22 Des 2019

Selayang Pandang Partisipasi dan Pengorganisasian (Bagian II)

Buku Seri: Pengalaman Partisipasi Masyarakat 
Arkom Makassar dan Litbang PUPR Provinsi Sulsel
M. Nawir
Arsitek Pendamping Masyarakat
Konsep pendampingan masyarakat terakomodasi dalam Undang-Undang Arsitek Nomor 6 Tahun 2017. Pada Pasal 4 (c), salah satu bentuk layanan arsitek (non-teknis) adalah pendampingan masyarakat dan bermitra dengan kelompok lainnya.
Penjelasan mengenai arsitek pendamping masyarakat merujuk pada banyak praktik community architect sesuai dengan subjek yang melakukannya. Misalnya, proyek perkotaan dan perdesaan yang dibiayai Bank Dunia (P2KP, PNPM, Kotaku) melibatkan arsitek sebagai tenaga profesional pendamping masyarakat. Mereka yang bekerja secara mandiri menyebut diri sebagai “arsitek telanjang kaki” (barefoot architect) yang lebih menekankan aspek praktiknya.
Pendekatan Community Architect[1] (CA) merupakan pengembangan dari Community Barefoot Architect (CBA) yang dipraktikkan di Amerika dan Inggris (RIBA) tahun 70-an. Pada pertemuan Union International of Architect (UIA) di Jakarta (1979), salah satu model CBA yang menjadi rujukan adalah karya John Turner, Black Road Project di Amerika. Karya ini mewakili pendekatan yang inovatif dari perspektif arsitektur komunitas. Peran arsitek sebagai anggota masyarakat adalah penggerak dan pendidik yang membantu warga memperbaiki lingkungan hidup mereka sendiri. Transfer teknologi menjadi bagian dari proses dalam desain dan rekonstruksi masyarakat.

Selayang Pandang Partisipasi dan Pengorganisasian (Bagian I)

Buku Seri 2: Pengalaman Partisipatoris Masyarakat
Arkom Makassar dan Litbang PUPR Provinsi Sulsel
M. Nawir
Prolog
Sejak kapankah kita terbiasa menggunakan kata partisipasi? Seorang aktivis LSM[1] menjawab pertanyaan ini dengan kisah pengalamannya mengkampanyekan agenda pembangunan berkelanjutan (sustainable development)[2]. Sedangkan seorang arsitek muda mengenal istilah partisipasi dari seniornya yang mengajarkan pendekatan Participatory Rural Appraisal (PRA)[3].
Pengalaman pertama memahami partisipasi sebagai salah satu prasyarat dalam perencanaan pembangunan. Tanpa partisipasi, suatu produk perencananaan pembangunan dinilai cacat prosedural. Misalnya, keputusan hasil Musrenbang mensyaratkan persetujuan peserta, dibuktikan dengan kehadiran, dan berita acara. Sementara kualitas kehadiran diukur dari intensitas keterlibatan warga dalam diskusi membahas dan memecahkan masalah, mengambil keputusan hingga menentukan skala prioritas kegiatan.
Pengalaman kedua memahami partisipasi dalam praktik perencanaan berbasis masyarakat. Selain mensyaratkan partisipasi warga pada semua tahapan pembangunan, diperlukan teknik penggalian informasi yang tepat. Metode PRA menyediakan teknik pelibatan warga dalam pembahasan dan pengambilan keputusan terhadap masalah maupun potensi yang dialami dan dimiliki warga sendiri. Kapasitas warga adalah narasumber sekaligus pelaku utama perencanaan. Sementara pihak lain sebagai narahubung dan fasilitator, yang berperan melancarkan alur dan merumuskan hasil-hasil diskusi. Demikian etika dalam perencanaan partisipatoris.