15 Nov 2020

Catatan Pidato Kebudayaan DKJ 2020

Lumbung Kebudayaan di Sepanjang Gang

Awi MN[1]

Saya terkesan dengan rekaman video Pidato Kebudayaan DKJ 2020 https://www.youtube.com/watch?v=tRsgKTdtOrc yang dibawakan oleh Profesor Melani Budianta, berjudul Lumbung Kebudayaan di Sepanjang Gang. Judul pidato yang metaforis, mereprsentasi sudut pandang warga kampung kota. Prihatin dengan situasi kebudayaan nasional dalam pusaran budaya global. Terkesan meratapi nasib  para penghuni lorong kampung kota yang terdampak perubahan dan pandemic di luar daya kendalinya. Namun, Melani menarasikan survivalitas mereka dengan daya kreasi yang khas kampung kota sebagai siasat berkebudayaan.

Melani mengapungkan kembali enitas budaya kampung-kota, yaitu ruang hidup warga dengan karakteristik peralihan dari desa yang tradisional dan kota yang modern. Contohnya, tradisi jempitan, maulid dari desa terbawa ke kota. 

Pertama-tama, saya mengapresiasi istilah lumbung kebudayaan. Melani menggunakan istilah lumbung yang merujuk pada properti budaya masyarakat desa. Secara spasil, lumbung merupakan bagian dari tata letak pemukiman masyarakat desa. Biasanya terletak di depan atau di samping rumah warga desa. Lumbung berfungsi sebagai tempat menyimpan berbagai komoditi hasil panenan seperti beras, jagung, dan kacang-kacangan. Lumbung menjadi container makna yang merepresentasi latar desa.

Dalam konteks “kampung-kota”, transmisi budaya masih berlangsung di lorong-lorong perumahan swadaya atau pemukiman informal dalam wujudnya yang lain. Tekanan perubahan gaya hidup metropolis, infrastruktur dan real-estate menyisakan spot-spot pemukiman pada latar belakang kota. Sebagian tergusur, yang bertahan menjadi “kumuh” dan padat. Tekanan budayas kota (urban culture) pun menimbulkan resistensi, dan patologi sosial. Budaya kota yang dimaksud adalah watak neoliberalisme, dimana kota menjadi arena penaklukan ruang publik oleh para pemilik modal (kapitalis) sebagaimana yang dimaksud David Harved (2001:312).

Penetrasi budaya kota merembes ke dalam kesadaran penghuni lorong-lorong kampung. Melani menyebut tren penataan pemukiman yang artifisial, misalnya “kampung kelir”. Saya punya pengalaman di sebuah perkampungan pesisir yang bercat warna-warni, persis di antara kota Tual dan Langgur. Pemukiman itu menjadi destinasi wisata lokal. Memandang kampung itu dari jembatan penghubung, rumah bercat warna-warni itu tampak mencolok apalgi bila diterpa sunset. Air sungai membuat batang-bayang rumah penduduk tampak cantik. Ada benarnya nada bait puisi yang dipetik Melani, orang-orang berkunjung, melihat-lihat rumah, kebanyakan tanpa interaksi atau Tanya jawab. Yang sesungguhnya terjadi bahwa rumah bahkan pemukiman tersebut menjadi ruang pamer dan promosi berbagai merek cat. Rupanya ini yang dimaksud Melani dampak neoliberalisme merembes ke dalam rumah kita.

Melani menyebut beberapa kampung yang bertahan dari ekspansi kapital seperti kampung cempluk yang berhasil menggelar festival setiap tahun, kampung nambo yang sukses mengolah sampah,  kampung aquarium yang merenovasi perumahan dengan pendekatan seni-arsitektur. Mereka bersiasat dengan akrivitas sekolah alam, urban farming, kolam ikan, seni tradisional, agar budaya tradisi orang kampung tetap survive.Melani menyebutnya commoning, ruang bersama yang dapat diakses secara terbuka (open space).

Pidato yang berdurasi sekitar dua jam ini dapat dikatakan kompilasi dari banyak inisiatif komunitas sepanjang pengalamannya. Sehingga perlu alokasi waktu untuk menyimaknya. Selain itu, gaya tutur yang naratif terasa membosankan. Apalagi naskah pidato dibacakan dalam suasana gelap. Melani berpidato seperti tetua yang mendongeng. Baiknya ada slide dan potongan video yang melengkapi, sehingga pemirsa dapat menyaksikan langsung gagasan dan peristiwa yang dinarasikannya.

Di kota Makassar model pengembangan kampung kota pasca kolonial relatif baru,  seiring dengan dimulainya konsep Jumpandang Plan pada tahun 70-an, masa pemerintahan Walikota Patompo. Kosnep JPL ini meniru program pengembangan kota satelit Jakarta masa pemerintahan Ali Sadiin. Dalam Kota Lama Kota Baru (2005) disebutkan Pannampu salah satu lokasi proyek penataan pemukiman pertama pasca kolonial di Makassar. Rencana tersebut gagal, dan hingga kini menyisakan nama pemukiman yang disebut kampung Jakarta.

Pasca reformasi 1998, terutama tahun 2002-2006, sejumlah pemukiman informal bergejolak oleh sengketa tanah yang berujung bentrokan hingga penggusuran, di antaranya Karuwisi, Alla-alla, Bontoduri, Lepping, Buloa, Kassi-Kassi, Kampugg Pisang, Bulogading, Pandang Raya, serta sejumlah pemukiman di wilayah pembangunan GMTDC. Kampung-kampung ini sungguh menjadi lokus  penaklukan pemodal dengan memanfaatkan ahli waris tuan tanah dan aparat.

Pendekatan pemberdayaan pemukiman seperti beberapa kampung disebut oleh professor Melani, di Makassr baru dimulai pada dekade tahun 2010 melalui program Bedah Rumah. Beberaoa LSM terlibat dalam proyek Bank Dunia P2KT dengan pendekatan kurang lebih sama dengan Kotaku saat ini. Model penataan kawasan berbasis forum warga dan kolaboratif diinisiasi oleh KPRM bersama UPC, Rujak Center dan Arkom Indonesia. Visi penataan bebasis warga ini kemudian menginspirasi pemerintah kota dengan melakukan pembenahan infrastruktur lorong, penghiajuan lorong, bank sampah. Belakangan Litbang PUPR Sulsel menginisiasi pilot proyek dengan pendekatan komunitas di Karabba dan Lakkang bekerjasama dengan arkom makassar.

Dalam pidato professor Melani memang tidak satu pun disebut kampung percontohan di Makassar. Meski demikian, narasi tentang siasat kebudayaan – istilah yang digunakan professor Karlina Supeli dalam Pidato Kebudayaan DKJ 2013 – warga kampung kota pertanda baik. Narasinya bagaikan penyambung lidah warga kampung kota, para pegiat gerakan kota, urbanis, dan tentu saja kaum intelektual organik. Sesungguhnya perjuangan adalah – mengutip Rendra – “perwujudan kata-kata”.

[1] Pengasuh blog institut rumah kampung kota, alumni FIB UH, tinggal di makassar

*Tulisan ini dimuat Harian Fajar, 15 Nopember 2020

Tidak ada komentar:

Posting Komentar