19 Jul 2021

Wawas Diri di Masa Pandemi

Idham Malik (Subaltern, 2021)

Prolog oleh Awi MN

 Pandemi bukan penghalang untuk menulis karena imajinasi tidak bisa dikurung (SDD, Juli 2020)[1]

Sewaktu Idham menulis kumpulan tulisan ini antara April – Juni 2020, situasi lengang di jalan raya, fasilitas umum, perkantoran, pusat perbelanjaan, bandara. Statistik infeksi corona di dunia yang dia tulis masih berkisar 730.000 kasus, dan sekitar 34.000 kematian. Pada periode yang sama di Indonesia masih 6.000 kasus corona dengan kematian di atas 500 orang. Pada saat pengantar tulisan ini diketik, PPKM darurat sedang diberlakukan. Sebanyak 223 negara terpapar corona, 191.773.590 terkonfirmasi, serta 4.127.963 orang tewas. Di Indonesia sebanyak 3.033.339 orang terpapar corona, dan 79.032 meninggal.[1] Dalam tempo setahun saja (Maret 2020 – Pebruari 2021), rata-rata kasus kematian di Indonesia atau ekses mortalitas pandemi corona adalah 2,1%, yakni 36.325 per-1.75 juta[2]. Persentase kematian ini bertambah sejak Maret-April 2021 seiring dengan varian baru corona dan arus mudik, menjadi 2,71%, lebih tinggi dari persentase kematian dunia 2,22%.[3]
Pandemi Covid 19 adalah bencana non-alam, yang membedakannya dengan bencana alam dan bencana sosial. Pengertian bencana non-alam dalam Undang-Undang RI Nomor 24 Tahun 2007 adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa antara lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit. Pengertian ini tercakup dalam rumusan Leslie (1996:6-13)[4] yang membagi tiga kategori risiko dari ancaman oleh krisis (risk of extinction): (1) Risiko yang dikenali oleh manusia seperti perang nuklir, perang biologis, terorisme, keracunan akibat polusi, dan penyebaran penyakit; (2) Risiko yang tidak disadari, yakni bencana alam dan bencana akibat kelakuan manusia; (3) Risiko akibat doktrin filosofis (risk from philosophy), termasuk dalam pengertian ini sikap fatalistik dalam beragama.
Pandemi menjadi krisis kemanusiaan, ketika wabah penyakit yang disebabkan oleh virus corona menimbulkan kebangkrutan, kesakitan dan kematian umat di seluruh dunia. Secara bersamaan, pengatahuan gagal atau pun manusia belum mampu menyelamatkan dirinya dari pewabahan varian virus corona. Sehingga pandemi ini akan memperparah situasi kemanusiaan yang dialami masyarakat, yakni kelompok yang rentan secara usia dan status kesehatan, berada di bawah garis kemiskinan, konflik politik, perubahan iklim, dan rawan pangan. Pada gilirannya, pandemi berpotensi menciptakan krisis politik kebangsaan.
Krisis pengetahuan dan persoalan kebangsaan merupakan topik yang ingin dibagi oleh Idham dalam kumpulan tulisan ini. Pembaca diajak untuk menggali kembali memori kolektif tentang sejarah dan pengetahuan masyarakat lampau ketika menghadapi krisis; mengaktualkan kembali pikiran-pikiran kritis terhadap pembangunan dan sains. Dan, secara tersirat, Idham mengajak pembaca untuk merevitalisasi pendekatan budaya ekologis sebagai metode kritik atas politik pembangunan global.
Pandemi sebagai Otokritik
Sebuah tulisan Kartodiharjo (2020)[5] mengulas tentang perlunya otokritik bagi para ilmuan dan perguruan tinggi. Bertolak dari konsep hegemoni Gramsci bahwa kekuasaan akan memanipulasi ilmu pengetahuan dalam penentuan kebijakan publik. Pada gilirannya institusi yang terhegemoni akan menghasilkan ideologi sesuai kehendak kekuasaan hegemonik. Kritik ini sebenarnya sudah digaungkan oleh intelektual-aktivis lingkungan (eco-socialist) sejak dekade pembangunan berkelanjutan. Salah satunya, Vandana Shiva (1988).
Dalam Science, Hegemony and Violence: A Requiem for Modernity[6], Shiva berargumen bahwa hegemoni kekuasaan atas pembangunan dan sains modern telah menimbulkan krisis ekologi. Sifat reduksionis dari sains menopang struktur ekonomi yang eksploitatif, maksimalisasi keuntungan, dan akumulasi modal. Ilmu reduksionis memerlukan transformasi alam sedemikian rupa sehingga proses, keteraturan, dan kapasitas regeneratif alam dihancurkan. Sejalan dengan pandangan ini sejumlah kritikus bioteknologi dan perubahan iklim yang dirujuk Idham antara lain Rob Wallace (2020), Slavoj Zizek (2020), Arne Naess (2000), Mae Wan Ho (1998), hingga Manasobu Fukuoka (1978) dan Rachel Carson (1962), mengindikasikan adanya “arus balik” gerakan eco-socialist[7]. Idham pun terpapar oleh “virus’ pemikiran mereka, dan cenderung meyakini bahwa pandemi merupakan residu dari kemajuan sains yang tercemar kapitalisme.
Rob Wallace, ahli biologi sosialis dalam suatu wawancara dengan Marx21 (11/03/2020)[8] menjelaskan hubungan erat antara virus baru dengan produk industri makanan, dan profitabilitas perusahaan multinasional. Menurut Wallace, hampir keseluruhan proyek neoliberal diorganisir untuk mendukung perusahaan bioteknologi-farmasi yang berbasis di negara industri. Selain mempelopori penguasaan lahan petani (peternak) kecil, juga deforestasi. Keragaman hayati dan kompleksitas fungsional bidang-bidang tanah disederhanakan, tereduksi sedemikian rupa sehingga patogen yang sebelumnya terkotak-kotak menyebar ke ternak lokal dan komunitas manusia. Akibatnya, banyak patogen baru yang sebelumnya dikendalikan oleh ekosistem hutan sekian lama berevolusi secara bebas menjadi ancaman bagi umat manusia.
Sebelum pandemi, pemikiran “eko-sosialis” tidak banyak berpengaruh terhadap kebijakan pembangunan lingkungan global, bahkan dianggap “gerundelan”[9] saja. Misalnya di RRC, Pan Yue, mantan Wakil Direktur Administrasi Perlindungan Lingkungan dalam sebuah wawancara dengan China Dialogue (27/10/2006)[10] sepakat bahwa sumber dari krisis lingkungan global adalah kapitalisme. Sebagai pendukung ekologi sosialis, Yue mempercayai teori ini menjadi referensi politik ilmiah dalam pembangunan berkelanjutan. Pendekatannya menawarkan "dasar teoretis untuk pembentukan aturan internasional yang adil." Namun, menurut Yue pendekatan eko-sosialis “terlalu idealis" dan kurang memiliki cara memecahkan masalah aktual.
Berbeda dengan pengalaman Jerman, pemikiran ekologi sosialis cukup berpengaruh pada level kebijakan nasional. Dalam artikel Simonis (2020)[11], Ecological Turn-around: Trends and Perspectives. Simonis mencatat adanya upaya membangun “kontrak sosial” dengan masyarakat sipil yang diinisiasi oleh Dewan Penasihat Jerman tentang Perubahan Global, yaitu transformasi kebijakan ke teknologi yang ramah lingkungan, dan pemanfataan energi terbarukan. Berdasarkan Resolusi 2011, pemerintah dan parlemen Jerman menghapuskan tenaga nuklir pada tahun 2022; Resolusi 2019 akan menghapuskan penggunaan batubara pada tahun 2038. Kebijakan ini sejalan dengan perubahan visi politik hijau (green politics) dan kaum sosialis-demokrat (sosdem) Jerman dalam mengimbangi tekanan neoliberalisme di tengah merosotnya nilai-nilai dasar sosialisme, yakni kesejahteraan, kebebasan dan kesetaraan.[12]
Perlu digarisbawahi bahwa pemikiran ekologi-sosial agak berbeda dengan pendekatan Deep Ecology sebagaimana dimaksud Arne Naess, filosof Norwegia. Menurut Naess (1973) dalam Rothenberg (2012),[13] falsafah “deep ecology” merujuk pada keyakinan bahwa diperlukan perubahan mendasar pada cara pandang manusia terhadap hubungannya dengan alam dalam menemukan jalan keluar dari krisis ekologi. Falsafah ini dianggap tidak progresif, terkesan tidak cermat mengkritisi struktur sosial dan budaya yang tidak setara. Dalam hal ini Idham menstir pemikiran “ekologi dalam” sebagai cara radikal – untuk tidak mengatakan fundamentalis – dalam mengoreksi kelemahan sains, yang abai pada makna moral-spiritual.
Arus Balik Budaya Ekologis
Bagi penulis, menguatnya pemikiran ekologi-sosial dan budaya di masa pandemi ini dapat dipahami sebagai otokritik terhadap arus-utama politik ekologi dan kebijakan pembangunan berkelanjutan. Dalam konteks pandemi global, klaim ekologi “kiri-kanan” atau “di depan”[14] dengan sendirinya akan lebur dalam situasi darurat bencana. Diperlukan sikap “wawas diri”[15], menyadari bahwa rezimentasi pembangunan negara-negara industri di Amerika Serikat, Eropa maupun Asia telah sekian lama berkontribusi besar dalam menciptakan bencana ekologis, yang memicu pewabahan virus corona. Sehingga, suatu keharusan manusia modern berkaca kembali pada pendekatan kebudayaan dalam mengatasi tantangan dan krisis ekologi.
Merujuk pada perspektif “ecological turn around” (Simonis, 2020), penulis memadankan istilah ini sebagai “arus balik” gerakan ekologi dan keadilan sosial di masa Pandemi. Krisis Corona dapat menjadi landasan kritik-otokritik terhadap pembangunan berkelanjutan, 28 tahun pasca KTT Rio bahwa tidak ada otonomi dalam sistem ekonomi masyarakat modern, tetapi merupakan bagian dari ekosistem bumi. Menariknya lagi kecenderungan arus balik gerakan ekologi sosial digunakan oleh akademisi muda di Universitas Bologna dalam suatu konferensi internasional bertajuk The Ecological Turn: “Design, architecture, and aesthetic beyond anthropocene” (2021).[16]
Istilah budaya ekologis merujuk pada praktik pengetahuan masyarakat tradisional, yang menjadikan prinsip konservasi, hidup selaras alam, kesetaraan, dan keseimbangan ekosistem sebagai keyakinan. Nilai budaya ekologis ini masih faktual dan aktual di Indonesia sebagai sumber pembelajaran. Pelajaran berharga yang dapat dipetik, misalnya konsepsi mitos sebagai satu kesatuan dengan praktik konservasi. Mitos adalah sumber pengetahuan pertama dan utama bahwa melestarikan dan melindungi ekologi hutan dan sungai merupakan perwujudan kepercayaan pada mitos. Sebaliknya, melembagakan pengetahuan tentang mitos (mitologi) diterima oleh generasi masa kini sebagai “perintah kebudayaan”[17] untuk diwariskan antar dan lintas generasi melalui cerita (pappaseng), pantangan (pammali), dan pranata adat. Sedemikian sederhana, sehingga ekologi masyarakat adat relatif terjaga dan terhindar dari malapetaka.
Suatu ironi, masyarakat modern justru rentan mengalami kompleksitas kejadian bencana ekologis dan pewabahan penyakit menular. Padahal mereka memiliki segalanya, ilmu pengetahuan dan teknologi, institusi pengambilan keputusan, ditopang dengan sistem informasi, koordinasi, dan manajemen sumber daya yang canggih. Jared Diamond dalam Collapse (2005:420-422) mengganggap masyarakat modern itu sesungguhnya orang-orang naïf (bodoh) hanya karena gagal mengambil keputusan yang tepat dan bertindak secara kolekitf terhadap situasi yang mengancam eksistensinya sendiri. Mereka gagal mengantisipasi suatu masalah; gagal untuk memahaminya; memahami masalah tetapi tidak berupaya serius untuk menyelesaikannya; menutup diri terhadap konsekuensi dari perbuatannya, sehingga menghambat transformasi dan mempercepat keruntuhan. Dengan kata lain masyarakat itu sendiri yang menciptakan kejadian bencana atau pandemi.
Christos Lynteris (2020:4)[18] merujuk pada Leslie (1996) merumuskan tiga peristiwa non-alam yang menjadi ancaman eksistensial terhadap kemanusiaan (human extinction), yaitu; (1) agresi seperti perang; (2) dampak lingkungan sepeti perubahan iklim; (3) resistensi antimikroba, termasuk kemajuan teknologi rekayasa genetika, digitalisasi, dan nanoteknologi. Semua risiko eksistensial ini saling terkait melalui perkembangan teknologi yang menghasilkan atau memproyeksikan peristiwa “kepunahan” manusia itu sendiri. Lynteris menggunakan istilah “pandemic imaginary’, semacam bayangan masa lalu di masa kini tentang pandemi sebagai bayangan masa depan yang kemungkinan terjadi lagi.
Dari perspektif kebencanaan, pandemi atau bencana non-alam sebagaimana bencana lainnya adalah niscaya dalam kehidupan manusia. Para penyintas lazim menyebut istilah “living harmony with natural disaster” untuk menegaskan bahwa manusia hanya mampu mengurangi risiko dari kerusakan atau kerugian yang ditimbulkan bencana. Demikian halnya corona, sejenis virus influenza yang bernyawa, “sesama makhluk Tuhan”, hidup berdampingan dengan manusia. Oleh karena itu, manusia hanya berupaya untuk “survive” (sintas) dengan mengembangkan ilmu dan teknologi sebagai senjata untuk “bertempur” mengatasi pewabahan, tetapi tidak akan menghilangkan mikroba penyebabnya.
Nampaknya aktualisasi pemikiran ekologi sosial sebagai kritik ideologi pembangunan global di satu sisi, dan revitalisasi budaya ekologis di lain sisi, menjadi semakin diperlukan bagi masa depan kemanusiaan. Bukan semata menggerutu atau pun resisten terhadap kemajuan sains dan teknologi modern, lebih tepatnya otokritik terhadap sifat dasar manusia yang konsumtif (boros), antropogenik, mudah alpa dan tidak wawas diri.
Makassar, 19 Juli 2021

[4] John Leslie, The End of the World: the science and ethics of human extinction

[7] Rudolf Bahro, salah seorang pencetus “ekologi sosialis” yang memperkaya perspektif Marxian “tanpa kelas sosial”. Meskipun dikritik sebagai revisionis, pemikiran Bahro menginspirasi gerakan anti-globalisasi dan munculnya “manifesto eco-socialist” pada dekade 1990-an. Masa dimana negara-negara dunia merancang visi pembangunan berkelanjutan dalam KTT Rio de Janeiro.

[9] Bentuk tidak baku dari kata “gerutu” (KBBI)

[12] M. Nawir dalam https://rumahkampungkota.blogspot.com/2011/03/catatan-dari-konferensi-jaringan-sosial.html. Lihat juga beberapa publikasi Frederich Ebert Stiftung (FES) antara lain buku Melindungi Negara dari Ancaman Neoliberal (Erdhard Eppler, 2009); Kapitalisme yang Layak: Suatu Cetak Biru Reformasi Ekonomi Kita (Sebastian Dullien dkk, 2013).

[14] Joel Kovel, salah seorang pencetus “manifesto eco-sosialisme” menggunakan istilah ini untuk membedakannya dengan pendekatan deep ecology. Ahli ekologi dalam melihat hirarki "dalam dirinya sendiri" sebagai penyebab bencana ekologis, sedangkan eko-sosialis fokus pada dominasi kelas yang terkandung dalam kapitalisme.

[15] Bentuk baku dari istilah “mawas diri” (KBBI).

[17] Pandangan determinisme kebudayaan i Richard D. Lewis dalam Cultural Imperatives: A Global Trends in the 21st Century (2003) bahwa budaya suatu bangsa bersifat bawaan alamiah (“cetak biru”) untuk bertahan hidup dan maju, mencakup pola pandangan hidup, sistim nilai, tatanan sosial dan agenda masa depan yang diwariskan antargenerasi (M. Nawir dalam Buku Seri 2: Pengalaman Partisipasi Masyarakat, Litbang PUPR Sulsel dan Arkom Makassar 2019)

[18] Christos Lynteris, Human Extinction and the Pandemic Imaginary.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar