28 Jan 2020

METAMORFOSIS SHAIFUDDIN BAHRUM

M. Nawir[1]
….
Ada yang sedang diam-diam
menulis riwayat hidupmu
Menimbang-nimbang hari lahirmu dan
Mereka-reka sebab-sebab kematianmu [2]
Petikan sebait puisi di atas adalah metafor dari suatu peristiwa kematian. Bahwa, setiap makhluk bernyawa akan mati, dan kematian seseorang sudah ditentukan oleh sang penciptaNya, demikian pernyataan seorang penceramah tazqiratul maut.
Kematian hanyalah akibat dari sebab-sebab yang tak pasti. Seperti halnya almarhum Shaifuddin Bahrum, siapa sangka secepat itu mendahului sahabat dan kerabatnya. Kita pun mereka-reka “penyebab kematianku kelak?”. Kita bisa merasakan, tetapi tak sanggup memastikannya.  Pun, dalam riwayat hidup para raja Bugis-Makasssar dahulu, tercatat ada yang mati di kursi kekuasaannya, bahkan dipenggal oleh rakyatnya. Seniman, pemikir, pejuang seperti Chairil Anwar, Nietszche, Che Guevara, mati okeh sebab-sebab yang berbeda, khas sebagaimana sidik jari manusia yang tak ada kesamaannya.
Kematian Shaiffuddin Bahrum mengenangkan saya pada kata-kata almarhum Ishak Ngeljaratan (guru almarhum). Pada dasarnya setiap orang tidak takut pada kematian, karena hal itu suatu keniscayaan. Orang takut pada proses menuju kematian karena membayangkan rasa sakit, cacat, menderita. Di dalam sebab-sebab kematian itu berkembanglah cerita hingga tak berbatas. Di sana lah makna kematian sebagai peristiwa kebudayaan. Pada soal ini jamaah tazqiratul maut bisa hanyut dalam riwayat, dan hikmah dari uraian penceramah. Suatu romantika, tragedi, sekaligus komedi. Kita terenyuh, sedih, pada saat yang sama tertawa terbahak-bahak. Kita seperti hidup kembali bersama si orang mati itu. Kita pun merasa tidak takut mati.
Dalam suatu diskusi reflektif awal tahun ini, ada satu pertanyaan kritis, “kapan kebudayaan berakhir”? Saya menjawab spontan, “ketika manusia sudah mati”. Maksudnya, proses berakal budi dan rasa merasa seketika berhenti bagi orang mati”. Pada saat yang sama, kematian menjadi peristiwa kebudayaan. Itu sebabnya, kerabat dan sahabat menarasikan pandangan dan perasaanya tentang seseorang yang telah tiada.
Kematian adalah salah satu dari tiga misteri kehidupan. Chairil Anwar mengungkapkan pandangannya tentang kematian dalam bait puisinya, “Hidup hanya menunda kekalahan”; Ebiet G. Ade dalam lagunya, “kematian hanya tidur panjang”. Dan, Sapardi Djoko Damono, pada petikan puisi di atas, mengilustrasikan kematian seiring dengan hidup keseharian. Ketika aktivitas berbudaya berhenti alias mati, pada saat itu juga kehidupan baru dilahirkan oleh para penyintas (survivor).
Saya menulis catatan ini pada malam ketujuh wafatnya Shaifuddin Bahrum. Bagi saya, Shaifuddin Bahrum hidup kembali ketika kita mengenang dan membincangkannya. Saya bermakna seperti hari ini karena pernah ada almarhum dalam pengalaman hidup saya. Salah satu momen yang mendekatkan saya dengan almarhum adalah Kosaster, Kelompok Studi Sastra dan Teater. Di akhir kehidupannya pun almarhum masih mengapresiasi itu. Dalam satu postingannya setelah diskusi film Ati Raja di Aula Mattulada FIB Unhas, kak Udin, berkomentar:
Mengapa ini saya ceritakan kembali bukan untuk maksud apa-apa, kecuali untuk mempertegas kembali kiprah berkesenian di Fakultas Sastra (maaf FIB)... Khususnya KOSASTER... janganlah menjadi kelompok tari juga... karena ada wadahnya tersendiri... kembalilah pada asal kejadiannya sebagai Kelompok Studi Sastra dan Teater.... akan tetapi juga membutuhkan warna daerah maka ajaklah orang2 dari Kelompok.Kesenian Daerah... jika butuk musik.alternatif maka.ajaklah teman2 Spasi... dan jika butuk seni Rupa maka ajaklah teman2mu di Bengkel Seni....  Ini adalah konsep kami untuk.membangun kekuatan berkesenian di Fakultas Sastra pada waktu itu. Kami mengembangka hubungan saling menghormati dan menghargai kekuatan dan potensi masing2 dan menghancur leburkan arogansi kami....
Petikan paragraf di atas mencerminkan concern Shaifuddin Bahrum pada aktivitas berkesenian. Dia adalah seniman, khususnya di bidang seni pertunjukan. Hampir semua pementasan Kosaster dimana beliau menyutradarai atau sebagai asisten sutradara Faham Syarif (guru dan sahabat almarhum), saya ikutan main, antara lain; Antigone, Lysistrata, Aku Bin Atang. Bahkan sebelum itu, sekira tahun 1987, kak Udin sudah memerankan saya bersama Hanisa (mantan Kosaster) dalam drama penyuluhan BKKBN di TVRI Stasiun Makassar.
Selain kosaster, almarhum juga merintis ko-kurikuler kesenian daerah bagi mahasiswa Fakultas Sastra tahun 1990an. Hingga kemudian beliau meninggalkan kampus. Sejak itu saya sungguh berjarak, kekurangan referens tentang almarhum. Dia pergi, tetapi tidak kemana-mana, masih seputaran sastra dan seni pertunjukan. Menurutku, kepergiannya itu menegaskan dirinya identik dengan gaya hidup seniman sebagai "individu yang bebas". Untuk dikatakan “asyik dengan pencarariannya”. Masa itu adalah proses menemukan jati dirinya, semacam kredo berkesenian. Apa itu? Sejauh yang saya tahu, perjumpaannya dengan "Sastra Peranakan Tionghoa" menandai sikap (individual) Shaifuddin Bahrum sebagai pekerja seni yang merayakan keberagaman.
Almarhum menghormati kaum minoritas dengan mengapresiasi karya sastra orang Tionghoa, dan mengangkatnya ke panggung film nasional. Ho Eng Dji adalah salah satu penulis sastra peranakan yang menginspirasi almarhum untuk bermetamorfosis dari sutradara teater ke film layar lebar. Seperti yang ditulisnya bahwa syair-syair Ho Eng Dji menonjolkan filosofi kehidupan eksistensial, juga tragedi.
“Ia (Ho Eng Dji) menyajikan banyak kekalahan awal manusia dalam melawan kehidupan yang keras dan memandang kematian sebagai akhir dari segala penderitaan. Kematian sebagai akhir bukan sesuatu yang kosong, tetapi sebuah wilayah untuk menuai hasil dari kehidupan yang kadang begitu menekan. Kematian adalah sekutu kehidupan, kemalangan menjadi pintu kebahagiaan yang hakiki”.[3]
Itulah puncak karir kesenimanan Shaifuddin Bahrum.
Makassar, 29 Januari 2020
[3] Sastra Makassar Karya China Peranakan, 27 June, 2011
[2] Bait kedua puisi Metamorfosa, karya Sapardi Djoko Damono dalam Musikalisasi Puisi Hujan Bulan Juni, 1990.
[1] Alumni Fakultas Sastra Unhas 1994, mantan ketua Kosaster/Semawa 1991-1992, tinggal di Makassar.

2 komentar:

Posting Komentar