M. Nawir
Tulisan
ini hendak memperkaya cara pandang terhadap epidemi/pandemi Covid 19 sebagai kejadian bencana
(kesehatan). Berbekal pengalaman praktis bekerja-berkolaborasi di wilayah
bencana alam dan sosial, penulis bersikap kritis terhadap pernyataan presiden
Joko Widodo perihal “Berdamai” dan “New Normal” dalam menghadapi pandemi Covid
19. Reaksi publik terhadap kedua istilah tersebut dapat dibaca di media sosial (klik.
https://health.detik.com/berita-detikhealth/d-5015469/mungkinkah-berdamai-dengan-corona/2;
https://newsmaker.tribunnews.com/2020/05/29/populer-fakta-new-normal-di-indonesia-dari-definisi-penerapan-hingga-kritikan-sejumlah-pihak).
Pertama, paham bahwa bencana lebih dari kejadian kecelakaan atau pun musibah. Bencana (UU 24/2007) adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan oleh faktor alam dan/atau faktor non-alam maupun faktor manusia, sehingga mengakibatkan korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.
Kedua, kejadian bencana dirumuskan menjadi Ancaman +
Kerentanan = Risiko + Pemicu = Bencana. Ancaman dan kerentanan itu bersifat
potensial, bisa dibaca tanda/gejala kejadiannya, tanpa bisa dipastikan atau pun
dikendalikan oleh manusia. Dalam hal ini, setiap orang sesungguhnya berisiko
mengalami kejadian bencana tergantung faktor pemicunya. Misalkan, masyarakat miskin
yang bermukim di sepanjang kanal berisiko terkena wabah disentri, DBD,
gatal-gatal ketika air kanal meluap (banjir) yang dipicu oleh hujan deras dan
pasang laut dalam suatu periode.
Ketiga, prinsip bahwa tidak ada orang yang luput dari
risiko terkena musibah/bencana. Manusia hanya berusaha mengurangi risiko dari
kejadian bencana. Dalam sistim penanggulangan bencana dikenal konsep mitigasi
dan pengurangan risiko bencana. Caranya, secara
non-fisik (pengetahuan), misalnya kita belajar mengetahui tanda-tanda alam,
kearifan lokal, arsitektur, teknologi. Secara fisik (spasial), kita membuat
tanggul, penghijauan, konstruksi rumah, dan zonasi. Secara sosial, yaitu
penguatan organisasi, pemberdayaan ekonomi dan penegakan aturan.
Keempat, prinsip PRB berasumsi bahwa manusia bisa, bahkan
sejak dahulu hidup berdampingan dengan potensi bencana. Para pakar menyebut
situasi itu dalam ungkapan “living in harmony with nature/disaster”. Itulah sebabnya,
para aktivis kebencanaan seringkali berbeda pendapat dengan pemerintah dalam penetapan
zonasi atau pembatasan wilayah. Mereka bersitegang lantaran pemerintah melarang
warga membangun kembali huniannya di zona merah. Sementara para aktivis itu
mempertahankan prinsip PRB, dan berbagai kovenan PBB mengenai hak-hak warga di
masa bencana. Kenyataannya, para survivor (penyintas) atau warga yang selamat
dari bencana cenderung kembali membangun kehidupannya seperti sediakala. Mereka
trauma dalam suatu periode, biasanya tiga bulan, sesudahnya, warga mulai kebal
dan bekerja lagi untuk survive.
Kelima, paham bahwa pandemi virus corona termasuk bencana
non-alam berupa Kejadian Luar Biasa (KLB). Umum menyebutnya bencana kesehatan. Bahkan
ada yang menganggap pandemi covid bersumber dari ulah manusia, semacam ekses
dari kemajuan teknologi rekayasa genetika pada makhluk hidup. Malahan di medsos
tersebar tulisan bahwa pandemi covid adalah konspirasi ekonomi-politik negara-negara maju.
Semua itu adalah reaksi publik terhadap kejadian luar biasa, yang berpotensi
mengancam kehidupannya, tetapi tidak bisa dihindari, mau tidak mau harus
dihadapi. Yang jelas, pandemi covid membawa kerusakan dan korban yang massif,
global, terbesar dalam sejarah umat manusia. Bahkan mulai mengubah cara hidup manusia dengan kembali memelihara harmoni dengan alam.
Keenam, dibilang bencana kesehatan karena pandemi covid bukan
hanya urusan keahlian para dokter dan perawat. Pandemi ini menjadi urusan semua
pihak untuk menjaga kesehatan diri dan lingkungannya. Sehingga diperlukan sikap
positif dan disiplin dalam mematuhi protokol penanggulangan pandemi.
Ketujuh, virus corona memiliki kecepatan dalam penularan dibanding
virus yang lain, dan hingga kini belum ditemukan vaksinnya. Sehingga dalam penanggulangannya,
selain pendekatan kuratif, sambil menunggu adanya vaksin (obat), usaha kita adalah menggalakkan
pendekatan preventif. Mencegah atau pun mengurangi risiko terpapar virus, bakteri
dan kuman lainnya dengan mematuhi protokol kesehatan. Mengurung diri dan tidak
beraktivitas sosial-ekonomi selama berbulan-bulan, selain menjemukan, stres, ancaman
yang lebih besar adalah kita sebagai warga bisa jadi penyebab negara gagal
menanggulangi dan mengendalikan pandemi virus corona.
Menurut Yuval N. Harari dalam The World After Corona Virus https://www.ft.com/content/19d90308-6858-11ea-a3c9-1fe6fedcca75, tiga situasi yang penting diperhatikan para pihak dalam situasi pandemi covid, yaitu kuasa pengetahuan, otorittas publik dan media. Semakin kita tahu mengenai seluk-beluk virus corona, rapid test, PCR, semakin kita kritis terhadap informasi, dan proaktif (tidak panik, tidak reaktif) menjaga diri dan lingkungan dari penularan covid. Sikap seperti ini mendorong kita untuk menerima dan menyebarkan informasi secara benar dan tepat sasaran. Pada saat yang sama, diperlukan kepatuhan warga menjalankan protokol dan kebijakan pemerintah. Khususnya bagi para aparatur agar proses penanggulangan pandemi terkordinasi, dan sinergis.
Menurut Yuval N. Harari dalam The World After Corona Virus https://www.ft.com/content/19d90308-6858-11ea-a3c9-1fe6fedcca75, tiga situasi yang penting diperhatikan para pihak dalam situasi pandemi covid, yaitu kuasa pengetahuan, otorittas publik dan media. Semakin kita tahu mengenai seluk-beluk virus corona, rapid test, PCR, semakin kita kritis terhadap informasi, dan proaktif (tidak panik, tidak reaktif) menjaga diri dan lingkungan dari penularan covid. Sikap seperti ini mendorong kita untuk menerima dan menyebarkan informasi secara benar dan tepat sasaran. Pada saat yang sama, diperlukan kepatuhan warga menjalankan protokol dan kebijakan pemerintah. Khususnya bagi para aparatur agar proses penanggulangan pandemi terkordinasi, dan sinergis.
Jadi, marilah kita mengurangi risiko terpapar
virus dengan mematuhi protokol kesehatan sehari-hari di lingkungan tempat
tinggal, di tempat ibadah, tempat kerja, sekolah, pasar, dan ruang publik
lainnya. Pada akhirnya, kita hidup berdampingan dengan potensi dan ancaman terpapar virus, kuman, dan berbagai bencana lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar