Oleh Wiwin
Pendahuluan
Penulis
tertarik untuk membahas pembelajaran mengenai cara mempelajari dan menganalisis
Dana Desa yang tertuang dalam dokumen Anggaran Belanja Pembangunan Desa (APBDesa).
Ketertarikan penulis sangat beralasan, mengingat Dana Desa merupakan faktor
penentu kelancaran pembanguan desa di segala bidang. Sehingga diperlukan sikap
kehati-hatian, pengetahuan dan keahlian, baik dalam perenacanaan maupun
pengelolaan Dana Desa.
Sebagai
Penggerak Swadaya Masyarakat (PSM), penulis memiliki perhatian terhadap partisipasi
masyarakat desa dalam perencanaan hingga pengawasan Dana Desa. Tentunya
disadari bahwa seluruh masyarakat desa memiliki hak dan kewajiban untuk
berperanserta dalam pengelolaan Dana Desa. Namun, dalam upaya mewujudkan hak
dan kewajiban tersebut, tidak semua warga desa memiliki kesempatan dan
kemampuan untuk berpartisipasi. Sehingga masyarakat perlu diedukasi dan
diberdayakan.
Salah
satu kelompok masyarakat yang aktif berpartisipasi dalam pembangunan desa
adalah kelompok Kader Pemberdayaan Masyarakat Desa (KPMD). Kelompok ini menjadi
bagian dalam kegiatan Pendampingan Desa sesuai dengan Peraturan Menteri Desa
dan PDTT Nomor 3 Tahun 2015. Dalam peraturan ini, KPMD dapat melaksanakan pemberdayaan
masyarakat bersama Pendamping Desa dan Pihak Ketiga lainnya.
Kelompok
kader pemberdayaan masyarakat desa dapat berpartisipasi dalam penyelenggaraan
pemerintahan dan pembangunan desa. Salah satu bentuk partisipasi adalah pengawasan
terhadap pengelolaan keuangan desa. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam
Undang-Undang Desa Nomor 6 Tahun 2014 Pasal 689 Ayat 1 (a) bahwa masyarakat
berhak meminta dan mendapatkan informasi dari pemerintah desa serta mengawasi kegiatan
penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan desa. Meski demikian, para kader
juga berkewajiban mengikuti aturan main, dan yang utama adalah belajar memahami
seluk beluk pengelolaan Dana Desa.
Menurut
penulis, salah satu penyebab rendahnya kapasitas kader dalam bidang pengelolaan
keuangan desa karena mereka belum terlatih. Pelatihan sistem pengelolaan
keuangan desa yang diselenggarakan oleh instansi terkait lebih ditujukan kepada
aparatur pemerintahan desa. Sementara pelatihan KPMD dan sejenisnya bersifat
umum. Sehingga penulis menganggap penting untuk memberdayakan KPMD dengan
pengetahuan dan keterampilan dalam menganalisis pengelolaan Dana Desa.
Permasalahan dan Tujuan
Berdasarkan
uraian mengenai pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan keuangan desa, penulis
akan membahas dua permasalahan yang sering, dan umumnya terjadi: (1) Apa saja
kendala KPMD (Kader) dalam mempelajari dan menganalisis Dana Desa?; (2) Materi
apa saja dibutuhkan Kader dalam meningkatkan partisipasi, serta bagaimana metode
pembelajarannya?
Tujuan
penulis membahas kedua permasalahan tersebut adalah: (1) Membekali Kader dengan
kemampuan menganalisis DD; (2) Meningkatkan peran serta Kader dalam perencanaan
dan pengawasan pengelolaan DD. Dengan harapan, peran Kader dapat berkontribusi
dalam mewujudkan prinsip transparansi, akuntabilitas, dan disiplin pengelolaan
DD.
Pembahasan
1. Masalah
Pengelolaan DD
Berdasarkan
studi pustaka dan pengalaman penulis sebagai PSM, terdapat beberapa
permasalahan aktual dalam pengelolaan keuangan desa. Permasalahan ini melibatkan
aparatur pemerintah desa, serta kelompok masyarakat, yaitu sebagai berikut:
(a) Penyalahgunaan
Keuangan
Selama
lima tahun terakhir, pemerintah desa, terutama perangkat desa (Kades) menjadi
sorotan khalayak karena tersangkut kasus penyelewengan keuangan. Hal ini dapat
diketahui dari pemberitaan mengenai korupsi DD. Misalnya, dalam rilis ICW – Indonesian Corruption Watch, sejak 2015
hingga 2020 terdapat 676 terdakwa kasus korupsi dari perangkat desa.[1] Sepanjang
tahun 2020, ICW mencatat 169 kasus korupsi berdasarkan sektor. Dari jumlah
tersebut, 44 kasus korupsi pada sektor anggaran DD. Kerugian
negara akibat korupsi yang dilakukan oleh aparatur desa mencapai total Rp 111
miliar.[2]
Sejalan
dengan laporan ICW, caratan akhir tahun Anti
Corruption Committee (ACC) Sulawesi yang melaporkan korupsi DD di Sulawesi
Selatan termasuk tiga besar setelah korupsi pejabat pemerintah dan pelaksana
proyek infrastruktur. Menurut ACC[3],
sebanyak 28 Kepala Desa (Kades) yang tersandung kasus korupsi, yakni 16 Kades
pada tahun 2019, dan 12 Kades tahun 2020. Modus korupsi DD seperti mark up anggaran, laporan fiktif, proyek
fiktif, dan dana tidak sesuai dengan peruntukannya. Kasus korupsi DD tahun 2020
terjadi di kabupaten Kepulauan Selayar, Luwu Timur, Soppeng, Sinjai, Gowa, Luwu
Utara, Maros, Bantaeng, Wajo, dan Barru.
Dari
sumber berita yang sama, menurut Direktur Eksekutif Indonesia Budget Centre (IBC), korupsi DD menunjukkan bahwa
pengelolaan anggaran desa belum mencerminkan prinsip tata kelola pemerintahan
yang baik (good governance), yaitu
transparansi, akuntabilitas dan partisipasi. Hal Ini dipengaruhi banyak faktor,
antara lain masyarakat belum memiliki rasa tanggung jawab terhadap APBDesa,
sehingga pengawasan lemah. Faktor lain, kurangnya pembinaan dari pemerintah kabupaten.
(b) Maladministrasi
Badan
Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP, 2015:2)[4]
telah mengingatkan bahwa dalam pengelolaan DD akan ada risiko terjadinya
kesalahan yang bersifat administratif maupun substantif. Kesalahan ini akan menimbulkan
permasalahan hukum karena Kades dan aparat desa belum cakap atau tidak
berkompeten dalam penatausahaan, pelaporan dan pertanggungjawaban keuangan.
Padahal konsekuensi dari pendanaan program dan kegiatan dari APBN/APBD adalah
perangkat desa dituntut harus mampu mengelola secara transparan, akuntabel, dan
bebas dari penyalahgunaan.
Menurut
Soemarsono dkk (2019:4),[5]
masalah pengelolaan keuangan desa seperti surat pertanggung jawaban (SPJ) yang
belum memenuhi syarat formal dan material disebabkan kurangnya pemahaman Kades
dan aparat desa mengenai administrasi atau pun akuntansi keuangan, penyimpangan
dalam pengelolaan keuangan, belum lengkapnya administrasi keuangan dan
pencatatan aset desa. Widodo dkk (2016:326)[6]
merangkum pendapat Yuliana (2013), Basri (2014) dan Azhar (2015) bahwa
kapasitas pengelolaan administrasi kurang merata, sistem akuntabilitas dan
pranata pengawasan yang lemah, dan masyarakat belum kritis terhadap pengelolaan
APBDesa. Badan Perwakilan Daerah (BPD) mengalami stagnasi, menjadi lembaga
formal tanpa memiliki progres yang menggembirakan.
(c) Kualitas
Partisipasi Kurang
Berdasarkan
studi Hutami,[7]
ada permasalahan yang tampak sepele tetapi sebenarnya berakibat fatal, yaitu
rendahnya kualitas partisipasi masyarakat dalam pengelolaan keuangan desa. Hal
ini dapat diketahui mulai dari tahapan perencanaan hingga pertanggungjawaban
keuangan desa: (1) Pada tahapan perencanaan, alokasi DD cenderung pada program
yang dibuat dan akan dilaksanakan oleh Kades; tokoh masyarakat yang hadir dalam
Musrenbang lebih banyak mendengar daripada berpendapat; (2) Pada tahap
pembahasan, rencana alokasi penggunaan DD tidak diinformasikan secara umum, sehingga
warga tidak tahu besaran dana dan program desa. Akibatnya, masyarakat apatis
terhadap perencanaan dan pembahasan APBDesa.
Hasil
kajian yang lebih komprehensif dilakukan oleh Kolaborasi Masyarakat dan
Pelayanan untuk Kesejahteraan (KOMPAK) terhadap pelaksanaan kegiatan
Sarana-Prasarana Desa (Sarpras) 2015 pada 13 desa, 5 provinsi. Studi ini
menyimpulkan bahwa Sarpras umumnya berkualitas rendah, lebih mahal, dan kurang
memberikan manfaat bagi masyarakat desa[8].
Hal ini merupakan indikasi bahwa partisipasi masyarakat dalam
pembangunan desa juga rendah. Kurangnya sosialisasi alokasi DD,
mengakibatkan rendahnya kesadaran kritis masyarakat terhadap hak berperanserta dalam
pembangunan desa. Selain itu, peran para pemangku kepentingan seperti KPMD kurang
maksimal. Sebaliknya, peran aparat Pemdes lebih dominan. Hal ini berarti budaya
paternalistik masih kuat dalam kepemimpinan di desa.
(d) Kapasitas
Pengetahuan Rendah
Rendahnya
kapasitas pemerintah desa dalam perencanaan DD disebabkan oleh beberapa hal
seperti pola pikir, perilaku maupun pengetahuan dan keterampilan terkait pengelolaan
keuangan. Temuan LAN RI (2017:20-22),[9] sebagian
besar Kades dan perangkat desa berusia produktif dengan tingkat pendidikan SMA
ke atas. Namun, tidak otomatis berkompeten dan profesional
menyelenggarakan pemerintahan dan mengelola keuangan. Hal ini diketahui dari
kualitas perencanaan DD yang belum memperhatikan kebutuhan dan karakteristik
desa. Seringkali penyusunan RPJMDesa tidak didahului dengan Pengkajian Keadaan Desa
(PKD). Sehingga pola pemanfaatan DD lebih mengutamakan aspek teknis
administratif daripada substansi program.[10] Temuan
ini diperkuat oleh penelitian Astini dkk. (2019) dalam Pratiwi dkk.
(2020:159-162)[11]
bahwa kualitas sumber daya manusia tidak berpengaruh signifikan terhadap
keberhasilan pengelolaan keuangan desa. Pelatihan akan efektif apabila disertai
pembinaan, pengawasan, dan pendampingan. Hal ini dibuktikan manfaatnya:[12]
Pertama, pengelola keuangan desa mendapat pengetahuan mengenai standar
akuntansi sektor publik dan mekanisme pengelolaan keuangan desa. Kedua,
perangkat desa mendapatkan pengetahuan tentang pengelolaan dokumen penyusunan
laporan keuangan desa. Ketiga, warga desa memperoleh wawasan tentang cara
membaca laporan keuangan desa.
2. Aktivasi
Kader dalam Pengelolaan DD
Aktivasi
KPMD dapat dilakukan dengan penguatan kapasitas pendampingan dalam pengelolaan
keuangan desa. Alasan penulis, kader pendampingan desa belum cakap dalam
menganalisis sistem penganggaran desa dan pertanggung jawaban DD. Program
penguatan kapasitas maupun pembinaan dari pemerintah daerah dan instansi
terkait pengelolaan keuangan belum secara khusus ditujukan kepada KPMD.
Studi
Doru (2018:xviii)[13] mengidentifikasi
kelemahan peran pendamping desa, yaitu pengarahan bersifat normatif seperti serapan
DD, dan penggunaannya sesuai aturan. Sebagai fasilitator, pendampingan berpusat
pada pemerintah desa, kurang memperhatikan pemberdayaan masyarakat. Hasil studi
ini relevan dengan survei Dewi dkk, (2021:825)[14] mengenai
indeks pengaruh kompetensi, akuntabilitas, dan peran pendamping terhadap pengelolaan
DD. Variabel peran pendamping desa berpengaruh positif dan signifikan terhadap
pengelolaan DD. Semakin tinggi peran pendamping desa, semakin optimal
pengelolaan DD. Demikian pula sebaliknya.
(a) Pembelajaran
Analisis Keuangan Desa
Kata
pembelajaran berasal dari kata dasar belajar,
dan akar kata ajar,
yang berarti “petunjuk yang diberikan kepada orang supaya diketahui (dituruit)”
(KBBI). Dari pengertian ini, pembelajaran merupakan proses belajar. Dalam
prosesnya, selalu ada interaksi di antara para pembelajar atau orang-orang yang
membutuhkan petunjuk, materi dan cara untuk mengubah sikap dan perilaku.
Menurut
The Liang Gie dalam Administrasi
Perkantoran Modern (1989:26-27), analisis adalah “segenap rangkaian pikiran
yang menelaah sesuatu hal secara mendalam, terutama mempelajari bagian-bagian
dari suatu kebulatan untuk mengetahui diri masing-masing bagian, hubungan satu
sama lainnya dan peranannya dalam keseluruhan yang bulat itu”. Sementara KBBI
menerangkan salah satu arti kata analisis adalah kegiatan menelaah suatu
dokumen, perbuatan, untuk mengetahui yang sebenarnya.
Berdasarkan
dua pengertian di atas, penulis memahami analisis keuangan desa sebagai
kegiatan mempelajari dokumen kebijakan pemerintah desa yang berkaitan dengan
pengelolaan keuangan desa, yakni alokasi DD yang tertuang dalam APBDesa. Keuangan
desa merupakan semua hak dan kewajiban desa yang dapat dinilai dengan uang
serta segala sesuatu berupa uang dan barang yang berhubungan dengan pelaksanaan
hak dan kewajiban desa. Hak dan kewajiban tersebut menimbulkan Pendapatan, Belanja,
dan Pembiayaan sesuai dengan Permendagri Nomor 113 Tahun 2014, kemudian
ditetapkan dalam Peraturan Desa (Perdes) mengenai APBDesa. Adapun APBDesa merupakan
dokumen publik[15]
yang dapat diakses dan dipelajari oleh KPMD mulai dari penyususnan hingga
pertanggungjawaban keuangan desa oleh Pemdes.
Pendapatan
Desa meliputi semua penerimaan uang melalui rekening desa yang merupakan hak desa dalam 1 (satu) tahun anggaran yang
tidak perlu dibayar kembali oleh desa. Belanja Desa, meliputi semua pengeluaran
dari rekening desa yang merupakan kewajiban desa dalam 1 (satu) tahun anggaran
yang tidak akan diperoleh pembayarannya kembali oleh desa. Pembiayaan Desa,
meliputi semua penerimaan yang perlu dibayar kembali dan/atau pengeluaran yang
akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun pada
tahun anggaran berikutnya. Pendapatan, Belanja dan Pemmbiayaan desa itu
diklasifikasikan menurut kelompok dan jenis.
(b) Metode
Pembelajaran
Penulis
mengamati kecenderungan masyarakat menggunakan internet sebagai media
pembelajaran. Misalnya, BPPKPD membuka Bimtek
Tata Cara Pengelolaan Keuangan Desa dan Pertanggungjawaban ADD.[16]
Melalui internet siapa pun dapat mengakses dan mempelajari sumber-sumber
pengetahuan maupun informasi mengenai pengelolaan Dana Desa secara mandiri.
Bahkan, masyarakat dapat meningkatkan partisipasinya dalam mengawasi kinerja
pemerintahan desa, khususnya penggunaan Dana Desa. Tentunya, partisipasi
masyarakat secara online ini lebih
bersifat individual, dan terbatas pada fungsi edukasi dan sosialisasi.
Sebagai
respon terhadap perkembangan teknologi informasi dan edukasi, penulis membagi
dua metode pembelajaran analisis DD bagi KPMD, yakni pembelajaran tatap muka
dan pembelajaran mandiri. Pembelajaran tatap muka bersifat konvensional, dimana
para pembelajar bertemu, berinteraksi, berdiskusi dan berkegiatan dalam suatu
ruangan belajar (kelas). Sedangkan dalam pembelajaran mandiri, peserta tidak
harus berada dalam satu ruangan belajar. Masing-masing dapat mengakses dan mempelajari
sumber belajar dari internet dan media sosial. Peserta juga dapat membuat ruangan
(clash-room) untuk bertatap muka secara virtual dengan memanfaatkan aplikasi
tertentu seperti Gmeet, Zoom, WAG. Cara ini biasa disebut dengan belajar dalam
jaringan (daring).
(1) Pembelajaran
Tatap Muka
Materi
pokok pembelajaran tatap muka terdiri dari 5 (lima) topik pembahasan. Kelima
topik ini diasumsikan dapat meningkatkan kemampuan atau kompetensi dasar bagi
KPMD, khususnya kemampuan menganalisis sistem penganggaran dan pengelolaan
keuangan desa. Materi pembelajaran ini menjadi acuan dalam pembelajaran
mandiri. Adapun
rumusan silabus materi pembelajaran analisis keuangan desa bagi KPMD adalah
sebagai berikut:
Tabel
1: Silabus Materi Pembelajaran Tatap Muka
(2) Pembelajaran
Mandiri
Seiring
dengan keterbukaan dan kebebasan masyarakat menggunakan internet, informasi dan
pengetahuan semakin, cepat, mudah, dan murah. Situs kementerian terkait dengan kebijakan
pembangunan desa mudah diakses. Apalagi situs organisasi maupun perorangan
terkait pemberdayaan dan pendampingan desa. Bahkan pemerintah desa pun membuka
website yang menyajikan potensi, program dan prestasinya.
Sehubungan
dengan hal tersebut, alangkah baiknya bila pembelajaran tatap muka (luring)
dilengkapi dengan pembelajaran mandiri (daring). Sumber materi pembelajaran
analisis DD yang penulis jadikan rujukan utam adalah sebagai berikut:
Tabel
2: Sumber Rujukan Materi Pembelajaran Mandiri
Penutup
Pembelajaran
Analisis Dana Desa ini masih berupa eksplorasi gagasan berdasarkan referensi
dan pengalaman penulis. Materi pokok pembelajaran memungkinkan untuk
disesuaikan dengan kondisi peserta dan karakteristik desa. Namun, secara
metodologis, penulis telah menginisiasi peluang pembelajaran mandiri secara
daring untuk melengkapi keterbatasan pembelajaran tatap muka (luring) di masa
Pandemi Covid seperti saat ini.
Referensi:
[1] https://nasional.kompas.com/read/2021/03/22/18093371/icw-perangkat-desa-dominasi-terdakwa-kasus-korupsi-dana-desa-perlu-diawasi?page=all.
[2] https://www.desapedia.id/korupsi-anggaran-desa-paling-banyak-terjadi-di-semester-i-tahun-2020-ini-tanggapan-direktur-eksekutif-ibc/
[3] https://mediaindonesia.com/nusantara/372449/korupsi-dana-desa-di-sulawesi-selatan-rugikan-negara-rp45-m
[4]
Dalam Buku Petunjuk Pelaksanaan Bimbingan
& Konsultasi Keuangan Desa
[5] Majalah
Ilmiah Solusi Vol. 17, No. 2 April 2019
[6] Sistem Akuntansi Pengelolaan Dana Desa
dalam Jurnal Ekonomi dan Bisnis:
Volume 19 No. 2, Agustus 2016
[7]
Analisis Pengelolaan ADD di Desa Abbatireng Kecamatan Gilireng Kabupaten Wajo (A.
Siti Sri Hutami, 2017)
[8]https://kompak.or.id/storage/app/media/Publication/4_catatan_kebijakan/20200928_Buku%20Saku%20Transparansi%20dan%20Akuntabilitas%20Realisasi%20APB%20Desa_SUPER%20FINAL.pdf
[10] Ibid
LAN RI (2017)
[11] Pendampingan Pengelolaan Keuangan Desa Guna
Meningkatkan Akuntabilitas di Desa Mlandi Wonosobo dalam Jurnal Pangabdhi,
Volume 6 No. 2, Oktober 2020: http://journal.trunojoyo.ac.id/pangabdhi
[12]
Ibid Pratiwi (2020)
[14] Pengaruh Kompetensi, Akuntabilitas dan Peran
Pendamping terhadap Pengelolaan Dana Desa dalam JIMAT (Jurnal Ilmiah
Mahasiswa Akuntansi) Universitas Pendidikan Ganesha, Vol : 12 No : 01 Tahun
2021 e-ISSN: 2614 – 1930.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar