Buku Seri: Pengalaman Partisipasi Masyarakat
Arkom Makassar dan Litbang PUPR Provinsi Sulsel
M. Nawir
Arsitek Pendamping Masyarakat
Konsep pendampingan masyarakat terakomodasi dalam Undang-Undang Arsitek Nomor
6 Tahun 2017. Pada Pasal 4 (c), salah satu bentuk layanan arsitek (non-teknis)
adalah pendampingan masyarakat dan bermitra dengan kelompok lainnya.
Penjelasan mengenai arsitek pendamping masyarakat merujuk pada banyak
praktik community architect sesuai
dengan subjek yang melakukannya. Misalnya, proyek perkotaan dan perdesaan yang
dibiayai Bank Dunia (P2KP, PNPM, Kotaku) melibatkan arsitek sebagai tenaga profesional
pendamping masyarakat. Mereka yang bekerja secara mandiri menyebut diri sebagai
“arsitek telanjang kaki” (barefoot
architect) yang lebih menekankan aspek praktiknya.
Pendekatan Community Architect[1] (CA) merupakan
pengembangan dari Community Barefoot
Architect (CBA) yang dipraktikkan di Amerika dan Inggris (RIBA) tahun
70-an. Pada pertemuan Union International of Architect (UIA) di Jakarta (1979), salah satu model CBA yang
menjadi rujukan adalah karya John Turner, Black
Road Project di Amerika. Karya ini mewakili pendekatan yang inovatif dari
perspektif arsitektur komunitas. Peran arsitek sebagai anggota masyarakat
adalah penggerak dan pendidik yang membantu warga memperbaiki lingkungan hidup
mereka sendiri. Transfer teknologi menjadi bagian dari proses dalam desain dan
rekonstruksi masyarakat.
Salah satu misi para pegiat arsitek komunitas, yaitu menjembatani jurang
pemisah – yang diistilahkan oleh Ben Derbyshire[2],
arsitek Royal
Institute of British Architect (RIBA, 1987) – antara “arsitektur rakyat” (folk architecture) dan “arsitektur arsitek” (architecture
architect). Bagi mereka, peradaban modern atau modernitas kaum urban
cenderung menghancurkan karya seni arsitektur masyarakat, di samping disebabkan
oleh peperangan dan bencana
alam. Misalnya, tata
letak bangunan, makam, monumen,
termasuk tata permukiman dalam suatu
kawasan merupakan warisan pengetahuan arsitektur masa lalu, identitas dari
suatu puncak peradaban yang seharusnya menjadi titik pijak disiplin ilmu arsitektur.
Eko Budihardjo[3]
mengutip Amos Rapoport (Human Aspects of
Urban Form, 1977), mengingatkan bahaya pendekatan arsitek
modernis-individual, yang mengutamakan selera suka dan tidak suka, tan-logis,
a-historis dan karena itu mengabaikan budaya dan lingkungannya. Desain arsitek sepantasnya
mendasarkan pada informasi objektif yang terandalkan, melalui studi kepustakaan
maupun penelitian mendalam mengenai interaksi manusia dan lingkungan. Pendekatan
partisipatoris menjadi relevan dalam menjembatani kepentingan arsitek dengan
komunitas.
Titik kritis pendekatan arsitek komunitas terletak pada filosofi “partisipasi
sebagai hak dan bukan sebagai mekanisme instrumental”; antara proses dan produk
akhir; antara bantuan teknis (technical
assistance) dan pemberdayaan
masyarakat”[4]. Dengan demikian, peran
arsitek komunitas diperluas, mencakup penyediaan layanan profesional lingkungan
binaan dalam perencanaan, desain grafis, hingga kecakapan fasilitasi, yang
memudahkan warga berpartisipasi aktif. Comerio[5]
(1987) menegaskan partisipasi sebagai sarana untuk menghasilkan desain yang lebih
baik, dan karya desain sama
mendasarnya dengan politik partisipasi.
Rumusan yang paling mendekati konsep arsitek komunitas sebagai paradigma
arsitektur Indonesia pernah dikemukakan oleh Romo Mangunwijaya (2009) dalam
Hidayatun dkk (2014). Titik tekan Romo Mangun pada filosofi arsitektur dan
tanggung jawab moral profesi (keahlian) arsitek dalam pemecahan masalah
kemanusiaan (architect for
humanity). Berarsitektur
artinya berbahasa dengan ruang dan gatra, garis dan bidang, material dan
suasana tempat, maka sudah
sewajarnyalah arsitek berarsitektur
secara berbudaya dengan
nurani dan tanggung jawab penggunaan bahasa arsitektural yang baik.
Salah satu karya Romo Mangunwijaya yang menjadi rujukan para pegiat arsitek
komunitas di Indonesia era 1990-an adalah pengembangan permukiman informal Kali
Code di Yogyakarta. Pengembangan (upgrading)
kampung Kali Code mengikuti karakteristik lingkungan, sosial dan ekonomi warga.
Sentuhan arsitektural mencakup ketiga aspek tersebut, yang kemudian disebut
Tribina Romo Mangun. Peran arsitek bukan lagi mendesakkan pengetahuan dan
teknologi baru, tetapi menyesuaikan keahliannya dengan kondisi nyata. Perubahan
kawasan terjadi dari kesan kumuh menjadi tertata. Rumah-rumah warga dipoles
dengan teknik arsitektur berdasarkan bentuk, bahan, letak dan sifat
arsitekturalnya. Begitu pula dengan aspek sosialnya, warga yang bergotong royong, hingga terorganisasi menjadi RT/RW. Atas dasar
ini, pemerintah kota Yogyakarta melegalkan kampung Kali Code menjadi bagian dari
struktur pemerintahan lokal.
Model revitalisasi[6] kampung Kali Code
menginspirasi para pegiat arsitek
komunitas di Indonesia. Bukan hanya pembelajaran arsitektural, revitalisasi
kampung informal menjadi strategi advokasi organisasi masyarakat sipil dalam
mencegah penggusuran paksa (force
eviction) seperti yang dilakukan Konsorsium
Kemiskinan Perkotaan (UPC) Jakarta pada permukiman warga Stren Kali
Surabaya (2002). Strategi advokasi ini juga direplikasi warga Kampung
Bungkutoko Kendari (2011) dan Kampung Pisang Makassar (2013).
Kolaborasi Arsitek Komunitas
Aktivis Arkom Makassar pertama kali terlibat dalam kegiatan
pendampingan dan penataan permukiman
informal warga Kampung Pisang[7].
Melalui pendekatan kolaborasi dan advokasi kebijakan pemerintah kota, akhirnya
pengusaha bersedia berbagi lahan (land-sharing)
hingga warga dapat membangun kembali pemukimannya pada tahun 2012 hingga kini.
Kampung Pisang diresmikan oleh Menteri Sosial pada tahun 2013 sebagai model
penataan kampung warga miskin yang partisipatif.
Peran penting profesi arsitek-perencana
dalam advokasi tersebut adalah melakukan pengkajian dan pemetaan kawasan, serta
menyiapkan dokumen rencana tata kampung
versi warga secara probono[8].
Desain tata kampung menjadi argumentasi warga dalam mempengaruhi kebijakan pemerintah
kota (walikota) untuk
mencegah konfrontasi dan penggusuran secara
paksa.
Pada contoh kasus advokasi Kampung Pisang, setidaknya
empat kelembagaan yang terjalin dalam suatu kerjasama (kolaborasi) dengan
tujuan mencapai resolusi konflik. Secara umum, peran para pihak, yakni; (1)
Organisasi warga sebagai penggerak di level akar-rumput; (2) LSM sebagai supporting advokasi dan jejaring; (3)
Arkom sebagai tim pendamping teknis; (4) Pemerintah sebagai penentu kebijakan.
Belajar dari pengalaman tersebut, Arkom Makassar mulai menyusun skema
pendampingan dengan pendekatan pengorganisasian warga yang bermukim di kampung-kampung
pesisir utara kota Makassar, di antaranya kampung Buloa, Sengkabatu,
Mangarabombang, dan Karabba. Selain mempelajari karakteristik arsitektur hunian,
potensi
sosial dan sumberdaya lokal, aktivis Arkom juga
mengembangkan partisipasi warga dalam kegiatan menabung, pengelolaan air bersih
maupun kegiatan sosial lainnya seperti even Festival Pesisir.
Berbekal pengalaman tersebut, aktivis
Arkom Makassar mampu melakukan pendampingan laiknya tenaga profesional teknis
dan non-teknis di tiga lokus program atas dukungan dan kerjasama dengan Balai
Penelitian dan Pengembangan Perumahan Wilayah (BLPW) III Makassar, Kementerian
Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Kerjasama ini merupakan momen penting bagi
para arsitek-perencana muda untuk belajar dan bekerja menggunakan teknologi dan
material bersama komunitas.
Tiga lokus program menghasilkan
pembelajaran yang berbeda sesuai dengan karakteristik masyarakat. Lokasi
pendampingan masyarakat di kelurahan Lakkang dan kelurahan Karabba kecamatan
Tallo kota Makassar, dan desa Tanete kecamatan kabupaten Simbang kabupaten Maros.
Karakteristik lokasi masyarakat dampingan di Karabba adalah kampung sub-urban; di Lakkang termasuk kampung semi-urban/rural, dan; Tanete merupakan
kampung rural.
Hasil kerjasama pendampingan masyarakat di kampung
Lakkang adalah dokumen perencanaan kawasan wisata dengan tiga bangunan rumah
contoh yang menggunakan material lokal kayu dan bambu. Di Tanete juga dibangun
sebuah Baruga atau balai warga yang sepenuhnya terbuat dari material bambu.
Sedangkan di kampung Karabba, tim Arkom dan LItbang PUPR menghasilkan sebuah
desain hunian, yang dimodifikasi dari arsitektur rumah panggung tradisional.
Proses perancangannya diuraikan dalam Buku Seri Ke-1: Balla’ Longga’.
[1] Pandangan Paul Jenkins ddk dalam
buku Architecture, Participation and
Society (2010) mengulas awal mula pendekatan community architect, termasuk perdebatan visi para ahli terutama di
Inggris yang mempelopori Royal Institute of British Architects (RIBA) era tahun
1970-an. Pengaruhnya cukup signifikan di Eropa hingga Asia. Misalnya, CAN –
Community Architect Network yang berbasis di Bangkok merupakan kumpulan arsitek
muda terutama di Asia Tenggara. Aktivis CAN bekerja untuk proyek upgrading pemukiman kumuh dalam skema
CODI (Community Organisation and
Development Institute). Melalui dukungan ACHR (Asian Coalition for Housing Rights), model CODI direplikasi ke
beberapa jaringannya di Myanmar, Kamboja, Nepal, termasuk Indonesia.
[2] Ibid (Jenkins, 2010).
[3] Dalam tulisannya pada Kongres
IAI (14-16 Maret, 1985) berjudul Sindrom
Columbus Melanda Arsitek.
[4] Ibid (Jenkins, 2010)
[5] Ibid (Jenkins, 2010)
[6] Istilah ini digunakan oleh Ratna Dewi Nur’aini dkk dalam Kajian Revitalisasi Arsitektural di Bantaran Kali Code Yogyakarta (Makalah dalam Seminar Sains dan Teknologi Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah Jakarta, 17 Nopember 2015). Revitalisasi yang dimaksud adalah tahapan pembangunan pemukiman, mencakup pengertian Tribina, yakni perubahan lingkungan fisik, kehidupan ekonomi, kelembagaan masyarakat.
[7] Penamaan lokasi pemukiman ‘ilegal’ warga di kelurahan Maccini Sombala kecamatan Tamalate Kota Makassar. Kampung ini diorganisasikan oleh aktivis Komite Perjuangan Rakyat Miskin (KPRM) dalam menghadapi ancaman penggusuran dari tuan tanah dan pengusaha properti sejak tahun 2004/2005.
[8] Istilah yang biasa digunakan oleh kelompok profesi dalam pemberian bantuan teknis bersifat non-komersial kepada orang yang tidak mampu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar