“Alhamdulillah, selama ada corona, laris jualanku, banyak yang beli jahe, sereh, temu lawak, kelapa muda, beras merah, gula merah, putu cangkiri, nasi kuning, madu, telur ayam, bebek, minyak gosok, dan kembang-kembang. Sebelum corona kurang-kurang pembeliku. Kenapa baru begitu, kenapa tunggu corona, padahal itu semua makanan sehat alami?”
Petikan paragraf di atas adalah ilustrasi, wawancara imajiner konsumen dengan pedagang pasar tradisional. Di sebuah warung kopi penulis “makkita”[2], ketika para peminum berbagi rasa, bertukar pengalaman. Mirip dengan petikan kalimat di atas, seringkali obrolan mereka diawali dengan ungkapan “alhamdulillah”, puji tuhan, seperti sedang mensyukuri nikmat hidup selamat dari bala. Ada orang yang senang sekali mengoleksi tanaman hias di teras rumah, memanfaatkan lahan kosong dengan berkebun, berternak. Ada orang baru merasakan manfaat bertani sawah di kampung halaman, daripada menganggur, ikut menanam padi di lahan mertua, sambil mengojek di waktu luang, sesekali jadi kuli bangunan. Ada lagi yang merasa beruntung, namanya masih terdaftar sebagai kelompok miskin-prasejahtera, punya BPJS, dapat bantuan sosial, juga dana UMKM dipakai ga’de-ga’de, jualan kue di lorong kampung kota. Satu hal yang bikin orang-orang itu kewalahan, mengurus anak sekolah, kencang main HP daripada belajar di medsos, kencang juga beli paket.
Mengapa para penyintas, orang-orang yang
selamat dari bencana (survivor) itu cenderung “back to nature and culture”? Menurut
para ahli, individu memiliki mekanisme penyesuaian psikologis untuk merespon tantangan
ekologis tertentu (Gangestad dkk, 2006:78-79).[3]
Gangestad meminjam istilah Tooby dan Comides (1992), "budaya yang
dibangkitkan" (evoked culture), merujuk pada fakta bahwa kondisi krisis, termasuk
dampak penyebaran patogen dan penyakit menular, yang melahirkan ragam perilaku
dan variasi budaya. Ringkas cerita, kebiasaan baru itu berkorelasi positif
dengan memori kolektif yang bersumber dari kearifan pengalaman lampau seperti
ungkapan dalam bahasa Bugis, “narekko pole sai’e atikeriwi nennia uraiwi
alemu”. Wasiat ini semakna dengan anjuran tentang pentingnya bersikap “wawas
diri”, menjaga omongan dan perbuatan, serta menjaga kesehatan tubuh dari
ancaman marabahaya. Dalam fikih pun terdapat kearifan, “menghindari bahaya
selalu lebih diutamakan daripada mencari maslahat.” Bahwa semua aktivitas dan
ibadah dilaksanakan dalam rangka menjaga diri, keturunan, harta, akal dan agama
(Maqashid al-Syari‘ah).[4]
Bagaimana budaya orang-orang itu
berevolusi, dan sintas? Menurut Richard Dawkins (2006:189-201),[5]
perubahan kebudayaan beranalogi dengan evolusi genetik pada makhluk hidup. Seperti
juga gen makhluk hidup (genemanship), manusia memiliki sifat-sifat (replikator)
yang diwariskan antar/lintas generasi, sehingga berdaya sintas. Dalam
kebudayaan dinamakan dengan istilah “meme” yang biasanya terdapat pada lagu, cerita
atau dongeng, ide, pepatah, budidaya, termasuk pengetahuan meracik tanaman
obat. Meme kebudayaan ini memperbanyak diri melalui proses transmisi, peniruan
(mimesis) atau pun imitasi. Dawkins (2006)[6]
menyebut meme yang paling bertahan adalah relijiusitas (ketuhanan) karena menarik
secara kebatinan, mampu menenangkan kegelisahan eksistensial manusia.
Suatu ironi, ketika budaya manusia
terpaksa berevolusi dalam konteks Revolusi Industri 4.0 agar bisa sintas (survive)[7]
seperti pengakuan buruh dan miskin kota:
“Kurasakan memang beratnya di-PHK, tapi
jadi ringan karena bantuan keluarga tidak kalah istimewa. Baru kusadari
hebatnya petani, tidak goyang diserang corona, dia tanam, jaga, tiga bulan panen,
sudah siap pembeli. Sisa uang dipakai beli HP baru. Kira-kira sama enaknya
dengan pegawai. Bedanya petani tidak dapat THR. Tapi kalo petani miskin, buruh
tani, ada juga tunjangannya, bansos”.
Buruh dan kaum miskin, secara historis merupakan
hasil evolusi budaya pasca reforma agraria. Dimulai dari berakhirnya supremasi politik
monarki-feodal, berpindah tangan ke sistim kolonial, yang kemudian memicu gerakan
kemerdekaan (demokrasi). Pasca revolusi nasional, berkembanglah land-reform, hingga
mencapai puncaknya dengan penetapan UUPA 5/1960. Kebijakan ini merupakan
kebajikan para pendiri bangsa, hasil konsensus nasional dari kekuatan
serikat-serikat tani dengan orsospol.[8]
Ringkas cerita pasca krisis politk 1965, pemerintah Orba mengembangkan sistem intensifikasi,
ekstensifikasi, dan mekanisasi pertanian untuk memacu produktivitas; Membangun infrastruktur
perkotaan, dan lapangan kerja baru bagi kaum urban, di antaranya adalah petani
miskin dan buruh tani.
Proses evolusi budaya kerja di perkotaan
mengubah ciri kelas petani dan buruh menjadi pekerja informal dan kaum miskin
kota (urban poor), lazim disebut ‘lumpen proletariat’. Dalam Buruh dan Petani:
Dari Kelas Pekerja Menjadi Konsumen (Marut, 2008)[9]
mengurai degradasi makna sosial-budaya kaum buruh dan petani bermula dari
peminggiran (eksklusi) mereka dari kepemilikan tanah – secara halus dan kasar melalui
mekanisasi dan komputerisasi, “free exit”, repatriasi tanpa tanggung jawab
sosial, serta “free labor market”. Eksklusi dan disposesi ini mengevolusi buruh
dan petani menjadi konsumen, pengguna akhir, yang tunduk pada hukum pasar.
Dalam tradisi perdagangan bebas, buruh dan petani bukan lagi dimaknai sebagai entitas
budaya[10],
pencipta nilai kerja, melainkan komoditi pasar kerja.
Secara politis, mereka dikelompokkan
dengan golongan intelektual-akitivis subaltern. Identitas subaltern dijabarkan
oleh Gramsci dalam diskursus hegemoni budaya, mengacu pada penduduk yang secara
sosial, politis, dan geografis berada di luar struktur kekuasaan hegemonik
koloni dan tanah air kolonial.[11]
Dalam Negara dan Hegemoni (2009), Gramsci menyebut sulbalternus adalah golongan
sosial yang terkucil dari kontestasi kelembagaan, tidak memiliki representasi politik
tetapi bersikap kritis terhadap kelompok hegemonik. Belakangan kelompok
esensialis di Amerika Serikat mengkaji gerakan sulbalternitas dari perspektif
budaya (etnografis), menganalisis kolonialisme dan nasionalisme sebagai
fenomena budaya.[12]
Evolusi petani menjadi pekerja dan
miskin kota merupakan keniscayaan zaman. Simulasi data Bappenas[13]
cukup mengkuatirkan, tidak ada lagi petani atau pekerja lahan pertanian pada
tahun 2063. Secara linear, penurunan jumlah pekerja sektor pertanian berbanding
lurus dengan lahan pertanian. Pada tahun 1976 proporsi pekerja sektor pertanian
mencapai 65,8%. Pada tahun 2019 turun signifikan, tersisa 28%. Pekerja sektor
pertanian beralih ke sektor lain. Misalnya, proporsi pekerja sektor jasa
sebesar 23,57% (1976) menjadi 48,91% (2019). Pada tahun 2013 luas lahan
pertanian sekitar 7,75 juta ha, tersisa 7,45 juta ha tahun 2019. Berbanding
terbalik dengan proporsi pekerja sektor industri, dari 8,86% (1976) menjadi
22,45% (2019).
Penduduk perkotaan akan semakin padat. Sebelum
pandemi hingga Maret 2020, BPS[14]
mendata jumlah penduduk perkotaan sebesar 56,7%, mencapai 160 juta jiwa. Dalam
persentase itu, orang miskin perkotaan sebesar 7,88% atau 12,04 juta jiwa (September
2020), dan periode yang sama, penduduk miskin perdesaan sebesar 15,51 jiwa.
Dengan tingginya tingkat kematian di perkotaan, dan terjadinya arus balik buruh
dan miskin kota “pulang kampung” bercocok tanam atau beralih profesi, proporsi
penduduk kota-desa berubah. Misalnya, rilis Kemenakertrans (12 Mei 2020)[15],
jumlah tenaga kerja yang dirumahkan dan terkena PHK mencapai 1.722.958 orang, sebanyak
1.032.960 pekerja formal yang dirumahkan, dan 375.165 kena PHK. Sementara jumlah
tenaga kerja sektor pertanian meningkat dari 27,53% (2019) menjadi 29,76%
(2020)[16].
Akibat PHK, banyak pekerja kembali ke desa.
Sektor ekonomi pertanian, kehutanan dan
perikanan menjadi katup pengaman di masa krisis. Ada kenaikan 1,75% dibanding
sektor riil dan jasa perdagangan. Dapat dikatakan bahwa tradisi agraria
merupakan sub-alternatif dari sejumlah alternatif bagi buruh dan miskin kota. Meski
demikian, tingkat pendapatan mereka tidak otomatis membahagiakan. Upah nominal pekerja/buruh
tani secara nasional lebih rendah dari tahun 2020, sebesar Rp 52.338 per-hari.[17]
Seperti apa entitas budaya kaum buruh
dan miskin kota pasca pandemi? Seperti pada ilustrasi dan narasi di warung kopi, mereka adalah mayoritas penerima bantuan sosial pemerintah, dan
penerima sedekah dari orang-orang kaya. Dalam situasi pandemi (bencana) tidak
ada lagi kesadaran kelas. Setiap orang adalah penyintas, orang-orang yang
selamat, atau menyelamatkan diri dari krisis (bencana).
Sebagai penutup, sepantasnya kita merenungkan
kata-kata Arundhati Roy,[18]
novelis India bahwa pandemi ibarat portal, yang memaksa manusia untuk melewatinya
dengan selamat, melepaskan diri dari masa lalu, membayangkan kembali masa depan
yang lebih baik.
[1]
Pengasuh institutrumahkampungkota.blogspot.com, alumni FS-UH.
[2]
Istilah makkita digunakan oleh To
Cerekang di Malili untuk menggambarkan proses “melihat, mendengar, dan
mengalami”dengan indera pakkita.
[3] Evolutionary Foundations of Cultural
Variation: Evoked Culture and Mate Preferences terdapat link https://www.researchgate.net/publication/242665531
[4] Syahrullah
Iskandar , Fikih Pandemi: Beribadah di
Tengah Wabah (2020:4-5).
[5]
Dalam Selfish Gene (2006), Oxford
University Press.
[6] Dalam
Murtiningsih, New Normal: Disrupsi
Peradaban dan Perubahan Kebudayaan Pascapandemi Covid 19 (2020:51-56). Seseorang
dikatakan gagal sintas apabila dia kehilangan kemampuan mengadaptasi perubahan.
Ada semacam proses “survival of the
fittest”, manusia terancam oleh “hukum sintasan tersesuai”, yang membuatnya
tidak selamat (survive) karena gagal menyesuaikan diri (fit) dengan perubahan.
[7] Ibid
Murtiningsih (2020)
[8] Noer
Fauzie memaparkan proses kelahiran UUPA 5/1960, peranan serikat-serikat tani
berbasis partai politik, serta realisasi kebijakan land-reform hingga tahun
1968 dalam Petani dan Penguasa: Dinamika
Perjalanan Politik Agraria Indonesia (1999:131-146).
[9] Don
K. Marut, Catatan untuk diskusi “Buruh
dan Free Labour Market”, Hari Buruh Internasional 1 Mei 2008.
[10]
M. Nawir dalam Perikanan dan Perikiri?:
Kumpulan Catatan Lapangan Budidaya Tambak di Sulawesi Selatan (2020:iv-v),
sebagaimana asal katanya, budaya (agraria), bertani atau bercocok tanam
merupakan manifestasi dari akal-budi dan ritus, penanda awal dari peradaban
manusia.
[12] David
Ludden, Introduction: A Brief History of
Subalternity (2002:1-27) mereview studi gerakan subalternitas dalam konteks
India, yang dipelopori oleh intelektual/akademisi di Inggris tahun 1970an.
Menurut kelompok studi ini, subaltern dipahami sebagai perlawanan terhadap liberalisme,
marxisme, dan "fasisme agama".
[13] https://money.kompas.com/read/2021/03/23/190000426/bappenas-tak-ada-lagi-profesi-petani-pada-2063.
[14] https://www.bps.go.id/statictable/2014/02/18/1276/persentase-penduduk-daerah-perkotaan-hasil-proyeksi-penduduk-menurut-provinsi-2015---2035.html
[15] https://money.kompas.com/read/2020/05/12/220000926/kemenaker-pekerja-yang-di-phk-dan-dirumahkan-capai-17-juta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar