(Kenduri Forum Warga, 19 Agustus 2009)
Songkabala atau “tolak bala”
merupakan tradisi dari sebagian warga di kota Makassar ketika menghadapi
ancaman bahaya, musibah maupun bencana seperti gerhana, banjir, gempa, dan
wabah penyakit. Kebiasaan ini diadakan secara berkelompok sebagai doa bersama
kepada Tuhan Yang Maha Kuasa agar menghindarkan masyarakat dari bencana.
Pengertian bencana dewasa ini
mencakup peristiwa atau rangkaian peristiwa alam dan perbuatan manusia, yang
mengakibatkan kerusakan, penderitaan, dan kematian. Dalam pengertian ini,
penggusuran paksa (forced eviction)
termasuk ke dalam golongan bencana non-alam, disebut juga dengan istilah
“bencana sosial” (social-disaster) oleh para aktivis kemanusiaan.
Bagi masyarakat Bontoduri di
kelurahan Parangtambung kecamatan Tamalate, upacara tolak bala dimaksudkan agar
mereka semakin sadar dan bersatu menghadapi bencana sosial. Warga yang bermukim
di Bontoduri VII-VIII menggelar ritual songkabala sebagai doa sekaligus cara
memperkuat tekad warga dalam memenangkan sengketa dan menolak penggusuran. Upacara
ritual ini diawali dengan pembacaan Barazanji oleh para imam kampung.
Selanjutnya, kelompok warga yang berpakaian adat berpawai membawa “sesajian
makanan” (erang-erang), berkeliling
kampung diiringi oleh penabuh gendang (Pa
Gandrang).
Iring-iringan songkabala menuju
sebuah lokasi pekuburan, yang dipercaya sebagai tempat persemayaman arwah nenek
moyang. Warga menyebutnya dengan “patanna pa’rasangang” atau “orang tua pemilik
tanah perkampungan”. Di lokasi pekuburan ini warga menggelar ritual atau
memanjatkan doa songkabala. Sesudah berdoa, pawai dilanjutkan dengan
pertunjukan “angngaru” (ikrar) atau pernyataan tekad mempertahankan tanah di
kampung Bontoduri.
Riwayat
Pemukiman Bontoduri
Pemukiman warga Bontoduri terletak
di RW 13 RT 06, 07, 08 dan RW 14 RT 02, 03, 06 Kelurahan Parang Tambung
Kecamatan Tamalate. Lahan yang dikuasai warga dan bersengketa seluas 5,7 ha. Penduduk
Bontoduri sebanyak 800 KK atau sekitar 8 % dari total jumlah penduduk kelurahan
Parangtambung sebanyak 28.958 jiwa. Sebagian
besar warga kampung ini bekerja di sektor informal sebagai tukang becak, buruh
bangunan, pedagang, sopir, tukang cuci, beternak, dan lain-lain.
Perkampungan Bontoduri tahun
1970-an adalah daerah rawa dan areal persawahan yang dimiliki empat orang
penggarap (tuan tanah), yakni Ahmad Mansyur, Hj. Andi Rosdiana, Dolo Bin
Sampara, dan Dg. Ngawing. Warga mulai mendiami Kampung Bontoduri antara tahun
sekitar tahun 1980/90-an dengan cara membeli dan mencicil dari keempat
penjual/penggarap tanah tersebut. Bukti kepemilikan atas tanah berupa Rincik,
akte jual beli dan kwitansi jual-beli antara warga dengan penggarap/penjual.
Pada tahun 90-an, dibangun BTN
Tirta Mas. Dari sini lah pertama kali warga menggunakan listrik dengan cara
menyambung dari penghuni BTN. Antara tahun 1996-1997
semakin banyak warga yang menggarap lahan dan membangun rumah-rumah panggung.
Baru pada tahun 2000-an mulai banyak warga membangun rumah permanen.
Antara tahun 2002 hingga 2006,
status pemukiman warga digugat oleh pengusaha real-estate dan ketua REI Sulsel,
yakni H. Idris Manggabarani, adik kandung mantan Kapolda Sulsel tahun
2002-2004. Idris juga adalah pemilik PT Nusasembada Bangunindo Makassar. Pengusaha
ini menggugat 120 warga dari 800 KK penduduk bontoduri. Namun, gugatan Idris ditolak
oleh Pengadilan Negeri Makassar dan Pengadilan Tinggi Sulawesi Selatan pada
tahun 2008/2009. Penggugat kemudian melakukan banding, yang hingga kini belum
diketahui hasilnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar