Tim Advokasi KPRM –
Komite Perjuangan Rakyat Miskin Makassar
Pengantar
Konsep penataan atau perbaikan kualitas pemukiman kumuh (Slum Upgrading) adalah salah satu strategi penanggulangan kemiskinan masyarakat di perkotaan (RMK), yang mulai populer diperkenalkan di negara-negara berkembang pada sekitar tahun 1990-an. Pada masa itu, kota-kota di Asia, Afrika dan Amerika Latin menghadapi persoalan pelik dari urbanisasi, dan penggusuran meningkat tajam, yang membuat masalah kemiskinan menjadi kompleks. Pendekatan pemberdayaan ekonomi dinilai tidak cukup memecahkan akar persoalan kemiskinan. Bahkan, cenderung menjadi perangkap bagi orang miskin maupun pengelola program pengentasan kemiskinan. Pada akhirnya, pendekatan holistik dan terpadu menjadi tuntutan yang tidak bisa dielakkan. Pendekatan ini kemudian dijadikan paradigma baru pengembangan kota yang berkeadilan sosial (sustainable of the city). PBB melalui UN Habitat juga merekomendasikan konsep ini sebagai alternatif penyelesaian sengketa tata ruang dan pemukiman kota.
Konsep penataan atau perbaikan kualitas pemukiman kumuh (Slum Upgrading) adalah salah satu strategi penanggulangan kemiskinan masyarakat di perkotaan (RMK), yang mulai populer diperkenalkan di negara-negara berkembang pada sekitar tahun 1990-an. Pada masa itu, kota-kota di Asia, Afrika dan Amerika Latin menghadapi persoalan pelik dari urbanisasi, dan penggusuran meningkat tajam, yang membuat masalah kemiskinan menjadi kompleks. Pendekatan pemberdayaan ekonomi dinilai tidak cukup memecahkan akar persoalan kemiskinan. Bahkan, cenderung menjadi perangkap bagi orang miskin maupun pengelola program pengentasan kemiskinan. Pada akhirnya, pendekatan holistik dan terpadu menjadi tuntutan yang tidak bisa dielakkan. Pendekatan ini kemudian dijadikan paradigma baru pengembangan kota yang berkeadilan sosial (sustainable of the city). PBB melalui UN Habitat juga merekomendasikan konsep ini sebagai alternatif penyelesaian sengketa tata ruang dan pemukiman kota.
Di Asia dan Pasifik, ada dua organisasi yang cukup terkenal memperjuangkan hak-hak atas perumahan, dan bermitra dengan UN Habitat, yakni ACHR (Asian Coalition on Housing Rigths) berkedudukan di Bangkok, dan COHRE (Centre on Housing Rights and Evictions) berkedudukan di Pnom Penh. Selain itu adalah HIC, Habitat International Coalition, sebuah jaringan global yang mempromosikan hak-hak atas kota bersama UN Habitat. ACHR bersama mitra jaringannya di Asia Tenggara, termasuk UPC (Urban Poor Consortium) Jakarta saat ini sedang mengembangkan program ACCA (Asian Coalition for Community Action). Proyek ini menfasilitasi rakyat miskin kota untuk membuat skema perbaikan (upgrade) perumahan dan infrastruktur secara partisipatif. Para pegiat proyek ini meyakini bahwa cara-cara penataan pemukiman yang alternatif (progresif) dan adil ini bisa menjadi masukan maupun model pemerintah kota dalam mengembangkan kebijakan penataan ruang di masa depan.
Konsep penataan kampung mencakup pengertian perbaikan kualitas pemukiman kumuh (slum-upgrading), yang mencakup aspek sosial, ekonomi, ekosistem dan infrastruktur dari sebuah kampung. Oleh karena itu, sebuah perencanaan penataan kampung memerlukan analisis yang cermat terhadap situasi dan kondisi lokal yang khas. Pengambilan keputusan tentang desain tata kampung mengikuti proses pengorganisasian dan kesepakatan seluruh warga. Contoh yang ideal di Indonesia mengenai hal ini adalah penataan pemukiman di bantara Kali Code Yogyakarta. Berkat dedikasi Romo Mangunwijaya, serta dukungan akademisi dan pemerintah daerah, warga yang bermukim di bantaran Kali Code dapat menikmati tata kampung yang jauh lebih baik, dan manusiawi dibandingkan sebelumnya. Model penataan Kali Code memenuhi prinsip-prinsip dasar dalam kegiatan penataan kampung yang dirinci oleh UN Habitat.
Pertama, legalisasi status kepemilikan terhadap situs lahan dan perumahan, termasuk regularisasi terhadap perjanjian sewa untuk menjamin masa perbaikan.
Kedua, penyediaan atau perbaikan pelayanan teknis, misalnya air bersih, limbah dan pengelolaan limbah cair, sanitasi, listrik, trotoar jalan, penerangan jalan.
Ketiga, penyediaan atau perbaikan infrastruktur sosial seperti sekolah, klinik, pusat komunitas, taman bermain, kawasan hijau.
Keempat, perbaikan lingkungan fisik, termasuk rehabilitasi/peningkatan stok perumahan yang ada.
Kelima, jika dianggap perlu, pembangunan unit rumah baru termasuk dalam skema up-grading.
Keenam, desain ulang rencana pembangunan pemukiman, termasuk, penataan ulang situs lahan dan pola jalan sesuai dengan kebutuhan infrastruktur.
Ketujuh, perubahan kerangka kebijakan atau peraturan yang lebih sesuai dengan kebutuhan dan kesempatan yang tersedia bagi orang miskin.
Referensi Model Penataan Kampung
Ada banyak pengalaman praktis (best practice) penataan kampung yang inovatif dan progresif di berbagai belahan dunia. Sebagai referensi untuk kajian lebih lanjut, berikut ini saya paparkan empat konsep yang mencerminkan penataan kota yang progresif – inovatif. Beberapa di antaranya menginspirasi para ahli perencana kota bekerjasama dengan organisasi non-pemerintah, termasuk lembaga donor. Tentu saja, keberhasilan mereka tidak terlepas dari political-will dan dukungan nyata dari pemerintah kota.
1. Manajemen Perkotaan Porto Allegre
Popularitas pemerintahah Brazil tidak terlepas dari konsep Manajemen Perkotaan (City Management) di Porto Allegre. Konsep tersebut mengintegrasikan rencana pembangunan pemukiman informal (kumuh) dengan strategi penanggulangan kemiskinan. Proyek ini berhasil menciptakan hubungan baru antara politisi, birokrat dan masyarakat miskin, terutama dengan memperkenalkan elemen-elemen tambahan untuk partisipasi politik selain pemilu periodik lima tahunan. Penurunan dominasi politik dan administrasi juga menghasilkan sebuah adaptasi standar teknis untuk perbaikan pemukiman kumuh (slum-upgrade) dan partisipasi masyarakat dalam proses manajemen perkotaan.
Dimulai pada tahun 1990-an, negara bagian dan pemerintah kota Porto Alegre, Brasil, mengembangkan proyek infrastruktur yang memprioritaskan penanggulangan kemiskinan. Proyek ini bertujuan menyesuaikan pelayanan publik terhadap kebutuhan masyarakat dari lima daerah kumuh di Porto Allegre dengan total perkiraan 60.000 jiwa. Manajemen proyek terdiri dari tiga relasi pengambilan keputusan oleh para pemangku kepentingan, yakni PRORENDA, METROPLAN, dan LDC’s (Local Development Committies).
Dewan PRORENDA terdiri dari perwakilan masyarakat korban, pemerintah kota, badan pembangunan (donor), serta Lembaga implementasi Pembangunan Brazil (METROPLAN). Dewan ini bertemu sebulan sekali dan membahas isu-isu konseptual dan prosedural berkenaan dengan pembiayaan masyarakat, peran pejabat/tokoh masyarakat setempat, serta rencana pembangunan daerah dan langkah-langkah perbaikannya. Meskipun Lembaga implementasi (Metroplan) memiliki hak lebih dalam pengambilan keputusan, pengaruh masyarakat sangat besar terhadap keberlangsungan program.
Komite Pembangunan Daerah (LDC's) didirikan dengan menyatukan perwakilan dari semua RT yang ada, perkumpulan dan kelompok masyarakat. Setiap Komite Pembangunan Daerah dipimpin oleh dua pemimpin terpilih yang non-partisan, dan kegiatannya dibantu oleh staf proyek. Tugas Komite termasuk mengelola dana masyarakat, menyusun rencana pengembangan lingkungan, dan mendampingi pelaksanaan perbaikan infrastruktur di daerah tersebut. Anggota Komite dilatih perencanaan dan audit untuk mengintervensi proyek skala kecil, dan untuk mengartikulasikan strategi pembangunan jangka panjang. Forum PRORENDA adalah sebuah forum independen dari tokoh masyarakat, yang mengembangkan kegiatan sendiri. Forum PRORENDA terbukti efektif memobilisasi anggotanya menjaga keberlangsungan ketika proyek secara keseluruhan.
2. Kawasan Percontohan – OPP Karachi
Salah satu model penataan kampung yang banyak dirujuk para perencana kota dan LSM adalah Proyek Percontohan Kawasan Orangi (Orangi Pilot Project). Orangi adalah pemukiman yang terbesar dari Karachi, Pakistan, yang berpenghasilan rendah. Penduduk perumahan sekitar 1 juta jiwa. Berkat inisiatif dari sebuah LSM berbasis lokal yang menggagas Orangi Pilot Project (OPP), penduduk meningkatkan akses mereka terhadap layanan lingkungan, perawatan kesehatan dan kesempatan kerja lebih dari satu dekade. Pada tahun 1980, OPP mulai bekerja menyelesaikan program sanitasi yang murah, kemudian pada tahun 1993 berhasil diinstalasi saluran drainase pemukiman yang melayani lebih dari 70.000 dari total sekitar 94.000 rumah tangga.
Setelah keberhasilan program sanitasi, upaya-upaya masyarakat lainnya dikembangkan, termasuk kesehatan dasar dan program keluarga berencana, program kredit untuk usaha keluarga kecil, program renovasi perumahan yang murah, program peningkatan kondisi fisik dan akademik di sekolah, program pemberdayaan perempuan, dan program pembangunan pedesaan. Karya OPP telah direplikasi di berbagai pemukiman lain di seluruh Pakistan. Prestasi OPP didasarkan pada keyakinan bahwa orang-orang yang terorganisir dalam kelompok-kelompok kecil dapat membantu diri mereka sendiri, dan bahwa jika organisasi sosial dan ekonomi dalam masyarakat diperkuat, layanan dan kondisi material akan semakin membaik.
Dalam Orangi, warga terorganisir dalam kelompok-kelompok 20 sampai 40 keluarga yang tinggal di sepanjang jalan yang sama dan umumnya saling mengenal dan percaya satu sama lain. Setiap kelompok dipilih seorang manajer program, yang secara resmi menerapkan OPP untuk melakukan bantuan asistensi, mengumpulkan uang (menabung), menerima peralatan dan pekerjaan konstruksi secara terorganisir. Meskipun miskin, penduduk Orangi termotivasi tidak hanya untuk membayar perbaikan sistem pembuangan limbah, tetapi juga untuk memikul tanggung jawab pembangunan dan pemeliharaan. Warga tertarik untuk berpartisipasi karena rumah mereka merupakan suatu investasi yang signifikan, dan dengan kesadaran bahwa buruknya fasilitas sanitasi akan berbahaya bagi kesehatan dan keluarga mereka. Pada akhirnya, antara 80 dan 90 persen dari pekerjaan yang diperlukan untuk membangun sistem saluran pembuangan dilaksanakan oleh warga, sementara pemerintah Karachi hanya bertanggung jawab untuk penyediaan saluran utama dan tanaman pengobatan dan penghijauan.
OPP berhasil secara drastis mengurangi biaya konstruksi dengan menyederhanakan desain dan standardisasi teknis. Dengan cara ini, teknologi sanitasi tidak hanya terjangkau, tetapi juga mudah membangun dan merawatnya. Model dan materi visualnya menunjukkan bagaimana sistem saluran pembuangan akan ditata, dan memastikan pembangunan sistem yang koheren dan bisa diterapkan. Semua program yang dicakup OPP melalui penelitian dan prosedur evaluasi. Analisis masalah secara rinci mendahului kegiatan, dan proses implementasi terus menerus ditinjau sehingga dapat dilakukan penyesuaian yang diperlukan.
3. Berbagi Lahan di Bangkok
Selama tahun 1980-an, konsep berbagi lahan muncul dan telah berhasil diimplementasikan pada berbagai permukiman masyarakat berpenghasilan rendah di kota Bangkok, Thailand. Pendekatan ini awalnya berkembang sebagai hasil dari negosiasi antara penghuni kawasan kumuh yang terorganisir – menghadapi ancaman penggusuran dari mitra mereka, yakni seorang tuan tanah – dengan pemerintah kota dalam mencari solusi alternatif dari penyelesaian sengketa. Kedua belah pihak setuju saling mengakui status hukum bagian lahan yang disengketakan, sedangkan sisanya harus dikosongkan untuk pengembangan lebih lanjut oleh pemilik lahan.
Pendekatan inovatif untuk menyelesaikan konflik antara penghuni pemukiman dan tuan tanah menunjukkan bagaimana penggusuran (konflik, kekerasan) dapat dihindari dengan kerjasama yang manusiawi. Demikian halnya dengan instansi pemerintah yang selama ini jarang memberikan dukungan langsung kepada mereka, dan pada kasus tersebut bertindak sebagai penengah dalam proses negosiasi. Dalam hal ini peran pemerintah tidak hanya memastikan pengembangan perencanaan dan ketertiban kota, serta mempromosikan investasi real estat; pemerintah juga berkejiban memenuhi kebutuhan perumahan masyarakat miskin.
Konsep berbagi lahan adalah kompromi yang memungkinkan pemerintah untuk tetap netral, di mana tanah tidak dimiliki secara langsung oleh pemerintah, tetapi menyediakan solusi atas konflik. Berbagi lahan hanya sebuah prasyarat untuk mengembangkan skema lebih lanjut, yakni perbaikan atau penataan pemukiman (up-grading). Sebelumnya harus ada perjanjian yang memberikan hak kepada warga secara legal dan permanen.
4. Renovasi Kampung Stren Kali Surabaya
Penerapan konsep alternatif penataan pemukiman warga di sepanjang bantaran Kali Mas Wonokromo atau Stren Kali di Surabaya tidak terlepas dari model yang dikembangkan oleh Romo Mangunwijaya dan warga bantaran Kali Code Yogyakarta. Model Stren Kali mulai disiapkan pada tahun awal 2000-an, ketika program Normalisasi Kali Mas dicanangkan oleh pemerintah Jawa Timur membawa dampak buruk penggusuran paksa di beberapa titik pemukiman dan sektor informal sepanjang Kali Mas.
Pada tahun 2002, Urban Poor Consortium (UPC) Jakarta dan Jaringan Rakyat Miskin Kota (Uplink Indonesia) memulai dengan melakukan pemetaan, pendataan dan pengembangan konsep alternatif penggusuran atau pun relokasi. Secara terorganisasi, warga membentuk Paguyuban, difasilitasi oleh Uplink Indonesia. UPC berperan mengkordinasi dan memobilisasi jaringan (aliansi) pendukung di tingkat lokal, nasional dan internasional. Di tingkatan lokal dan nasional, UPC memobilisasi dukungan dari Ornop, Komnas HAM, Akademisi (sosiolog, ekolog, arsitek, planolog, hidrolog) untuk menyusun konsep alternatif yang meyakinkan pemda Jatim.
Selama kurang lebih 5 tahun, warga strenkali mengkampanyekan “Renovasi Yes, Relokasi No”. Pilihan renovasi didasarkan pada argumentasi dari hasil penelitian terhadap 926 rumah tangga seperti berikut ini:
Paradigma Renovasi vs Relokasi
-->
Paradigma | Renovasi | Relokasi/RUSUN |
Biaya Pembangunan | Murah (hanya perlu desain ulang rumah, letak sebagian rumah, selebihnya swadaya perbaikan) | Mahal (berdasar perhitungan nilai aset lahan, bangunan dan pendapatan warga, total kerugian mencapai 280 M, belum termasuk aset negara listrik, telefon, air bersih). |
Kohesi Sosial | Terjaga (rata-rata lama tinggal warga 30 tahun, dan ada hubungan kekerabatan) | Hilang (struktur pemerintahan dan organisasi lokal buyar, beresiko kriminalitas) |
Pendidika Anak | Terjaga | Hilang, mencari sekola baru = butuh biaya |
Partisipasi | Warga (warga sanggup mengorganisir penataan sendiri) | Kontraktor |
Ekonomi | Keterlibatan warga sebagai income tambahan, lokasi bekerja tetap (mayoritas – 60% adalah pekerja sektor informal, dengan jarak lokasi tempat kerja kurang dari 1 km) | Mencari pekerjaan baru, butuh transpor dan biaya tambahan (jaringan bisnis, konsumen dan suplier rusak) |
Keuntungan | Warga (renovasi menyerap keahlian dan tenaga kerja orang kampung) | Kontraktor |
Lingkungan/infra-struktur | Semangat swadaya meningkat | Hilangnya aset yang dibangun secara swadaya/gotong royong |
Dengan dukungan berbagai pihak itu, advokasi politik di birokrasi (Kimpraswil) dan parlemen di tingkat lokal dan nasional, menghasilkan sebuah Rancangan Perda (Ranperda) untuk Penataan Stren Kali. Melalui politisi parlemen (Pansus), Ranperda tersebut akhirnya disahkan oleh Mendagri.
Model renovasi pemukiman warga strenkali meliputi 8 kelurahan yang dihuni sekitar 926 rumah tangga miskin di sepanjang Kali Mas Wonokromo. Meskipun dalam perjalanannya, beberapa pemukiman sudah digusur oleh Pemerintah Kota seperti di Jagir, lima kelurahan yang teroganisasi baik tetap menjadi prioritas penataan Perda. Hal ini tidak terlepas dari kekompakan dan kreativitas warga menata pemukimannya sendiri secara swadaya. Berikut ini bentuk komitmen dan kegiatan penataan swakelola warga adalah:
a) memegang prinsip-prinsip ‘kampung JOGO KALI’ (menjaga kebersihan sungai, menjaga lingkungan kampung yang sehat dan tidak mencemari sungai, menghadapkan bangunan/rumah ke arah sungai, menjaga ikatan sosial dan budaya kampung)
b) menguatkan sistem tabungan yang sudah berjalan di kampung, sebagai modal untuk merenovasi kampung dan rumahnya
c) membuat sistem pengolahan limbah rumah tangga dan sistem pengolahan sampah secara komunal, dan juga sistem pengolahan limbah alternatif (ramah lingkungan) seperti BIOGAS, septik tank komunal, komposting untuk mewujudkan kampung yang sadar terhadap lingkungan dan sungainya
d) rumah-rumah yang berada di pinggir sungai, siap untuk dihadapkan ke sungai dengan konsep peremajaan wajah rumah dan membuat jalan inspeksi dan penghijauan secara swadaya
Saat ini Paguyuban Warga Stren Kali Surabaya melalui UPC Jakarta bekerjasama dalam program ACCA (Asia Coalition for Community Action). Skema program tersebut memberikan stimulan kepada warga untuk merenovasi rumah dengan sistim dana bergulir, pembangunan balai warga, pengembangan teknologi pengelolaan air bersih, pengelolaan sampah komunal dan rumah tangga, serta pembangunan infrastruktur dalam skala kecil.
Solusi Berbagi Lahan Kampung Pisang
Kota Makassar menjadi salah satu lokasi pilot proyek ACCA, bersama Surabaya dan Jakarta. Proyek ini menfokuskan pada pemberdayaan masyarakat miskin perkotaan dengan menstimulasi kegiatan perbaikan pemukiman secara terbatas. Kegiatan proyek mencakup dana bergulir untuk perbaikan rumah, pembangunan balai warga, pengelolaan sampah komunal, pengelolaan air bersih, dan dana hibah stimulan perbaikan drainase rumah tangga. Di Makassar, program ACCA dikordinasi oleh KPRM. Dan, saat ini KPRM memprioritaskan program percontohan sertifikasi tanah warga di Pa’baeng-baeng, resolusi konflik dengan Land-Sharing di Kampung Pisang – Maccini Sombala, dan swakelola air bersih di Batu Tambung kelurahan Pai – Sudiang.
Tulisan ini berikut ini adalah konsep solusi alternatif dari penyelesaian sengketa pemukiman di dengan model Land-Sharing. Sebagai pilot proyek adalah Kampung Pisang. Pertimbangan pokok proyek ini didasarkan pada hal-hal berikut ini:
Pertama, sengketa status kepemilikan lahan di Kampung Pisang sudah lama dan berlarut-larut tidak ada penyelesaian akhir yang menguntungkan warga.
Kedua, relokasi yang ditawarkan pemilik tanah dan aparat pemerintah setempat mengalami jalan buntu, yang kemudian ditolak oleh warga.
Ketiga, adanya komitmen politik Walikota Makassar, Ilham Arief Sirajuddin untuk menempuh cara-cara alternatif dalam penyelesaian sengketa tanah, dan kemudian diperkuat dengan pernyataan beliau mendukung Land Sharing, dalam acara dialog dengan Jaringan Perempuan Asia dan Rakyat Miskin Kota di Makassar di hotel Banua, nopember 2009.
Keempat, warga Kampung Pisang bersedia menata ulang posisi rumah dan bersedia bekerjasama dengan pihak lain dalam menata ulang kampungnya
Sebagai informasi, berikut ini profil singkat pemukiman kampung pisang dan usulan warga kepada pemerintah kota, dalam hal ini Walikota Makassar.
1. Profil Kampung Pisang
Secara administratif Kampung Pisang berada di wilayah RT 4 RW 5 Kelurahan Maccini Sombala. Lluas wilayah kurang lebih 3,7 Ha, dengan jumlah penduduk kurang lebih 40 KK, 240 Jiwa. Mayoritas bermata pencaharian pada sektor informal, seperti tukang becak, buruh bangunan, penjahit sepatu, tukang cuci, jualan di pasar. Warga mulai mendiami kampung Pisang sejak tahun 2002 dengan cara membeli dari penggarap lokasi tersebut yang bernama Daeng Maro (yang merupakan secara turun temurun penggarap tanah di Lokasi Maccini Sombala). Di atas lahan sekitar 7000 m² telah berdiri 31 rumah permanen dan semi permanen. Sekarang ini lokasi tersebut masuk dalam kawasan pengembangan GMTD (Gowa Makassar Tourism Develovment).
Menurut kesaksian warga, Lokasi yang dimaksud dulunya rawa-rawa dan empang. Pada tahun 1980, Pemkot membangun tanggul di aliran Sungai Jeneberang. Hasil pengerukan sungai tersebut, kemudian dipakai menimbun lokasi Kampung Pisang. Sejak saat itu lokasi tersebut dijadikan kebun oleh penggarap.
Pada tahun 2006 Tim dari BPN Kota Makassar dan Kecamatan Tamalate turun ke Kampung Pisang (RT 4) dan RT 2 RW 5, untuk melakukan pengembalian batas tanah berdasarkan putusan MA yang menggugurkan sertifikat (SHM) atas nama Mallombasang, dan memenangkan gugatan Andi Mappagiling. Sejak itu warga di Kampung Pisang dan Warga RT 2 RW 5 baru mengetahui jika tanah yang mereka tempati sedang berkasus dan ada yang mengklaimnya. Pihak Ahli waris juga tidak pernah mengolah atau mengunjungi lokasi/lahan, sehingga mereka tidak pernah tahu kalau ada pihak yang mengklaim lokasi tersebut.
Warga Kampung Pisang dan warga RT 2 RW 5 kemudian melakukan upaya-upaya perlawanan dengan mendatangi DPRD Kota Makassar, Kantor Kecamatan, Kantor BPN Kota Makassar. Tahun 2007 BPN malah menerbitkan sertifikat atas nama Andi Mappagiling, yang kemudian bersama investor menawarkan relokasi warga ke Kabupaten Gowa, tapi ditolak oleh warga, karena jauh di pinggiran Kota.
Warga RT 2 RW 5 sudah tidak masuk dalam sertifikat yang diterbitkan BPN (sudah aman). Sementara warga Kampung Pisang masih tetap masuk dalam lokasi sertifikat yang diterbitkan BPN, dan tahun 2007 mereka melakukan pemagaran yang dikawal polisi dan preman bayaran. Beberapa kali terjadi insiden dengan warga, tapi keberadaan polisi yang menjaga, memuluskan pemagaran tembok tersebut. Sekarang ini warga masih bertahan (menguasai) lokasi tersebut.
Pada tanggal 13 Nopember 2009 di hotel Banua, dalam kesempatan dialog warga anggota KPRM dengan Walikota Makassar, digagas penyelesaian sengketa tanah dengan cara land-sharing (berbagi lahan) dengan pengusaha, sebagai alternatif penggusuran/relokasi. Sebagai konsekuensinya, pemerintah kota diminta memediasi sengketa warga dengan pemilik lahan untuk merealisaikan gagasan pemecahan masalah tersebut. Cara-cara seperti ini merupakan komitmen kepemimpinan walikota Ilham Sirajuddin Arief selama menjabat.
Sebagai tindak lanjutnya, warga kampung pisang beberapa kali melakukan pertemuan untuk membuat kesepakatan mengenai penataan kampung sendiri (rumah, infrastruktur, fasilitas umum, balai warga, pengelolaan sampah). Dengan bantuan seorang mahasiswa arsitek, CO KPRM, dan jaringan nasional UPC, serta program ACCA Bangkok, bersama warga melakukan pengukuran luas lahan dan rumah, kemudian menyusun kesepakatan-kesepakatan sebagai berikut:
1) Warga bersedia bekerjasama dengan pemerintah kota dan pemilik lahan, serta pihak lain yang berkompeten dalam penyelesaian sengketa di luar pengadilan
2) Warga bersedia menyatukan rumahnya dalam satu blok pemukiman, dan membuat “lay-out” lahan baru sesuai dengan luasan yang dibutuhkan
3) Warga sanggup menata ulang pemukiman, khususnya untuk legalitas tanah, perumahan, balai warga, dan unit pengelolaan sampah
4) KPRM sebagai organisasi pendamping rakyat sanggup melakukan pengorganisasian dan mobilisasi jaringan pendukung yang dibutuhkan penataan pemukiman kampung pisang
2. Usulan Warga
a. Penataan pemukiman yang diinginkan warga kampung pisang adalah penataan perumahan dalam satu blok lahan yang sudah dibagi sesuai dengan luasan lahan untuk setiap rumah tangga, infrastruktur, balai warga, dan unit pengelolaan sampah. Luas total kebutuhan lahan sekitar 7000 m² dari sekitar 3,7 ha lahan sengketa.
b. Berdasarkan hasil kesepakatan warga, ada 10 rumah yang dipindahkan dari tapaknya secara sukarela dan swadaya. Dengan pemindahan dan penggabungan dalam satu blok, bentuk lahan yang tersisa menjadi persegi yang memudahkan pengembangan lebih lanjut oleh pemilik lahan.
c. Pembangunan infrastruktur seperti jalan/lorong, fasilitas air bersih dan listrik diserahkan kepada pemerintah kota.
d. Pemerintah kota, dalam hal ini Walikota Makassar, Ilham Arief Sirajuddin, memediasi penyelesaian sengketa untuk menjamin terwujudnya penyelesaian yang adil bagi 31 kepala keluarga yang mendiami lokasi.
e. Pemerintah kota menjadikan model Land-Sharing sebagai salah satu strategi pemenuhan hak atas tempat tinggal bagi rakyat miskin kota agar terhindar dari penggusuran yang memakan korban dan biaya yang besar.
Referensi:
1. COHRE, Human Rigths and Slum-Upgrading: General Introduction and Compilation of Case Studies, 2005
2. Paguyuban Warga Stren Kali, Renovasi, Sebuah Usulan Alternatif Warga Stren Kali, Presentasi Pansus, Mei 2007
Makassar, 28 April 2010
Tim Advokasi KPRM
(Awi, Ulla, Uya, Ami)
2 komentar:
teruskan program pendampingan ini pak, masih banyak kasus tanah dan hunian tak layak huni yg perlu pendampingan...
lagi baca lagi tentang kota... dan pertama saya ingat adalah blog ini.
Posting Komentar