18 Mar 2011

Catatan dari Konferensi Jaringan Sosial Demokrasi Asia Ke-3


M. Nawir
J
akarta – Indonesia, 20 – 22 Oktober 2010 menjadi tuan rumah Konferensi Jaringan Sosial Demokrasi (Sosdem) Asia yang ketiga – The 3rd Asian Social Democracy Network Conference. Dihadiri 52 partisipan yang terdiri dari aktivis partai politik Sosdem dan aktivis gerakan sosial dari 10 negara Asia (Indonesia, Timor Leste, Malaysia, Filipina, Kamboja, Vietnam, Korea Selatan, India, Nepal, Mongolia), dan 2 dari Eropa (Jerman, Swedia). Konferensi ini diselenggarakan oleh Network on Social Democracy in Asia (NSDA), Institute for Welfare Democracy (IWD), Frederich Ebert Stiftung (FES) dan Olof Palme International Center (OPIC).
Wacana yang mengemuka adalah meretas jalan yang menghubungkan kepentingan rakyat dalam konteks pertentangan Sosialisme dan Demokrasi Liberal di Asia maupun Eropa. Tema ini mengantar partisipan dalam membangun perspektif ekonomi yang berkeadilan sosial dan bertanggung jawab terhadap keselamatan lingkungan hidup.
Dalam konteks Asia, pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak berimbang dengan kondisi kesejahteraan dan keadilan sosial mayoritas rakyat. Bahkan, pertumbuhan ekonomi membawa dampak buruk terhadap ekologi. Ketimpangan sosial ini juga terjadi antarnegara. Di negeri Skandinavia, seperti Swedia, Jerman, Norwegia, pemapanan sistim demokrasi dibangun di atas pondasi kesejahteraan (welfare), kebebasan (freedom), dan kesetaraan (equality). Sementara di Asia, demokrasi masih dianggap sebagai sistim politik yang – bukan saja menciptakan kesenjangan ekonomi antarkelas sosial – juga menciptakan instabilitas politik. Perubahan mainstream ideologi politik di Nepal, Mongolia, Kamboja, dan reformasi politik di Indonesia dalam satu dasawarsa terakhir semakin menggiring persepsi awam bahwa demokrasi tidak bisa menjawab tuntutan “perut” rakyat miskin.
Para pendukung Sosdem maupun aktivis gerakan sosial di Asia merefleksi “krisis keadilan sosial” ini disebabkan merosotnya nilai-nilai dasar sosialisme (negara kesejahteraan) di satu sisi. dan di sisi lain, ketergantungan pemerintah di Asia pada sistim kapitalisme atau pun neoliberalisme. Sebagai contoh, sistim pasar bebas di Indonesia dimapankan sebagai paradigma pembangunan dalam mengejar pertumbuhan ekonomi dalam empat dasawarsa terakhir. Secara mencolok, pertumbuhan ekonomi hanya mensejahterakan kelompok kecil masyarakat, tetapi menciptakan ketimpangan ekonomi-politik antarkelas dan antargenerasi.
A. Prasetyantoko, peneliti UNIKA Atmajaya salah seorang pembicara dalam konferensi ini membeberkan data yang menunjukkan absennya sistim ekonomi Sosdem di Indonesia. Meski jumlah UKM (Usaha Kecil dan Menengah) sebesar 99,9%, namun entitas sosial mereka rentan dari penggusuran, dan perannya seringkali disepelekan. Kebijakan pemerintah lebih melindungi sekelompok kecil pengusaha besar (kapitalis), kurang dari 0,5%, yang bersifat non-tradable, yakni hanya menyerap 15% tenaga kerja. Bandingkan dengan daya serap tenaga kerja UMKM, 97,3% dari total angkatan kerja.
Terjadi “deindustrialisasi”, dimana usaha skala besar yang menguasai sekitar 80% ekspor, terutama komoditi primer migas, CPO, batubara, mudah digoncang oleh krisis finansial. Basis industri menjadi rapuh tanpa strategi pengembangan pengolahan komoditas primer. Kerusakan ekologi yang ditimbulkannya pun tidak kecil. Budiman Sujatmiko, anggota DPR RI yang tampil sebagai panelis menyatakan bahwa sesungguhnya nilai-nilai Sosdem, yang ditanamkan para pendiri bangsa Asia, seperti Soekarno-Hatta, atau pun Mahatma Ghandi di India, telah melenceng jauh. Pertumbuhan ekonomi tidak lagi dibangun di atas mandat Konstitusi 1945, yakni kesejahteraan untuk rakyat.
Di Eropa, khususnya negara Skandinavia, praktik sosial demokrasi mengakui kepemilikan pribadi dan persaingan pasar. Pada saat yang sama, negara melakukan pembingkaian terhadap sistim ekonominya dengan regulasi, redistribusi, dan manajemen ekonomi makro. Hal ini tercermin pada kebijakan ekonomi Partai Sosialis Demokratik (SPD) Jerman maupun SAP Swedia: “Semakin kencang persaingan pasar (free market), semakin banyak diperlukan regulasi negara, karena sifat pasar yang mengabaikan entitas sosial dan ekologi – the market alone is socially and ecologically blind". Ekonomi pasar atau pun kapitalisme adalah kekuatan politik yang menggunakan uang sebagai media pertukaran untuk mengubah kepemilikan dan distribusi barang dan jasa. Oleh karena itu, “pasar bebas kapitalisme harus dimanfaatkan dan dikendalikan - capitalism has to be harnessed and coordinated”.
Pandangan ekonomi Sosdem Eropa terkesan kompromistis. Herry B. Priyono dan Imam Yudotomo yang hadir dalam konferensi mengklarifikasi pandangan “kapitalisme terkoordinasi” ala Keynesian itu. Ada bias kontekstual praksis Sosdem di Asia dengan di Eropa, bahkan di antara negara Asia sendiri. Misalnya, Jepang dan China, yang telah melampaui standar minimum kesejahteraan, dapat diukur dari kemajuan ekonomi, teknologi, rendahnya angka pengangguran dan tingginya angka harapan hidup. Stabilitas ekonomi Jepang dan China sudah relatif setara dengan di negara-negara Skandinavia. Sementara di Indonesia, Filipina, Mongolia atau pun Nepal, masih berkutat pada rendahnya kredibilitas pemerintahan, kepemimpinan partai politik yang buruk, serta korupsi birokrasi. Semua itu akan menghambat pemenuhan kesejahteraan dan keadilan sosial warga negara.
Dalam konteks Internasional, Sosial Demokrasi berpeluang menjadi solusi alternatif. Di Asia, partai-partai sosialis demokratik semakin mendapatkan ruang politiknya seperti Nepali Congress Party, Mongolian People’s Revolutionary Party, Partai Kedaulatan Rakyat Malaysia, dan Korean Democratic Labour Party. Formasi pra-partai yang bermunculan dari gerakan sosial telah terbentuk dan berorientasi pada program yang relevan dengan nilai-nilai utama Sosdem. Misalnya di Indonesia, Nasional Demokrat, Partai Rakyat Pekerja, Federasi Serikat Petani Indonesia, Partai Rakyat Aceh, dan Pergerakan Indonesia. Trend gerakan politik alternatif berbasis Ormas ini merupakan respon-kritis terhadap sistim demokrasi liberal, yang hanya menguntungkan kapitalis dan kelompok status-quo.
Sebagai kekuatan sosial-politik, tantangan Sosdem di Asia ke depan adalah memastikan plaftform ekonominya secara tepat dan nyata memecahkan persoalan mendasar mayoritas rakyat. Tidak cukup hanya menjunjung prinsip kebebasan, keadilan, dan solidaritas, Sosdem secara tegas memperjuangkan pemenuhan hak-hak dasar sebagaimana diatur dalam Perjanjian PBB tahun 1966. Jaminan atas hak-hak sipil dan politik harus bersamaan dengan pemenuhan hak-hak ekosob, misalnya hak atas pekerjaan, jaminan sosial, dan hak untuk berorganisasi. Sebuah penelitian menyebutkan hubungan yang positif antara tingkat keamanan sosial dan kinerja ekonomi. “Seseorang akan lebih inovatif dan kreatif jika negara memberikan perlindungan dan jaminan sosial’, demikian pernyataan Jens Orback, mantan anggota parlemen Swedia yang saat ini menjadi direktur OPIC.
Apa yang membedakan platform ekonomi Sosdem dengan agenda perjuangan organisasi gerakan pada umumnya? Bukankah pembaharuan agraria, multi-crop plantation, industrial green policies, teknologi yang ramah lingkungan, eco-turism juga disuarakan oleh organisasi masyarakat sipil? Terhadap pertanyaan ini, Erwin Schweisshelm, direktur FES di Indonesia menegaskan bahwa plafform ekonomi Sosdem bukan milik partai Sosdem. Jauh lebih penting adalah mewujudkan nilai platform sosial-ekonomi-politik Sosdem ke dalam berbagai konteks dan bentuk manifestasi. Untuk mencapainya, perlu pemimpin negara yang kuat, kontrol rakyat yang terorganisasi, dan kemitraan sosial dengan sektor bisnis.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

menarik..

Posting Komentar