21 Mar 2011

Press Release KP3R

RUU Perumahan dan Permukiman;
Sudah Tak Berpihak, Malah Mengkriminalisasi
Rumah yang memadai/layak merupakan kebutuhan mendasar bagi setiap manusia. Sebagai bagian dari hak konstitusi dan hak asasi manusia, hak atas perumahan yang layak meletakkan beban kewajiban dipundak negara untuk memenuhi, menghormati dan melindungi hak tersebut. Namun upaya untuk memenuhi kewajiban ini tercatat selalu gagal dilakukan, Jumlah kekurangan rumah (backlog) selalu dialami setiap tahunnya, bahkan kekurangan ini terus terakumulasi dengan kebutuhan baru yang muncul dikemudian hari. Untuk menjawab permasalahan akut ini, DPR RI mencoba menginisiasi lahirnya sebuah kebijakan baru. RUU Perumahan dan Permukiman sebagai RUU usulan DPR ditetapkan sebagai prioritas dalam Program Legislasi Nasional 2010 untuk menggantikan Undang-Undang No. 4 Tahun 1992 Tentang Perumahan dan Permukima
Namun asa "rumah untuk semua" yang digadang-gadang terwujud melalui RUU ini justru ibarat jauh panggang dari api. Hal ini dapat dilihat sedari proses pembuatannya, RUU dibuat tanpa melibatkan para pemangku kepentingan yang akan merasakan langsung dampak pemberlakuan RUU paksa disahkan, khususnya masyarakat miskin dan mereka yang masuk kategori rentan, seperti kelompok perempuan dan anak, kelompok masyarakat adat, serikat buruh, dll. Selain itu, masyarakat yang memiliki keahlian serta kepedulian yang telah teruji dalam kerja-kerja advokasi perumahan dan permukiman pun minim dilibatkan. Hingga tak heran jika pasal-pasal yang terdapat dalam RUU ini kental dengan cara pandang teknokrat yang lebih mengutamakan formalistik dan kerap tidak didasarkan pada kondisi yang sesungguhnya terjadi dilapangan.
Proses yang tidak transparan dan serta sempitnya ruang partisipasi publik berdampak langsung pada substansi RUU. Kami mencatat beberapa permasalahan krusial yang menunjukan ketidakberpihakan para pembuat RUU ini pada mereka yang lemah dan rentan. Permasalahan itu antara lain :

1. Pemisahan antara Rumah Negara dan Rumah Dinas. Rumah dinas adalah rumah negara, berdasarkan Peraturan Pemerintah tentang Rumah Negara, rumah negara dapat dimiliki sedangkan rumah dinas tidak terdapat ketentuan yang mengatur pengalihan kepemilikannya. Ketentuan ini berdampak pada semakin kecilnya peluang pensiunan atau keluarga pensiunan PNS untuk dapat membeli rumah negara. (lihat Pasal 1 angka 8 dan 9);
2. Mereduksi komponen rumah layak. Rumah layak dalam RUU hanya dinilai berdasarkan 3 hal, yakni: persyaratan keselamatan bangunan, luas minimum dan kesehatan. sedangkan dalam Komentar Umum No. 4 pasal 11 ayat (1) Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi Sosial dan Budaya yang telah diratifikasi Indonesia, terdapat 7 kriteria rumah layak, yakni : perlindungan hukum, Ketersediaan layanan, bahan-bahan baku, fasilitas, dan infra struktur, Keterjangkauan, Layak huni, Aksesibilitas, Lokasi, Kelayakan budaya. (Lihat Pasal 5 ayat 1);
3. Peremajaan permukiman kumuh dilakukan dengan Penertiban. Peremajaan tidak memiliki hubungan dengan penertiban. sehingga tahapan pada peremajaan tidak termasuk kepada penertiban. pemahaman dari peremajaan adalah yang sudah ada di tata ulang kembali sehingga menjadi lebih baik. Sedangkan penertiban dalam prakteknya seringkali ditafsirkan sama dengan pemusnahan/penggusuran. Memang dalam ayat 2 dikatakan penertiban dilakukan dengan mengedepankan prinsip hak asasi manusia, namun penjabaran lebih jauh apa saja prinsip-prinsip tersebut tidak ditemukan dalam RUU (Lihat Pasal 84 ayat 1 dan 2);
4. RUU Perumahan dan Permukiman belum memasukan perspektif perempuan dan tdak adanya ketentuan yang mengatur secara spesifik hak perempuan atas kepemilikan (right to property) terhadap sumber daya.
5. RUU Perumahan belum mengatur secara khusus hak-hak kelompok rentan terhadap hak atas perumahan dan permukiman yang layak sesuai dengan kebutuhan yang bersifat khusus. Kebutuhan spesifik tersebut harus melihat pada karakteristik yang melekat pada setiap kelompok rentan (Pengungsi, pengungsi dalam negeri, kelompok minoritas, pekerja migran, masyarakat adat, anak dan perempuan);
6. RUU hanya mengatur akses warga terhadap hak atas perumahan yang layak melalui membeli atau menyewa, dengan demikian RUU menegasikan keberadaan kelompok masyarakat miskin, anak terlantar dan warga lansia yang tidak memiliki kemampuan untuk menyewa atau memiliki rumah.
7. RUU menutup mata dengan berbagai upaya yang dilakukan oleh organisasi non-pemerintah mendukung kebutuhan perumahan bagi masyarakat di sektor informal dan berpenghasilan rendah (yang tetap dan tidak tetap) yang telah berlangsung selama ini, seperti: Pembangunan Perumahan Bertumpu pada Kelompok (P2BPK), Pembangunan Perumahan melalui Koperasi (PPMK), Dukungan untuk Prakarsa Komunitas dalam Pembangunan Permukiman (CoBILD), Sistem Pendukung untuk Perbaikan Perumahan dan Permukiman Kumuh (SUF), Berbagai inisiatif oleh kelompok seperti Kelompok Arisan Rumah di Bandung, Dukungan jejaring keahlian dan masyarakat peduli perumahan untuk prakarsa komunitas (Bale Daya Perumahan/Housing Resource Center), Forum Permukiman Nasional dan Forum Permukiman Jakarta.
8. RUU tidak memberikan perlindungan yang memadai terhadap kelompok masyarakat adat yang masih tetap mempertahankan dan melestarikan norma-norma yang mereka sepakati yang sudah ada dari leluhur dan diturunkan secara turun temurun dalam membangun rumah, perumahan dan permukiman.
9. Terdapatnya pasal-pasal kriminalisasi yang sangat mengancam kelompok marjinal dalam RUU ini, antara lain: Pasal 108 ayat (1) jo. Pasal 123, Pasal 108 ayat 2 jo. Pasal 123, Pasal 109 jo. Pasal 124. Serta pasal yang dapat mengkriminalisasi mereka yang sedang mengadvokasi/mendampingi calon korban gusuran (Pasal 111 jo. 126) dan aparatur pemerintahan yang justru hendak memenuhi salah satu hak asasi lainnya, yakni hak atas identitas (Pasal 112 jo. 127).
Berdasarkan penjelasan diatas, dengan ini kami hendak menyatakan sikap dan tuntutan sebagai berikut :
  1. Perlu pengkajian dan pembahasan ulang, sejak penyusunan naskah akademis hingga pengaturan pasal demi pasal RUU Perumahan dan Permukiman sebagai upaya Harmonisasi dengan peraturan perundangan nasional dan instrumen hukum internasional yang telah diratifikasi oleh Indonesia.
  2. DPR RI harus memastikan dalam RUU terdapat ketentuan-ketentuan memberikan jaminan hak atas perumahan yang layak bagi setiap orang dengan perhatian khusus terhadap mereka yang miskin dan masuk kategori rentan, serta memberikan perlindungan bagi korban pelanggaran hak atas perumahan dan penghukuman terhadap pihak-pihak yang melanggar hak atas perumahan yang layak.
  3. Dilakukan sosialisasi dan konsultasi seluas-luasnya bagi sebanyak mungkin warga negara Indonesia di semua wilayah untuk memperoleh masukan ataupun usulan dari berbagai kalangan masyarakat.
  4. Meminta DPR RI menangguhkan/menunda pengesahan terhadap RUU Perkim sebelum diakomodirnya masukan-masukan dari masyarakat luas.
Jakarta, 19 Oktober 2010

Hormat kami,

Koalisi Peduli Perumahan dan Permukiman untuk Rakyat (KP3R)

Contact person :
Tommy (081317848461),
Prastopo 08164825937 (Aliansi Penghuni Rumah Negara)
Razak 085885085710 (calon korban penggusuran kebun sayur)
Ine 021-70990009 (Arsitek)

Koalisi Peduli Perumahan dan Permukiman untuk Rakyat (KP3R)
LBH Jakarta, YLBHI, SALUD, IHCS, Walhi Jakarta, LBH APIK, Gema Pelangi, Aliansi Penghuni Rumah Negara (APRN), Aliansi Rakyat Menolak Penggusuran (ARMP), Arsitek Komunitas, Yayasan Pemantau Hak Anak (YPHA), dan Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), Walhi Eknas, Progresip Kasbi, Paguyuban Korban Pengusiran Paksa Papanggo, Dibopiss
Sekretariat: Jl. Diponegoro No. 74 Menteng, Jakarta Pusat, Telepon 021 3145518, Fax 021 3912377

Tidak ada komentar:

Posting Komentar