|
Idham Malik (Subaltern, 2021) |
|
|
Prolog oleh Awi MN
Pandemi bukan penghalang untuk menulis karena
imajinasi tidak bisa dikurung
Sewaktu
Idham menulis kumpulan tulisan ini antara April – Juni 2020, situasi lengang di
jalan raya, fasilitas umum, perkantoran, pusat perbelanjaan, bandara. Statistik
infeksi corona di dunia yang dia tulis masih berkisar 730.000 kasus, dan
sekitar 34.000 kematian. Pada periode yang sama di Indonesia masih 6.000
kasus corona dengan kematian di atas 500 orang. Pada saat pengantar tulisan ini
diketik, PPKM darurat sedang diberlakukan. Sebanyak 223 negara terpapar corona,
191.773.590 terkonfirmasi, serta 4.127.963 orang tewas. Di Indonesia sebanyak 3.033.339
orang terpapar corona, dan 79.032 meninggal.
Dalam tempo setahun saja (Maret 2020 – Pebruari 2021), rata-rata kasus kematian
di Indonesia atau ekses mortalitas pandemi corona adalah 2,1%, yakni 36.325
per-1.75 juta.
Persentase kematian ini bertambah sejak Maret-April 2021 seiring dengan varian
baru corona dan arus mudik, menjadi 2,71%, lebih tinggi dari persentase
kematian dunia 2,22%. Pandemi Covid 19
adalah bencana non-alam, yang membedakannya dengan bencana alam dan bencana
sosial. Pengertian bencana non-alam dalam Undang-Undang RI Nomor 24 Tahun 2007 adalah
bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa antara lain
berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit. Pengertian
ini tercakup dalam rumusan Leslie (1996:6-13) yang
membagi tiga kategori risiko dari ancaman oleh krisis (risk of extinction): (1) Risiko yang dikenali oleh manusia seperti
perang nuklir, perang biologis, terorisme, keracunan akibat polusi, dan
penyebaran penyakit; (2) Risiko yang tidak disadari, yakni bencana alam dan
bencana akibat kelakuan manusia; (3) Risiko akibat doktrin filosofis (risk from philosophy), termasuk dalam
pengertian ini sikap fatalistik dalam beragama. Pandemi
menjadi krisis kemanusiaan, ketika wabah penyakit yang disebabkan oleh virus
corona menimbulkan kebangkrutan, kesakitan dan kematian umat di seluruh dunia.
Secara bersamaan, pengatahuan gagal atau pun manusia belum mampu menyelamatkan
dirinya dari pewabahan varian virus corona. Sehingga pandemi ini akan
memperparah situasi kemanusiaan yang dialami masyarakat, yakni kelompok yang
rentan secara usia dan status kesehatan, berada di bawah garis kemiskinan,
konflik politik, perubahan iklim, dan rawan pangan. Pada gilirannya, pandemi
berpotensi menciptakan krisis politik kebangsaan.
Krisis
pengetahuan dan persoalan kebangsaan merupakan topik yang ingin dibagi oleh
Idham dalam kumpulan tulisan ini. Pembaca diajak untuk menggali kembali memori
kolektif tentang sejarah dan pengetahuan masyarakat lampau ketika menghadapi
krisis; mengaktualkan kembali pikiran-pikiran kritis terhadap pembangunan dan
sains. Dan, secara tersirat, Idham mengajak pembaca untuk merevitalisasi
pendekatan budaya ekologis sebagai metode kritik atas politik pembangunan
global.
Pandemi sebagai Otokritik
Sebuah
tulisan Kartodiharjo (2020)
mengulas tentang perlunya otokritik bagi para ilmuan dan perguruan tinggi. Bertolak
dari konsep hegemoni Gramsci bahwa kekuasaan akan memanipulasi ilmu pengetahuan
dalam penentuan kebijakan publik. Pada gilirannya institusi yang terhegemoni
akan menghasilkan ideologi sesuai kehendak kekuasaan hegemonik. Kritik ini
sebenarnya sudah digaungkan oleh intelektual-aktivis lingkungan (eco-socialist) sejak dekade
pembangunan berkelanjutan. Salah satunya, Vandana Shiva (1988). Dalam Science, Hegemony and Violence: A Requiem
for Modernity,
Shiva berargumen bahwa hegemoni kekuasaan atas pembangunan dan sains modern
telah menimbulkan krisis ekologi. Sifat reduksionis dari sains menopang
struktur ekonomi yang eksploitatif, maksimalisasi keuntungan, dan akumulasi
modal. Ilmu reduksionis memerlukan transformasi alam sedemikian rupa sehingga
proses, keteraturan, dan kapasitas regeneratif alam dihancurkan. Sejalan dengan
pandangan ini sejumlah kritikus bioteknologi dan perubahan iklim yang dirujuk
Idham antara lain Rob Wallace (2020), Slavoj Zizek (2020), Arne Naess (2000),
Mae Wan Ho
(1998), hingga Manasobu Fukuoka (1978) dan Rachel Carson (1962), mengindikasikan
adanya “arus balik” gerakan eco-socialist.
Idham pun terpapar oleh “virus’ pemikiran mereka, dan cenderung meyakini bahwa
pandemi merupakan residu dari kemajuan sains yang tercemar kapitalisme. Rob
Wallace, ahli biologi sosialis dalam suatu wawancara dengan Marx21 (11/03/2020) menjelaskan
hubungan erat antara virus baru dengan produk industri makanan, dan
profitabilitas perusahaan multinasional. Menurut Wallace, hampir keseluruhan
proyek neoliberal diorganisir untuk mendukung perusahaan bioteknologi-farmasi
yang berbasis di negara industri. Selain mempelopori penguasaan lahan
petani (peternak) kecil, juga deforestasi. Keragaman hayati dan kompleksitas
fungsional bidang-bidang tanah disederhanakan, tereduksi sedemikian rupa
sehingga patogen yang sebelumnya terkotak-kotak menyebar ke ternak lokal dan
komunitas manusia. Akibatnya, banyak patogen baru yang sebelumnya dikendalikan
oleh ekosistem hutan sekian lama berevolusi secara bebas menjadi ancaman bagi
umat manusia. Sebelum
pandemi, pemikiran “eko-sosialis” tidak banyak berpengaruh terhadap kebijakan
pembangunan lingkungan global, bahkan dianggap “gerundelan”
saja. Misalnya di RRC, Pan Yue, mantan Wakil Direktur Administrasi Perlindungan
Lingkungan dalam sebuah wawancara dengan China
Dialogue (27/10/2006)
sepakat bahwa sumber dari krisis lingkungan global adalah kapitalisme. Sebagai
pendukung ekologi sosialis, Yue mempercayai teori ini menjadi referensi politik
ilmiah dalam pembangunan berkelanjutan. Pendekatannya menawarkan "dasar
teoretis untuk pembentukan aturan internasional yang adil." Namun, menurut
Yue pendekatan eko-sosialis “terlalu idealis" dan kurang memiliki cara
memecahkan masalah aktual. Berbeda
dengan pengalaman Jerman, pemikiran ekologi sosialis cukup berpengaruh pada
level kebijakan nasional. Dalam artikel Simonis (2020), Ecological Turn-around: Trends and
Perspectives. Simonis mencatat adanya upaya membangun “kontrak sosial”
dengan masyarakat sipil yang diinisiasi oleh Dewan Penasihat Jerman tentang
Perubahan Global, yaitu transformasi kebijakan ke teknologi yang ramah
lingkungan, dan pemanfataan energi terbarukan. Berdasarkan Resolusi 2011,
pemerintah dan parlemen Jerman menghapuskan tenaga nuklir pada tahun 2022; Resolusi
2019 akan menghapuskan penggunaan batubara pada tahun 2038. Kebijakan ini
sejalan dengan perubahan visi politik hijau (green politics) dan kaum sosialis-demokrat (sosdem) Jerman dalam
mengimbangi tekanan neoliberalisme di tengah merosotnya nilai-nilai dasar
sosialisme, yakni kesejahteraan, kebebasan dan kesetaraan. Perlu
digarisbawahi bahwa pemikiran ekologi-sosial agak berbeda dengan pendekatan Deep Ecology sebagaimana dimaksud Arne
Naess, filosof Norwegia. Menurut Naess (1973) dalam Rothenberg (2012), falsafah
“deep ecology” merujuk pada keyakinan bahwa diperlukan perubahan mendasar pada
cara pandang manusia terhadap hubungannya dengan alam dalam menemukan jalan
keluar dari krisis ekologi. Falsafah ini dianggap tidak progresif, terkesan
tidak cermat mengkritisi struktur sosial dan budaya yang tidak setara. Dalam
hal ini Idham menstir pemikiran “ekologi dalam” sebagai cara radikal – untuk
tidak mengatakan fundamentalis – dalam mengoreksi kelemahan sains, yang abai
pada makna moral-spiritual. Arus Balik Budaya Ekologis
Bagi penulis, menguatnya pemikiran
ekologi-sosial dan budaya di masa pandemi ini dapat dipahami sebagai otokritik
terhadap arus-utama politik ekologi dan kebijakan pembangunan berkelanjutan.
Dalam konteks pandemi global, klaim ekologi “kiri-kanan” atau “di depan”
dengan sendirinya akan lebur dalam situasi darurat bencana. Diperlukan sikap
“wawas diri”,
menyadari bahwa rezimentasi pembangunan negara-negara industri di Amerika
Serikat, Eropa maupun Asia telah sekian lama berkontribusi besar dalam
menciptakan bencana ekologis, yang memicu pewabahan virus corona. Sehingga,
suatu keharusan manusia modern berkaca kembali pada pendekatan kebudayaan dalam
mengatasi tantangan dan krisis ekologi. Merujuk pada perspektif “ecological turn
around” (Simonis, 2020), penulis memadankan istilah ini sebagai “arus balik”
gerakan ekologi dan keadilan sosial di masa Pandemi. Krisis Corona dapat
menjadi landasan kritik-otokritik terhadap pembangunan berkelanjutan, 28 tahun
pasca KTT Rio bahwa tidak ada otonomi dalam sistem ekonomi masyarakat modern,
tetapi merupakan bagian dari ekosistem bumi. Menariknya lagi kecenderungan arus
balik gerakan ekologi sosial digunakan oleh akademisi muda di Universitas
Bologna dalam suatu konferensi internasional bertajuk The Ecological Turn: “Design, architecture, and aesthetic beyond
anthropocene” (2021). Istilah budaya ekologis merujuk pada
praktik pengetahuan masyarakat tradisional, yang menjadikan prinsip konservasi,
hidup selaras alam, kesetaraan, dan keseimbangan ekosistem sebagai keyakinan. Nilai
budaya ekologis ini masih faktual dan aktual di Indonesia sebagai sumber
pembelajaran. Pelajaran berharga yang dapat dipetik, misalnya konsepsi mitos
sebagai satu kesatuan dengan praktik konservasi. Mitos adalah sumber
pengetahuan pertama dan utama bahwa melestarikan dan melindungi ekologi hutan
dan sungai merupakan perwujudan kepercayaan pada mitos. Sebaliknya,
melembagakan pengetahuan tentang mitos (mitologi) diterima oleh generasi masa
kini sebagai “perintah kebudayaan”
untuk diwariskan antar dan lintas generasi melalui cerita (pappaseng), pantangan (pammali),
dan pranata adat. Sedemikian sederhana, sehingga ekologi masyarakat adat
relatif terjaga dan terhindar dari malapetaka. Suatu ironi, masyarakat modern justru
rentan mengalami kompleksitas kejadian bencana ekologis dan pewabahan penyakit
menular. Padahal mereka memiliki segalanya, ilmu pengetahuan dan teknologi, institusi
pengambilan keputusan, ditopang dengan sistem informasi, koordinasi, dan manajemen
sumber daya yang canggih. Jared Diamond dalam Collapse (2005:420-422) mengganggap masyarakat modern itu
sesungguhnya orang-orang naïf (bodoh) hanya karena gagal mengambil keputusan
yang tepat dan bertindak secara kolekitf terhadap situasi yang mengancam
eksistensinya sendiri. Mereka gagal mengantisipasi suatu masalah; gagal untuk
memahaminya; memahami masalah tetapi tidak berupaya serius untuk menyelesaikannya;
menutup diri terhadap konsekuensi dari perbuatannya, sehingga menghambat
transformasi dan mempercepat keruntuhan. Dengan kata lain masyarakat itu
sendiri yang menciptakan kejadian bencana atau pandemi.
Christos Lynteris (2020:4)
merujuk pada Leslie (1996) merumuskan tiga peristiwa non-alam yang menjadi
ancaman eksistensial terhadap kemanusiaan (human
extinction), yaitu; (1) agresi seperti perang; (2) dampak lingkungan sepeti
perubahan iklim; (3) resistensi antimikroba, termasuk kemajuan teknologi
rekayasa genetika, digitalisasi, dan nanoteknologi. Semua risiko eksistensial ini
saling terkait melalui perkembangan teknologi yang menghasilkan atau memproyeksikan
peristiwa “kepunahan” manusia itu sendiri. Lynteris menggunakan istilah “pandemic
imaginary’, semacam bayangan masa lalu di masa kini tentang pandemi sebagai
bayangan masa depan yang kemungkinan terjadi lagi. Dari perspektif kebencanaan, pandemi
atau bencana non-alam sebagaimana bencana lainnya adalah niscaya dalam
kehidupan manusia. Para penyintas lazim menyebut istilah “living harmony with
natural disaster” untuk menegaskan bahwa manusia hanya mampu mengurangi risiko dari kerusakan atau kerugian yang ditimbulkan bencana. Demikian halnya corona,
sejenis virus influenza yang bernyawa, “sesama makhluk Tuhan”, hidup
berdampingan dengan manusia. Oleh karena itu, manusia hanya berupaya untuk
“survive” (sintas) dengan mengembangkan ilmu dan teknologi sebagai senjata
untuk “bertempur” mengatasi pewabahan, tetapi tidak akan menghilangkan mikroba
penyebabnya.
Nampaknya aktualisasi pemikiran
ekologi sosial sebagai kritik ideologi pembangunan global di satu sisi, dan revitalisasi
budaya ekologis di lain sisi, menjadi semakin diperlukan bagi masa depan
kemanusiaan. Bukan semata menggerutu atau pun resisten terhadap kemajuan sains
dan teknologi modern, lebih tepatnya otokritik terhadap sifat dasar manusia
yang konsumtif (boros), antropogenik, mudah alpa dan tidak wawas diri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar