19 Agu 2009

Songkabala di Kampung Bontoduri

https://www.youtube.com/watch?v=iZmzJwhRkGM

 (Kenduri Forum Warga, 19 Agustus 2009)

Songkabala atau “tolak bala” merupakan tradisi dari sebagian warga di kota Makassar ketika menghadapi ancaman bahaya, musibah maupun bencana seperti gerhana, banjir, gempa, dan wabah penyakit. Kebiasaan ini diadakan secara berkelompok sebagai doa bersama kepada Tuhan Yang Maha Kuasa agar menghindarkan masyarakat dari bencana.

Pengertian bencana dewasa ini mencakup peristiwa atau rangkaian peristiwa alam dan perbuatan manusia, yang mengakibatkan kerusakan, penderitaan, dan kematian. Dalam pengertian ini, penggusuran paksa (forced eviction) termasuk ke dalam golongan bencana non-alam, disebut juga dengan istilah “bencana sosial” (social-disaster) oleh para aktivis kemanusiaan.

Bagi masyarakat Bontoduri di kelurahan Parangtambung kecamatan Tamalate, upacara tolak bala dimaksudkan agar mereka semakin sadar dan bersatu menghadapi bencana sosial. Warga yang bermukim di Bontoduri VII-VIII menggelar ritual songkabala sebagai doa sekaligus cara memperkuat tekad warga dalam memenangkan sengketa dan menolak penggusuran. Upacara ritual ini diawali dengan pembacaan Barazanji oleh para imam kampung. Selanjutnya, kelompok warga yang berpakaian adat berpawai membawa “sesajian makanan” (erang-erang), berkeliling kampung diiringi oleh penabuh gendang (Pa Gandrang).

Iring-iringan songkabala menuju sebuah lokasi pekuburan, yang dipercaya sebagai tempat persemayaman arwah nenek moyang. Warga menyebutnya dengan “patanna pa’rasangang” atau “orang tua pemilik tanah perkampungan”. Di lokasi pekuburan ini warga menggelar ritual atau memanjatkan doa songkabala. Sesudah berdoa, pawai dilanjutkan dengan pertunjukan “angngaru” (ikrar) atau pernyataan tekad mempertahankan tanah di kampung Bontoduri.

 

Riwayat Pemukiman Bontoduri

Pemukiman warga Bontoduri terletak di RW 13 RT 06, 07, 08 dan RW 14 RT 02, 03, 06 Kelurahan Parang Tambung Kecamatan Tamalate. Lahan yang dikuasai warga dan bersengketa seluas 5,7 ha. Penduduk Bontoduri sebanyak 800 KK atau sekitar 8 % dari total jumlah penduduk kelurahan Parangtambung sebanyak  28.958 jiwa. Sebagian besar warga kampung ini bekerja di sektor informal sebagai tukang becak, buruh bangunan, pedagang, sopir, tukang cuci, beternak, dan lain-lain.

Perkampungan Bontoduri tahun 1970-an adalah daerah rawa dan areal persawahan yang dimiliki empat orang penggarap (tuan tanah), yakni Ahmad Mansyur, Hj. Andi Rosdiana, Dolo Bin Sampara, dan Dg. Ngawing. Warga mulai mendiami Kampung Bontoduri antara tahun sekitar tahun 1980/90-an dengan cara membeli dan mencicil dari keempat penjual/penggarap tanah tersebut. Bukti kepemilikan atas tanah berupa Rincik, akte jual beli dan kwitansi jual-beli antara warga dengan penggarap/penjual.

Pada tahun 90-an, dibangun BTN Tirta Mas. Dari sini lah pertama kali warga menggunakan listrik dengan cara menyambung dari penghuni BTN.  Antara tahun 1996-1997 semakin banyak warga yang menggarap lahan dan membangun rumah-rumah panggung. Baru pada tahun 2000-an mulai banyak warga membangun rumah permanen.

Antara tahun 2002 hingga 2006, status pemukiman warga digugat oleh pengusaha real-estate dan ketua REI Sulsel, yakni H. Idris Manggabarani, adik kandung mantan Kapolda Sulsel tahun 2002-2004. Idris juga adalah pemilik PT Nusasembada Bangunindo Makassar. Pengusaha ini menggugat 120 warga dari 800 KK penduduk bontoduri. Namun, gugatan Idris ditolak oleh Pengadilan Negeri Makassar dan Pengadilan Tinggi Sulawesi Selatan pada tahun 2008/2009. Penggugat kemudian melakukan banding, yang hingga kini belum diketahui hasilnya.

Dengan mengadakan upacara Songkabala, warga Bontoduri mendoakan para hakim di Mahkamah Agung mendapatkan hidayah dari Yang Maha Kuasa, dan warga diberikan jalan lurus untuk mempertahankan diri dari ancaman para penggusur.