam kaitan itu,
menurut saya fokus strategi pemantauan yang penting diperhatikan
adalah relasi antara kepentingan modal/investor dengan kebijakan
pemerintah. Bagaimana terjadinya sebuah kebijakan atau
undang-undang/peraturan daerah, seringkali dikendalikan oleh
kepentingan ekonomi penguasa.
Beberapa fokus strategi yang saya tawarkan sebagai berikut: Pertama, kebijakan pembangunan yang disponsori oleh MDB’s (multilateral development banks), yang berdampak luas pada perubahan suatu kawasan. Ciri utamanya berjangka panjang yang dibiayai dari pinjaman jangka panjang. Beberapa proyek yang dibiayai oleh MDB’s sejak tahun 1990-an:
Beberapa fokus strategi yang saya tawarkan sebagai berikut: Pertama, kebijakan pembangunan yang disponsori oleh MDB’s (multilateral development banks), yang berdampak luas pada perubahan suatu kawasan. Ciri utamanya berjangka panjang yang dibiayai dari pinjaman jangka panjang. Beberapa proyek yang dibiayai oleh MDB’s sejak tahun 1990-an:
- Nama ProyekSektorPersetujaun Dok.Donor
Sulawesi Urban Development II (42 kota, 4 propinsi) Urban Development April-Agustus-Januari 1997 IBRD Regional Watershed Development Agriculture Nop – Jan – September 1997 IBRD South Sulawesi Gas Transmision Energy Natural gas Jan-Peb-Maret-Mei 1996 ADB South Sulawesi Gas Transmision and Distribution (Pare-pare &Takalar) Energy/electric power July-Oktober 1997 ADB Ujungpandang Port Urgent Rehabilitation Project Transportation AR1991 OECF Bili-bili Multi Purpose Dam Project (I)Bila Irrigation Project (II)Electric power and gasAgricultureAR1991OECF Bili-bili Multi Purpose Dam Project (II)Bili-bili Multi Purpose Dam Project (III)Irrigation and Flood ControlElectric power and gasAR1993
AR1995OECF
Ujungpandang Water Supply Development Project (I) Social Services AR1994 OECF Small Scale Irrigation Management Project (II) Agriculture, flood control AR1995 OECF Engineering Services for Bakaru HEPP 2nd stage and Assosiated Transmission line Energy AR1996 OECF
(Sumber
diolah dari
Infid, 1997)
Kedua, kebijakan
pembangunan yang berdampak penurunan daya dukung lingkungan dalam
jangka panjang, misalnya kegiatan pertambangan. Perusahaan tambang di
Indonesia memperoleh keuntungan resmi Rp 60 trilyun setahun, dan
hanya sekitar Rp 104 juta setahun yang disetor ke pemerintah
Indonesia. Beberapa kontrak karya pertambangan di Sulawesi Selatan
(Tator, Selayar) sudah ditandatangani oleh pemerintah, sisa mencari
investor. Menghadapi hal ini, aktivis lingkungan hidup baru-baru ini
mendeklarasikan tuntutan moratorium investasi baru dan renegosiasi
perusahaan tambang yang sudah beroperasi.
Bahan Tambang Golongan A dan B
Bahan Tambang Golongan A dan B
Sedang Eskploitasi
|
Lokasi
|
Belum Eksploitasi
|
Lokasi
|
Pasir dan besi | Takalar | Antimonit | Tator |
Emas, Tembaga | Luwu, Tator, Mamuju | Timah Hitam, Cobalt | Mamuju, Luwu |
Kronit, Mangan | Barru, Bone | Besi | Luwu, Bone, Tator, Polmas |
(Sumber: Propeda
Sulsel 2001-2005)
Sektor kehutanan
juga perlu mendapat pemantauan, mengingat setiap tahun mengalami
deforestasi. Luas kawasan pada tahun 1994 adalah 3,35 juta ha. Tahun
1999 menurun menjadi 3,2 juta ha. Luas hutan di Sulsel terdiri atas
hutan lindung 1,9 juta ha, hutan produksi terbatas 828.255 ha atau
25.45 ha, hutan produksi biasa seluas 186.666 ha, hutan produksi
konsumsi 102.073 ha, hutan suaka alam/wisata 208.301. Kebijakan
yang berkaitan dengan sektor ini adalah privatisasi air sejalan dengan
terbukanya investasi. Sejumlah investor sudah
mengkapling mata air kita dengan mendirikan perusahaan air kemasan.
Ketiga, kebijakan
pembangunan yang mengubah tata ruang kota dan pesisir pantai.
Misalnya GMTDC, yang bertanggung jawab atas pembangunan dan
pengembangan kawasan pesisir barat daya kota. Pembangunan
dilaksanakan dalam dua tahap seluas dibangun 1000 ha lahan. Tahap I
direncanakan selesai tahun 2020. Rencananya akan dibangun 3 jembatan.
Dua jembatan dibangun pemerintah kota, satu lagi oleh pemerintah
Gowa. Mega proyek
GMTDC dan Reklamasi Pantai Losari yang dibangun sejak tahun 1997
adalah tidak saja mengubah sempadan pantai, tetapi juga merusak
ekosistem kawasan pantai, yang merupakan sumber mata pencaharian
nelayan Pannambungan, Lette, Mariso, Bontorannu hingga Barombong.
Lebih dari itu, penggusuran terhadap kampung-kampung di sekitarnya
akan terjadi dalam waktu yang tidak terlalu lama lagi.
Proyek lain yang
memiliki karakteristik yang sama adalah pembangunan jalan lingkar
yang akan melalui 16 kelurahan di Makassar. Proyek ini mulai dirintis
pada tahun 2000 berdasarkan studi master plan transportasi Makassar
yang dilakukan oleh JICA pada tahun 1994. Proyek ini sebagian didanai
oleh Bank Dunia dan APBN/APBD. Studi AMDAL yang dilakukan Unhas sudah
selesai pada tahun 2002. Persoalannya kemudian mulai muncul
ketidakpuasan atas biaya pembebasan tanah sebesar Rp 60.000 permeter
sesuai SK Walikota tahun 2002.
Keempat, aktivitas
produksi/produsen yang berpotensi menimbulkan pencemaran B-3 (bahan
berbahaya dan beracun) dan emisi gas buangan kendaraan bermotor.
Sumber-sumber pencemaran di antaranya Rumah Sakit, industri tekstil,
kimia/pestisida, otomotif, dan pabrik logam. Demikian juga dengan
limbah yang dihasilkan hotel-hotel, mall dan perumahan mewah.
Pemerintah kota perlu mengenakan pajak lingkungan (eco tax) kepada
para penghasil limbah itu sebagai bentuk tanggung jawab mereka
terhadap lingkungan hidup. Berkaitan dengan hal tersebut, pemerintah
kota juga perlu segera mengajukan kembali Ranpenda tentang emisi gas
buangan kendaraan bermotor dan program penghijauan kota. Kedua hal
ini saling berkaitan.
Peran Strategis:
Organisasi lingkungan hidup memiliki peran-peran strategis yang
bervariasi menurut tujuan pendiriannya. Pada umumnya, organisasi
lingkungan bergerak di bidang konservasi sumber daya alam. Di banyak
negara maju juga negara berkembang, ada organisasi preservasi
(penyelamat binatang) untuk mengimbangi pelestari tanaman. Tidak
banyak organisasi lingkungan yang bergerak di bidang advokasi
kebijakan. Kemunculannya pun relatif baru dibandingkan dengan
kelompok konservasi. WALHI, misalnya, didirikan pertama kali pada
tahun 1985, tidak lama setelah pembentukan kementerian Lingkungan
Hidup. Organisasi yang bergerak di bidang advokasi pun memiliki
spesifikasi yang berbeda-beda, misalnya ICEL, sebuah organisasi
lingkungan yang menfokuskan diri pada litigasi. Sementara WALHI lebih
menfokuskan perannya pada jaringan dan advokasi non-litigasi.
Kemunculan EPW
(Environmental Parliament Watch) -- yang tampaknya menfokuskan
diri pada pemantauan kebijakan lingkungan hidup – diharapkan
memperkuat gerakan lingkungan hidup di Indonesia, khususnya di
Sulawesi. Menurut saya, tugas pokok EPW adalah melahirkan
konsep-alternatif pengelolaan SDA yang berkedaulatan rakyat. Sehingga
peran EPW harus dijabarkan dalam kerangka advokasi, yakni bagaimana
pemantauan kebijakan mampu mempengaruhi pengambil kebijakan.
Setidak-tidaknya membantu penegakan hukum di bidang lingkungan hidup.
Caranya adalah dengan menjadikan hasil pantauannya sebagai
konsep-alternatif (tandingan). Jadi peran-peran strategis EPW
mencakup empat bagian:
- Memetakan produk-produk kebijakan pemerintah di bidang pengelolaan lingkungan hidup, termasuk di dalamnya mengidentifikasi sistim pengelolaan lingkungan hidup yang berkembang di tingkat masyarakat
- Menyusun dan mempromosikan konsep alternative kebijakan pengelolaan lingkungan hidup bekerja sama dengan kelompok professional, akademisi, politisi, dan NGO.
- Mendorong transparansi dan akuntabilitas pemerintah dan swasta dalam pengelolaan sumber daya alam dan penyediaan informasi kebijakan lingkungan hidup.
- Mempengaruhi pengambil kebijakan untuk membuat dan/atau merevisi kebijakan (perda-perda) pengelolaan lingkungan hidup yang bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat/konstituen.
Hotel Istana
Makassar, 11 September 2004
Tidak ada komentar:
Posting Komentar