Prolog Awi MN |
Sebagai pembaca, saya belajar lagi, mengupdate pengetahuan tentang pendekatan pemberdayaan dalam konteks masyarakat perikanan tambak. Saya berusaha menemukan pesan dan gagasan pokok Idham yang hendak disosialisasikan atau pun ditawarkan kepada khalayak pembaca. Saya mulai dari satu kata yang tidak baku tetapi memiliki daya kritis terhadap situasi budidaya perikanan masyarakat pesisir, yaitu “perikiri”.
Istilah
perikiri dalam pengantar buku ini
merujuk pada salah satu judul tulisan, “Perikanan atau Perikiri?”. Dalam
tulisan ini, Idham menulis kalimat perikiri
dalam artian perikanan yang menopang program-program radikal yang mendorong kesejahteraan
masyarakat pesisir. Ia menggunakan istilah “peri-kiri” sebagai plesetan
sekaligus antonim dari “peri-kanan”. Semacam paradigma[1], perikiri
adalah “sisi tersembunyi yang sama pentingnya dengan sisi yang mengemuka”. Istilah
tersebut merefleksi kerangka pandangan dan pendekatan Idham mengenai
pemberdayaan kelompok petambak.
Dari
gagasan tersebut saya akan mengantar pembacaan atas kumpulan tulisan ini dalam
dua cara pandang. Pertama, memahami pertambakan sebagai praktik budaya tradisi.
Bagaimana kita memvitalkan kembali makna kultural bertambak, sebagaimana istilahnya,
aquaculture. Bahwa problem mendasar petambak
adalah problem kebudayaan, terletak pada kepemilikan dan tradisi mengolah tanah
atau lahan tambak. Penjelasan ini akan memediasi pengertian kita yang terlanjur
mendikotomi budaya dengan ekonomi dan teknologi. Kedua, mengapresiasi program
pemberdayaan petambak dalam rangkaian transformasi budaya. Bagaimana kondisi
aktual petambak dalam proses pembelajaran sosialnya. Apa kontribusi pendekatan
pemberdayaan dan pendampingan petambak dalam bingkai pembangunan berkelanjutan.
Bu(di)daya Petambak
Dalam
pandangan kebudayaan masyarakat Sulwesi Selatan, desa (wanua) yang ideal merupakan kombinasi dari tradisi pengolahan hasil
perikanan laut (tasi’ akkajang) dengan
lahan pertanian sebagai sumber mata pencaharian utama (padalloang alloangrumang), dan pasar sebagai pusat pertukaran
barang dan jasa penduduknya (pasa’ maroa)[2]. Dari
pandangan ini, saya memahami tradisi maritim (marikultur) merupakan latardepan
budaya masyarakat agraris (agrikultur).
Bertambak
merupakan kelanjutan dari tradisi masyarakat agraris (petani), yakni mengolah
lahan pesisir dengan cara menambak. Dalam kamus, menambak berarti membuat timbunan tanah menjadi pematang (tambak).
Petani memanfaatkan air pasang surut untuk memelihara hewan air payau dengan
cara membendung atau membuat pematang. Dalam perkembangannya, mengolah lahan tambak
identik dengan budaya perairan alias budidaya perikanan air payau (aquakultur).
Bertambak
dapat dibedakan dengan tradisi masyarakat pesisir (nelayan), yakni menangkap
ikan di daerah perairan pantai atau pun laut. Secara spasial, nelayan
merepresentasi masyarakat yang berbasis lautan, petani merepresentasi
masyarakat yang berbasis daratan. Petambak berada di antara kedua pengertian
tersebut. Nelayan dan petani bertemu dan sama-sama mendayagunakan sumberdaya
perairan pesisir sebagai basis ekonomi produktif tambak.[3]
Praktik
budi daya mencerminkan pemanfaatan akal dan budi dari konsep budaya. Dalam
bahasa Sansekerta, budaya adalah ‘buddhayah”, berarti akal-budi dan pekerti
manusia, yang menjadi penanda akhir dari cara hidup yang tidak beradab. Makna budaya
mengalami pengayaan arti dari kata dalam bahasa Inggris culture. Berasal dari kata Latin colere, budaya (kultur) adalah aktivitas 'menghuni, merawat, sampai
menyembah (kultus)'[4].
Sehingga bertani (agriculture) maupun
bertambak (aquaculture) merupakan tonggak
peradaban ketika manusia menetap, mengolah sumberdaya agraria[5],
serta mengembangkan ritus.
Petambak
di Sulawesi Selatan pada umumnya mengenal atau mewarisi tradisi bertambak tahun
delapan puluhan. Tradisi berasal dari bahasa Latin tradere, berarti “mentransmisikan, menyerahkan, memberi untuk
disimpan”. Oleh karena itu tradisi dapat berubah atau pun diubah. Sebagaimana
dikemukakan oleh Van Peursen[6] bahwa
proses pewarisan norma, adat istiadat, kaidah, aset budaya dapat ditolak atau
pun dipadukan dengan ragam perbuatan manusia pada masanya.
Walaupun
tergolong tradisional, namun teknologi, peralatan serta organisasi pekerjaan bertambak termasuk dalam sistem ekonomi konvensional.[7] Mereka
tidak lagi mempraktikkan cara-cara tradisional seperti ritual, aturan maupun
teknik budidaya dan pendistribusian kerja secara komunal[8]. Sekalipun
ada pemanfaatan pupuk dan pakan alami atau lazim disebut “budidaya organik”,
secara praktis hal itu merupakan upaya atau pun siasat[9] mereka
dalam merespon dan beradaptasi dengan tuntutan pembangunan berkelanjutan dekade
tahun 1990-an.
Corak
produksi perikanan non-konvensional dipraktikkan oleh kelompok petambak
Lanrisang di kabupaten Pinrang. Mereka mengkompilasi pengetahuan dari sesama
petambak dan pemangku kepentingan lainnya. Mereka membuat riset sederhana,
praktik pengembangan pakan alami phronima
(udang-udangan kecil), pembuatan pupuk alami dan pakan buatan, serta
pengembangan probiotik untuk perbaikan kualitas air. Tradisi petambak Lanrisang
ini dapat dikatakan berhasil dalam pemanfaatan teknologi, inisiatif kelompok
dan tentu efektivitas produksi.
Keberhasilan
petambak Lanrisang ditopang oleh kebebasan mereka mengelola sumberdaya
pengetahuan dan lahan. Para petambak umumnya adalah pemilik lahan. Mereka memiliki
motivasi tinggi untuk membangun kerjasama dengan pemangku kepentingan lainnya seperti
pemerintah, perusahaan, peneliti, universitas dan lembaga swadaya masyarakat.
Hubungan yang baik dengan para pihak tersebut menunjang aktivitas mereka
memperbaiki kelembagaan, perbaikan infrastruktur kawasan, pemecahan masalah,
serta penawaran hasil panen yang lebih tinggi kepada perusahaan.
Petambak-pemilik
lahan lebih proaktif dalam kegiatan kelompok. Memungkinkan mereka membuat
perencanaan, mengatur keuangan, dan mengakses lembaga keuangan. Penghasilan
mereka tanpa potongan, sehingga dapat mengakumulasi kapital, yaitu modal dan
pendapatan. Istilah kapital dalam konteks petambak mandiri (Lanrisang), tidak
searah dengan prinsip kapitalis (kapitalisme), yaitu hasrat individu untuk
mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya dengan modal sekecil-kecilnya. Mengenai
hal ini cukup jelas pada petikan paragraf berikut:
“….
akumulasi kapital, yang menjadi syarat perbaikan infrastruktur, manajemen, dan
peningkatan teknik budidaya yang memungkinkan peningkatan produksi. Akibat
lanjutan dari itu, adanya surplus ekonomi, tak memaksanya untuk melakukan
praktik budidaya secara eksploitatif, dalam artian, jumlah siklus dalam setahun
dapat dikurangi, yang dari 4 siklus menjadi 2 siklus saja, dan sisa waktu
dimanfaatkan untuk perbaikan lahan budidaya sehingga lahan dapat istirahat,
atau budidaya komoditi lain, misalnya nila yang juga berfungsi untuk perbaikan
lahan. Nila mematuk-matuk dasar lumpur, memakan lumut-lumut, dianggap dapat
memberi efek positif bagi tambak” (Kepemilikan
Lahan dan Produktivitasnya).
Berbeda
dengan petambak-sewa dan pekerja tambak. Kinerja petambak-penyewa lahan relatif
stabil dari aspek manajemen budidaya dan produktivitasnya, tetapi lalai dengan
pemeliharaan kualitas air dan lingkungan tambak. Sementara petambak pekerja
cenderung abai dengan kinerja, tanggung jawabnya rendah pada pemeliharaan
kualitas lingkungan tambak. Hal ini karena rasa kepemilikan atas lahan rendah,
dan ketergantungan mereka pada modal serta sarana produksi tambak milik
pemodal.
Berdasarkan
pengalaman petambak Lanrisang, Idham berpendapat bahwa persoalan kepemilikan
tanah merupakan pangkal problema petambak hingga kini. Menguasai tanah tidak
berarti memilikinya, tetapi memiliki tanah otomatis menguasai komponen sumberdaya
di dalamnya. Atas dasar ini Idham mewacanakan pembaharuan agraria sebagai
solusi pemberdayaan petambak dan peningkatan kualitas lingkugan hidup. Gagasan ini
perlu dikaitkan dengan praksis pemberdayaannya.
Pemberdayaan
Petambak
Jika
problem mendasar petambak adalah ketimpangan akses dan kontrol terhadap kepemilikan
lahan, apakah masih relevan kita melakukan pendampingan manajemen budidaya tambak?
Bukankah lebih baik kita mempropagandakan redistribusi lahan untuk petambak
miskin, misalnya sertifikasi tanah melalui proyek operasi nasional agraria
(PRONA)[10] daripada
bantuan modal usaha dan pengayaan kapasitas petambak. Sebaliknya, jika “pemberdayaan
terjepit ekonomi”, bukankah lebih baik kita membekali petambak dengan program agribisnis,
yakni memampukan petambak mengelola sumberdaya tambak tanpa harus memiliki
lahan sendiri? Apakah dengan kepemilikan tanah akan merevitalisasi nilai-nilai
budaya masyarakat pesisir seperti etos kerja, kolektivitas, kearifan ekologis?
Bagaimana dengan pemodal, pemilik perusahaan, teknokrat, politisi, LSM, yang
tidak memiliki lahan tambak tetapi mengendalikan akses petambak atas modal,
teknologi, infrastruktur, dan jejaring sosial?
Pertanyaan
pertama mengkritisi pendekatan konvensional dalam pemberdayaan masyarakat
pesisir. Ciri utama pendekatan ini bertolak dari analisis keterbelakangan
budaya dan ketimpangan ekonomi, yang bertujuan untuk perubahan struktural.
Wujud perubahan yang dikehendaki adalah berpindahnya akses dan kuasa atas
sumberdaya kepemilikan tanah, organisasi maupun teknologi kepada pelaku
perubahan. Tipe perubahan ini dapat digolongkan ke dalam paradigma pemenuhan
kebutuhan dasar menuju pembebasan, yang berimplikasi pada pembentukan kebijakan
seperti kebijakan pemilikan dan penguasaan kekayaan, termasuk aset produksi[11].
Dari
sisi pembelajaran, suatu komunitas atau pun kelompok dampingan sampai pada tahap
kesadaran kritis atau radikal[12],
yaitu ketika mereka menyadari kultur dan struktur adalah sumber permasalahan. Memampukan
kelompok dampingan menganalisis sistim sosial, politik, ekonomi dan budaya yang
membentuk ketidakadilan dalam masyarakatnya. Salman mengutip Freire (1975)[13] bahwa
yang penting dalam pembelajaran yang memberdayakan adalah proses penyadaran (conscientization) hingga terbentuknya kesadaran
kritis (consciousness) dalam diri
individu tenhadap situasi lingkungan sosial, dan dengan kemampuan sendiri dapat
mengontrolnya.
Pertanyaan
kedua merupakan autokritik terhadap pendekatan struktural, dimana cita-cita perubahan
berciri transformatif, dan bertujuan untuk membangun keberdayaan kolektif. Pada
tingkatan praktis, suatu kelompok membuka kesempatan bagi peserta belajar agar terlibat
dalam proses penciptaan struktur yang baru dan lebih baik dalam komunitasnya.[14] Kesadaran
kolektif menjadi modal sosial suatu komunitas dalam merespon ancaman dari pihak
luar sekaligus merebut peluang bekerjasama dalam membangun tatanan sosial baru.
Sebagai ilustrasi, proyek sertifikasi tanah gratis berdampak pada kepastian hak
perorangan atas tanah. Akan tetapi, petani ataupun petambak rentan dari konflik
penguasaan individual dalam kelompok. Terjadi sikap otonomi perorangan dalam
mengakses pasar tanah, yaitu jual beli tanah berarti memberikan peluang
penguasaan tanah kepada kepada pihak luar.
Sejumlah
pegiat LSM mengembangkan model pemberdayaan komunitas untuk pembebasan (community empowerment). Seperti yang
dilakukan Idham, proses penyadaran dan pengorganisasian kelompok merupakan
tahapan penting untuk menumbuhkan kesadaran dan tindakan kolektif. Perubahan
dalam perspektif pemberdayaan, mengutip Salman (2014), “bukanlah sekedar
penyesuaian struktural dari praktek pembangunan berbasis proyek, bukan pula
jargon baru untuk kooptasi masyarakat, melainkan ia betul-betul ditempatkan
sebagai alat transformasi demokratik dan wahana pembebasan dari ketertindasan”.[15]
Analisis
dari kedua pertanyaan di atas membantu kita mengenali problematika dan model
pendekatan pemberdayaan petambak saat ini. Di dalam tiga puluh satu tulisan Idham,
cukup jelas perspektif perikiri merupakan pisau analisis sosial terhadap
kondisi objektif petambak. Sedangkan pendekatan yang dipraktikkan Idham bersama
kelompok petambak dapat dijelaskan dengan prinsip pembelajaran “learning by
doing”. Model pembelajaran ini bersumbu dari konsepsi John Dewey mengenai
pendidikan demokratis, yaitu pembelajaran berbasis situasi sosial, ekonomi dan
politik masyarakat yang aktual (nyata), bukan masyarakat yang diidealkan.[16]
Dalam pembelajaran praksis “belajar sambil melakukan”, kita harus mendasarkan konsepsi kita pada pengalaman problematis masyarakat. Gagasan dan cita-cita dalam benak kita sedapat mungkin dapat dicerna dan dipraktikkan oleh masyarakat. Pengkondisian ini akan membantu proses transformasi pengetahuan menuju kebiasan dan keasadaran baru dengan mengakar pada budaya masyarakat.
I. Berdasarkan analisis sosial terhadap aktivitas kelompok petambak di kabupaten Pinrang dapat dirumuskan tiga persoalan petambak, yaitu pengelolaan lahan, organisasi, serta ekologi pesisir. Problem pengelolaan lahan terutama status kepemilikan lahan tambak yang berdampak langsung pada etos kerja petambak. Problem organisasi berhubungan dengan etos kerja atau pun mentalitas penerima bantuan, dimana pengelompokan juga pengkoperasian petambak mengubah tradisi keswadayaan dan gotong royong pada organisasi tradisional masyarakat desa. Penetrasi cara pandang pembangunan adalah produktivitas berdampak buruk pada perubahan lanskap pertanian menjadi pertambakan intensif. Ekosistem pesisir kehilangan bakau, dan kualitas air tercemar limbah kimia tambak. Semua ini berdampak pada problem manajemen pembudidayaan tambak.
Dari
pengalaman intensif selama empat tahun terakhir, Idham sampai pada pemahaman
(insight) bahwa komponen manajemen budidaya dan etos kerja produktif dalam
perikanan-tambak tidaklah cukup diandalkan untuk mencapai kesamaan derajat
kesejahteraan. Produktivitas kerja juga ditentukan oleh faktor non-manajemen,
yakni kepemilikan lahan, ekologi dan organisasi. Kualitas bibit, sebaran,
perawatan air kolam, pakan, dan disiplin kerja merupakan syarat-syarat dalam
agribisnis untuk sampai pada pencapaian hasil maksimal. Akan tetapi,
produktivitas tanpa kedaulatan dalam mengelola lahan, pada akhirnya hanya
mensejahterahkan mpunya modal.
Dalam
contoh kasus Bahar[17]
menunjukkan bahwa pertambakan merupakan perpanjangan tangan dari pertanian
konvensional. Bahar adalah petambak kecil dengan lahan kurang dari 0,2 hektar.
Bahar juga menyewa dan mengolah lahan milik tuan tanah. Seiring dengan
peningkatan keberdayaan mereka, pola kontraktual mulai mengurangi peranan
pemilik modal yang mempertahankan hubungan kerja feodal, yakni pola
patron-klien, majikan-buruh (Rau, 2008:10)[18]. Namun, dalam perkembangannya, modernisasi
pertambakan mengulang permasalahan pertanian tradisional era 60/70-an, yaitu
degradasi lahan, kualitas bibit, modal usaha, kapasitas, kelembagaan dan
kebijakan subsidi pemerintah. Problema ini menimpa semua lapisan sosial
petambak.
Selain
kepemilikan lahan, problem yang kompleks adalah mengatasi degradasi lingkungan
hidup di kawasan tambak. Pencemaran habitat air pasang surut yang bersumber
dari dalam tambak (pakan, pestisida, pupuk), limbah rumah tangga petambak, dan
berbagai limbah yang bersumber dari aktivitas sekitar kawasan tambak. Tanaman
mangrove dan nipah semakin berkurang, berakibat pada buruknya kualitas air, dan
merusak habitat benur udang, ikan dan kepiting.
Hampir
semua kawasan tambak yang dikelola secara personal maupun proyek perusahaan dan
pemerintah berkonsekuensi pada perubahan ekosistem mangrove, nipah, dan tanaman
rawa lainnya. Sebelum tahun 1980-an, perkiraan luas kawasan mangrove di
Sulawesi Selatan 110.000 ha. Dalam tempo sepuluh tahun, tersisa 34.000 hektar
pada tahun 1990-an (Massa dkk)[19]. Angka
ini terus menurun hingga tahun 2015. Berdasarkan data Dinas Kehutanan Provinsi
Sulawesi Selatan (2014) kawasan mangrove tersisa 28.945,3 hektar, dan hanya
sekitar 25% atau 5.238 hektar berkategori baik. Penyusutan disebabkan oleh
konversi lahan menjadi tambak, dan penggunaan kayu mangrove untuk bahan
industri dan kayu bakar.
Pada
contoh kasus deforestasi kawasan mangrove dekade 1980/90-an hingga tahun
2000-an telah terjadi penurunan drastis, yaitu dari sekitar 110.000 ha
(1980-an), tersisa 28.945,3 hektar mangrove hingga tahun 2014. Berarti selama itu
lebih dari 70% kawasan mangrove hilang dalam rentang waktu tiga puluh tahunan.
Sebaliknya kawasan budidaya tambak terjadi peningkatan signifikan. Misalnya di
Sulawesi Selatan, luas tambak pada tahun 1990 adalah 70.707, menjadi 96.002 ha
tahun 2005. Dalam tempo sepuluh tahunan telah terjadi peningkatan 25.296 hektar
atau 24%.
II. Problematika sosio-ekologi petambak hendak dientaskan dengan pendekatan pengorganisasian, yang mengutamakan penguatan kapasitas, dan kemitraan dengan akademisi, pemerintah, investor, termasuk LSM. Pendampingan dijabarkan dalam kegiatan dan proses komunikasi personal, pengelompokan, mentoring, pelatihan, praktik lapang, diskusi, dan pertemuan kelompok, serta input pengetahuan dan modal. Penguatan kapasitas terutama pada pengayaan teknik dan manajemen budidaya yang berwawasan lingkungan hidup. Proses ini menghadirkan atau kolaborasi petambak dengan dinas pemerintah, akademisi, dan pengusaha yang difasilitasi oleh WWF.
Tolak ukur keberhasilan dan keberlanjutan program pemberdayaan adalah tumbuhnya kesadaran kolektif petambak menjadi kelompok yang terorganisasi. Dalam pengorganisasian komunitas (community organizing), lazim juga disebut pendampingan, terdapat sepuluh tahapan kegiatan. Tahapan ini bersifat fleksibel, dalam arti tidak semestinya bergerak secara berurutan. Dalam perkembangan langkah-langkah pengorganisasian komunitas ini disesuaikan dengan kondisi masyarakat. Pada umumnya masyarakat perdesaan memiliki kelompok maupun organisasi yang bersifat formal maupun informal. Dengan metode pengorganisasian, berbagai latarbelakang pembentukan kelompok dijadikan sumberdaya untuk dikelola menjadi forum warga. Cara ini efektif dalam membangun kesadaran kolektif mengenai lingkungan hidup pada level kawasan.
Kesadaran
kolektif dapat dibangun dari persoalan yang menumbuhkan keprihatinan bersama,
misalnya pentingnya mangrove dalam bagi perlindungan perairan masyarakat pesisir.
Dalam hal ini, Idham mensosialisasikan revitalisasi
pengetahuan sosio-ekologi masyarakat pesisir. Terbukti isu ini efektif
menggerakkan kaum muda, pemerintah setempat, pengusaha dan LSM. Langkah
selanjutnya adalah melakukan advokasi kebijakan pemerintah daerah.
Kesadaran
kolektif juga dapat dibentuk melalui revitalisasi kearifan lokal yang berkaitan
dengan dengan konservasi. Kearifan lokal sesungguhnya adalah pengetahuan
ekologi yang berbasis mitos. Salah satu dari fungsi mitos menurut Joseph
Campbell[20]
fungsi sosiologis, yaitu menumbuhkan dukungan dan mengukuhkan ketertiban
masyarakat. Oleh sebab itu, mitos yang berisi kearifan biasanya menjadi pedoman
hidup masyarakat.
Banyak
praktik yang berhasil (best practices) dari komunitas adat. Misalnya, konsep
“hutan karama” komunitas adat Cerekang di Luwu Timur; konsep “hutan larangan”
komunitas adat Kajang di Bulukumba. Mitos ini menemukan momentumnya dari banyak
kejadian bencana ekologis. Terbukti konservasi tradisional berbasis mitos dapat
mencegah dan mengurangi risiko bencana. Penguatan kearifan lokal, termasuk
pengetahuan tradisional merupakan alternatif pengorganisasian dan advokasi
kebijakan konservasi ekologi pesisir.
Masyarakat
pesisr memiliki kearifan lokal dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini dipaparkan
Idham dalam “Apa yang dapat Dipelajari dari Petambak?”, yaitu pembelajaran
moral tentang bagaimana menghormati atau pun menjamu tamu, orang lain yang
menemuinya; bagaimana pembagian kerja model punggawa-sawi agar tatanan sosial
tetap harmonis; merawat sisitem kekerabatan dalam memediasi konflik. Lebih dari
itu, petambak tradisional di Lanrisang melakukan inovasi dalam pembuatan pakan
dan pupuk organik, serta probiotik. Cara yang lebih efisien, aplikatif, dan
berbasis sumberdaya setempat ini dapat mengatasi kesenjangan dalam kepemilikan
lahan tambak.
Pemberdayaan
dengan pendekatan transformasi budaya akan membantu petambak untuk
merevitalisasi pengetahuan tradisionalnya, menyambung kembali simpul
kekerabatan yang merupakan pondasi dari tradisi gotong royong, menegakkan
kesepakatan, dan menjaga kelestarian ekosistem tambak dengan kesadaran
individu. Dalam hal ini Idham meyakini pendekatan budaya merupakan jalan
alternatif dalam meneguhkan kembali entitas budaya petambak sebagai masyarakat
pesisir.
Dengan kembali ke tradisi, berarti kita menemukan pijakan untuk menyusun perencanaan tanpa mengabaikan pengetahuan ilmiah dalam menghitung batas kemampuan kawasan, dan kapasitas produksi perikanannya. Masing-masing pemilik tambak perlu membatasi modal mereka, agar ekploitasi sumberdaya perikanan tidak melampaui batas alamiah. Pada saat yang sama diperlukan instalasi pengolahan limbah untuk mengantisipasi dampak intensifikasi perikanan.
Penutup
Dapat
dikemukakan kembali bahwa budidaya perikanan tambak tumbuh-kembang dari
transmisi budaya masyarakat desa pesisir. Bertambak berarti melaksanakan
tradisi, meskipun kenyataannya tidak dengan cara-cara tradisional lagi. Proses enkulturasi
dan sosiaslisasi budidaya perikanan terus mengalami perubahan, hingga perubahan
itu terasa semakin jauh dari nilai-nilai budaya itu sendiri. Dari perspektif
sosio-ekologi, perubahan yang terjadi sejak tahun delapan pluhan hingga kini
dimaknai sebagai perubahan yang tidak selaras dengan alam. Setidaknya, tiga
kondisi budaya masyarakat petambak dewasa ini, yaitu ketimpangan akses dan
control terhadap pengelolaan lahan, degradasi lingkungan tambak, dan tidak
bertransformasinya pengetahuan budidaya lokal. Isu ini bersifat strategis, yang
menuntun kita untuk merancang kembali model pendekatan pemberdayaan petambak.
Ada
banyak pendekatan dalam paradigma pembelajaran dan pemberdayaan masyarakat.
Sejauh yang tertulis, idham berangkat dari model pembelajaran partisipatoris,
yakni “bekerja sambil belajar” sebagai suatu sikuls yang menghasilkan
pengetahuan dan kearifan. Salah satu keunggulan pendekatan ini adalah memandang
kondisi objektif petambak dari sisi lain, yang disebutnya “perikiri” atau
mengkritisi masalah perikanan yang mengemuka dari sisi yang tersembunyi.
Dari aspek pemberdayaan, sisi yang jarang diperhatikan para pemberdaya adalah kesetaraan dalam pengelolaan lahan, termasuk kepemilikannya. Penyadaran mengenai kondisi nyata yang dialami petambak seharusnya menjadi fokus pembedayaan. Secara perikiri pikiran ini logis. Namun, persoalan aquakultur ini tidak selalu dapat diselesaikan secara struktural. Kembali pada penyataan awal pengantar ini bawah sesungguhnya bertambak adalah persoalan kebudayaan. Diperlukan kesadaran kolektif, tidak hanya kesadaran kritis perorangan, yaitu transformasi budaya, pengetahuan dan kearifan lokal, serta organisasi yang menjamin suatu pemberdayaan dapat berkelanjutan. #
[1]
Dalam bahasa Yunani paradeigma (paradeknunai), berasal dari gabungan
kata para (“di samping”) dan deknunai (?menunjukkan?), berarti “apa
yang menunjukkan diri di samping” (Karlina Supeli dalam Paradigma Baru Strategi Kebudayaan Indonesia, 2014:11-12)
[2] Dalam
Kerangka Dasar Teori Perkembangan Manusia
dalam Kehidupan Masyarakat Desa (Makalah, 1992) bahwa perkembangan suatu
syarat dasar yang melebihi syarat lainnya menentukan corak umum suatu desa
(wanua). Apabila syarat dasar (1) Tasi’
Akkajang berkembang melebihi (2) dan (3), maka wanua itu unggul di sektor
kelautan (maritim) seperti terjadi pada Butta Gowa sampai abad ke-16.
Selanjutnya bila syarat dasar (2) Padalloang
Alloangrumang yang berkembang melebihi syarat dasar lainnya, maka wanua itu
akan unggul dalam kehidupan pertanian seperti yang dialami oleh Tana Bone
sampai abad ke 16. Begitu pun, bila syarat dasar (3) Pasa’ Maroa berkembang melebihi syarat dasar lainnya, maka wanua
itu berkembang menjadi pusat perdagangan seperti Tana Wajo sampai abad ke 16.
[3] Koentjaraningrat
dalam Pengantar Ilmu Antropologi
(1990:32), secara ekologis, masyarakat pesisir mempunyai alternatif pemanfaatan
dua potensi alam sekaligus, yaitu tanah dan air. Masyarakat pesisir menjadikan
laut sebagai mata pencaharian utama, dan bertani sebagai tambahan (pelengkap).
Sebaliknya, masyarakat tani menjadikan sektor perikanan sebagai sumber mata
pencaharian tambahan
[5]
Pengertian sumberdaya agraria dalam UUPA No. 5/1960 Pasal 1 ayat (2) meliputi
bumi, air, ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.
[6] Dalam
Strategi Kebudayaan (1988:11)
[7]
Istilah ini sering disamakan artinya dengan pola kebiasaan yang lazim dilakukan
pada masa kini, tetapi berbeda dengan tradisional. Misalnya, budidaya tambak
konvensional identik dengan pemanfaatan teknologi moderen seperti pakan, pupuk
dan pestisida kimia dalam sosis tertentu.
[8] Koentjaraningrat
(1990) dalam Jusman Rau, Adaptasi Ekologi
Masyarakat Pesisir Selatan Jawa Barat, Suatu Analisa Kebudayaan (2018:4)
[9]
Karlina Supeli (Kebudayaan dan Kegagapan Kita, 2013:18) menggunakan kata “siasat”
dalam strategi kebudayaan, diantaranya adalah usaha manusia mentransformasikan
konsep ekonomi pasar menjadi mata pencaharian sehari-hari. Transfer teknologi
untuk mencapai keseimbangan dengan alam.
[10] “Semua
kegiatan yang diselenggarakan oleh pemerintah di bidang pertanahan dengan suatu
subsidi di bidang pendaftaran tanah pada khususnya, yang berupa pensertipikatan
tanah secara massal dalam rangka membantu masyarakat golongan ekonomi lemah”
(AP.Parlindungan dalam Pendaftaran Tanah
di Indonesia, 1990, hal 38)
[11] Darmawan
Salman dalam Paradigma dan Teori Pembangunan: Antara Pergeseran dan
Pengkompleksan (2015:6)
[12]
Mansour Fakih dalam http://laodemuhiqbal.blogspot.com/2014/01/paradigma-pendidikan-dan-implikasinya.html
[13]
Ibid Salman (2015:7)
[14]
Ibid Mansour Fakih
[15]
Opcit Salman (2015:8)
[16] The Democratic Conception in Education
dalam Democracy and Education
(2001:85) bahwa dalam setiap organisasi sosial yang lebih besar (masyarakat)
terdapat banyak kelompok kecil, tidak hanya sub-divisi politik, tetapi juga
asosiasi industri, ilmiah, agama, dan pekerjaan yang dinamis dalam variasi yang
tak ada habisnya. Semua itu bereferensi secara factual (nyata), berbeda dengan
masyarakat yang dicita-citakan (idealisasi).
[17]
Dalam Kondisi Material dan Subjektivitas
Petambak Tradisional
[18] Dalam
Adaptasi Ekologi Masyarakat Pesisir
Selatan Jawa Barat: Suatu Analisa Kebudayaan (FPIPS UPI Bandung, 2008) https://www.researchgate.net/publication/327860345
[19] Final Report, Scoping Study Fisheries,
Mangroves & Health in North and East Luwu South Sulawesi (Blue Forest,
2017:6)
[20]
Dalam The Power of Myth (1998:22-23), empat fungsi utama mitos adalah; (1)
fungsi mistis, menafsirkan kekaguman atas alam semesta; (2) fungsi kosmologis, menjelaskan
bentuk alam semesta; (3) fungsi sosiologis, endukung dan mengesahkan tata
tertib sosial tertentu; dan (4) fungsi pedagogis, bagaimana menjalani hidup
sebagai manusia dalam keadaan apa pun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar