Lumbung Kebudayaan di Sepanjang Gang
Saya terkesan dengan rekaman video Pidato Kebudayaan DKJ 2020 https://www.youtube.com/watch?v=tRsgKTdtOrc yang dibawakan oleh Profesor Melani Budianta, berjudul Lumbung Kebudayaan di Sepanjang Gang. Judul pidato yang metaforis, mereprsentasi sudut pandang warga kampung kota. Prihatin dengan situasi kebudayaan nasional dalam pusaran budaya global. Terkesan meratapi nasib para penghuni lorong kampung kota yang terdampak perubahan dan pandemic di luar daya kendalinya. Namun, Melani menarasikan survivalitas mereka dengan daya kreasi yang khas kampung kota sebagai siasat berkebudayaan.
Melani mengapungkan kembali enitas budaya kampung-kota, yaitu ruang hidup warga dengan karakteristik peralihan dari desa yang tradisional dan kota yang modern. Contohnya, tradisi jempitan, maulid dari desa terbawa ke kota.
Pertama-tama, saya mengapresiasi istilah lumbung kebudayaan.
Melani menggunakan istilah lumbung yang merujuk pada properti budaya masyarakat
desa. Secara spasil, lumbung merupakan bagian dari tata letak pemukiman
masyarakat desa. Biasanya terletak di depan atau di samping rumah warga desa.
Lumbung berfungsi sebagai tempat menyimpan berbagai komoditi hasil panenan
seperti beras, jagung, dan kacang-kacangan. Lumbung menjadi container makna yang merepresentasi
latar desa.
Dalam konteks “kampung-kota”, transmisi budaya masih
berlangsung di lorong-lorong perumahan swadaya atau pemukiman informal dalam
wujudnya yang lain. Tekanan perubahan gaya hidup metropolis, infrastruktur dan
real-estate menyisakan spot-spot pemukiman pada latar belakang kota. Sebagian
tergusur, yang bertahan menjadi “kumuh” dan padat. Tekanan budayas kota (urban
culture) pun menimbulkan resistensi, dan patologi sosial. Budaya kota yang
dimaksud adalah watak neoliberalisme, dimana kota menjadi arena penaklukan ruang
publik oleh para pemilik modal (kapitalis) sebagaimana yang dimaksud David
Harved (2001:312).
Penetrasi budaya kota merembes ke dalam kesadaran penghuni
lorong-lorong kampung. Melani menyebut tren penataan pemukiman yang artifisial,
misalnya “kampung kelir”. Saya punya pengalaman di sebuah perkampungan pesisir
yang bercat warna-warni, persis di antara kota Tual dan Langgur. Pemukiman itu
menjadi destinasi wisata lokal. Memandang kampung itu dari jembatan penghubung,
rumah bercat warna-warni itu tampak mencolok apalgi bila diterpa sunset. Air
sungai membuat batang-bayang rumah penduduk tampak cantik. Ada benarnya nada
bait puisi yang dipetik Melani, orang-orang berkunjung, melihat-lihat rumah,
kebanyakan tanpa interaksi atau Tanya jawab. Yang sesungguhnya terjadi bahwa
rumah bahkan pemukiman tersebut menjadi ruang pamer dan promosi berbagai merek
cat. Rupanya ini yang dimaksud Melani dampak neoliberalisme merembes ke dalam
rumah kita.
Melani menyebut beberapa kampung yang bertahan dari ekspansi
kapital seperti kampung cempluk yang berhasil menggelar festival setiap tahun,
kampung nambo yang sukses mengolah sampah,
kampung aquarium yang merenovasi perumahan dengan pendekatan
seni-arsitektur. Mereka bersiasat dengan akrivitas sekolah alam, urban farming,
kolam ikan, seni tradisional, agar budaya tradisi orang kampung tetap survive.Melani
menyebutnya commoning, ruang bersama
yang dapat diakses secara terbuka (open space).
Pidato yang berdurasi sekitar dua jam ini dapat dikatakan
kompilasi dari banyak inisiatif komunitas sepanjang pengalamannya. Sehingga
perlu alokasi waktu untuk menyimaknya. Selain itu, gaya tutur yang naratif
terasa membosankan. Apalagi naskah pidato dibacakan dalam suasana gelap. Melani
berpidato seperti tetua yang mendongeng. Baiknya ada slide dan potongan video
yang melengkapi, sehingga pemirsa dapat menyaksikan langsung gagasan dan
peristiwa yang dinarasikannya.
Di kota Makassar model pengembangan kampung kota pasca kolonial
relatif baru, seiring dengan dimulainya
konsep Jumpandang Plan pada tahun 70-an, masa pemerintahan Walikota Patompo.
Kosnep JPL ini meniru program pengembangan kota satelit Jakarta masa pemerintahan
Ali Sadiin. Dalam Kota Lama Kota Baru (2005) disebutkan Pannampu salah satu lokasi
proyek penataan pemukiman pertama pasca kolonial di Makassar. Rencana tersebut
gagal, dan hingga kini menyisakan nama pemukiman yang disebut kampung Jakarta.
Pasca reformasi 1998, terutama tahun 2002-2006, sejumlah
pemukiman informal bergejolak oleh sengketa tanah yang berujung bentrokan
hingga penggusuran, di antaranya Karuwisi, Alla-alla, Bontoduri, Lepping,
Buloa, Kassi-Kassi, Kampugg Pisang, Bulogading, Pandang Raya, serta sejumlah
pemukiman di wilayah pembangunan GMTDC. Kampung-kampung ini sungguh menjadi
lokus penaklukan pemodal dengan
memanfaatkan ahli waris tuan tanah dan aparat.
Pendekatan pemberdayaan pemukiman seperti beberapa kampung
disebut oleh professor Melani, di Makassr baru dimulai pada dekade tahun 2010
melalui program Bedah Rumah. Beberaoa LSM terlibat dalam proyek Bank Dunia P2KT
dengan pendekatan kurang lebih sama dengan Kotaku saat ini. Model penataan
kawasan berbasis forum warga dan kolaboratif diinisiasi oleh KPRM bersama UPC,
Rujak Center dan Arkom Indonesia. Visi penataan bebasis warga ini kemudian
menginspirasi pemerintah kota dengan melakukan pembenahan infrastruktur lorong,
penghiajuan lorong, bank sampah. Belakangan Litbang PUPR Sulsel menginisiasi pilot
proyek dengan pendekatan komunitas di Karabba dan Lakkang bekerjasama dengan
arkom makassar.
[1] Pengasuh
blog institut rumah kampung kota, alumni FIB UH, tinggal di makassar
*Tulisan ini dimuat Harian Fajar, 15 Nopember 2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar