28 Jul 2008

Catatan Simpul Uplink Indonesia Makassar


Latardepan Kota

Kata Makassar, merujuk pada kelompok etnis yang umumnya mendiami belahan selatan kota. Makassar, atau “Mangkassara” dalam bahasa daerahnya berasal kata “akkasara”, yang artinya “menampakkan diri”. Sebagai kata sifat, “mangkasara” berarti juga “terus terang”. Pengertian semua itu berkaitan dengan cerita sejarah kedatangan penyebar agama Islam dari Minangkabau, yakni Dato ri Bandang alias Abdul Makmur Khatib Tunggal.

Pada abad 16, Makassar menjadi bandar utama kerajaan Gowa dan Tallo. Tomi Peres, 1513, seorang pelaut Portugis menyebut nama Makassar tua sebagai bandar kosmopolitan, tempat bertemunya berbagai bangsa. Pada tahun 1550-an, para pedagang Melayu mulai bertempat tinggal di Makassar, dan dilaporkan mereka membangun mesjid pertama di kota ini.

Pada abad 19 diperkirakan jumlah penduduk di kota Makassar 15.000 jiwa. Pada 1930, mencapai 84.000 jiwa, di antaranya ada sekitar 3.500 orang Eropa, 15.000 orang China, dan 65.000 pribumi.  Pada tahun 1961, 384.000 jiwa. Kemudian tahun 1980, terjadi lompatan jumlah penduduk menjadi 708.465. Pada awal abad 20, sudah ada 9 konsulat yang berkantor di Makassar, yakni Denmark, Swedia, Norwegia, Inggris, Perancis, Jerman, Belgia, Portugal, dan China. (Dias Pradadimara dalam Kota Lama Kota Baru, 2005). Pada masa itu, bandar Makassar memainkan perannya sebagai simpul pengumpul semua hasil dari belahan timur Indonesia seperti mutiara, teripang, kayu cendana, kopra, rotan.

Pada 1971, Kota Makassar berubah nama menjadi Ujung Pandang. Menurut Dias lagi, Ujungpandang mencerminkan simbol kebaruan dinamika sosial pada masa itu. Orang Bugis menyebutnya “Jumpandang“.  Pada awal 1970-an, etnis bugis memang mayoritas urban di Makassar, yakni 30% dari total penduduk. Pasca reformasi, desakan untuk kembali memakai nama Makassar sangat kuat. Sehingga tanggal 13 Oktober 1999, pemerintahan Habibie menerbitkan PP No. 86 Tahun 1999.


Konteks Sosial

Kota Makassar, Ibukota Propinsi Sulawesi Selatan, berada pada bagian barat Sulawesi dengan ketinggian 0-25 meter dari permukaan laut. Kontur tanahnya adalah dataran rendah dengan luas wilayah 175,77 kilometer persegi. Administrasi kota Makassar terbagi atas 14 kecamatan, 143 kelurahan, 936 Rukun Warga (RW) dan 4.580 Rukun Tetangga (RT).

Total penduduk Makassar tahun 2005 sebanyak 272.727 KK atau 1.173.107 jiwa yang terdiri dari 578.416 laki-laki dan 594.691 perempuan. Populasi penduduk terbanyak di wilayah Kecamatan Tamalate yang – dengan luas 20,21 kilometer persegi – menampung 144.458 jiwa atau sebesar 12,31% dari total penduduk Makassar. Sebanyak 9.392 KK (144.458 jiwa) dari 70.160 KK penduduk miskin di Makassar (BPS 2006) bermukim di wilayah kecamatan ini.

Konsentrasi kepadatan penduduk kota Makassar berada di daerah pesisir, yang membuktikan bahwa sejak dahulu Makassar adalah kota Pantai (Water Front City); dimana pusat pemukiman, pemerintahan dan perdagangan sebagai kesatuan tata ruang masih bisa ditelusuri jejak arkeologisnya. Kampung-kampung pesisir ini adalah basis tumbuh kembangnya kaum urban, yang mencakup separuh dari 14 kecamatan di Makassar, termasuk beberapa pulau. Entitas hidup mereka adalah nelayan, dagang dan buruh. Gerak pertumbuhan ekonomi mereka setidaknya dipengaruhi pelelangan-pelelangan ikan yang dekat dengan pelabuhan, pasar, gudang-gudang, juga hotel dan tempat-tempat hiburan.

Sejak dekade 1990-an, habitat hidup kaum urban pesisir mulai berubah dengan dicanangkannya proyek Water front City, pada tahun 1995. Pemerintah kota dan orang-orang kaya membayangkan Makassar ke depan seperti kota pantai Jakarta, Singapura, Hongkong, entah mana lagi. Pada masa walikota Malik B. Masri (1993-1998), pembangunan proyek “water front city” dimulai dengan reklamasi pantai Losari sejauh 2 km. Proyek ini dibiayai bersama GMTDC (Gowa Makassar Tourism and Developmen Corporation), kongsi pemprov Sulsel, pemkot Makassar, pemkab Gowa dengan swasta (Lippo Group, Darmala, Latief Group, dll). Ketika terjadi krisis politik dan moneter tahun 1997-1998, proyek ini sempat terhenti. Beberapa sengketa pertanahan bermunculan: antara warga dan “tuan tanah” dengan pengusaha dan pengelola proyek Tanjung Bunga. 

Walikota Ilham Arief Sirajuddin (2003-2008) melanjutkan kebijakan pembangunan kota yang pro-investasi di pesisir itu. Ilham yang dipanggil “Aco” oleh para pendukungnya itu mencanangkan “Makassar Great Expectation” dengan ambisi menjadikan “Makassar Kota Dunia 2025”. Konsep yang dicari-cari dari jejak kota Makassar sebagai Bandar niaga dunia. Dengan dukungan politisi, pengusaha, dan ahli tata kota, walikota Ilham memasarkan ikon-ikon metropolis seperti water front city di Tanjung Bunga, hotel-hotel di sekitar kawasan Losari lama, serta mall-mall dan hypermarket di kawasan Panakkukang. Pada masa Ilham juga dilakukan reklamasi Anjungan Losari, reklamasi Celebes Convention Centre (CCC), rehabilitasi jalan Tol, lalu disambung dengan proyek revitalisasi lapangan Karebosi tahun 2007.

Lembaga donor internasional seperti Sofei (Bank Dunia), UNICEF, USAID, JICA, Oxfam pun tidak kalah gencarnya mendampingi kebijakan Pemkot Makassar dengan riset dan pengembangan proyek-proyek kemiskinan, tata pemerintahan, dan infrastruktur kampung. Namun, di balik itu semua, pertumbuhan kota tidak seiring dengan tingkat kesejahteraan RMK. Bisnis, investasi dan proyek-proyek sosial lembaga-lembaga donor itu hanya sejalan dengan tuntutan kemajuan kota, tetapi berselisih jalan dengan tuntutan dasar RMK. Justru tahun 2000-an itu, penggusuran yang dilakukan Pemkot dan pengusaha properti terhadap pemukiman dan PKL meningkat tajam. Catatan Uplink Makassar tahun 2004 dan 2006 – 2008, sedikitnya 16 kasus sengketa tanah dan penggusuran tempat tinggal, serta; 19 kasus penggusuran PKL/kios. Dari 35 kasus penggusuran itu, sedikitnya 1.613 KK kehilangan tempat tinggal, dan 583 PKL kehilangan tempat usahanya.

Besarnya investasi dan proyek-proyek penanggulangan kemiskinan ternyata berbanding terbalik dengan status kemiskinan warga kota. Banyaknya kasus gizi buruk membuktikan hal tersebut. Kasus kematian Dg. Basse dan 2 anaknya menjadi tolak ukur yang komplit mengenai kegagalan proyek penanggulangan kemiskinan di Makassar. Status gizi dan kesehatan Dg. Basse yang sangat buruk memicu kematiannya. Namun, struktur birokrasi politik yang jauh lebih buruk lagi telah memiskinkan status sosial keluarga Dg. Basse. Istri tukang Becak yang berasal dari kabupaten Bantaeng itu tidak mendapat bantuan dan pertolongan pemerintah hanya karena tidak berKTP Makassar dan tidak berKartu Miskin.

Maka, semakin teranglah maksud dari para pemikir kontra-neoliberalisme bahwa kemajuan sebuah pemerintahan diukur dari kemampuannya mengelola investasi dan profit. Ibarat mengelola perusahaan, begitulah mengatur pemerintahan. Walikota bekerja separti layaknya manajer perusahaan yang mengikuti kecenderungan ekonomi pasar bebas, sambil melayani dan melindungi keamanan aset investor. Adapun RMK yang tergusur dan kelaparan itu hanyalah ekses dari investasi yang harus dilakukan demi kemajuan kota. Orang-orang yang tergusur, miskin, lapar dan mati adalah kesalahan orang itu sendiri karena gagal bersaing memenuhi kebutuhan dasarnya. Itulah sesat pikir neoliberalisme kota abad 20.

Politik Pendidikan

Sudah 4 bulan, gubernur Syahrul Yasin Limpo memimpin Sulsel. Para pendukungnya mulai menagih janji-janji politiknya. Komitmen menggratiskan (subsidi penuh) pendidikan dan pelayanan kesehatan mulai diprogramkan. Pemprov membagi penganggaran untuk subsidi dengan kabupaten/kota 40:60%. Program ini diprioritaskan kepada 9 kabupaten/kota yang memenangkannya, termasuk Makassar.

Politik pendidikan gratis ini diuji pada saat penerimaan siswa baru di Makassar. Dari beberapa kasus yang mencuat, persoalan yang sesungguhnya bukan pada besar-kecilnya subsidi anggaran. Pokok persoalannya adalah praktek korupsi yang merajalela di sekolah-sekolah, yang memustahilkan program pendidikan gratis. Pendidikan sudah menjadi komoditi politik untuk mempertahankan jabatan dengan cara suap-menyuap. Fakta yang relevan dengan politik pendidikan di Makassar sebagai berikut:

Pertama, kasus pembocoran soal ujian nasional untuk masuk ke perguruan tinggi yang dilakukan beberapa sekolah swasta. Sindikasi jual-beli jawaban soal ini dimotori oleh kepala sekolah. Sindikasi ini terungkap di media massa. Kasus ini masih dalam pemeriksaan kepolisian, tetapi tidak ada tanda-tanda pelaku (Kepsek) dimejahijaukan.

Kedua, penerimaan siswa SMP/SMA pasca ujian nasional. Pungli dan pembocoran jawaban soal untuk tes penerimaan siswa baru dilakukan oleh oknum guru, anggota komite sekolah dan kepala sekolah. Rahasia umum menyebut “baku-pegang” antara orang tua siswa dengan oknum di sekolah. Orang tua murid harus menyogok oknum-oknum itu untuk menjamin anaknya lolos tes. Bayarannya bervariasi menurut status sekolah: di SMP antara Rp 200.000 – Rp 2.000.000; SMA antara Rp 1.000.000 – Rp 4.000.000. Sudah menjadi rahasia umum, tetapi sulit dibuktikan.

Ketiga, pungli terjadi setelah siswa lolos tes dan mendaftar ulang. Sekolah memungut biaya pengadaan seragam, buku cetak, perlengkapan lainnya. Di SD Rp 300.000 – Rp 500.000; SMP Rp 500.000 – Rp 2.000.000; SMA Rp 1.000.000 – Rp 4.000.000. Diperkirakan sekolah mendapat keuntungan persiswa minimal Rp 200.000 perpaket penjualan. Dengan perkiraan 19.000 siswa SMP/SMA/SMK yang diterima setiap tahun, sekolah mengumpulkan Rp 3,8 milyar atau Rp 60 jutaan persekolah. Belum termasuk pungli dari siswa “letjen” yang berkisar Rp 1 juta – 6 Rp juta (Tribun Timur, 15/07/08).

Keempat, sindikasi pelaku pungli sekolah sampai ke pejabat Pemkot. Melalui forum MKKS (Musyawarah Kerja Kepala Sekolah), setiap Kepsek menyetor Rp 2,5 juta kepada pejabat di Balai Kota. Harian Tribun Trimur (18/07/08) mensinyalir salah seorang pejabat yang menerima setoran itu adalah tim sukses kandidat walikota.

Gubernur Syahrul Yasin Limpo bereaksi keras atas kenyataan di atas. Dia mendesak pihak Pemkot, kejaksaan dan dinas pendidikan mengusut dan memecat Kepsek yang terbukti pungli. Hasilnya, 2 kepala sekolah dicopot dari jabatannya, 4 kepsek dimutasi (Tribun Timur, 22/07/08). Tidak satu pun yang dimejahijauhkan. Padahal, pungli adalah delik aduan dalam Undang-undang antikorupsi. Anehnya lagi, pada saat bersamaan kepala dinas pendidikan mewakili Pjs Walikota melantik kepala-kepala sekolah baru. Padahal, sebulan lalu (30 Juni 2008), beberapa hari sebelum walikota Ilham Arief Sirajuddin mendaftar sebagai kandidat di KPU, walikota Ilham melantik 106 Kepsek baru. Semua itu menggambarkan situasi pendidikan kita yang dikendalikan elit politik dan penguasa. Para elit ini tidak pernah menjadikan praktek korupsi di sekolah yang sudah berlangsung bertahun-tahun itu sebagai titik tolak untuk mengubah sistim pendidikan.

Politik Ekonomi

Ada dua kelompok pengusaha yang sangat mempengaruhi opini politik warga kota Makassar setahun terakhir ini, yaitu percetakan dan warung kopi. Percetakan memproduksi tulisan, foto, gambar-gambar dan mempengaruhi opini publik di koran dan di jalan-jalan. Warung kopi memproduksi gosip, rumor dan ramalan-ramalan tentang sepak terjang aktor-aktor politik dan mempengaruhi opini melalui obrolan informal dan diskusi-diskusi terbatas. Keduanya memiliki motivasi dasar mencari keuntungan.

Motivasi mencari keuntungan, kata lainnya menumpuk kekayaan pribadi adalah sifat dasar dari para politisi maupun calon politisi dewasa ini. Pola hubungan yang dibangun politisi dengan pemilihnya persis dengan pola hubungan politisi dengan pengusaha: uang adalah segalanya. Demokrasi berjalan karena ada uang. Tuntutan seperti ini sudah membelenggu parpol, politisi dan pendukung serta pemilihnya, mulai dari pengumpulan KTP, mobilsasi massa untuk pendfataran dan kampanye, hingga menjelang pemungutan suara. Konsep dan program-program menguap di koran-koran, di jalanan dan warung kopi.

Pertarungan kandidat Walikota dan wakil walikota Makassar adalah riil politik yang dibeking para pemilik modal. Partai politik dan Ormas hanyalah kendaraan yang dipakai kandidat untuk menggenapkan syarat minimal 15% kursi parlemen. Para kandidat pun tidak naik kendaraan parpol secara gratis. Mereka harus membayar ratusan juta bahkan milyaran rupiah sebagai ongkos untuk menggerakkan mesin politik. Dan, mesin politik artinya dukungan struktural partai politik sampai ke basis pemilih. Semakin tinggi strukturnya, semakin besar bagian duitnya. Sementara massa cukup dihargai dengan paket sembako, baju kaos, dan uang bensin.

Tanggal 15 Juli lalu, KPU  Makassar menetapkaan 7 pasangan kandidat walikota; 4 pasang di antaranya tidak dicalonkan partai. Walikota Ilham Arief Sirajuddin kembali mencalonkan diri berpasangan dengan mantan Sekretaris kota Supomo Guntur. Pasangan ini diusung oleh Partai Golkar dan PDIP. Pasangan lainnya, Idris Manggabarani dengan Adil Patu diusung Partai Demokrat, PDK dan PAN; pasangan Halim Razak – Jafar Sodding diusung PKS; pasangan Ridwan Musagani – Irwan Paturusi diusung PPP, PBB, dan partai kecil lainnya. Dari keempat pasangan kandidat itu, 4 diantaranya berlatar belakang pengusaha; 3 politisi, dan 1 birokrat.

Blok Politik OMS

Ada konteks yang berbeda antara Pilkot dan Pilgub. Dalam proses politik Pilgub tahun lalu, Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) membangun komitmen dengan kandidat-kandidat. Para aktifis LSM, Ormas dan mahasiswa membentuk blok-blok politik, dan aktif mempromosikan isu beserta kepentingan politiknya kepada tiga kandidat. Misalnya, isu anti korupsi diblok oleh pasangan Azis Kahar Muzakar – Mubyl Handaling. Blok ini didukung oleh aktifis anti-korupsi dari ACC, Perak, dan aktifis yang pro penegakan Syariat Agama. Isu hak-hak dasar diblok oleh pasangan Syahrul Yasin Limpo – Agus Arifin Nu’mang (SAYANG). Blok ini didukung oleh aktifis perempuan (KPI) dan komunitas RMK. Sedangkan blok politik pasangan incumbent Amin Syam – Mansur Ramly (ASMARA) didominasi oleh aktifis Parpol (khususnya Golkar) dan Ormas tanpa isu yang spesifik.

Pilgub Sulsel akhirnya dimenangkan oleh pasangan SAYANG dengan selisih suara 0,7% dari pasangan incumbent. Kecilnya selisih suara dan tingginya pemilih yang tidak menggunakan hak suaranya – sekitar 40%, sedangkan pemenang hanya mengumpulkan suara sekitar 37% dari 4 jutaan wajib pilih – melemahkan legitimasi hasil Pilgub. Akhirnya, Pilgub SAYANG dengan dukungan aksi puluhan ribu massanya, baru bisa dilantik pada februari 2008 setelah lolos dari sengketa di Mahkamah Agung.

Pengalaman dari Pilgub Sulsel ternyata tidak memberikan pendidikan politik yang maju bagi aktifis LSM di Makassar. Blok politik justru semakin kuat dikendalikan oleh partai politik, politisi dan pengusaha. Calon perseorangan yang semula diadvokasi oleh aktifis LSM, juga sudah diblok orang-orang parpol dan pengusaha. Seolah-olah independen, calon perseorangan tidak lebih sebagai pemecah blok politisi yang ada. Sementara LSM dan mahasiswa saat ini seperti kehilangan orientasi politik. Gerakan politik mereka masih di tataran wacana, yakni mempengaruhi opini publik tentang parpol dan kandidat dengan jargon-jargon politiknya yang semakin tidak menarik.


Strategi Uplink Makassar

1. Pengorganisasian

Dari Kongres II KPRM bulan Pebruari 2008, ditetapkan bahwa KPRM adalah organisasi rakyat yang berbasis keanggotaan. Maka disusunlah tiga lapis keanggotaan, yakni anggota biasa, anggota pendamping, dan anggota luar biasa. Anggota biasa adalah individu-individu yang berasal dari RMK di kampung maupun sector; anggota pendamping adalah individu yang bukan komunitas RMK, yang secara intensif mengorganisir RMK dan berterima di kalangan KPRM. Sedangkan anggota luar biasa adalah individu yang bukan komunitas RMK, tetapi dianggap memiliki kemampuan atau pun keahlian tertentu dan mau memperjuangkan hak-hak RMK bersama KPRM, misalnya jurnalis, pengacara, akademisi, aktifis LSM, dll. Untuk membangun kekuatan organisasi, maka:

a) CO Uplink dan pengurus KPRM mengusahakan penggalangan anggota di seluruh kecamatan dan kelurahan dengan cara mempromosikan gerakan menabung, kesehatan alternatif, KBA dan operasi beras murah, dan advokasi hak-hak dasar. Namun, usaha ini belum tercapai maksimal. Ruang lingkup KPRM masih itu-itu juga: 5 kecamatan; 10 kelurahan; 24 kelompok tabungan; 6 KBA; 1 organisasi becak; Klaim anggota sekitar 947 KK. Kendala utamanya pada kualitas, dalam hal ini, kapasitas, kompetensi, integritas CO. Kendala jumlah CO masih bisa diatasi dengan penguatan CL.

b) CO Uplink mengembangkan pelatihan kader penggerak kelompok, yang diprioritas kepada CL dan kolektor tabungan. Pelatihan ini dimaksudkan untuk mengatasi jumlah CO. Rencananya, pelatihan seperti ini akan dilakukan setiap tiga bulan. Pesertanya adalah anggota baru yang direkrut oleh CO Uplink maupun CL KPRM yang sudah dilatih.

c) Rekrutmen tenaga indok/Litbang dilakukan untuk menjamin tertatanya sumber-sumber informasi di sekretariat untuk mesupport kerja advokasi. Namun, data dan informasi yang terkumpul dalam bentuk kliping maupun database saat ini belum menjadi referensi CO untuk memetakan permasalahan dan melakukan aksi.

2. Advokasi

Advokasi diartikan sebagai cara-cara KPRM bersama CO Uplink membantu pemecahan permasalahan hak-hak dasar anggota yang berhubungan langsung dengan kebijakan pemerintah. Cara-cara yang ditempuh sedapat mungkin berhasil membuat – cepat atau lambat – pemerintah memenuhi hak-hak dasar tersebut.

Dalam bingkai pengorganisasian, praktek-praktek advokasi itu dimaksudkan sebagai bentuk pelayanan (perhatian) kepada anggota, menjaga kepercayaan, melatih kemampuan memecahkan masalah, dan mempromosikan misi perjuangan organisasi kepada publik luas. Layanan advokasi bisa perorangan maupun kelompok. Misalnya, membantu seorang anggota yang dipersulit di Rumah Sakit, di sekolah, di kantor lurah, dll. Bisa juga secara kolektif, misalnya aksi ke kantor menuntut pemkot menerbitkan kartu miskin, aksi menolak kenaikan harga BBM di kantor pertamina, aksi memprotes pungli di sekolah ke kantor dinas pendidikan.

Sejauh ini, praktek-praktek advokasi KPRM bersama CO Uplink cukup efektif dan bermanfaat bagi anggota. Hanya saja, output dari aksi advokasi itu belum sampai mengubah kebijakan secara mendasar, dan tidak pernah ada kebijakan baru yang dihasilkan dari advokasi KPRM. Hal ini akan mempengaruhi psiko-sosial komunitas anggota, juga keyakinan CO. Contoh kemenangan warga Bontoduri melawan Idris Manggabarani di PN, dirasakan sementara saja. Kemungkinan dikalahkan masih menghantui warga setelah menyadari buruknya kinerja lembaga peradilan.

Pada momen Pilgub lalu, KPRM mendukung salah satu kandidat yang mempromosikan kebijakan pendidikan gratis. Ini juga bagian dari strategi advokasi. Harapannya, gubernur baru sungguh-sungguh mensubsidi pendidikan (di luar BOS), yang akan meringankan beban pembiayaan sekolah bagi RMK. Dan, subsidi itu terjadi. Tapi, ternyata pokok persoalan pendidikan bukan hanya di anggaran. Pokok persoalan sesungguhnya pada mental korup yang sudah lama menghinggapi aparat pengelola sekolah dari guru, kepala sekolah sampai ke pejabat pemerintah. Sama persis mental korup itu di jajaran birokrasi dari pemkot sampai kelurahan. Kenyataan seperti ini mendorong Uplink Makassar untuk aktif mengadvokasi masalah korupsi.

Hasnia Dg, Caya ketua KPRM mewakili unsur masyarakat sebagai penandatangan Pakta Integritas bersama Walikota dan Pengusaha. Pengalaman ini membuka akses KPRM dan Uplink Makassar untuk berjaringan dengan organisasi anti-korupsi seperti TII. KPRM menjadi mitra program TII yang intensif di Makassar.

3. Jaringan

Pola jaringan yang dilakukan Uplink Makassar masih horizontal dan lokal. Umumnya masih taktis berdasarkan isu bersama, misalnya bergabung dengan aksi-aksi mahasiswa (Front Kebangkitan Rakyat) menolak kenaikan harga BBM; bergabung dalam aksi-aksi GERAM (Gerakan Rakyat Makassar) menolak BHP. Aliansi yang dianggap strategis adalah aliansi menolak penggusuran Kassi-kassi, Mariso, dan Bontoduri. Organisasi yang secara tetap tergabung dalam aliansi itu antara lain: LBH Makassar, YLBHM, Lapar, dan Walhi.

Aliansi yang lebih strategis sedang digalang enam bulan terakhir ini. Selain LSM yang aktif mengadvokasi penggusuran itu, Uplink Makassar mengaktifikan diskusi dengan kelompok akademisi dan aktifis kampus. Ruang lingkud diskusinya pada isu-isu perkotaan dengan fokus kemiskinan, globalisasi dan hak-hak dasar RMK. Salah satu kelompok kajian yang terbentuk adalah Forum Kajian Kota (Forkata). Forum ini menginisiasi gagasan tentang gerakan sosial pada tiga lapis, yakni pengorganisasian, reproduksi gagasan, dan blok politik demokrasi. Untuk kebutuhan Uplink Makassar, Forkata bisa mengisi kelemahan/kekurangan yang tampak jelas, misalnya: litbang, pengembangan kapasitas dan penerbitan.

Makassar, 26 Juli 2008

AWI

20 Jul 2008

Catatan Simpul Uplink Indonesia Palu


Latardepan Kota

Kota Palu, ibukota Sulawesi Tengah dibelah sungai besar, yang membagi kota ini menjadi 2 wilayah. Orang Palu menyebutnya Palu (Pantai) Barat dan Palu (Pantai) Timur. Penyebutan ini biasanya merujuk pada asal seseorang (suku) dengan karakteristik tertentu. Misalnya, di Palu Barat bermukim penduduk asli (Kaili) dialek Da’a. Orang-orang pendatang menyebut mereka ”orang gunung” atau ”mangge-mangge”. Di bagian kota ini hanya ada 1 traffic light, 1 gereja, mesjid raya, pasar tertua, pasar inpres. Becak hanya beroperasi di sini. Sementara di Palu Timur berpusat kantor pemerintah seperti kantor gubernur, dinas-dinas, kantor DPRD, RSUD Undatu, perumahan pejabat, perhotelan dan kantor-kantor LSM.

Saat ini wilayah kota Palu diperluas menjadi 4 administrasi pemerintahan: kecamatan Palu Timur, Barat, Utara, dan Selatan. Terdiri dari 43 kelurahan, 58 lingkungan, 270 RW, dan 939 RT. Kepadatan penduduk tertinggi di kecamatan Palu Barat, yakni 1.550 perkm². Dengan luas wilayah 57,7 km², jumlah penduduknya 89.073 jiwa atau 19.935 KK. Sekitar 30 % penduduk kota Palu bermukim di Palu Barat, tersebar di 15 kelurahan.

Luas kota Palu 395 km² dengan populasi penduduki 302.000 jiwa atau 65.438 KK. Pegunungan mengelilingi seluruh ruang kota dan mentok di Teluk. Kota ini terasa sempit dan biasa-biasa saja. Lalu-lintas masih longgar dibanding Makassar maupun Manado. Padahal jalan-jalan raya tidak begitu luas. Tidak banyak perkantoran, mall atau pun hotel yang mentereng. Begitu pun rumah-rumah penduduk. Satu-satunya bangunan di pusat kota yang dianggap mewah adalah Mall Tatura di kelurahan Maesa Palu Selatan. Satu bangunan mewah lainnya ada di pantai Barat, Swiss Bel Hotel.

Kota Palu dihuni oleh sedikitnya 40% pendatang yang didominasi orang Bugis-Makassar.  Mereka juga mendominasi sektor jasa dan perdagangan. Mereka menguasai lods, ruko-ruko, dan distribusi barang pabrikan. Sementara sektor informal seperti PKL, khususnya pedagang komoditi pertanian, tukang becak, buruh, dan sais bendi kebanyakan digerakkan orang Kaili.


Palu Kota Teluk

Garis pantai kota Palu membentuk tapal kuda dan menganga ke laut Sulawesi. Panjangnya sekitar 5 km, terbelah dua oleh muara sungai Palu menjadi pantai Talise dan di Palu Timur dan pantai Tamanria di Palu Barat. Akses keduanya dihubungkan oleh jembatan IV Teluk Palu yang bercat kuning sepanjang 500 meter. Pada sore hingga dini hari, menjadi tempat pelesir dan jajanan PKL.  Ada sekitar 500-an pedagang di sepanjang pantai itu yang digerakkan oleh penduduk sekitar pantai bekerjasama dengan pemerintah dan preman setempat. Mereka dikenakan retribusi Rp 7.000 semalam. Di pantai Tamanria, kebanyakan  penjualnya adalah orang Kaili bercampur dengan orang Bugis dan Jawa. Tempat berjualan mereka lebih tertata, berjejer dengan cat warna-warni.  Sementara di pantai Talise umumnya penjual adalah orang Bugis-Makassar berbaur dengan orang Kaili dan Jawa. Kebanyakan tempat berjualan di sini menggunakan tenda plastik, di samping gerobak.

Selain hiburan remang-remang seperti karaoke dan ”praktek prostitusi”, di sepanjang pantai ini ada 100-an pengamen. Ada kelompok pengamen yang terorganisasi, yakni Pedati (Persatuan Pengamen Adat dan Tradisi). Kelompok ini paling dikenal di kota Palu karena dibina oleh Dewan Kesenian, dan sering diundang pejabat. Kelompok kedua adalah KPJ (Kelompok Pengamen Jalanan) yang punya jaringan sendiri. Ada 1 kelompok kecil pengamen yang menyebut dirinya KPTR ((Kelompok Pengamen Tamanria), tidak terorganisasi, anggotanya tersisa 5 orang, dikenali dari lagu-lagu daerahnya.

Begitulah situasi Palu Kota Teluk saat ini. Mirip situasi di pantai kota Makassar maupun Manado tahun 90-an, sebelum proyek Water front City digulirkan. Water front City adalah konsep dasar kapitalisasi kota dari pantai. Dan, jika tidak ada aral melintang, Palu akan seperti Makassar, Manado dan Jakarta, dimana pantai disediakan bagi orang-orang kaya, investor asing, dan turis. Sektor informal dan nelayan yang menggantungkan hidupnya dari Teluk terancam digusur.

Pasar Manonda

Pasar Inpres Manonda, pasar tradisional terbesar di Palu. Letaknya di Palu Barat. Dibangun pertama kali pada akhir tahun 70-an. Sepanjang usianya itu sudah tiga kali terbakar dengan sebab-sebab yang tidak pernah jelas. Sisa pasar ini yang belum direnovasi. Pasar lainnya seperti pasar tua, sudah direnovasi menjadi ruko-ruko pasca kebakaran. Pasar Masomba, sebagian sudah dibangun menjadi Mall Tatura.

Pasar Inpres Manonda adalah representasi dinamika perdagangan rakyat yang menampung berbagai cara hidup informal dan tradisional. Petani dengan komiditi pertaniannya berbaur dengan pedagang kain, kelontongan, pedagang ikan, tukang becak, tukang kredit, buruh, preman, bendi, ojek, parkir, pemulung dan sopir angkot. Ibu-ibu (Ina-ina) pedagang hasil bumi mengisi lorong-lorong, di antara lods-lods pakaian dan barang pabrikan. Mereka hidup berdampinngan. Semuanya diikat oleh sistem ekonomi pasar yang berbatas tradisi.

Ada sekitar 2.000-an unit lods dan lebih 4.000 pedagang di dalam dan diluar pasar. Para pedagang hasil bumi mengelilingi halaman hingga ke semua ruas jalan raya, membuat pasar terasa sumpek dan jorok. Sekitar 400-an tukang becak dan sais bendi, 4 pangkalan ojek, ratusan gerobak PKL menggantungkan hidupnya dari transaksi ekonomi pasar ini. Persatuan Pengemudi Becak Kota Palu (PPB-KP) adalah organisasi pengemudi becak yang bermarkas di pasar ini. Mereka berbaur dengan pedagang sayuran, buah, rempah-rempah, dan pedagang ikan.

Distribusi kekuasaan dan dominasi antaretnis pun terjadi di sini. Pedagang-pedagang bugis menguasai lods dan kios-kios. PT Saridewi yang mengelola pasar ini pun milik orang Bugis. Mereka diuntungkan oleh akses modal di antara sesamanya,  sehingga bisa menguasai jalur distribusi dan mengendalikan harga, bahkan menentukan struktur kekuasaan di pasar. Soal yang terakhir ini seringkali memicu sentimen etnis di antara pendatang dengan penduduk asli.


Mall Tatura

Satu-satunya Mall di kota Palu yang terletak di kelurahan Maesa, Palu Selatan. Dibangun di atas pasar tradisional Masomba pada tahun 2005. Mall ini menyisakan sebagian lapak, kios dan lods pasar yang masih ramai pengunjung. Dengan situasi yang kontras ini, nasib pedagang pasar Masomba bergantung pada arah kebijakan Pemkot dan pengelola Mall.

Sebesar 97% saham Mall Tatura adalah milik Pemkot dibawah PD (Perusahaan Daerah) Palu. Pemkot membeli saham ini dari PT Citra Nuansa Elok (PT CNE) pada september 2007 dengan dana APBD.  Total aset Mall senilai 130 M. Pendapatan setahun rata-rata Rp 50 juta. Hal ini yang membuat anggota DPRD kota, khususnya dari partai Non-Golkar, memprotes Pemkot. Pendapatan itu jauh dari target APBD.

Belakangan ini Pemkot bermaksud melepas kembali sahamnya kepada swasta, dalam hal ini kepada PT CNE. Komisaris PD Palu, Supratman adalah juga komisaris PT CNE, bersama Hidayat, seorang pengusaha Bugis, memiliki sisa saham Mall. Dengan dasar ini, rencana penjualan saham Mall itu dianggap sebagai permainan walikota dengan konco-konconya, yakni partai Golkar dan PT CNE. Tujuannya adalah mengumpulkan dana persiapan Pilkada dan Pemilu 2009.

Mall Tatura adalah contoh awal menuju kapitalisasi kota, khususnya terhadap pasar-pasar tradisional di Palu ke depan. Jika dirasiokan dengan jumlah penduduk, kota Palu membutuhkan sedikitnya 4 mall lagi. Cepat atau lambatnya, sangat bergantung pada: pertama, modal besar yang dibeking penguasa. Artinya, tugas Walikota adalah mencari investor. Kedua, lokasi yang strategis. Garis pantai kota Palu adalah ruang terbuka luas bagi investor. Ketiga, peluang perekonomian kota Palu di masa datang. Soal yang ketiga ini, yang tampaknya belum bisa meyakinkankan investor. Hal ini berkaitan dengan karakteristik pasar ekonomi rakyat Palu yang bertumpu pada sektor informal.

Investasi membutuhkan situasi yang kondusif, berterima dan aman. Bekas-bekas kerusuhan dan potensi konflik antar-etnis yang masih laten, akan menghambat kapitalisasi kota.


TAXI

Angkot di kota Palu seperti mesin yang tidak kenal berhenti bekerja, sepanjang hari mengitari kota. TAXI! Itulah sebutan untuk kendaraan angkutan umum kota Palu. Segala jenis kendaraan yang dipakai sebagai angkutan umum disebut Taxi. Tidak ada argo, tempat mangkalnya bisa di pasar, di Mall, atau pun di Bandara. Sarana transportasi ini yang menghubungkan roda ekonomi rakyat kota Palu dari Barat ke Timur; desa ke kota dan sebaliknya. Seperti halnya tukang becak, bendi, ojek, pedagang pasar, pemulung, PKL, Taxi adalah sektor informal yang sangat berperan membentuk moda produksi dan dinamika sosial kota.

Taxi memuat dan mengantar siapa saja ke tujuan masing-masing. Tarif dan trayeknya sesuai ketentuan Pemkot. Namun, rute perjalanannya tergantung kesepakatan sopir dengan penumpang. Hampir tidak ada pembatasan jalan bagi angkot. Polisi lalu lintas pun sangat kurang di jalanan. Pelanggaran lalu lintas tergolong rendah.

Kebanyakan sopir adalah orang-orang pendatang bugis dan jawa, tetapi menguasai betul nama-nama kampung, jalan, bahkan lorong. Penumpang tidak khawatir diturunkan di tengah jalan atau disesatkan, dan selalu sampai tujuan.

Konteks Politik

Walikota Palu, Rusdy Mastura (60 th)) dari partai Golkar. Publik memanggilnya Cudy. Dia penduduk asli, asal Pantai Timur (Palu Utara). Dari nama belakangnya Mastura, ada spekulasi yang menyebut dia berdarah bugis juga. Saat ini, Cudy adalah Ketua Pemuda Pancasila Sulteng, dan pernah lama di Jakarta. Walikota ini dikenal sangat responsif terhadap persoalan warga kota. Belum ada kasus korupsi yang melibatkan dirinya.

Dia tidak suka didemo, tapi terbuka untuk berkomunikasi dengan aktifis LSM. Tidak sulit ditemui, ditelpon dan mau menghadiri undangan LSM. Beberapa persoalan bisa diselesaikan dengan kebaikan Cudy. Misalnya, kesulitan keluarga Siti, penderita tumor yang saat ini sudah 5 bulan dirawat di RS Wahidin Makassar. Komunikasi dengan Cudy memudahkan keluarga Siti bertemu dan mendapatkan bantuan dari kepala dinas kesehatan.

Pembangunan Mall Tatura dianggap salah satu keberhasilan walikota Cudy. Dari Mall ini diharapkan terjadi peningkatan PAD Pemkot Palu. Selama beberapa periode pemerintahan, sumber utama PAD Pemkot Palu di atas Rp 1 milyar adalah pajak restoran, reklame, PPJ  dan tambang galian C. Sementara pendapatan utama di atas Rp 500 juta dari retribusi pelayanan kesehatan, kebersihan/sampah, dan KTP. Retribusi dari pasar hanya Rp 365 juta.

Total PAD Pemkot Palu tahun 2005 sebesar Rp 22.841.670.219. Tidak sampai 10% dari total APBDnya Rp 365.726.956.457. Artinya, 90% Pemkot Palu bergantung kepada bantuan dana perimbangan pemerintah pusat (APBN). Fakta ini jelas akan memicu Pemkot untuk menggenjot sumber-sumber pendapatan daerah yang baru. Selain Mall Tatura, kemungkinan akan dibangun Mall lain atau yang sejenisnya.

OMS

Kecenderungan OMS di Palu mengarah pada penguatan basis politik organisasi massa. Segmen-segmen komunitas seperti tukang becak, PKL, pemulung, nelayan, dengan cepat diorganisasikan. Organisasi menjadi wadah mengelola konflik dan kepemimpinan. Misalnya, di kalangan tukang Becak ada PPB-KP (Persatuan Pengemudi Becak Kota Palu) yang menggantikan Persatuan Pengemudi Becak Manonda. Nelayan di pantai Barat membentuk SNTP (Serikat Nelayan Teluk Palu). Tahun lalu organisasi nelayan ini membakar 6 alat tangkap ikan milik pejabat/pengusaha di Palu. Pemulung tergabung dalam Sapu-Kopa, Serikat Pemulung Kota Palu. Belakangan, muncul OPEK (Organisasi Pemulung Kota), pecahan dari Sapu Kopa. Sedangkan JARAK (Jaringan Rakyat Kecil) adalah organisasi rakyat yang mewadahi berbagai simpul komunitas di kampung dan sektor. PPB-KP, OPEK, dan kelompok ibu-ibu tabungan bergabung dalam JARAK.

Di tingkatan LSM, umumnya berafiliasi dengan LSM di Jakarta. Mirip partai politik, yang hirarkinya lokal-nasional, daerah-pusat. Misalnya, WALHI, Kontras, LPSHAM, AMAN, YLKI, JARI, KPI, SP, dan masih banyak lagi adalah organisasi jaringan di Jakarta yang bercabang di Palu Sulteng. Isu dan agenda perjuangannya relatif nyambung ke Jakarta. Berbeda dengan LSM seperti YTM (Yayasan Tanah Merdeka), YPR (Yayasan Pendidikan Rakyat), Evergreen, YBH (Yayasan Bantuan Hukum-Bantaya) yang tumbuh dengan riwayat lokalitasnya. LSM-LSM bekerja menurut tantangan lokal, sambil berjaringan secara nasional dan internasional.

Gerak politik aktifis LSM di Palu mengarah pada pembentukan “blok politik demokrasi”, istilah yang dipakai Olle Tornquist (Demos, 2007), yakni: strategi perjuangan OMS di Sulteng untuk mengkonsolidasikan isu-isu spesifik menjadi platform bersama sambil menggabungkan kerja parlementer dan non-parlementer. Kerja aktifis LSM tidak hanya mengadvokasi kebijakan pemerintah daerah, yang biasanya disebut politik non-partisan. Lebih dari itu, aktifis LSM mengusahakan adanya representasi politik. Sejumlah tokoh aktifis LSM di Palu adalah juga pengurus partai politik, misalnya di PPR, PRP, Papernas, Pelopor dan PDIP. Bahkan, LSM di Palu bisa bersatu memperjuangkan kandidat politiknya. Semua ini disadari sebagai kerja sambil belajar berpolitik untuk melahirkan kader pemimpin.

Pengorganisasian

Beberapa minggu lalu, JARAK mengadakan Kongres kedua, yang dihadiri representasi anggota dari ibu-ibu tabungan dari berbagai kampung, tukang becak, pemulung, dan buruh. Kongres ini memilih ketua dan pengurus baru. Yunus dari kampong Kawatuna terpilih sebagai ketua JARAK menggantikan Hasnah.

JARAK menjaring dan mengkoordinasi anggota dengan kegiatan menabung, pelayanan kesehatan alternatif, pengembangan ekonomi (kebun), KBA, dan pelatihan-pelatihan. Pertemuan-pertemuan berkala di tingkatan kota mulai kendor. Kendala anggota adalah biaya transportasi ke sekretariat. Kendala ini berkaitan dengan kondisi ekonomi yang dirasakan anggota semakin berat.

Pengembangan kelompok dan perluasan organisasi sangat bergantung pada erat-tidaknya kerjasama CO dengan simpul-simpul komunitas. Konflik internal terjadi di tingkatan organ hingga sekretariat. Di tingkatan organ: PPB-KP vs Tamin PERAK; Bahar OPEK vs Rahman Sapu Kopa. Di tingkatan Uplink antara Hasnah-Ano dengan Jamal. Tipikal konfliknya adalah perbedaan interest, yang menyulitkan orang luar ikut campur. Soal ini masih berlangsung dan belum ada resolusi yang disepakati.

Secara umum, JARAK maupun Uplink di Palu dikenal sebagai salah satu OMS (LSM) yang menfokuskan kerjanya pada komunitas perkotaan. Memiliki sekretariat yang jelas. Statusnya sudah setara dengan OMS yang lain. Polularitasnya sampai ke organisasi pemerintah. Aksesnya sampai ke level nasional.

Advokasi Hak-hak Dasar

Kebanyakan advokasi yang dilakukan Uplink Palu adalah bagian kerja berjaringan dengan LSM lainnya. Uplink Palu bergabung dalam berbagai koalisi LSM untuk mengadvokasi kepentingan publik seperti Perda Pemenuhan Hak Anak, Pelayanan Publik (MP3), Kenaikan BBM, Pilkada,  dan lain-lain. Advokasi yang dilakukan sendiri biasanya bersifat perorangan, di samping dan aksi-aksi solidaritas yang digerakkan oleh sekretariat Uplink.

Kerja advokasi dikoordinasi oleh staf sekretariat Uplink. Mediasi dan lobi ke Pemkot, dinas, dan dewan kota dilakukan staf Uplink untuk kepentingan anggota. Kerja seperti ini disadari betul sebagai pelayanan untuk menjaga tingkat kepercayaan anggota. Satu contoh adalah advokasi kasus Siti Maryam, bayi usia 1 tahun penderita tumor yang saat ini dirawat di RS Wahidin Makassar. Mobilisasi dukungan dilakukan di tingkat komunitas JARAK. Lobi dilakukan ke dinas kesehatan hingga walikota. Hasilnya baru sampai pada komitmen Pemkot untuk meringankan beban keluarga Siti, belum mengubah kebijakan Pemkot tentang pembiayaan dan pelayanan pasien rujukan.

Kader-kader kampung (CL) aktif di kelompoknya mengikuti kecenderungan yang ada. Kebanyakan CL itu terlibat aktif dalam program kemiskinan pemerintah, misalnya P2KP, Askeskin, dan BLT. Keterlibatan tersebut disadari sebagai cara CL membangun akses untuk kepentingan pribadi maupun kepentingan anggota kelompok. Hanya saja, masalah yang muncul di tingkat kampung dengan pemerintah setempat cenderung diselesaikan dengan kompromi. Masih ada anggapan CL bahwa mempublikasi masalah di kampung adalah tindakan yang membuka aib orang.

Beberapa kasus yang diadvokasi sekretariat Uplink Palu sendiri maupun bersama jaringan antara lain:

- Pendampingan kasus Penggusuran PKL pasar Masomba dan pasar Manonda

Pembelaan pedagang buah BNS yang diusir Satpol PP

- Penolakan Perda Pembatasan Becak

- Aksi solidaritas untuk korban pemukulan tukang becak oleh Satpol PP

- Penolakan rencana Pemkot membangun Pabrik Gas Metan di Kawatuna

- Aksi solidaritas di DPRD untuk nelayan Teluk Palu

Jaringan

Kerja jaringan Uplink Palu direpresentasi oleh Ano hingga ke tingkat nasional. Sementara Hasna merepresentasi kerja jaringan di tingkatan komunitas JARAK. Kombinasi ini saling mengisi, yang kemudian mempopularitaskan Uplink Palu sebagai gerakan LSM.

Jaringan dengan para jurnalis cukup baik. Uplink Palu memiliki kontak personal dengan wartawan Harian Radar Sulteng maupun Mercu Suar. Advokasi Uplink Palu dengan mudah dipublikasikan. Hanya saja, akses CL-CL komunitas JARAK dengan para jurnalis, khususnya reporter TV masih terbatas.

Catatan Penutup

Dari diskusi (berkenalan) dengan Syamsudin (reporter SCTV, anggota AJI) dengan pengurus JARAK di sekretariat Uplink Palu. Ada komitmen yang kuat dari Syamsudin untuk memback-up permasalahan hak-hak RMK. Komitmen itu ditunjukkan dengan saling mencatat nomor HP masing-masing. Syamsudin siap men-TV-kan aksi-aksi kolektif JARAK (minimal 10 orang).

Dari kasus Siti Maryam, bayi penderita tumor yang dirawat di RS Wahidin Makassar, Uplink Palu perlu mendesak DPRD Kota untuk membuka Hearing dengan Pemkot, Dinas Kesehatan dan pihak RSU Arunadatu. Targetnya adalah Pemkot menjamin keberlangsungan perawatan pasien yang dirujuk ke Makassar. Selama ini, dinas kesehatan dan RSU di Palu seperti lepas tangan dari pasien yang dirujuknya. Tidak terjadi komunikasi antar-RSU. Akibatnya, beberapa pasien terlantar di RSU Wahidin, kesulitan biaya hidup, bahkan ada yang tewas karena tidak dilayani sebagaimana mestinya. Pemkot diharapkan bisa menganggarkan pos dana bantuan bagi pasien  miskin yang dirujuk di RSU Wahidin Makassar.

Dari kunjungan ke komunitas pak Saprudin di Kamonji, JARAK akan mengadvokasi pelayanan kesehatan untuk Neneng (5 th), anak perempuan tanpa anus. Kemungkinannya Neneng akan dirujuk ke RS Wahidin Makassar karena keterbatasan RS di Palu.

Dari diskusi internal dengan pengurus JARAK dan staf Uplink Palu: Pertama, perlunya dikembangkan sistim ekonomi alternatif, yakni cara berusaha tanpa bergantung pada bantuan modal (uang) dari Uplink. Misalnya, mengajak orang kaya yang bersedia mengeluarkan infaqnya dalam bentuk hewan ternak (kambing). Cara lainnya adalah mengolah lahan tidur menjadi kebun kacang di Kawatuna sebagai usaha bersama untuk organisasi. Semua itu ditujukan untuk mengatasi persoalan biaya transport yang menghambat mobilisasi pengurus JARAK. Kedua, konflik pengurus becak setelah ketua (Tamin) direkrut menjadi anggota Panwaslu suatu kecamatan di kabupaten Donggala. Disepakati untuk mempersiapkan kongres luar biasa sesuai AD organisasi becak. BPA (Badan Penasehat Anggota) akan yang memediasi konflik tersebut. Ketiga, soal ketidakaktifan Jamal. Persoalan ini diserahkan penyelesaiannya kepada Hasna dan Ano. Apabila tidak ada penyelesaian juga, Ano siap menunggu keputusan Seknas.

Dari pertemuan anggota BPA di rumah pak guru, ketua BPA. Sesuai hasil pembicaraan pak guru dengan Tamin, pertemuan anggota becak baru bisa dilaksanakan setelah pesta pernikahan Tamin, awal bulan Agustus. Apabila dalam jangka waktu itu pertemuan belum terlaksana, BPA akan membentuk panitia pelaksana kongres luar biasa.

Dari perkenalan dengan Emil, pengamen di pantai Tamanria. Perlu pertemuan intensif Hasna dengan kelompok pengamen Emil agar bergabung dengan JARAK.

Dari diskusi dengan Aristan, aktivis LSM yang menjadi calon perorangan (independen) dalam Pilkada Bupati kabupaten Donggala. Pencalonan Aristan adalah contoh “blok politik demokrasi”. Aristan didukung sepenuhnya oleh mayoritas LSM di Palu, Organisasi Rakyat (RMK, Buruh, Tani, Nelayan), kelompok prodem (mahasiswa), termasuk partai-partai progresif seperti PPR, Papernas, dan PRP.

Palu, 20 Juli 2008

AWI