21 Mei 2020

"Berdamai" dan "New Normal" dari Perspektif Pengurangan Risiko Bencana (PRB)

M. Nawir
Tulisan ini hendak memperkaya cara pandang terhadap epidemi/pandemi Covid 19 sebagai kejadian bencana (kesehatan). Berbekal pengalaman praktis bekerja-berkolaborasi di wilayah bencana alam dan sosial, penulis bersikap kritis terhadap pernyataan presiden Joko Widodo perihal “Berdamai” dan “New Normal” dalam menghadapi pandemi Covid 19. Reaksi publik terhadap kedua istilah tersebut dapat dibaca di media sosial (klik. https://health.detik.com/berita-detikhealth/d-5015469/mungkinkah-berdamai-dengan-corona/2; https://newsmaker.tribunnews.com/2020/05/29/populer-fakta-new-normal-di-indonesia-dari-definisi-penerapan-hingga-kritikan-sejumlah-pihak).
Pernyataan pers "berdamai" dan "new normal" tersebut menarik untuk dipahami sebagai suatu istilah atau pun konsep terkait. Kedua istilah ini dapat dijelaskan dari perspektif Pengurangan Risiko Bencana (PRB). Badan PBB urusan PRB mengartikan PRB - Disaster Risk Reduction (UNISDR) sebagai tata kelola pengetahuan tentang dimensi kebencanaan mencakup kerentanan, kapasitas, paparan orang dan aset, karakteristik bahaya, dan lingkungan, Pengetahuan ini berguna dalam membuat penilaian sebelum dan sesudah kejadian bencana (The Sendal Framework for DRR 2015-2030). Berdasarkan kerangka ini penulis menyadari bahwa pernyataan "berdamai", "new normal" didasari oleh kerangka normatif dalam penanggulangan bencana, yakni konvensi dan undang-undang. Berikut ini poin-poin pemahaman penulis mengenai hal tersebut.
Pertama, paham bahwa bencana lebih dari kejadian kecelakaan atau pun musibah. Bencana (UU 24/2007) adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan oleh faktor alam dan/atau faktor non-alam maupun faktor manusia, sehingga mengakibatkan korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.
Kedua, kejadian bencana dirumuskan menjadi Ancaman + Kerentanan = Risiko + Pemicu = Bencana. Ancaman dan kerentanan itu bersifat potensial, bisa dibaca tanda/gejala kejadiannya, tanpa bisa dipastikan atau pun dikendalikan oleh manusia. Dalam hal ini, setiap orang sesungguhnya berisiko mengalami kejadian bencana tergantung faktor pemicunya. Misalkan, masyarakat miskin yang bermukim di sepanjang kanal berisiko terkena wabah disentri, DBD, gatal-gatal ketika air kanal meluap (banjir) yang dipicu oleh hujan deras dan pasang laut dalam suatu periode.
Ketiga, prinsip bahwa tidak ada orang yang luput dari risiko terkena musibah/bencana. Manusia hanya berusaha mengurangi risiko dari kejadian bencana. Dalam sistim penanggulangan bencana dikenal konsep mitigasi dan pengurangan risiko bencana. Caranya, secara non-fisik (pengetahuan), misalnya kita belajar mengetahui tanda-tanda alam, kearifan lokal, arsitektur, teknologi. Secara fisik (spasial), kita membuat tanggul, penghijauan, konstruksi rumah, dan zonasi. Secara sosial, yaitu penguatan organisasi, pemberdayaan ekonomi dan penegakan aturan.
Keempat, prinsip PRB berasumsi bahwa manusia bisa, bahkan sejak dahulu hidup berdampingan dengan potensi bencana. Para pakar menyebut situasi itu dalam ungkapan “living in harmony with nature/disaster”. Itulah sebabnya, para aktivis kebencanaan seringkali berbeda pendapat dengan pemerintah dalam penetapan zonasi atau pembatasan wilayah. Mereka bersitegang lantaran pemerintah melarang warga membangun kembali huniannya di zona merah. Sementara para aktivis itu mempertahankan prinsip PRB, dan berbagai kovenan PBB mengenai hak-hak warga di masa bencana. Kenyataannya, para survivor (penyintas) atau warga yang selamat dari bencana cenderung kembali membangun kehidupannya seperti sediakala. Mereka trauma dalam suatu periode, biasanya tiga bulan, sesudahnya, warga mulai kebal dan bekerja lagi untuk survive.
Kelima, paham bahwa pandemi virus corona termasuk bencana non-alam berupa Kejadian Luar Biasa (KLB). Umum menyebutnya bencana kesehatan. Bahkan ada yang menganggap pandemi covid bersumber dari ulah manusia, semacam ekses dari kemajuan teknologi rekayasa genetika pada makhluk hidup. Malahan di medsos tersebar tulisan bahwa pandemi covid adalah konspirasi ekonomi-politik negara-negara maju. Semua itu adalah reaksi publik terhadap kejadian luar biasa, yang berpotensi mengancam kehidupannya, tetapi tidak bisa dihindari, mau tidak mau harus dihadapi. Yang jelas, pandemi covid membawa kerusakan dan korban yang massif, global, terbesar dalam sejarah umat manusia. Bahkan mulai mengubah cara hidup manusia dengan kembali memelihara harmoni dengan alam.
Keenam, dibilang bencana kesehatan karena pandemi covid bukan hanya urusan keahlian para dokter dan perawat. Pandemi ini menjadi urusan semua pihak untuk menjaga kesehatan diri dan lingkungannya. Sehingga diperlukan sikap positif dan disiplin dalam mematuhi protokol penanggulangan pandemi.
Ketujuh, virus corona memiliki kecepatan dalam penularan dibanding virus yang lain, dan hingga kini belum ditemukan vaksinnya. Sehingga dalam penanggulangannya, selain pendekatan kuratif, sambil menunggu adanya vaksin (obat), usaha kita adalah menggalakkan pendekatan preventif. Mencegah atau pun mengurangi risiko terpapar virus, bakteri dan kuman lainnya dengan mematuhi protokol kesehatan. Mengurung diri dan tidak beraktivitas sosial-ekonomi selama berbulan-bulan, selain menjemukan, stres, ancaman yang lebih besar adalah kita sebagai warga bisa jadi penyebab  negara gagal menanggulangi dan mengendalikan pandemi virus corona.
Menurut Yuval N. Harari dalam The World After Corona Virus https://www.ft.com/content/19d90308-6858-11ea-a3c9-1fe6fedcca75, tiga situasi yang penting diperhatikan para pihak dalam situasi pandemi covid, yaitu kuasa pengetahuan, otorittas publik dan media. Semakin kita tahu mengenai seluk-beluk virus corona, rapid test, PCR, semakin kita kritis terhadap informasi, dan proaktif (tidak panik, tidak reaktif) menjaga diri dan lingkungan dari penularan covid. Sikap seperti ini mendorong kita untuk menerima dan menyebarkan informasi secara benar dan tepat sasaran. Pada saat yang sama, diperlukan kepatuhan warga menjalankan protokol dan kebijakan pemerintah. Khususnya bagi para aparatur agar proses penanggulangan pandemi terkordinasi, dan sinergis.
Jadi, marilah kita mengurangi risiko terpapar virus dengan mematuhi protokol kesehatan sehari-hari di lingkungan tempat tinggal, di tempat ibadah, tempat kerja, sekolah, pasar, dan ruang publik lainnya. Pada akhirnya, kita hidup berdampingan dengan potensi dan ancaman terpapar virus, kuman, dan berbagai bencana lainnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar