Istilah arsitek komunitas (community architect) digunakan oleh sejumlah aktivis-intelektual perkotaan untuk menyebut sekelompok praktisi yang bekerja sama dengan masyarakat akar rumput dalam menata maupun membangun suatu pemukiman. Istilah ini mengemuka sekira tahun 80-an. Sebelumnya, dikenal istilah barefoot architect (“arsitek telanjang kaki”), arsitek yang melakukan pendampingan teknis kepada masyarakat yang membutuhkannya, terutama masyarakat miskin. istilah yang lain adalah “social architect”[2] untuk menjelaskan fungsi sosial seorang arsitek dalam memecahkan masalah pemukiman masyarakat miskin perkotaan.
Dalam
praktiknya, arsitek komunitas bekerjasama dengan para tukang atau pun pekerja
bangunan dalam merancang dan merekonstruksi pemukiman. Pegiat arsitek komunitas
menyadari betul ada banyak ahli berpengalaman, berkontribusi besar dalam
membangun rumah dan pemukiman, dengan atau tanpa bantuan arsitek. Terjadi
pertukaran pengalaman dan pengetahuan antara arsitek dan para praktisi (tukang),
misalnya detil struktur bangunan, teknik penyambungan, dengan segala variasi
dan ornamen, pintu, jendela, tangga, sampai dapur beserta tradisi ‘naik rumah’.
Bagaimana praktik arsitek bekerja sama dengan komunitas? Dalam tulisan ini, saya akan merekonstruksi pengalaman bekerja sama dengan sejumlah aktivis yang terorganisasi dalam Yayasan Arkom Indonesia (YAI)[3] di Palu pasca bencana 28 September 2018. Pertama, pengorganisasian penyintas dalam situasi darurat. Pada tahap ini berlangsung proses pemulihan mental dan fisik penyintas, yang disebut gerakan Pilah, Pilih, Pulih[4], yaitu pembangunan hunian sementara berbasis penyintas. Kedua, rekonstruksi pemukiman dan hunian tetap penyintas. Salah satunya adalah model relokasi penyintas Mamboro Perikanan secara mandiri. Kedua proses dan tahapan ini menggambarkan karakteristik pendekatan arsitek komunitas (arkom) sebagai penggerak (organizer) penyintas.
Arsitektur Soudego
Soudego
merupakan gabungan dua kata dalam bahasa Kaili; “Sou” dan ”Dego-dego”. Sou
berarti rumah; Dego-dego, tempat singgah/istirahat. Struktur dan fungsi Sou
lebih kompleks; Dego-dego cukup buat singgah beristirahat. Orang Kaili memiliki
konsep rumah sebagai hunian tetap berdasarkan struktur dan fungsi sosialnya[5],
yaitu Banua Mbaso, kediaman keluarga raja (Souraja), biasanya berukuran
31,46x11,31 meter; Banua Kataba, kediaman keluarga bangsawan berukuran 17x8
meter; Tinja Kanjai, kediaman orang biasa berukuran 5x7 meter. Selain konsep
rumah, orang Kaili juga mengenal Baruga (Balai Adat), Bantaya (Balai Desa), dan
Gampiri (Lumbung). Dengan demikian dego-dego tidak termasuk dalam konsep rumah
tinggal tetap (huntap).
Pada
konteks pengorganisasian, Soudego dimaknai dalam dua konsep tentang struktur
dan fungsi bangunan yang dipadukan, sehingga menghasilkan penamaan baru sebuah
hunian. Konsep ini diipakai untuk menjelaskan proses pengembangan model hunian
sementara (huntara) pasca gempa Sulteng. Bermula dari pengalaman praktis
beberapa penyintas, salah satunya Pak Jono, 46 thn di Pombewe kecamatan
Biromaru kabupaten Sigi. Sudah setahun dia sakit kanker kelenjar getah bening
pada bagian belakang kepalanya. Ketika gempa terjadi, separuh rumah roboh,
beruntung dia dan anak istri selamat. Pak Jono tidak mengungsi ke tenda
darurat. Dia tinggal di bengkelnya, sambil jualan bensin botolan.
Dua
minggu pasca gempa, pak Jono mengumpul kayu, seng, besi bekas rumahnya. Dibantu
oleh anak dan adiknya bersama relawan dari Siaga Makassar, puing-puing di atas
pondasi rumah dibersihkan. Dari kerjasama ini kemudian dirancang ide membangun
hunian sementara berukuran 4x6 meter di atas pondasi 6x8. Dengan bantuan
relawan arsitek dari posko IAI/MAI Sulteng, dibuatlah desain huntara sesuai
jenis dan jumlah material bekas yang tersedia. Jumlah material hanya cukup
untuk membangun rangka bangunan, tanpa dinding. Persoalan ini diatasi oleh
relawan dengan mengupayakan donasi material dari relawan lainnya. Dengan
peralatan yang tersedia, mereka pun memasang balok rangka, menyetel, menyambung
dan memaku kayu satu demi satu. Jadilah bentuk hunian Soudego, huntara hasil
desain warga dan relawan itu.
Pelajaran berharga dari pengalaman ini bahwa Soudego lebih dari sekedar struktur dan fungsi hunian. Soudego adalah proses pemulihan mental dan fisik warga yang selamat dari bencana. Soudego dan berbagai bentuk huntara swadaya lainnya seperti Shelter Sapua di Wani, Huntara Kalsibor di Mamboro menjadi media berinteraksi, bercakap, bekerjasama di antara penyintas dan relawan yang bertujuan mengatasi persoalan darurat pasca bencana. Dengan demikian, membangun Soudego dianalogikan sebagai upaya menyusun satu persatu energi positif yang sempat runtuh oleh gempa: dimulai dari kemampuan yang dimiliki penyintas, pikiran, tenaga, kemauan, dan material yang tersedia. Sedangkan pihak lain, relawan, donatur, arsitek melengkapi kekurangan warga. Proses ini merupakan pondasi dari tahapan berikutnya, yaitu rekonstruksi yang partisipatif-kolaboratif.
Model Relokasi Mandiri
Model
pendampingan penyintas dipraktikkan relawan Arkom di Mamboro Perikanan dari
masa tanggap darurat hingga fase rekonstruksi. Mamboro Perikanan adalah salah
satu perkampungan nelayan yang terletak di RT 01 RW 04 kelurahan Mamboro Barat.
Pasca bencana 28 September 2018, kampung Mamboro Perikanan berpenduduk 124 KK
dari 818 KK penduduk kelurahan Mamboro Barat (BPS, 2018). Tercatat 94 rumah
rusak berat, 8 korban tewas akibat gempa dan tsunami.
Kerusakan
bangunan mencapai 100% pada bangunan kayu. Bangunan masjid, rumah batu dan
pasar ikan, Infrastruktur seperti jalan kampung hancur, aspal terkelupas[6].
Kejadian ini mengingatkan warga pada peristiwa di tempat yang sama delapan
puluh tahun lalu. Berdasarkan berita koran Belanda Leeuwarder Nieuwsblad,
terbit 21 Mei 1938 dalam tulisan Minnie Rivai,[7]
26 Pebruari 2019, kampung tua Mamboro pernah diguncang gempa dan dihempas gelombang
tsunami, 20 Mei 1938. Bencana ini mengakibatkan 17 rumah di kampung tua Mamboro
hanyut oleh gelombang tsunami.
Bencana
tersebut terekam dalam tradisi lisan orang Kaili (Kayori). Potongan syair yang
ditulis Minnie Rivai adalah “Goya-goya gontiro/…Toka bonga Loli’o/Palu, Tondo,
Mamboro/….Matoyomo/…. Kamolue melantomo”/ (Goyang-goyang di desa Ganti (Banawa,
Donggala) yang melihat ke bawah, orang desa Kabonga dan Loli Oge, Palu,Tondo
dan Mamboro, sudah tenggelam). Menurut kesaksian Norma Hali sebagaimana dikutip
Komunitas Historia Sulteng, dirinya berusia 4 tahun ketika pantai Mamboro
tenggelam. Terdapat pasar dan mesjid yang runtuh. Hal ini diakui Emilia (46)[8],
ada bekas pondasi mesjid, sumur, kolam di belakang dan di dalam rumahnya saat
ini. Batas air tsunami persis di belakang rumah orang tua Emilia. Informasi ini
diakui oleh tokoh masyarakat Mamboro Barat, Arwin Ince Lawara (63 tahun)[9],
salah seorang cucu Mahanila, istri Yoto Lemba raja Tawaeli.
Selain
mesjid dan pasar yang tersapu air pasang, terdapat rumah panggung kediaman
Mahanila. Rumah panggung tersebut direlokasi oleh warga ke tempat yang lebih
tinggi, saat ini berada di depan Mesjid Nurul Jami Mamboro. Dia pernah tinggal
di rumah panggung tersebut selama menjabat Lurah Mamboro tahun 2008-2010. Kondisi
rumah tersebut sudah kosong dan tidak terurus. Nuansa arsitektur tradisional
bangsawan Kaili masih jelas pada struktur, dan ukiran ornamennya. Menurut pak
Arwin, ukiran pada pintu dan dinditng rumah tersebut dikerjakan oleh tukang seorang
Tionghoa.
Dalam
catatan Komunitas Historia Sulteng (26/12/2018)[10],
relokasi mandiri telah terjadi pasca bencana 20 Mei 1938. Perkampungan tua Mamboro
ditinggalkan penduduknya, dan sejak itu kampung tua Mamboro disebut juga Tanjung
Ruru[11].
Penduduk lokal enggan mendekati pesisir Tanjung Ruru karena dikenal angker.
Hingga kemudian pada tahun 80-an, kampung tua Mamboro mulai dihuni oleh
pendatang dari Sulawesi Selatan, dan dikenal sebagai perkampungan nelayan.
Cerita
Wa Sake[12]
(77 tahun?), salah seorang perantau tahun 80-an dari Tana Wajo (To Sewo). Dia
mengaku secara tidak sengaja merapat di pantai kampung Tua Mamboro tahun 1986/87,
lantaran Bagang hanyut dari Talise. Wa Sake mendapat izin dari penduduk
setempat yang disebutnya Nene Buta[13].
Setahun kemudian dia menempati lahan di pinggir laut yang dibelinya seharga 100
ribu, dan membangun pondok panggung. Tahun berikutnya, dia pindah ke depan
mesjid dengan membeli lahan seharga 500 ribu dari ‘Dg. Tanang’, orang Makassar,
dan membangun rumah permanen.
Keberadaan
Wa Sake di Mamboro diakui H. Ambo Are (75 tahun)[14],
yang juga membeli lahan dari penduduk setempat pada tahun 1988. Dia pendatang
dari Tana Luwu (Wotu), sebelum ke Mamboro, dia
berjualan di Pasar Tua. Mamboro waktu itu masih seperti hutan dengan
pohon kelapa. Menurutnya, perlu keberanian untuk menetap di pantai Mamboro
karena Tanjung Ruru adalah sisa bencana tahun 1938. Namun, potensi perikanan
Teluk Palu mengundang pendatang lainnya, hingga lokasi bekas tsunami itu
kembali menjadi pemukiman nelayan, termasuk bangunan pusat perikanan Sulawesi
Tengah.
Kisah
sukses nelayan Mamboro sempat redup pada dekade tahun 2000-an dengan adanya
larangan Ma’Bagang. Sebagian kecil nelayan memindahkan kapal dan Bagangnya ke
Kalimantan Timur. Sebagian besar nelayan, termasuk Wa Sake dan H. Ambo Are
mengkonsentrasikan kampung Mamboro Barat sebagai tempat penjemuran ikan. Hingga
gempa dan tsunami 28 September 2018 merubuhkan seluruh aset ekonomi nelayan di
perkampungan ini.
Tidak
cukup tiga bulan pasca bencana, perkampungan Mamboro hidup kembali. Para
penyintas membuat hunian sementara di pinggir pantai, dan melanjutkan usaha
penjemuran ikan seperti sedia kala. Keterangan ketua RT 01[15]
bahwa masyarakat Mamboro Perikanan lebih cepat bangkit dengan usaha penjemuran
ikannya. Bahkan warga sanggup membeli kendaraan motor dan mobil baru. Kenyataan
ini yang membuat penyintas resisten terhadap kebijakan relokasi 100-200 meter
dari pantai.
Resistensi
warga dimediasi oleh Arkom dengan menyusun perencanaan dan desain pemukiman
baru, yang mereka sebut Relokasi Mandiri Mamboro. Warga menyadari risiko jangka
panjang terjadinya tsunami seperti yang diperingatkan oleh tetua kampung. Wa
Sake kembali mengingat pesan leluhurnya bahwa kelak akan terjadi “lelaki tidak
sempat mengancing celananya, sementara perempuan tidak sempat memakai celananya.
Tidak ada orang yang jago (panrita) menghadapi bencana. Semuanya, pasrah” ”.
Menurutnya, gempa dan tsunami 2018 telah membuktikan pesan tersebut.
Gagasan
relokasi mandiri diinisiasi oleh sejumlah warga yang menginginkan pemukiman
tidak jauh dari tempat usaha. Dengan pendampingan dan asistensi Arkom, warga
mengusahakan lahan sendiri di kelurahan Mamboro, sekitar 400 meter di pantai.
Peran Arkom adalah mengorganisasikan warga dalam kelompok kerja, yang
disebutnya Tim Pembangunan Kampung (TPK). Tim terdiri dari tukang, pemilik
rumah, dan tokoh masyarakat. Kemudian Tim Arkom membuat desain kawasan dan
model rumah sesuai dengan kebutuhan warga. Proses ini berlangsung pada masa
transisi pasca bencana.
Rekonstruksi
pemukiman dimulai pada awal awal tahun 2019. Pekerjaan dilakukan dalam dua tahap.
Pertama, mendesain rumah panggung Bugis sebagai percontohan, yang
dikombinasikan dengan rangka beton Risha (Rumah Instan Sehat). Rumah contoh ini
dibangun di zona hijau. Pekerjaan dilakukan secara gotong royong dengan tetap
mengikuti kebiasaan warga seperti menggantung pisang dan tunas kelapa di tiang
utama. Kenduri pun dilakukan setelah rumah selesai. Pemilik rumah mengundang
warga lain pada acara makan bersama. Salah satu makanan yang khas kenduri rumah
bagi orang Bugis adalah kue onde-onde[16].
Bagi mereka onde-onde bermakna persatuan dan kepuasan seperti menyatunya beras,
gula dan kelapa, sehingga enak rasanya.
Tahap
kedua, mereplikasi model rumah panggung tersebut di lahan relokasi dalam
wilayah kelurahan Mamboro Induk. Peletakan pertama kawasan relokasi mandiri ini
dihadiri oleh pemerintah kota, pemerintah provinsi dan aparat muspida dan
muspika, LSM, serta perwakilan warga dari desa Wani dan Sirenja. Pada momen
ini, model relokasi mandiri warga Mamboro mendapat dukungan dari Pemkot Palu,
PUPR, dan LSM berupa pengembangan insfrastruktur, air bersih, dan sanitasi.
BPBD Palu kemudian menyediakan skema bantuan huntap bagi warga pada tahap
pembangunan berikutnya.
Pembelajaran
berharga dari model relokasi mandiri warga Memboro dapat dirumuskan dalam tiga
hal. Pertama, pelibatan warga dalam kelompok kerja mengikuti pola dasar
rekonstruksi berbasis komunitas. Penyintas dan pendamping terlibat intehsif
dalam pertemuan, pengadaan material, mengelola ongkos kerja, gotong royong
membangun dan mengawasi rumah sendiri. Kedua, transfer pengetahuan teknis
konstruksi bangunan tahan gempa. Penyintas menyerap keahlian menggunakan
teknologi Risha, yang dipadukan dengan desain rumah panggung. Para tukang
mendapat sertifikat sebagai aplkator Risha. Hal ini berdampak pada ekonomi
keluarga penyintas. Ketiga, kesadaran kolektif warga dalam memecahkan persoalan
lahan relokasi. Warga bersepakat dengan Arkom merancang dan membangun lokasi
pemukiman baru. Dalam tempo enam bulan setelah peletakan batu pertama, telah dibangun
10 rumah panggung dan 26 rumah tapak, dan 1 mesjid dalam proses pengerjaan. Seluruh
proses pengorganisasian dan pembangunan rumah dikerjakan oleh 10 tukang kampung
dibawah pendampingan dan asistensi 3 arsitek, 1 insinyur, dan 1 fasilitator.
Model Relokasi Mandiri disadari oleh warga sebagai alternatif mitigasi bencana yang sesuai dengan konteks sejarah Mamboro Perikanan dan Kota Palu pada umumnya. Kebijakan relokasi huntap oleh pemerintah dipandang tidak cocok dengan karakteristik budaya dan wilayah Mamboro yang identik dengan usaha perikanan. Namun, mereka juga menyadari risiko bencana yang sama di masa depan. Sehingga kesiapsiagaan perlu disertai dengan penataan pemukiman baru dengan konstruksi bangunan tahan gempa.
Peran arsitek sebagai pendamping komunitas selain mentransformasi teknologi dan pengetahuan bermukim secara aman, yang terutama adalah membangkitkan kesadaran kolektif warga untuk berorganisasi dan berkolaborasi.
[1]
Board Yayasan Arsitek Indonesia (YAI), alumni FIB Unhas, tinggal di Makassar
[2] Paul
Jenkins dkk dalam Architecture, Participation and Society (2010:1), salah satu
misi para pegiat arsitek komunitas, yaitu menjembatani jurang pemisah, yang
diistilahkan oleh Ben Derbyshire, arsitek RIBA Inggris (1987), antara
“arsitektur rakyat” (folk architecture) dari “arsitektur arsitek” (architecture
architect).
[3] Sebuah
komunitas arsitek, perencana dan pekerja sosial yang dirintis oleh Arkom
Yogyakarta pasca gempa tahun 2007.
[4]
Dicetuskan oleh para relawan yang terdiri dari arsitek (IAI, MAI Sulteng),
Arkom Jogja, dan Siaga Makassar awal Oktober 2018. Kegiatan yang dilakukan
bersama warga adalah memilah dan memilih material bekas untuk memulihkan mental
dan fisik penyintas dengan membangun hunian sementara.
[5]
Ahmad F (2015)
[6]
Hasil pencatatan tim pendamping lapang Arkom (2018)
[8]
Wawancara, 20 Nopember 2020
[9]
Wawancara, 23 Nopember 2020
[11]
Arwin Ince Langkara menjelaskan asal kata Tanjung Ruru, berasal dari seorang nelayan
pancing yang membuat pondok dan mencari ikan di tepi pantai Mamboro. Orang ini
tidak diketahui asal-usulnya hingga meninggal sebelum kemerdekaan RI, sekitar
tahun 40-an.
[12]
Wawancara Nopember 2018 dan 2020
[13]
Keberadaan Nene Buta dikonfirnmasi oleh pak Arwin bahwa nama sebenarnya adalah
“Yabasa”, Orang Kaili campuran Makassar (Takalar).
[14]
Wawancara Maret 2019 dan Nopember 2020
[15] https://palu.tribunnews.com/2019/10/14/warga-pesisir-pantai-di-mamboro-menolak-direlokasi-ke-lokasi-lain.
[16]
Menurut tukang di desa Wani 2 Donggala, Onde-onde juga bermakna bersatunya tiga
dimensi (lanskap), yaitu gula merah yang tumbuh di dataran tinggi (hutan),
beras ketan tumbuh di dataran rendah (sawah), dan kelapa tumbuh di pesisir
pantai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar