12 Nov 2020

Pemberdayaan Petambak dari Perspektif Perikiri

Prolog Awi MN
Dalam kumpulan tulisannya, Idham Malik mengkritisi problem sosial-ekologi dalam tradisi pembudidayaan tambak di Sulawesi Selatan. Sikap kritis penulisnya penting untuk diapresiasi sebagai pengalaman, pembelajaran dalam memperkaya visi pemberdayaan masyarakat perikanan yang berkelanjutan.

Sebagai pembaca, saya belajar lagi, mengupdate pengetahuan tentang pendekatan pemberdayaan dalam konteks masyarakat perikanan tambak. Saya berusaha menemukan pesan dan gagasan pokok Idham yang hendak disosialisasikan atau pun ditawarkan kepada khalayak pembaca. Saya mulai dari satu kata yang tidak baku tetapi memiliki daya kritis terhadap situasi budidaya perikanan masyarakat pesisir, yaitu “perikiri”.

Istilah perikiri dalam pengantar buku ini merujuk pada salah satu judul tulisan, “Perikanan atau Perikiri?”. Dalam tulisan ini, Idham menulis kalimat perikiri dalam artian perikanan yang menopang program-program radikal yang mendorong kesejahteraan masyarakat pesisir. Ia menggunakan istilah “peri-kiri” sebagai plesetan sekaligus antonim dari “peri-kanan”. Semacam paradigma[1], perikiri adalah “sisi tersembunyi yang sama pentingnya dengan sisi yang mengemuka”. Istilah tersebut merefleksi kerangka pandangan dan pendekatan Idham mengenai pemberdayaan kelompok petambak.

Dari gagasan tersebut saya akan mengantar pembacaan atas kumpulan tulisan ini dalam dua cara pandang. Pertama, memahami pertambakan sebagai praktik budaya tradisi. Bagaimana kita memvitalkan kembali makna kultural bertambak, sebagaimana istilahnya, aquaculture. Bahwa problem mendasar petambak adalah problem kebudayaan, terletak pada kepemilikan dan tradisi mengolah tanah atau lahan tambak. Penjelasan ini akan memediasi pengertian kita yang terlanjur mendikotomi budaya dengan ekonomi dan teknologi. Kedua, mengapresiasi program pemberdayaan petambak dalam rangkaian transformasi budaya. Bagaimana kondisi aktual petambak dalam proses pembelajaran sosialnya. Apa kontribusi pendekatan pemberdayaan dan pendampingan petambak dalam bingkai pembangunan berkelanjutan.

Bu(di)daya Petambak

Dalam pandangan kebudayaan masyarakat Sulwesi Selatan, desa (wanua) yang ideal merupakan kombinasi dari tradisi pengolahan hasil perikanan laut (tasi’ akkajang) dengan lahan pertanian sebagai sumber mata pencaharian utama (padalloang alloangrumang), dan pasar sebagai pusat pertukaran barang dan jasa penduduknya (pasa’ maroa)[2]. Dari pandangan ini, saya memahami tradisi maritim (marikultur) merupakan latardepan budaya masyarakat agraris (agrikultur).

Bertambak merupakan kelanjutan dari tradisi masyarakat agraris (petani), yakni mengolah lahan pesisir dengan cara menambak. Dalam kamus, menambak berarti membuat timbunan tanah menjadi pematang (tambak). Petani memanfaatkan air pasang surut untuk memelihara hewan air payau dengan cara membendung atau membuat pematang. Dalam perkembangannya, mengolah lahan tambak identik dengan budaya perairan alias budidaya perikanan air payau (aquakultur).  

Bertambak dapat dibedakan dengan tradisi masyarakat pesisir (nelayan), yakni menangkap ikan di daerah perairan pantai atau pun laut. Secara spasial, nelayan merepresentasi masyarakat yang berbasis lautan, petani merepresentasi masyarakat yang berbasis daratan. Petambak berada di antara kedua pengertian tersebut. Nelayan dan petani bertemu dan sama-sama mendayagunakan sumberdaya perairan pesisir sebagai basis ekonomi produktif tambak.[3]  

Praktik budi daya mencerminkan pemanfaatan akal dan budi dari konsep budaya. Dalam bahasa Sansekerta, budaya adalah ‘buddhayah”, berarti akal-budi dan pekerti manusia, yang menjadi penanda akhir dari cara hidup yang tidak beradab. Makna budaya mengalami pengayaan arti dari kata dalam bahasa Inggris culture. Berasal dari kata Latin colere, budaya (kultur) adalah aktivitas 'menghuni, merawat, sampai menyembah (kultus)'[4]. Sehingga bertani (agriculture) maupun bertambak (aquaculture) merupakan tonggak peradaban ketika manusia menetap, mengolah sumberdaya agraria[5], serta mengembangkan ritus.

Petambak di Sulawesi Selatan pada umumnya mengenal atau mewarisi tradisi bertambak tahun delapan puluhan. Tradisi berasal dari bahasa Latin tradere, berarti “mentransmisikan, menyerahkan, memberi untuk disimpan”. Oleh karena itu tradisi dapat berubah atau pun diubah. Sebagaimana dikemukakan oleh Van Peursen[6] bahwa proses pewarisan norma, adat istiadat, kaidah, aset budaya dapat ditolak atau pun dipadukan dengan ragam perbuatan manusia pada masanya.

Walaupun tergolong tradisional, namun teknologi, peralatan serta organisasi pekerjaan bertambak  termasuk dalam sistem ekonomi konvensional.[7] Mereka tidak lagi mempraktikkan cara-cara tradisional seperti ritual, aturan maupun teknik budidaya dan pendistribusian kerja secara komunal[8]. Sekalipun ada pemanfaatan pupuk dan pakan alami atau lazim disebut “budidaya organik”, secara praktis hal itu merupakan upaya atau pun siasat[9] mereka dalam merespon dan beradaptasi dengan tuntutan pembangunan berkelanjutan dekade tahun 1990-an.

Corak produksi perikanan non-konvensional dipraktikkan oleh kelompok petambak Lanrisang di kabupaten Pinrang. Mereka mengkompilasi pengetahuan dari sesama petambak dan pemangku kepentingan lainnya. Mereka membuat riset sederhana, praktik pengembangan pakan alami phronima (udang-udangan kecil), pembuatan pupuk alami dan pakan buatan, serta pengembangan probiotik untuk perbaikan kualitas air. Tradisi petambak Lanrisang ini dapat dikatakan berhasil dalam pemanfaatan teknologi, inisiatif kelompok dan tentu efektivitas produksi.

Keberhasilan petambak Lanrisang ditopang oleh kebebasan mereka mengelola sumberdaya pengetahuan dan lahan. Para petambak umumnya adalah pemilik lahan. Mereka memiliki motivasi tinggi untuk membangun kerjasama dengan pemangku kepentingan lainnya seperti pemerintah, perusahaan, peneliti, universitas dan lembaga swadaya masyarakat. Hubungan yang baik dengan para pihak tersebut menunjang aktivitas mereka memperbaiki kelembagaan, perbaikan infrastruktur kawasan, pemecahan masalah, serta penawaran hasil panen yang lebih tinggi kepada perusahaan.

Petambak-pemilik lahan lebih proaktif dalam kegiatan kelompok. Memungkinkan mereka membuat perencanaan, mengatur keuangan, dan mengakses lembaga keuangan. Penghasilan mereka tanpa potongan, sehingga dapat mengakumulasi kapital, yaitu modal dan pendapatan. Istilah kapital dalam konteks petambak mandiri (Lanrisang), tidak searah dengan prinsip kapitalis (kapitalisme), yaitu hasrat individu untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya dengan modal sekecil-kecilnya. Mengenai hal ini cukup jelas pada petikan paragraf berikut:

“…. akumulasi kapital, yang menjadi syarat perbaikan infrastruktur, manajemen, dan peningkatan teknik budidaya yang memungkinkan peningkatan produksi. Akibat lanjutan dari itu, adanya surplus ekonomi, tak memaksanya untuk melakukan praktik budidaya secara eksploitatif, dalam artian, jumlah siklus dalam setahun dapat dikurangi, yang dari 4 siklus menjadi 2 siklus saja, dan sisa waktu dimanfaatkan untuk perbaikan lahan budidaya sehingga lahan dapat istirahat, atau budidaya komoditi lain, misalnya nila yang juga berfungsi untuk perbaikan lahan. Nila mematuk-matuk dasar lumpur, memakan lumut-lumut, dianggap dapat memberi efek positif bagi tambak” (Kepemilikan Lahan dan Produktivitasnya).

Berbeda dengan petambak-sewa dan pekerja tambak. Kinerja petambak-penyewa lahan relatif stabil dari aspek manajemen budidaya dan produktivitasnya, tetapi lalai dengan pemeliharaan kualitas air dan lingkungan tambak. Sementara petambak pekerja cenderung abai dengan kinerja, tanggung jawabnya rendah pada pemeliharaan kualitas lingkungan tambak. Hal ini karena rasa kepemilikan atas lahan rendah, dan ketergantungan mereka pada modal serta sarana produksi tambak milik pemodal.

Berdasarkan pengalaman petambak Lanrisang, Idham berpendapat bahwa persoalan kepemilikan tanah merupakan pangkal problema petambak hingga kini. Menguasai tanah tidak berarti memilikinya, tetapi memiliki tanah otomatis menguasai komponen sumberdaya di dalamnya. Atas dasar ini Idham mewacanakan pembaharuan agraria sebagai solusi pemberdayaan petambak dan peningkatan kualitas lingkugan hidup. Gagasan ini perlu dikaitkan dengan praksis pemberdayaannya.  

Pemberdayaan Petambak

Jika problem mendasar petambak adalah ketimpangan akses dan kontrol terhadap kepemilikan lahan, apakah masih relevan kita melakukan pendampingan manajemen budidaya tambak? Bukankah lebih baik kita mempropagandakan redistribusi lahan untuk petambak miskin, misalnya sertifikasi tanah melalui proyek operasi nasional agraria (PRONA)[10] daripada bantuan modal usaha dan pengayaan kapasitas petambak. Sebaliknya, jika “pemberdayaan terjepit ekonomi”, bukankah lebih baik kita membekali petambak dengan program agribisnis, yakni memampukan petambak mengelola sumberdaya tambak tanpa harus memiliki lahan sendiri? Apakah dengan kepemilikan tanah akan merevitalisasi nilai-nilai budaya masyarakat pesisir seperti etos kerja, kolektivitas, kearifan ekologis? Bagaimana dengan pemodal, pemilik perusahaan, teknokrat, politisi, LSM, yang tidak memiliki lahan tambak tetapi mengendalikan akses petambak atas modal, teknologi, infrastruktur, dan jejaring sosial?

Pertanyaan pertama mengkritisi pendekatan konvensional dalam pemberdayaan masyarakat pesisir. Ciri utama pendekatan ini bertolak dari analisis keterbelakangan budaya dan ketimpangan ekonomi, yang bertujuan untuk perubahan struktural. Wujud perubahan yang dikehendaki adalah berpindahnya akses dan kuasa atas sumberdaya kepemilikan tanah, organisasi maupun teknologi kepada pelaku perubahan. Tipe perubahan ini dapat digolongkan ke dalam paradigma pemenuhan kebutuhan dasar menuju pembebasan, yang berimplikasi pada pembentukan kebijakan seperti kebijakan pemilikan dan penguasaan kekayaan, termasuk aset produksi[11].

Dari sisi pembelajaran, suatu komunitas atau pun kelompok dampingan sampai pada tahap kesadaran kritis atau radikal[12], yaitu ketika mereka menyadari kultur dan struktur adalah sumber permasalahan. Memampukan kelompok dampingan menganalisis sistim sosial, politik, ekonomi dan budaya yang membentuk ketidakadilan dalam masyarakatnya. Salman mengutip Freire (1975)[13] bahwa yang penting dalam pembelajaran yang memberdayakan adalah proses penyadaran (conscientization) hingga terbentuknya kesadaran kritis (consciousness) dalam diri individu tenhadap situasi lingkungan sosial, dan dengan kemampuan sendiri dapat mengontrolnya.

Pertanyaan kedua merupakan autokritik terhadap pendekatan struktural, dimana cita-cita perubahan berciri transformatif, dan bertujuan untuk membangun keberdayaan kolektif. Pada tingkatan praktis, suatu kelompok membuka kesempatan bagi peserta belajar agar terlibat dalam proses penciptaan struktur yang baru dan lebih baik dalam komunitasnya.[14] Kesadaran kolektif menjadi modal sosial suatu komunitas dalam merespon ancaman dari pihak luar sekaligus merebut peluang bekerjasama dalam membangun tatanan sosial baru. Sebagai ilustrasi, proyek sertifikasi tanah gratis berdampak pada kepastian hak perorangan atas tanah. Akan tetapi, petani ataupun petambak rentan dari konflik penguasaan individual dalam kelompok. Terjadi sikap otonomi perorangan dalam mengakses pasar tanah, yaitu jual beli tanah berarti memberikan peluang penguasaan tanah kepada kepada pihak luar.     

Sejumlah pegiat LSM mengembangkan model pemberdayaan komunitas untuk pembebasan (community empowerment). Seperti yang dilakukan Idham, proses penyadaran dan pengorganisasian kelompok merupakan tahapan penting untuk menumbuhkan kesadaran dan tindakan kolektif. Perubahan dalam perspektif pemberdayaan, mengutip Salman (2014), “bukanlah sekedar penyesuaian struktural dari praktek pembangunan berbasis proyek, bukan pula jargon baru untuk kooptasi masyarakat, melainkan ia betul-betul ditempatkan sebagai alat transformasi demokratik dan wahana pembebasan dari ketertindasan”.[15]

Analisis dari kedua pertanyaan di atas membantu kita mengenali problematika dan model pendekatan pemberdayaan petambak saat ini. Di dalam tiga puluh satu tulisan Idham, cukup jelas perspektif perikiri merupakan pisau analisis sosial terhadap kondisi objektif petambak. Sedangkan pendekatan yang dipraktikkan Idham bersama kelompok petambak dapat dijelaskan dengan prinsip pembelajaran “learning by doing”. Model pembelajaran ini bersumbu dari konsepsi John Dewey mengenai pendidikan demokratis, yaitu pembelajaran berbasis situasi sosial, ekonomi dan politik masyarakat yang aktual (nyata), bukan masyarakat yang diidealkan.[16]

Dalam pembelajaran praksis “belajar sambil melakukan”, kita harus mendasarkan konsepsi kita pada pengalaman problematis masyarakat. Gagasan dan cita-cita dalam benak kita sedapat mungkin dapat dicerna dan dipraktikkan oleh masyarakat. Pengkondisian ini akan membantu proses transformasi pengetahuan menuju kebiasan dan keasadaran baru dengan mengakar pada budaya masyarakat.

I. Berdasarkan analisis sosial terhadap aktivitas kelompok petambak di kabupaten Pinrang dapat dirumuskan tiga persoalan petambak, yaitu pengelolaan lahan, organisasi, serta ekologi pesisir. Problem pengelolaan lahan terutama status kepemilikan lahan tambak yang berdampak langsung pada etos kerja petambak. Problem organisasi berhubungan dengan etos kerja atau pun mentalitas penerima bantuan, dimana pengelompokan juga pengkoperasian petambak mengubah tradisi keswadayaan dan gotong royong pada organisasi tradisional masyarakat desa. Penetrasi cara pandang pembangunan adalah produktivitas berdampak buruk pada perubahan lanskap pertanian menjadi pertambakan intensif. Ekosistem pesisir kehilangan bakau, dan kualitas air tercemar limbah kimia tambak. Semua ini berdampak pada problem manajemen pembudidayaan tambak.

Dari pengalaman intensif selama empat tahun terakhir, Idham sampai pada pemahaman (insight) bahwa komponen manajemen budidaya dan etos kerja produktif dalam perikanan-tambak tidaklah cukup diandalkan untuk mencapai kesamaan derajat kesejahteraan. Produktivitas kerja juga ditentukan oleh faktor non-manajemen, yakni kepemilikan lahan, ekologi dan organisasi. Kualitas bibit, sebaran, perawatan air kolam, pakan, dan disiplin kerja merupakan syarat-syarat dalam agribisnis untuk sampai pada pencapaian hasil maksimal. Akan tetapi, produktivitas tanpa kedaulatan dalam mengelola lahan, pada akhirnya hanya mensejahterahkan mpunya modal.

Dalam contoh kasus Bahar[17] menunjukkan bahwa pertambakan merupakan perpanjangan tangan dari pertanian konvensional. Bahar adalah petambak kecil dengan lahan kurang dari 0,2 hektar. Bahar juga menyewa dan mengolah lahan milik tuan tanah. Seiring dengan peningkatan keberdayaan mereka, pola kontraktual mulai mengurangi peranan pemilik modal yang mempertahankan hubungan kerja feodal, yakni pola patron-klien, majikan-buruh (Rau, 2008:10)[18].  Namun, dalam perkembangannya, modernisasi pertambakan mengulang permasalahan pertanian tradisional era 60/70-an, yaitu degradasi lahan, kualitas bibit, modal usaha, kapasitas, kelembagaan dan kebijakan subsidi pemerintah. Problema ini menimpa semua lapisan sosial petambak.

Selain kepemilikan lahan, problem yang kompleks adalah mengatasi degradasi lingkungan hidup di kawasan tambak. Pencemaran habitat air pasang surut yang bersumber dari dalam tambak (pakan, pestisida, pupuk), limbah rumah tangga petambak, dan berbagai limbah yang bersumber dari aktivitas sekitar kawasan tambak. Tanaman mangrove dan nipah semakin berkurang, berakibat pada buruknya kualitas air, dan merusak habitat benur udang, ikan dan kepiting.

Hampir semua kawasan tambak yang dikelola secara personal maupun proyek perusahaan dan pemerintah berkonsekuensi pada perubahan ekosistem mangrove, nipah, dan tanaman rawa lainnya. Sebelum tahun 1980-an, perkiraan luas kawasan mangrove di Sulawesi Selatan 110.000 ha. Dalam tempo sepuluh tahun, tersisa 34.000 hektar pada tahun 1990-an (Massa dkk)[19]. Angka ini terus menurun hingga tahun 2015. Berdasarkan data Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Selatan (2014) kawasan mangrove tersisa 28.945,3 hektar, dan hanya sekitar 25% atau 5.238 hektar berkategori baik. Penyusutan disebabkan oleh konversi lahan menjadi tambak, dan penggunaan kayu mangrove untuk bahan industri dan kayu bakar. 

Pada contoh kasus deforestasi kawasan mangrove dekade 1980/90-an hingga tahun 2000-an telah terjadi penurunan drastis, yaitu dari sekitar 110.000 ha (1980-an), tersisa 28.945,3 hektar mangrove hingga tahun 2014. Berarti selama itu lebih dari 70% kawasan mangrove hilang dalam rentang waktu tiga puluh tahunan. Sebaliknya kawasan budidaya tambak terjadi peningkatan signifikan. Misalnya di Sulawesi Selatan, luas tambak pada tahun 1990 adalah 70.707, menjadi 96.002 ha tahun 2005. Dalam tempo sepuluh tahunan telah terjadi peningkatan 25.296 hektar atau 24%.

IIProblematika sosio-ekologi petambak hendak dientaskan dengan pendekatan pengorganisasian, yang mengutamakan penguatan kapasitas, dan kemitraan dengan akademisi, pemerintah, investor, termasuk LSM. Pendampingan dijabarkan dalam kegiatan dan proses komunikasi personal, pengelompokan, mentoring, pelatihan, praktik lapang, diskusi, dan pertemuan kelompok, serta input pengetahuan dan modal. Penguatan kapasitas terutama pada pengayaan teknik dan manajemen budidaya yang berwawasan lingkungan hidup. Proses ini menghadirkan atau kolaborasi petambak dengan dinas pemerintah, akademisi, dan pengusaha yang difasilitasi oleh WWF.

Tolak ukur keberhasilan dan keberlanjutan program pemberdayaan adalah tumbuhnya kesadaran kolektif petambak menjadi kelompok yang terorganisasi. Dalam pengorganisasian komunitas (community organizing), lazim juga disebut pendampingan, terdapat sepuluh tahapan kegiatan. Tahapan ini bersifat fleksibel, dalam arti tidak semestinya bergerak secara berurutan. Dalam perkembangan langkah-langkah pengorganisasian komunitas ini disesuaikan dengan kondisi masyarakat. Pada umumnya masyarakat perdesaan memiliki kelompok maupun organisasi yang bersifat formal maupun informal. Dengan metode pengorganisasian, berbagai latarbelakang pembentukan kelompok dijadikan sumberdaya untuk dikelola menjadi forum warga. Cara ini efektif dalam membangun kesadaran kolektif mengenai lingkungan hidup pada level kawasan.

Kesadaran kolektif dapat dibangun dari persoalan yang menumbuhkan keprihatinan bersama, misalnya pentingnya mangrove dalam bagi perlindungan perairan masyarakat pesisir. Dalam hal ini, Idham  mensosialisasikan revitalisasi pengetahuan sosio-ekologi masyarakat pesisir. Terbukti isu ini efektif menggerakkan kaum muda, pemerintah setempat, pengusaha dan LSM. Langkah selanjutnya adalah melakukan advokasi kebijakan pemerintah daerah.

Kesadaran kolektif juga dapat dibentuk melalui revitalisasi kearifan lokal yang berkaitan dengan dengan konservasi. Kearifan lokal sesungguhnya adalah pengetahuan ekologi yang berbasis mitos. Salah satu dari fungsi mitos menurut Joseph Campbell[20] fungsi sosiologis, yaitu menumbuhkan dukungan dan mengukuhkan ketertiban masyarakat. Oleh sebab itu, mitos yang berisi kearifan biasanya menjadi pedoman hidup masyarakat.

Banyak praktik yang berhasil (best practices) dari komunitas adat. Misalnya, konsep “hutan karama” komunitas adat Cerekang di Luwu Timur; konsep “hutan larangan” komunitas adat Kajang di Bulukumba. Mitos ini menemukan momentumnya dari banyak kejadian bencana ekologis. Terbukti konservasi tradisional berbasis mitos dapat mencegah dan mengurangi risiko bencana. Penguatan kearifan lokal, termasuk pengetahuan tradisional merupakan alternatif pengorganisasian dan advokasi kebijakan konservasi ekologi pesisir.

Masyarakat pesisr memiliki kearifan lokal dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini dipaparkan Idham dalam “Apa yang dapat Dipelajari dari Petambak?”, yaitu pembelajaran moral tentang bagaimana menghormati atau pun menjamu tamu, orang lain yang menemuinya; bagaimana pembagian kerja model punggawa-sawi agar tatanan sosial tetap harmonis; merawat sisitem kekerabatan dalam memediasi konflik. Lebih dari itu, petambak tradisional di Lanrisang melakukan inovasi dalam pembuatan pakan dan pupuk organik, serta probiotik. Cara yang lebih efisien, aplikatif, dan berbasis sumberdaya setempat ini dapat mengatasi kesenjangan dalam kepemilikan lahan tambak.

Pemberdayaan dengan pendekatan transformasi budaya akan membantu petambak untuk merevitalisasi pengetahuan tradisionalnya, menyambung kembali simpul kekerabatan yang merupakan pondasi dari tradisi gotong royong, menegakkan kesepakatan, dan menjaga kelestarian ekosistem tambak dengan kesadaran individu. Dalam hal ini Idham meyakini pendekatan budaya merupakan jalan alternatif dalam meneguhkan kembali entitas budaya petambak sebagai masyarakat pesisir.

Dengan kembali ke tradisi, berarti kita menemukan pijakan untuk menyusun perencanaan tanpa mengabaikan pengetahuan ilmiah dalam menghitung batas kemampuan kawasan, dan kapasitas produksi perikanannya. Masing-masing pemilik tambak perlu membatasi modal mereka, agar ekploitasi sumberdaya perikanan tidak melampaui batas alamiah. Pada saat yang sama diperlukan instalasi pengolahan limbah untuk mengantisipasi dampak intensifikasi perikanan.

Penutup

Dapat dikemukakan kembali bahwa budidaya perikanan tambak tumbuh-kembang dari transmisi budaya masyarakat desa pesisir. Bertambak berarti melaksanakan tradisi, meskipun kenyataannya tidak dengan cara-cara tradisional lagi. Proses enkulturasi dan sosiaslisasi budidaya perikanan terus mengalami perubahan, hingga perubahan itu terasa semakin jauh dari nilai-nilai budaya itu sendiri. Dari perspektif sosio-ekologi, perubahan yang terjadi sejak tahun delapan pluhan hingga kini dimaknai sebagai perubahan yang tidak selaras dengan alam. Setidaknya, tiga kondisi budaya masyarakat petambak dewasa ini, yaitu ketimpangan akses dan control terhadap pengelolaan lahan, degradasi lingkungan tambak, dan tidak bertransformasinya pengetahuan budidaya lokal. Isu ini bersifat strategis, yang menuntun kita untuk merancang kembali model pendekatan pemberdayaan petambak.

Ada banyak pendekatan dalam paradigma pembelajaran dan pemberdayaan masyarakat. Sejauh yang tertulis, idham berangkat dari model pembelajaran partisipatoris, yakni “bekerja sambil belajar” sebagai suatu sikuls yang menghasilkan pengetahuan dan kearifan. Salah satu keunggulan pendekatan ini adalah memandang kondisi objektif petambak dari sisi lain, yang disebutnya “perikiri” atau mengkritisi masalah perikanan yang mengemuka dari sisi yang tersembunyi.

Dari aspek pemberdayaan, sisi yang jarang diperhatikan para pemberdaya adalah kesetaraan dalam pengelolaan lahan, termasuk kepemilikannya. Penyadaran mengenai kondisi nyata yang dialami petambak seharusnya menjadi fokus pembedayaan. Secara perikiri pikiran ini logis. Namun, persoalan aquakultur ini tidak selalu dapat diselesaikan secara struktural. Kembali pada penyataan awal pengantar ini bawah sesungguhnya bertambak adalah persoalan kebudayaan. Diperlukan kesadaran kolektif, tidak hanya kesadaran kritis perorangan, yaitu transformasi budaya, pengetahuan dan kearifan lokal, serta organisasi yang menjamin suatu pemberdayaan dapat berkelanjutan. #


[1] Dalam bahasa Yunani paradeigma (paradeknunai), berasal dari gabungan kata para (“di samping”) dan deknunai (?menunjukkan?), berarti “apa yang menunjukkan diri di samping” (Karlina Supeli dalam Paradigma Baru Strategi Kebudayaan Indonesia, 2014:11-12)  

[2] Dalam Kerangka Dasar Teori Perkembangan Manusia dalam Kehidupan Masyarakat Desa (Makalah, 1992) bahwa perkembangan suatu syarat dasar yang melebihi syarat lainnya menentukan corak umum suatu desa (wanua). Apabila syarat dasar (1) Tasi’ Akkajang berkembang melebihi (2) dan (3), maka wanua itu unggul di sektor kelautan (maritim) seperti terjadi pada Butta Gowa sampai abad ke-16. Selanjutnya bila syarat dasar (2) Padalloang Alloangrumang yang berkembang melebihi syarat dasar lainnya, maka wanua itu akan unggul dalam kehidupan pertanian seperti yang dialami oleh Tana Bone sampai abad ke 16. Begitu pun, bila syarat dasar (3) Pasa’ Maroa berkembang melebihi syarat dasar lainnya, maka wanua itu berkembang menjadi pusat perdagangan seperti Tana Wajo sampai abad ke 16.

[3] Koentjaraningrat dalam Pengantar Ilmu Antropologi (1990:32), secara ekologis, masyarakat pesisir mempunyai alternatif pemanfaatan dua potensi alam sekaligus, yaitu tanah dan air. Masyarakat pesisir menjadikan laut sebagai mata pencaharian utama, dan bertani sebagai tambahan (pelengkap). Sebaliknya, masyarakat tani menjadikan sektor perikanan sebagai sumber mata pencaharian tambahan

[5] Pengertian sumberdaya agraria dalam UUPA No. 5/1960 Pasal 1 ayat (2) meliputi bumi, air, ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.

[6] Dalam Strategi Kebudayaan (1988:11)

[7] Istilah ini sering disamakan artinya dengan pola kebiasaan yang lazim dilakukan pada masa kini, tetapi berbeda dengan tradisional. Misalnya, budidaya tambak konvensional identik dengan pemanfaatan teknologi moderen seperti pakan, pupuk dan pestisida kimia dalam sosis tertentu.

[8] Koentjaraningrat (1990) dalam Jusman Rau, Adaptasi Ekologi Masyarakat Pesisir Selatan Jawa Barat, Suatu Analisa Kebudayaan (2018:4)

[9] Karlina Supeli (Kebudayaan dan Kegagapan Kita, 2013:18) menggunakan kata “siasat” dalam strategi kebudayaan, diantaranya adalah usaha manusia mentransformasikan konsep ekonomi pasar menjadi mata pencaharian sehari-hari. Transfer teknologi untuk mencapai keseimbangan dengan alam.

[10] “Semua kegiatan yang diselenggarakan oleh pemerintah di bidang pertanahan dengan suatu subsidi di bidang pendaftaran tanah pada khususnya, yang berupa pensertipikatan tanah secara massal dalam rangka membantu masyarakat golongan ekonomi lemah” (AP.Parlindungan dalam Pendaftaran Tanah di Indonesia, 1990, hal 38)

[11] Darmawan Salman dalam Paradigma dan Teori Pembangunan: Antara Pergeseran dan Pengkompleksan (2015:6)

[13] Ibid Salman (2015:7)

[14] Ibid Mansour Fakih

[15] Opcit Salman (2015:8)

[16] The Democratic Conception in Education dalam Democracy and Education (2001:85) bahwa dalam setiap organisasi sosial yang lebih besar (masyarakat) terdapat banyak kelompok kecil, tidak hanya sub-divisi politik, tetapi juga asosiasi industri, ilmiah, agama, dan pekerjaan yang dinamis dalam variasi yang tak ada habisnya. Semua itu bereferensi secara factual (nyata), berbeda dengan masyarakat yang dicita-citakan (idealisasi).

[17] Dalam Kondisi Material dan Subjektivitas Petambak Tradisional

[18] Dalam Adaptasi Ekologi Masyarakat Pesisir Selatan Jawa Barat: Suatu Analisa Kebudayaan (FPIPS UPI Bandung, 2008) https://www.researchgate.net/publication/327860345

[19] Final Report, Scoping Study Fisheries, Mangroves & Health in North and East Luwu South Sulawesi (Blue Forest, 2017:6)

[20] Dalam The Power of Myth (1998:22-23), empat fungsi utama mitos adalah; (1) fungsi mistis, menafsirkan kekaguman atas alam semesta; (2) fungsi kosmologis, menjelaskan bentuk alam semesta; (3) fungsi sosiologis, endukung dan mengesahkan tata tertib sosial tertentu; dan (4) fungsi pedagogis, bagaimana menjalani hidup sebagai manusia dalam keadaan apa pun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar