17 Jun 2021

MENGAKTIVASI KADER DALAM PENGELOLAAN DANA DESA

Oleh Wiwin 
Pendahuluan
Penulis tertarik untuk membahas pembelajaran mengenai cara mempelajari dan menganalisis Dana Desa yang tertuang dalam dokumen Anggaran Belanja Pembangunan Desa (APBDesa). Ketertarikan penulis sangat beralasan, mengingat Dana Desa merupakan faktor penentu kelancaran pembanguan desa di segala bidang. Sehingga diperlukan sikap kehati-hatian, pengetahuan dan keahlian, baik dalam perenacanaan maupun pengelolaan Dana Desa. 
Sebagai Penggerak Swadaya Masyarakat (PSM), penulis memiliki perhatian terhadap partisipasi masyarakat desa dalam perencanaan hingga pengawasan Dana Desa. Tentunya disadari bahwa seluruh masyarakat desa memiliki hak dan kewajiban untuk berperanserta dalam pengelolaan Dana Desa. Namun, dalam upaya mewujudkan hak dan kewajiban tersebut, tidak semua warga desa memiliki kesempatan dan kemampuan untuk berpartisipasi. Sehingga masyarakat perlu diedukasi dan diberdayakan.
Salah satu kelompok masyarakat yang aktif berpartisipasi dalam pembangunan desa adalah kelompok Kader Pemberdayaan Masyarakat Desa (KPMD). Kelompok ini menjadi bagian dalam kegiatan Pendampingan Desa sesuai dengan Peraturan Menteri Desa dan PDTT Nomor 3 Tahun 2015. Dalam peraturan ini, KPMD dapat melaksanakan pemberdayaan masyarakat bersama Pendamping Desa dan Pihak Ketiga lainnya.
Kelompok kader pemberdayaan masyarakat desa dapat berpartisipasi dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan desa. Salah satu bentuk partisipasi adalah pengawasan terhadap pengelolaan keuangan desa. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Desa Nomor 6 Tahun 2014 Pasal 689 Ayat 1 (a) bahwa masyarakat berhak meminta dan mendapatkan informasi dari pemerintah desa serta mengawasi kegiatan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan desa. Meski demikian, para kader juga berkewajiban mengikuti aturan main, dan yang utama adalah belajar memahami seluk beluk pengelolaan Dana Desa.
Menurut penulis, salah satu penyebab rendahnya kapasitas kader dalam bidang pengelolaan keuangan desa karena mereka belum terlatih. Pelatihan sistem pengelolaan keuangan desa yang diselenggarakan oleh instansi terkait lebih ditujukan kepada aparatur pemerintahan desa. Sementara pelatihan KPMD dan sejenisnya bersifat umum. Sehingga penulis menganggap penting untuk memberdayakan KPMD dengan pengetahuan dan keterampilan dalam menganalisis pengelolaan Dana Desa.
Permasalahan dan Tujuan
Berdasarkan uraian mengenai pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan keuangan desa, penulis akan membahas dua permasalahan yang sering, dan umumnya terjadi: (1) Apa saja kendala KPMD (Kader) dalam mempelajari dan menganalisis Dana Desa?; (2) Materi apa saja dibutuhkan Kader dalam meningkatkan partisipasi, serta bagaimana metode pembelajarannya?
Tujuan penulis membahas kedua permasalahan tersebut adalah: (1) Membekali Kader dengan kemampuan menganalisis DD; (2) Meningkatkan peran serta Kader dalam perencanaan dan pengawasan pengelolaan DD. Dengan harapan, peran Kader dapat berkontribusi dalam mewujudkan prinsip transparansi, akuntabilitas, dan disiplin pengelolaan DD.
Pembahasan
1. Masalah Pengelolaan DD
Berdasarkan studi pustaka dan pengalaman penulis sebagai PSM, terdapat beberapa permasalahan aktual dalam pengelolaan keuangan desa. Permasalahan ini melibatkan aparatur pemerintah desa, serta kelompok masyarakat, yaitu sebagai berikut:
(a) Penyalahgunaan Keuangan
Selama lima tahun terakhir, pemerintah desa, terutama perangkat desa (Kades) menjadi sorotan khalayak karena tersangkut kasus penyelewengan keuangan. Hal ini dapat diketahui dari pemberitaan mengenai korupsi DD. Misalnya, dalam rilis ICW – Indonesian Corruption Watch, sejak 2015 hingga 2020 terdapat 676 terdakwa kasus korupsi dari perangkat desa.[1] Sepanjang tahun 2020, ICW mencatat 169 kasus korupsi berdasarkan sektor. Dari jumlah tersebut, 44 kasus korupsi pada sektor anggaran DD. Kerugian negara akibat korupsi yang dilakukan oleh aparatur desa mencapai total Rp 111 miliar.[2]
Sejalan dengan laporan ICW, caratan akhir tahun Anti Corruption Committee (ACC) Sulawesi yang melaporkan korupsi DD di Sulawesi Selatan termasuk tiga besar setelah korupsi pejabat pemerintah dan pelaksana proyek infrastruktur. Menurut ACC[3], sebanyak 28 Kepala Desa (Kades) yang tersandung kasus korupsi, yakni 16 Kades pada tahun 2019, dan 12 Kades tahun 2020. Modus korupsi DD seperti mark up anggaran, laporan fiktif, proyek fiktif, dan dana tidak sesuai dengan peruntukannya. Kasus korupsi DD tahun 2020 terjadi di kabupaten Kepulauan Selayar, Luwu Timur, Soppeng, Sinjai, Gowa, Luwu Utara, Maros, Bantaeng, Wajo, dan Barru.
Dari sumber berita yang sama, menurut Direktur Eksekutif Indonesia Budget Centre (IBC), korupsi DD menunjukkan bahwa pengelolaan anggaran desa belum mencerminkan prinsip tata kelola pemerintahan yang baik (good governance), yaitu transparansi, akuntabilitas dan partisipasi. Hal Ini dipengaruhi banyak faktor, antara lain masyarakat belum memiliki rasa tanggung jawab terhadap APBDesa, sehingga pengawasan lemah. Faktor lain, kurangnya pembinaan dari pemerintah kabupaten.
(b) Maladministrasi
Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP, 2015:2)[4] telah mengingatkan bahwa dalam pengelolaan DD akan ada risiko terjadinya kesalahan yang bersifat administratif maupun substantif. Kesalahan ini akan menimbulkan permasalahan hukum karena Kades dan aparat desa belum cakap atau tidak berkompeten dalam penatausahaan, pelaporan dan pertanggungjawaban keuangan. Padahal konsekuensi dari pendanaan program dan kegiatan dari APBN/APBD adalah perangkat desa dituntut harus mampu mengelola secara transparan, akuntabel, dan bebas dari penyalahgunaan.
Menurut Soemarsono dkk (2019:4),[5] masalah pengelolaan keuangan desa seperti surat pertanggung jawaban (SPJ) yang belum memenuhi syarat formal dan material disebabkan kurangnya pemahaman Kades dan aparat desa mengenai administrasi atau pun akuntansi keuangan, penyimpangan dalam pengelolaan keuangan, belum lengkapnya administrasi keuangan dan pencatatan aset desa. Widodo dkk (2016:326)[6] merangkum pendapat Yuliana (2013), Basri (2014) dan Azhar (2015) bahwa kapasitas pengelolaan administrasi kurang merata, sistem akuntabilitas dan pranata pengawasan yang lemah, dan masyarakat belum kritis terhadap pengelolaan APBDesa. Badan Perwakilan Daerah (BPD) mengalami stagnasi, menjadi lembaga formal tanpa memiliki progres yang menggembirakan.
(c) Kualitas Partisipasi Kurang
Berdasarkan studi Hutami,[7] ada permasalahan yang tampak sepele tetapi sebenarnya berakibat fatal, yaitu rendahnya kualitas partisipasi masyarakat dalam pengelolaan keuangan desa. Hal ini dapat diketahui mulai dari tahapan perencanaan hingga pertanggungjawaban keuangan desa: (1) Pada tahapan perencanaan, alokasi DD cenderung pada program yang dibuat dan akan dilaksanakan oleh Kades; tokoh masyarakat yang hadir dalam Musrenbang lebih banyak mendengar daripada berpendapat; (2) Pada tahap pembahasan, rencana alokasi penggunaan DD tidak diinformasikan secara umum, sehingga warga tidak tahu besaran dana dan program desa. Akibatnya, masyarakat apatis terhadap perencanaan dan pembahasan APBDesa.
Hasil kajian yang lebih komprehensif dilakukan oleh Kolaborasi Masyarakat dan Pelayanan untuk Kesejahteraan (KOMPAK) terhadap pelaksanaan kegiatan Sarana-Prasarana Desa (Sarpras) 2015 pada 13 desa, 5 provinsi. Studi ini menyimpulkan bahwa Sarpras umumnya berkualitas rendah, lebih mahal, dan kurang memberikan manfaat bagi masyarakat desa[8]. Hal ini merupakan indikasi bahwa partisipasi masyarakat dalam pembangunan desa juga  rendah. Kurangnya sosialisasi alokasi DD, mengakibatkan rendahnya kesadaran kritis masyarakat terhadap hak berperanserta dalam pembangunan desa. Selain itu, peran para pemangku kepentingan seperti KPMD kurang maksimal. Sebaliknya, peran aparat Pemdes lebih dominan. Hal ini berarti budaya paternalistik masih kuat dalam kepemimpinan di desa.
(d) Kapasitas Pengetahuan Rendah
Rendahnya kapasitas pemerintah desa dalam perencanaan DD disebabkan oleh beberapa hal seperti pola pikir, perilaku maupun pengetahuan dan keterampilan terkait pengelolaan keuangan. Temuan LAN RI (2017:20-22),[9] sebagian besar Kades dan perangkat desa berusia produktif dengan tingkat pendidikan SMA ke atas. Namun, tidak otomatis berkompeten dan profesional menyelenggarakan pemerintahan dan mengelola keuangan. Hal ini diketahui dari kualitas perencanaan DD yang belum memperhatikan kebutuhan dan karakteristik desa. Seringkali penyusunan RPJMDesa tidak didahului dengan Pengkajian Keadaan Desa (PKD). Sehingga pola pemanfaatan DD lebih mengutamakan aspek teknis administratif daripada substansi program.[10] Temuan ini diperkuat oleh penelitian Astini dkk. (2019) dalam Pratiwi dkk. (2020:159-162)[11] bahwa kualitas sumber daya manusia tidak berpengaruh signifikan terhadap keberhasilan pengelolaan keuangan desa. Pelatihan akan efektif apabila disertai pembinaan, pengawasan, dan pendampingan. Hal ini dibuktikan manfaatnya:[12] Pertama, pengelola keuangan desa mendapat pengetahuan mengenai standar akuntansi sektor publik dan mekanisme pengelolaan keuangan desa. Kedua, perangkat desa mendapatkan pengetahuan tentang pengelolaan dokumen penyusunan laporan keuangan desa. Ketiga, warga desa memperoleh wawasan tentang cara membaca laporan keuangan desa.
2. Aktivasi Kader dalam Pengelolaan DD
Aktivasi KPMD dapat dilakukan dengan penguatan kapasitas pendampingan dalam pengelolaan keuangan desa. Alasan penulis, kader pendampingan desa belum cakap dalam menganalisis sistem penganggaran desa dan pertanggung jawaban DD. Program penguatan kapasitas maupun pembinaan dari pemerintah daerah dan instansi terkait pengelolaan keuangan belum secara khusus ditujukan kepada KPMD.      
Studi Doru (2018:xviii)[13] mengidentifikasi kelemahan peran pendamping desa, yaitu pengarahan bersifat normatif seperti serapan DD, dan penggunaannya sesuai aturan. Sebagai fasilitator, pendampingan berpusat pada pemerintah desa, kurang memperhatikan pemberdayaan masyarakat. Hasil studi ini relevan dengan survei Dewi dkk, (2021:825)[14] mengenai indeks pengaruh kompetensi, akuntabilitas, dan peran pendamping terhadap pengelolaan DD. Variabel peran pendamping desa berpengaruh positif dan signifikan terhadap pengelolaan DD. Semakin tinggi peran pendamping desa, semakin optimal pengelolaan DD. Demikian pula sebaliknya.
(a) Pembelajaran Analisis Keuangan Desa
Kata pembelajaran berasal dari kata dasar belajar, dan akar kata ajar, yang berarti “petunjuk yang diberikan kepada orang supaya diketahui (dituruit)” (KBBI). Dari pengertian ini, pembelajaran merupakan proses belajar. Dalam prosesnya, selalu ada interaksi di antara para pembelajar atau orang-orang yang membutuhkan petunjuk, materi dan cara untuk mengubah sikap dan perilaku.
Menurut The Liang Gie dalam Administrasi Perkantoran Modern (1989:26-27), analisis adalah “segenap rangkaian pikiran yang menelaah sesuatu hal secara mendalam, terutama mempelajari bagian-bagian dari suatu kebulatan untuk mengetahui diri masing-masing bagian, hubungan satu sama lainnya dan peranannya dalam keseluruhan yang bulat itu”. Sementara KBBI menerangkan salah satu arti kata analisis adalah kegiatan menelaah suatu dokumen, perbuatan, untuk mengetahui yang sebenarnya.
Berdasarkan dua pengertian di atas, penulis memahami analisis keuangan desa sebagai kegiatan mempelajari dokumen kebijakan pemerintah desa yang berkaitan dengan pengelolaan keuangan desa, yakni alokasi DD yang tertuang dalam APBDesa. Keuangan desa merupakan semua hak dan kewajiban desa yang dapat dinilai dengan uang serta segala sesuatu berupa uang dan barang yang berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban desa. Hak dan kewajiban tersebut menimbulkan Pendapatan, Belanja, dan Pembiayaan sesuai dengan Permendagri Nomor 113 Tahun 2014, kemudian ditetapkan dalam Peraturan Desa (Perdes) mengenai APBDesa. Adapun APBDesa merupakan dokumen publik[15] yang dapat diakses dan dipelajari oleh KPMD mulai dari penyususnan hingga pertanggungjawaban keuangan desa oleh Pemdes.
Pendapatan Desa meliputi semua penerimaan uang melalui rekening desa yang merupakan  hak desa dalam 1 (satu) tahun anggaran yang tidak perlu dibayar kembali oleh desa. Belanja Desa, meliputi semua pengeluaran dari rekening desa yang merupakan kewajiban desa dalam 1 (satu) tahun anggaran yang tidak akan diperoleh pembayarannya kembali oleh desa. Pembiayaan Desa, meliputi semua penerimaan yang perlu dibayar kembali dan/atau pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun pada tahun anggaran berikutnya. Pendapatan, Belanja dan Pemmbiayaan desa itu diklasifikasikan menurut kelompok dan jenis.
(b) Metode Pembelajaran
Penulis mengamati kecenderungan masyarakat menggunakan internet sebagai media pembelajaran. Misalnya, BPPKPD membuka Bimtek Tata Cara Pengelolaan Keuangan Desa dan Pertanggungjawaban ADD.[16] Melalui internet siapa pun dapat mengakses dan mempelajari sumber-sumber pengetahuan maupun informasi mengenai pengelolaan Dana Desa secara mandiri. Bahkan, masyarakat dapat meningkatkan partisipasinya dalam mengawasi kinerja pemerintahan desa, khususnya penggunaan Dana Desa. Tentunya, partisipasi masyarakat secara online ini lebih bersifat individual, dan terbatas pada fungsi edukasi dan sosialisasi.
Sebagai respon terhadap perkembangan teknologi informasi dan edukasi, penulis membagi dua metode pembelajaran analisis DD bagi KPMD, yakni pembelajaran tatap muka dan pembelajaran mandiri. Pembelajaran tatap muka bersifat konvensional, dimana para pembelajar bertemu, berinteraksi, berdiskusi dan berkegiatan dalam suatu ruangan belajar (kelas). Sedangkan dalam pembelajaran mandiri, peserta tidak harus berada dalam satu ruangan belajar. Masing-masing dapat mengakses dan mempelajari sumber belajar dari internet dan media sosial. Peserta juga dapat membuat ruangan (clash-room) untuk bertatap muka secara virtual dengan memanfaatkan aplikasi tertentu seperti Gmeet, Zoom, WAG. Cara ini biasa disebut dengan belajar dalam jaringan (daring).
(1) Pembelajaran Tatap Muka
Materi pokok pembelajaran tatap muka terdiri dari 5 (lima) topik pembahasan. Kelima topik ini diasumsikan dapat meningkatkan kemampuan atau kompetensi dasar bagi KPMD, khususnya kemampuan menganalisis sistem penganggaran dan pengelolaan keuangan desa. Materi pembelajaran ini menjadi acuan dalam pembelajaran mandiri. Adapun rumusan silabus materi pembelajaran analisis keuangan desa bagi KPMD adalah sebagai berikut:
Tabel 1: Silabus Materi Pembelajaran Tatap Muka
(2) Pembelajaran Mandiri
Seiring dengan keterbukaan dan kebebasan masyarakat menggunakan internet, informasi dan pengetahuan semakin, cepat, mudah, dan murah. Situs kementerian terkait dengan kebijakan pembangunan desa mudah diakses. Apalagi situs organisasi maupun perorangan terkait pemberdayaan dan pendampingan desa. Bahkan pemerintah desa pun membuka website yang menyajikan potensi, program dan prestasinya.
Sehubungan dengan hal tersebut, alangkah baiknya bila pembelajaran tatap muka (luring) dilengkapi dengan pembelajaran mandiri (daring). Sumber materi pembelajaran analisis DD yang penulis jadikan rujukan utam adalah sebagai berikut:
Tabel 2: Sumber Rujukan Materi Pembelajaran Mandiri
Penutup
Pembelajaran Analisis Dana Desa ini masih berupa eksplorasi gagasan berdasarkan referensi dan pengalaman penulis. Materi pokok pembelajaran memungkinkan untuk disesuaikan dengan kondisi peserta dan karakteristik desa. Namun, secara metodologis, penulis telah menginisiasi peluang pembelajaran mandiri secara daring untuk melengkapi keterbatasan pembelajaran tatap muka (luring) di masa Pandemi Covid seperti saat ini.     
Referensi:
[4] Dalam Buku Petunjuk Pelaksanaan Bimbingan & Konsultasi Keuangan Desa
[5] Majalah Ilmiah Solusi Vol. 17, No. 2 April 2019
[6] Sistem Akuntansi Pengelolaan Dana Desa dalam Jurnal Ekonomi dan Bisnis: Volume 19 No. 2, Agustus 2016
[7] Analisis Pengelolaan ADD di Desa Abbatireng Kecamatan Gilireng Kabupaten Wajo (A. Siti Sri Hutami, 2017)
[9] Dalam Laporan Akhir Kajian Strategi Peningkatan Kapasitas Pemerintah Desa (2017)
[10] Ibid LAN RI (2017)
[11] Pendampingan Pengelolaan Keuangan Desa Guna Meningkatkan Akuntabilitas di Desa Mlandi Wonosobo dalam Jurnal Pangabdhi, Volume 6 No. 2, Oktober 2020: http://journal.trunojoyo.ac.id/pangabdhi
[12] Ibid Pratiwi (2020)
[13] Peran Pendamping Desa dalam Pengelolaan Dana Desa (Skripsi, APMD)
[14] Pengaruh Kompetensi, Akuntabilitas dan Peran Pendamping terhadap Pengelolaan Dana Desa dalam JIMAT (Jurnal Ilmiah Mahasiswa Akuntansi) Universitas Pendidikan Ganesha, Vol : 12 No : 01 Tahun 2021 e-ISSN: 2614 – 1930.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar